Waktu seakan berhenti berputar. Pandangan mereka bertemu. Adegan saling tatap penuh kebencian pun tak dapat terhindarkan. Hingga salah satu wanita, yang tak lain Arum maju mendekat.
"Han," panggilnya seraya tersenyum, lalu memeluk dan mencium Hani tanpa sungkan. "Bagaimana kabar kamu?"
Hani berusaha balik tersenyum walau terasa kaku.
"Baik, Mbak, alhamdulillah," jawabnya pelan. "Mbak Arum periksa?"
"Oh, biasa terapi Ibu." Arum melirik wanita di atas kursi roda yang terus menatap Hani dan ibunya penuh kebencian. "Kamu mau periksa, Han?"
"Iya, Mbak, kontrol jahitan, sama …." Hani melirik sang ibu di sampingnya. Ia urung bilang ingin k
"Kenapa kamu tidak sekalian kasih lihat sama si Yuli, rupa anak ini, Han?" tanya Ratna saat mereka sampai di rumah."Biar dia sekalian kena serangan jantung. Selama ini kan dia nuduh kamu hamil sama laki-laki lain." Sang ibu terlihat sangat gemas dengan mantan besannya itu.Hani menarik napas dalam. Kecemasan terlihat jelas di matanya."Justru sekarang aku mulai tidak tenang, Bu. Aku yakin Aiman akan terus mengganggu kita lagi. Padahal kemarin-kemarin hidupku sudah tenang tanpa dia.""Biarkan saja dia tahu sekalian. Ibu malah maunya kita pamerkan sekalian Hanan di depan mereka, untuk membungkam mulut pedas mantan mertuamu itu.""Tidak, Bu.
Aiman menghentikan mobilnya di depan rumah yang sudah terlihat sepi dari luar. Waktu di jam tangannya memang sudah menunjukkan pukul delapan malam.Ingin ia mengetuk pintunya lalu masuk dan memeluk sang anak yang berada di dalam sana. Namun, ia cukup tahu diri. Kesalahannya selama ini memang sulit dimaafkan. Ia sudah menelantarkan sang anak.Yang bisa dilakukannya saat ini, hanya bisa mengawasi rumah mantan mertuanya itu dari jauh. Dengan begini saja sudah merasa dekat dengan sang anak.Hingga pagi, Aiman di sana. Di dalam mobilnya. Bahkan rasa bersalah membuatnya tak punya muka untuk sekadar memasuki halaman rumah itu.Aiman berharap seseorang keluar, membawa bayi itu, hingga ia bisa melihat
Pikiran tak fokus membawanya kembali ke rumah sang ibu, padahal tadi ia berniat pulang ke rumahnya.Tanpa menghiraukan sekeliling ia langsung masuk ke dalam kamar. Mungkin orang-orang sudah tidur, karena jam di tangannya sudah menunjukkan pukul 21.15.Lelaki itu langsung masuk kamar mandi, mengguyur dirinya mungkin bisa menghilangkan sedikit kepenatan hari ini. Cukup lama ia berkutat di dalam kamar kecil itu, hingga tubuhnya sudah merasa kedinginan.Aiman keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang membalut tubuh bagian bawahnya. Matanya memicing saat ia menyadari lampu kamar jadi temaran, padahal yakin tadi tak mematikan lampu.Tanpa mencurigai apa pun, lelaki itu langsung menuju lemari untuk
Sore hari, Hani yang sedang memberi susu bayinya terkejut karena ada ribut-ribut di depan rumahnya. Ada yang berteriak memanggil namanya dengan keras.Sang ibu yang sedang memasak tak kalah kaget, wanita setengah baya itu segera menuju ke halaman rumah di mana ada seseorang berteriak memanggil nama putrinya.Hani mengekori sang ibu dengan membawa serta sang bayi dalam gendongan.Mereka semakin kaget saat sampai di depan rumah terlihat seorang wanita duduk di kursi roda, ada juga wanita lainnya juga gadis kecil yang menemani."Yuli?" gumam Ratna dengan heran, melihat mantan besannya datang sambil berteriak-teriak. "Mau apa kamu ke sini?"
"Ai!" teriak Yuli sembari mengetuk pintu, sesampainya di teras rumah anaknya. Wanita itu yakin kalau anaknya ada di dalam, karena mobilnya terparkir di garasi.Cukup lama Aiman datang membuka pintu. Ia muncul dengan tubuh basah keringat, hingga kaos oblongnya begitu lengket dan mencetak tubuh atletis berkat latihan rutinnya.Rambut yang basah, tubuh atletis yang terpampang jelas, membuat mata Ratih seolah mau loncat dari rongganya.Wanita itu bahkan tak melepaskan tatapan dari lelaki tersebut sedetik pun, hingga membuat Aiman bergidik ngeri."Lama banget bukanya, Ai!" ucap Yuli ketus seraya menyuruh Aiman menyingkir dari pintu.
Semua mata terbelalak tak percaya melihat apa yang baru Aiman lakukan. Terlebih Hani. Lelaki itu dengan lancangnya merangkul dan mencium dirinya, sesuatu yang tak pernah dilakukannya dulu sewaktu mereka masih terikat suami istri.Jangankan orang lain, Aiman sendiri kaget dengan apa yang baru ia lakukan. Saking senangnya bisa memeluk sang anak, ia tak dapat mengendalikan dirinya.Aiman sangat bahagia bisa memeluk makhluk kecil yang begitu mirip dirinya. Ia juga terharu, Hani mau mengandung dan melahirkan anak hasil perbuatannya, padahal ia tak ada kontribusi apa pun, sebagai ayah sang anak.Kalau Hani mau, ia bisa saja menggugurkan bayi itu sejak awal. Karena kehadirannya juga bukan atas kemauannya.
"Kenapa kemarin, Ayah, memberi izin Aiman untuk menemui Hanan, sih?" protes Hani sore ini. Sang ayah yang sedang mengajak main sang cucu menoleh sebentar. "Iya, padahal usir aja dia sekalian! Ngapain disuruh masuk? Sebel Ibu sama dia. Gak tahu malu! Sekarang ngaku-ngaku Hanan anaknya. Kemarin waktu Hani sama Hanan kristis, dia ke mana? Padahal dia janji mau bertanggung jawab. Laki-laki itu kan, yang dipegang omongannya." Ratna mengomel panjang lebar dengan ekspresi sangat kesal. "Dia sama ibunya sama-sama menyebalkan. Nyesel Ibu nikahin Hani sama dia dulu. Nyesel besanan sama si Yuli mulut rombeng." Ratna terus saja menceracau. Sementara, Dery menarik napas panjang seraya menyerahkan bayi Hanan ke pangkuan Hani.
"Ibu." Aiman menghampiri sang ibu dengan wajah kesal. Padahal tadi ia sudah mewanti-wanti Yuli untuk bersabar dan tidak gegabah, agar keluarga Hani bersimpati kepada mereka."Kenyataannya memang seperti itu, Ai! Memangnya dia bisa hamil sendiri! Kamu kan, yang bikin dia hamil."Hani tersenyum miring mendengar perkataan mantan ibu mertua yang dulu begitu menyayanginya itu."Aneh sekali Anda ini, nyonya. Bukankah dulu Anda yang bilang kalau aku bukan mengandung bayi dari anakmu? Kenapa sekarang menyebut kalau ini anak Aiman?""Kenyataannya, itu memang anak Aiman bukan. Lihat wajahnya! Bahkan tidak ada garis wajahmu sama sekali! Dia sangat mirip dengan ayahnya!"