"Kenapa kemarin, Ayah, memberi izin Aiman untuk menemui Hanan, sih?" protes Hani sore ini.
Sang ayah yang sedang mengajak main sang cucu menoleh sebentar.
"Iya, padahal usir aja dia sekalian! Ngapain disuruh masuk? Sebel Ibu sama dia. Gak tahu malu! Sekarang ngaku-ngaku Hanan anaknya. Kemarin waktu Hani sama Hanan kristis, dia ke mana? Padahal dia janji mau bertanggung jawab. Laki-laki itu kan, yang dipegang omongannya." Ratna mengomel panjang lebar dengan ekspresi sangat kesal.
"Dia sama ibunya sama-sama menyebalkan. Nyesel Ibu nikahin Hani sama dia dulu. Nyesel besanan sama si Yuli mulut rombeng." Ratna terus saja menceracau. Sementara, Dery menarik napas panjang seraya menyerahkan bayi Hanan ke pangkuan Hani.
"Ibu." Aiman menghampiri sang ibu dengan wajah kesal. Padahal tadi ia sudah mewanti-wanti Yuli untuk bersabar dan tidak gegabah, agar keluarga Hani bersimpati kepada mereka."Kenyataannya memang seperti itu, Ai! Memangnya dia bisa hamil sendiri! Kamu kan, yang bikin dia hamil."Hani tersenyum miring mendengar perkataan mantan ibu mertua yang dulu begitu menyayanginya itu."Aneh sekali Anda ini, nyonya. Bukankah dulu Anda yang bilang kalau aku bukan mengandung bayi dari anakmu? Kenapa sekarang menyebut kalau ini anak Aiman?""Kenyataannya, itu memang anak Aiman bukan. Lihat wajahnya! Bahkan tidak ada garis wajahmu sama sekali! Dia sangat mirip dengan ayahnya!"
Reynaldi menatap Aiman yang berdiri di balik pintu mobilnya. Sebagai sesama lelaki yang menginginkan wanita yang sama, tentu ia sangat marah dan cemburu melihat mantan suami dari calon istrinya masih bertandang ke sana.Namun, Reynaldi pria dewasa yang tidak mengedepankan ego dan amarah. Ia tetap bersikap tenang, meski hatinya marah dan cemburu.Mereka masih saling tatap mengintimidasi, sebagai dua lelaki yang merasa daerah kekuasaannya akan direbut. Saat sebuah suara terdengar dari teras."Mas Rey, sudah datang?" Hani tersenyum di sana. Menatap Reynaldi dari balik kaca mobilnya.Kedua lelaki itu menoleh bersamaan ke arah Hani. Reynaldi mengangguk ke arah Aiman.
Aiman menatap sang ibu yang sejak tadi terus saja murung. Bahkan sejak Ratih dan anaknya pergi, wanita paruh baya itu tak bicara sepatah kata pun.Aiman sangat khawatir, ia takut sang ibu jatuh sakit, karena terlalu memikirkan masalah ini."Kenapa bisa jadi begini, Ai?" tanya Arum yang baru saja datang."Entahlah, Mbak. Sejak awal aku kan, emang nggak suka sama dia." Aiman mengangkat bahu. "Kan, Mbak Arum yang ngenalin dia sama kami. Kok sekarang malah nanya aku?"Arum menggeleng. "Tapi aku juga tidak tahu kalau dia belum resmi bercerai dari suaminya, Ai!"Lagi-lagi Aiman mengangkat bahu.
"Ayo, temui calon keluargamu!" bisik Rey membuat Hani semakin cemas."Assalamu'alaikum semua," sapa Rey begitu mereka sampai. Semua orang di ruangan itu menoleh ke arah Rey dna Hani. Suara riuh yang tadi terdengar kini berubah hening. Semua mata menatap Hani beserta Hanan dalam gendongannya. Dada wanita itu semakin berdebar tak karuan."Hai, apa ini calon menantu Mami, Rey?" Seorang wanita kisaran umur enam puluhan, yang masih terlihat segar, menghampiri mereka. Kemudian, tanpa diduga langsung mencium kedua pipi Hani.Hani mengerjap tak percaya. Ia bahkan lupa mau mencium tangan wanita itu."Kamu jahat, Rey!" lanjut wanita itu seraya beralih pandang ke arah Rey. "Kenapa baru sekarang kamu mempertem
"Mas Rey?" gumam Hani dengan bibir bergetar. Sungguh ia sangat takut melihat tatapan laki-laki itu. Belum pernah dilihatnya tatapan mata Rey sedemikian nyalang."Mas, ini tidak seperti yang kamu lihat. Dia …." Hani bicara lagi dengan suara yang semakin bergetar. Tangannya menunjuk Aiman, yang tersenyum miring."Dia yang memaksaku, Mas!" lanjut Hani lagi, kali ini dengan mata yang sudah berkaca-kaca.Hani sangat takut Rey marah dan menuduhnya yang tidak-tidak. Apalagi laki-laki itu sejak tadi diam tanpa kata.Rey masih diam hingga akhirnya laki-laki itu menunduk, berbalik lalu berniat meninggalkan tempat itu. Hani panik, ia sangat takut. Kalau boleh memilih, wanita itu lebih baik dimarahi dar
Penunjuk waktu menunjukkan pukul 22.15 malam ini. Hanan sudah terlelap di box khususnya, dengan tenang. Sementara Hani masih mondar-mandir dengan gelisah.Rey belum ada menghubunginya sejak pulang tadi. Hati Hani tak karuan rasanya. Ia yakin, laki-laki itu sebenarnya sangat marah. Namun, sebagai lelaki dewasa, Rey sangat mampu mengelola emosinya.Bila marah, lelaki itu hanya diam tanpa kata. Namun, justru itulah yang membuat Hani takut. Kalau boleh memilih ia lebih baik dimarahi daripada harus didiamkan seperti ini.Salah faham? Itu pasti!Bila tidak melihat kejadian dari awal, siapa pun akan salah faham, melihat apa yang terjadi antara dirinya dengan Aiman tadi.
Hani tertegun menatap mantan mertua yang tiba-tiba kembali berubah lembut. Hani bahkan tak percaya dengan pendengarannya sendiri."Han, menikahlah lagi dengan Aiman. Hanan punya hak mendapatkan kasih sayang utuh dari kedua orang tuanya," ucap wanita yang masih duduk di kursi roda itu."Bu, Hani diajak duduk dulu. Biar ngobrolnya enak," sela Arum yang kemudian memeluk dan mencium pipi Hani. Perlakuan kakaknya Aiman itu masih sama seperti dulu.Arum mengajak Hani duduk, sedangkan kursi roda Yuli didorong gadis kecil anak angkatnya Arum."Bagaimana perkembangan Hanan?" Arum yang duduk di samping Hani mencairkan keadaan saat Hani hanya diam saja sejak tadi.
Hani meletakkan Hanan yang sudah tertidur pulas ke dalam box khususnya. Ditatapnya wajah mungil yang terlihat tenang itu dengan penuh sayang.Ternyata keluarga Aiman sebenarnya menyayangi anak yang ia lahirkan. Ya. Hani mengakui itu. Mereka semua terlebih Aiman terlihat tulus menyayangi Hanan.Namun, untuk kembali bersatu seperti keinginan mantan mertuanya itu, tentu saja hal mustahil. Karena ia akan segera menikah dalam waktu dekat. Terlebih, Hani memang tak ada rasa terhadap Aiman sedikit pun.Mungkin dulu pernah ada rasa kagum, tetapi telah menguap seiring perlakuan dingin laki-laki itu.Hani bangkit, lalu mencari ponsel yang ia lupa menaruhnya di mana. Sejak kejadi