Akhirnya dengan berat hati, Hani harus berpisah sementara dengan buah hati yang selama ini tak pernah jauh dalam waktu lama.
Sebenarnya, berat melepas Hanan yang dibawa pulang Arum. Ia ingin mereka bertiga pulang ke rumah Aiman. Namun, Arum tetap memaksa ingin membawa Hanan. Katanya biar mereka menikmati malam pengantin tanpa harus terganggu tangisan Hanan tengah malam.
Terlebih Sisy, anak angkat Arum yang terus merengek agar Hanan mereka bawa pulang. Gadis kecil itu sudah sangat jatuh hati dengan Hanan yang menggemaskan.
Hani menciumi Hanan dengan sayang sebelum mereka berpisah di tempat resepsi. Berat rasanya melepasnya.
"Sudahlah, Han. Lagi pula hanya dua malam Hanan bersama kami. Nikmatil
"Sayang, udah belum?" teriak Aiman dari luar pintu kamar mandi. Entah untuk ke berapa kalinya."Ya ampun Mas, baru juga tiga menit aku mandi. Mana bisa bersih?" balas Hani dari dalam."Tiga menit itu, lama lho, kalau pemanasan, udah panas beneran itu," teriak Aiman lagi tidak sabar.Di dalam sana Hani hanya memutar bola mata malas seraya meneruskan ritual mandinya. Namun, tak lama…."Sayang … buruan. Atau kamu izinkan saja Mas masuk, biar kita mandi bareng!"Lagi-lagi Hani memutar bola mata sebelum meneruskan mandi. Apa tidak bisa menunggu beberapa menit saja, sampai ia selesai mandi?
Hani berdiri di depan jendela dengan ponsel menempel di telinga. Wanita itu baru selesai mandi, bahkan ia belum sempat untuk berganti baju. Rasa rindu terhadap lelaki mungilnya menuntun ia buru-buru menelepon Arum.Dengan tubuh hanya dibalut handuk sebatas dada, Hani menunggu dengan sabar panggilannya terhubung.Belum pernah ia berpisah selama ini dengan Hanan. Rasa kehilangan tentu ada. Ia juga takut sang anak rewel mencari dirinya, dan merepotkan orang-orang di sana."Halo Mbak, bagaimana Hanan?" Tanya Hani langsung begitu sambungan terhubung."Hanan baik-baik saja, Han. Ia juga tidak rewel. Tidurnya pules, mungkin kecapean. Sekarang juga masih tidur," jawab Arum di seberang sana.
Tengah malam Hani terbangun dengan hati gundah. Entah ada apa. Ini malam kedua ia berpisah dari Hanan. Rasa rindu untuk memeluk permata hatinya itu sangat menyiksa.Perlahan Hani melepas tangan sang suami yang memeluk posesif pinggangnya. Lalu dengan pelan juga ia mendudukkan dirinya bersandar di kepala ranjang. Bayangan wajah Hanan terus saja berkelebat.Terasa gerakan di sisi perempuan itu. Sepertinya Aiman juga terbangun."Kenapa?" Pertanyaan parau terdengar dibarengi pelukan di pinggang Hani."Aku kangen Hanan, Mas," jawab Hani lemas. Pelukan di pinggang teras semakin erat."Jangan terlalu dipikirin, Hanan baik-baik saja di
Perjalanan antara rumah Aiman dan rumah sang ibu terasa sangat lama. Padahal hari masih sangat pagi, belum ada macet. Matahari bahkan belum menampakkan dirinya.Sebelah tangan Aiman terus menggenggam tangan sang istri yang terus berderai air mata. Sesekali lelaki itu juga membelai kepalanya. Mencoba menenangkan dan memberinya semangat, kalau putra mereka akan baik-baik saja.Sementara Hani, entah bagaimana perasaannya? Bahkan ia sendiri tak dapat menjabarkannya. Yang pasti, ini jawaban atas instingnya sejak kemarin.Wanita itu memang sangat merindukan sang putra. Namun, yang ia rasakan lebih dari sekadar rindu. Ada kekhawatiran mendalam seorang ibu akan anak semata wayangnya. Itu terbukti sekarang.
"Hani." Aiman menatap tak percaya sang istri. "Sayang, kenapa bicara seperti itu? Hanan juga anak Mas, cucu ibu, ponakan Mbak Arum. Kami semua menyayangi Hanan, seperti kamu menyayangi dia. Kami juga khawatir, sayang. Percayalah!" Aiman meraih tangan Hani. Namun, wanita itu menepisnya. "Semua terjadi karena aku terlalu percaya kamu dan keluargamu, Mas. Andai sejak awal, tak kubiarkan kalian memisahkan Hanan dariku, semua ini tidak adan terjadi." Suara Hani meninggi, air mata tak henti mengaliri pipinya. Aiman menatap sedih sang istri. Baru dua hari ini mereka menghabiskan waktu dengan sangat manis. Kini perdebatan lagi yang terjadi. "Sayang, kemarilah!" Aiman ingin menarik tangan Hani. Lelaki itu ingin membawa sang istri dalam pelukan, untuk menenangk
Aroma khas obat-obatan menyeruak di dalam ruangan serba putih. Seorang lelaki yang duduk dekat blankar terus menggenggam dan menciumi tangan sang wanita yang matanya masih terpejam. Sampai tubuh yang terbaring itu, bergerak perlahan.Walaupun kepala sangat berat ditambah seluruh tubuh terasa ringsek, sang wanita memaksa membuka mata yang terasa sangat lengket.Berkabut. Itu yang tertangkap netranya pertama kali. Namun, genggaman tangan dan ciuman di punggung tangannya dapat ia rasakan sejak tadi.Si wanita mengerjap lemah berkali-kali, hingga pandangannya menjadi jelas. Wajah sang suami, hal yang pertama kali dilihatnya."Sayang, sudah sadar?" tanya si suami yang tak lain Aiman. Matanya begit
Hani duduk bersandar di kepala blankar. Aiman baru saja menyuapinya dengan paksa. Kini sang suami sedang keluar sebentar membeli buah-buahan pesanannya.Kembali air mata berderai saat bayangan wajah gembil berkelebat dalam kepalanya. Senyum renyah saat tubuhnya digelitik. Ocehan nyaring saat keinginannya tidak dipenuhi. Atau tangis rewelnya saat ingin tidur. Ah, semua terus berputar-putar di kepala Hani.Siapa yang tega menculik bayinya? Bahkan sampai saat ini tak ada siapa pun yang menghubungi dirinya atau Aiman seandainya ingin meminta tebusan. Apa sebenarnya motif si penculik?Sungguh semua yang terjadi dalam hidup ini tak pernah bisa diprediksi. Ia tiba-tiba saja kembali menikah dengan Aiman. Mantan suami yang dulu begitu ia benci. Setelah calon suami y
"Kamu bicara apa, Key?""Kenapa? Itu benar bukan? Dia Hani yang fotonya masih tersimpan rapi di ponselmu?""Cukup!" Aiman sudah tak tahan melihat dua orang itu terus berdebat di sana. "Bisa kalian tinggalkan ruangan ini sekarang?"Kedua orang itu menoleh ke arah Aiman yang berdiri di depan Hani seolah ingin melindunginya."Istri saya sakit, dan kalian malah ribut di sini?" tanya Aiman lagi dengan kesal. "Silahkan pergi sebelum saya panggil petugas! Dan untuk Anda, Bung! Saya tegaskan tidak perlu bersikap sok pahlawan. Saya mampu menanggung semua biaya perawatan istri saya!"Kedua orang itu masih menatap Aiman dengan pandangan tidak suka. Sebelum akhir
Hani berdiri mematung, ujung rambutnya dimainkan angin nakal di taman kota, sore ini. Di depannya, berdiri tak kalah kaku seorang lelaki dengan topi di kepalanya. Jarak mereka hanya dua meteran.Beberapa waktu berselang, mereka hanya saling tatap dalam kekakuan. Entah apa yang harus dilakukan. Hingga …."Sayang, dapat popcorn-nya?" Seorang lelaki lain muncul di belakang Hani menggendong anak lelaki kecil."Mas, mana popcorn-nya? Bayi kita sudah tak sabar, nanti dia ileran, lho." Seorang wanita lain juga muncul di belakang lelaki bertopi.Empat orang dewasa, berdiri kaku, dengan pandangan saling menatap tajam.Hening. Tak
Mengertilah Aiman sekarang, kenapa sejak pagi sang istri mendiamkannya. Membuat kepalanya serasa mau pecah. Memikirkan apa gerangan salahnya.Aiman masih menatap benda kecil pipih bergaris dua merah di telapak tangannya, sebelum melempar bunga di tangan ke atas sofa ruang tamu. Kemudian berlari menyusul sang istri yang sudah masuk meninggalkannya.Ditangkapnya tubuh sang istri, kemudian dibopong dan dibawa berputar-putar, untuk meluapkan rasa bahagia."Sayang ...kamu hamil lagi?" tanyanya sambil membawa tubuh Hani dalam bopongan berputar-putar.Hani memekik, seraya melingkarkan kedua tangan di leher sang suami."Mas, apaan sih kamu?
Sebulan berlalu ….Keluarga kecil itu, baru saja keluar dari RSJ tempat Sri dirawat. Mereka memang mengagendakan kunjungan rutin ke sana, untuk mengetahui perkembangan ibu dari sang kakak itu.Aiman sudah bersumpah akan mengobati wanita itu sampai sembuh. Bila nanti sudah benar-benar sembuh, ia juga akan menampung wanita itu. Akan menganggap Sri sebagai ibunya sendiri, sebagai pengganti Yuli. Itu dia lakukan sebagai bentuk penebusan dosa orang tuanya di masa lalu. Semoga dengan begitu, ayah, ibu, dan kakaknya tenang di alam sana.Tangan Aiman terjulur ingin membuka pintu mobil, saat seseorang memanggilnya. Semua menoleh ke asal suara. Tampak seorang lelaki berkacamata dan seorang gadis kecil di sana.
Jam tiga dini hari, Hani terbangun dengan kepala pusing. Wanita itu juga belum lama memejamkan mata. Ia menemani dulu sang suami mengisi perut dan mendengarkan semua ceritanya.Suara gumaman pelan terdengar dari sampingnya berbaring. Dipaksanya bola mata untuk terbuka karena penasaran dengan suara yang didengarnya.Suara itu ternyata keluar dari mulut Aiman yang tubuhnya menggigil, tetapi matanya terpejam. Hani segera bangkit, duduk di sebelah tubuh suaminya yang masih terbaring. Wanita itu menempelkan punggung tangannya di kening sang suami.Hani terperanjat, karena suhu tubuh itu begitu tinggi. Tubuh Aiman sangat panas. Pantaslah lelaki itu begitu menggigil.Hani segera beranjak ke dapur me
Aiman melangkah gontai mendekati tubuh yang meringkuk dan bersimbah darah, diiringi tatapan semua orang yang menyaksikan. Tubuh lelaki itu langsung meluruh dengan lemah tepat di sisi tubuh yang merintih itu.Tatapan nanar ia tujukan pada wajah pucat yang terus merintih, dan memegangi perutnya yang terus mengeluarkan darah. Ada dua luka di tubuh Arum. Satu di kaki, mungkin polisi menembaknya untuk melumpuhkannya, agar tidak kabur. Satu lagi di perut, karena wanita itu melawan, dan malah menyandera warga. Anak kecil pula. Mengancam dengan senjata tajam. Hingga akhirnya polisi harus menyarangkan lagi timah panas di perutnya.Semua warga yang menyaksikan tak ada yang bersuara. Mereka diam bahkan menahan napas. Semua penasaran drama apa yang akan terjadi selanjutnya antara dua bersaudara itu.
Hani dijemput orang tuanya, mereka pulang setelah Hanan membaik. Sementara Aiman kembali ke tempat semula. Mungkin jasad sang ibu sudah dibawa ke rumah sakit. Namun, ia ingin mengurus Sri, dan mengetahui sejauh mana pencarian Arum.Aiman tak menyangka, keluarganya akan hancur seperti ini. Arum yang berubah kalap setelah mengetahui kisah hidupnya. Lalu ada wanita bernama Sri, yang menderita sekian lama, karena keputusan sang ayah di masa lalu. Hanan yang menjadi korban balas dendam Arum, dan terakhir sang ibu yang harus meninggal dengan tragis, di tangan anak yang sudah dibesarkan sejak bayi.Sungguh semua terjadi begitu cepat, di saat ia seharusnya tengah menikmati bulan madu setelah berhasil membawa wanita yang dicintainya dalam pernikahan kedua kalinya.S
Dengan tangan gemetar, Aiman mengemudikan mobil keluar dari perkampungan itu mencari klinik terdekat. Di sampingnya, Hani terus menangis mendekap sang anak yang kondisinya mengkhawatirkan.Hanan demam tinggi, tubuhnya kejang-kejang, matanya berputar ke atas sejak tadi. Entah apa yang terjadi, mungkin ia ketakutan dan trauma dengan semua yang terjadi."Hanan, bertahanlah sayang. Ada mama di sini. Kita ke dokter, ya. Anak mama pasti kuat. Nanti kita pulang sayang. Kita berkumpul lagi." Hani terus menceracau di antara tangisnya yang terus berderai.Aiman membelokkan mobil ke arah klinik kecil terdekat. Keadaan lelaki itu sudah tak dapat digambarkan seperti apa. Sangat kacau. Dengan wajah pucat, rambut acak-acakan, tubuh basah akibat memeluk jasad sang ibu yang
Hani memaksakan diri bangun walaupun tubuhnya masih terasa lemas tak bertulang. Tak dapat dipercaya, semua kejadian barusan terasa seperti mimpi. Ibu mertua yang nekat mendekati Arum. Mereka rebutan Hanan, sampai Arum mendorong Yuli hingga jatuh ke sungai dan terbawa arus.Hani berdiri lalu berjalan dengan hati yang kacau balau menghampiri Aiman yang masih bersimpuh di tengah jembatan dengan tubuh beku.Disentuhnya bahu lelaki tercinta yang hatinya pasti lebih kacau."Mas," panggil Hani serak seraya ikut bersimpuh memeluk Aiman dan Hanan. Mereka berpelukan di tengah jembatan kayu yang bergoyang-goyang. Jembatan kayu yang dijadikan jembatan penyeberangan darurat oleh warga untuk mencapai kampung di seberang sungai.
Yuli semakin mendekati Arum, hingga akhirnya kursi roda akan menabrak tubuh yang berdiri kaku itu.Sepersekian detik Arum tersadar dari keterpakuannya. Refleks ia menghindar agar tidak tertabrak. Namun, tangan Yuli berhasil meraih tubuh mungil Hanan.Arum semakin tersentak, ia pertahankan tubuh mungil yang kembali menjerit itu dengan sekuat tenaga. Sementara Yuli juga melakukan hal yang sama. Adegan saling rebut tak dapat terelakkan. Keduanya sama-sama mempertahankan tubuh mungil itu."Lepaskan, cucuku! Dia tidak bersalah, dia berhak hidup bahagia!" pekik Yuli dengan suara tertahan."Tidak akan! Aku tidak rela melihat kalian bahagia sementara aku dan ibuku menderita. Aku akan lenyapkan anak i