"Sayang, udah belum?" teriak Aiman dari luar pintu kamar mandi. Entah untuk ke berapa kalinya.
"Ya ampun Mas, baru juga tiga menit aku mandi. Mana bisa bersih?" balas Hani dari dalam.
"Tiga menit itu, lama lho, kalau pemanasan, udah panas beneran itu," teriak Aiman lagi tidak sabar.
Di dalam sana Hani hanya memutar bola mata malas seraya meneruskan ritual mandinya. Namun, tak lama….
"Sayang … buruan. Atau kamu izinkan saja Mas masuk, biar kita mandi bareng!"
Lagi-lagi Hani memutar bola mata sebelum meneruskan mandi. Apa tidak bisa menunggu beberapa menit saja, sampai ia selesai mandi?
Hani berdiri di depan jendela dengan ponsel menempel di telinga. Wanita itu baru selesai mandi, bahkan ia belum sempat untuk berganti baju. Rasa rindu terhadap lelaki mungilnya menuntun ia buru-buru menelepon Arum.Dengan tubuh hanya dibalut handuk sebatas dada, Hani menunggu dengan sabar panggilannya terhubung.Belum pernah ia berpisah selama ini dengan Hanan. Rasa kehilangan tentu ada. Ia juga takut sang anak rewel mencari dirinya, dan merepotkan orang-orang di sana."Halo Mbak, bagaimana Hanan?" Tanya Hani langsung begitu sambungan terhubung."Hanan baik-baik saja, Han. Ia juga tidak rewel. Tidurnya pules, mungkin kecapean. Sekarang juga masih tidur," jawab Arum di seberang sana.
Tengah malam Hani terbangun dengan hati gundah. Entah ada apa. Ini malam kedua ia berpisah dari Hanan. Rasa rindu untuk memeluk permata hatinya itu sangat menyiksa.Perlahan Hani melepas tangan sang suami yang memeluk posesif pinggangnya. Lalu dengan pelan juga ia mendudukkan dirinya bersandar di kepala ranjang. Bayangan wajah Hanan terus saja berkelebat.Terasa gerakan di sisi perempuan itu. Sepertinya Aiman juga terbangun."Kenapa?" Pertanyaan parau terdengar dibarengi pelukan di pinggang Hani."Aku kangen Hanan, Mas," jawab Hani lemas. Pelukan di pinggang teras semakin erat."Jangan terlalu dipikirin, Hanan baik-baik saja di
Perjalanan antara rumah Aiman dan rumah sang ibu terasa sangat lama. Padahal hari masih sangat pagi, belum ada macet. Matahari bahkan belum menampakkan dirinya.Sebelah tangan Aiman terus menggenggam tangan sang istri yang terus berderai air mata. Sesekali lelaki itu juga membelai kepalanya. Mencoba menenangkan dan memberinya semangat, kalau putra mereka akan baik-baik saja.Sementara Hani, entah bagaimana perasaannya? Bahkan ia sendiri tak dapat menjabarkannya. Yang pasti, ini jawaban atas instingnya sejak kemarin.Wanita itu memang sangat merindukan sang putra. Namun, yang ia rasakan lebih dari sekadar rindu. Ada kekhawatiran mendalam seorang ibu akan anak semata wayangnya. Itu terbukti sekarang.
"Hani." Aiman menatap tak percaya sang istri. "Sayang, kenapa bicara seperti itu? Hanan juga anak Mas, cucu ibu, ponakan Mbak Arum. Kami semua menyayangi Hanan, seperti kamu menyayangi dia. Kami juga khawatir, sayang. Percayalah!" Aiman meraih tangan Hani. Namun, wanita itu menepisnya. "Semua terjadi karena aku terlalu percaya kamu dan keluargamu, Mas. Andai sejak awal, tak kubiarkan kalian memisahkan Hanan dariku, semua ini tidak adan terjadi." Suara Hani meninggi, air mata tak henti mengaliri pipinya. Aiman menatap sedih sang istri. Baru dua hari ini mereka menghabiskan waktu dengan sangat manis. Kini perdebatan lagi yang terjadi. "Sayang, kemarilah!" Aiman ingin menarik tangan Hani. Lelaki itu ingin membawa sang istri dalam pelukan, untuk menenangk
Aroma khas obat-obatan menyeruak di dalam ruangan serba putih. Seorang lelaki yang duduk dekat blankar terus menggenggam dan menciumi tangan sang wanita yang matanya masih terpejam. Sampai tubuh yang terbaring itu, bergerak perlahan.Walaupun kepala sangat berat ditambah seluruh tubuh terasa ringsek, sang wanita memaksa membuka mata yang terasa sangat lengket.Berkabut. Itu yang tertangkap netranya pertama kali. Namun, genggaman tangan dan ciuman di punggung tangannya dapat ia rasakan sejak tadi.Si wanita mengerjap lemah berkali-kali, hingga pandangannya menjadi jelas. Wajah sang suami, hal yang pertama kali dilihatnya."Sayang, sudah sadar?" tanya si suami yang tak lain Aiman. Matanya begit
Hani duduk bersandar di kepala blankar. Aiman baru saja menyuapinya dengan paksa. Kini sang suami sedang keluar sebentar membeli buah-buahan pesanannya.Kembali air mata berderai saat bayangan wajah gembil berkelebat dalam kepalanya. Senyum renyah saat tubuhnya digelitik. Ocehan nyaring saat keinginannya tidak dipenuhi. Atau tangis rewelnya saat ingin tidur. Ah, semua terus berputar-putar di kepala Hani.Siapa yang tega menculik bayinya? Bahkan sampai saat ini tak ada siapa pun yang menghubungi dirinya atau Aiman seandainya ingin meminta tebusan. Apa sebenarnya motif si penculik?Sungguh semua yang terjadi dalam hidup ini tak pernah bisa diprediksi. Ia tiba-tiba saja kembali menikah dengan Aiman. Mantan suami yang dulu begitu ia benci. Setelah calon suami y
"Kamu bicara apa, Key?""Kenapa? Itu benar bukan? Dia Hani yang fotonya masih tersimpan rapi di ponselmu?""Cukup!" Aiman sudah tak tahan melihat dua orang itu terus berdebat di sana. "Bisa kalian tinggalkan ruangan ini sekarang?"Kedua orang itu menoleh ke arah Aiman yang berdiri di depan Hani seolah ingin melindunginya."Istri saya sakit, dan kalian malah ribut di sini?" tanya Aiman lagi dengan kesal. "Silahkan pergi sebelum saya panggil petugas! Dan untuk Anda, Bung! Saya tegaskan tidak perlu bersikap sok pahlawan. Saya mampu menanggung semua biaya perawatan istri saya!"Kedua orang itu masih menatap Aiman dengan pandangan tidak suka. Sebelum akhir
Hari ini Hani sudah boleh pulang. Ia sudah tidak sabar ingin mencari sang anak yang sudah sangat dirindukannya. Total empat hari tidak bertemu dan memeluk bayi gembil itu, membuat hidupnya terasa hampa.Kini mereka dalam perjalanan pulang menuju rumah Yuli. Sebenarnya Hani meminta pulang ke rumah mereka atau ke rumah orang tuanya. Namun, Aiman tetap membawanya ke rumah sang ibu. Karena di sana lokasi menghilangnya Hanan. Polisi lebih mudah menemui mereka."Ada perkembangan apa, Mas?" tanya Hani saat mereka dalam mobil. Ratna yang ikut serta dan duduk di bangku belakang sama herannya."Kemarin ibu melihat ada tamu mencurigakan datang.""Lalu?"