'Bruk'.
Pintu kamar Aiman tertutup, setelah tubuhnya menghilang di baliknya. Meninggalkan Ratih yang masih mematung, jari-jari tangannya saling memilin satu sama lain.
Aiman memejamkan matanya dengan kuat setelah berada di kamar. Punggungnya bersandar di balik pintu. Ia sebenarnya tak ingin menyakiti siapa pun, apalagi seorang wanita. Cukuplah dulu menyakiti Hani.
Namun, apalah daya kejadian dulu harus terulang. Ia menikahi wanita yang tak dicintainya.
Kalimat-kalimat penegasan itu pun harus diucapkannya lagi untuk kedua kalinya.
Dulu, di hari pertama pernikahannya dengan Hani, ia pun mengucapkan kalimat pedas yang pasti menyak
Waktu seakan berhenti berputar. Pandangan mereka bertemu. Adegan saling tatap penuh kebencian pun tak dapat terhindarkan. Hingga salah satu wanita, yang tak lain Arum maju mendekat."Han," panggilnya seraya tersenyum, lalu memeluk dan mencium Hani tanpa sungkan. "Bagaimana kabar kamu?"Hani berusaha balik tersenyum walau terasa kaku."Baik, Mbak, alhamdulillah," jawabnya pelan. "Mbak Arum periksa?""Oh, biasa terapi Ibu." Arum melirik wanita di atas kursi roda yang terus menatap Hani dan ibunya penuh kebencian. "Kamu mau periksa, Han?""Iya, Mbak, kontrol jahitan, sama …." Hani melirik sang ibu di sampingnya. Ia urung bilang ingin k
"Kenapa kamu tidak sekalian kasih lihat sama si Yuli, rupa anak ini, Han?" tanya Ratna saat mereka sampai di rumah."Biar dia sekalian kena serangan jantung. Selama ini kan dia nuduh kamu hamil sama laki-laki lain." Sang ibu terlihat sangat gemas dengan mantan besannya itu.Hani menarik napas dalam. Kecemasan terlihat jelas di matanya."Justru sekarang aku mulai tidak tenang, Bu. Aku yakin Aiman akan terus mengganggu kita lagi. Padahal kemarin-kemarin hidupku sudah tenang tanpa dia.""Biarkan saja dia tahu sekalian. Ibu malah maunya kita pamerkan sekalian Hanan di depan mereka, untuk membungkam mulut pedas mantan mertuamu itu.""Tidak, Bu.
Aiman menghentikan mobilnya di depan rumah yang sudah terlihat sepi dari luar. Waktu di jam tangannya memang sudah menunjukkan pukul delapan malam.Ingin ia mengetuk pintunya lalu masuk dan memeluk sang anak yang berada di dalam sana. Namun, ia cukup tahu diri. Kesalahannya selama ini memang sulit dimaafkan. Ia sudah menelantarkan sang anak.Yang bisa dilakukannya saat ini, hanya bisa mengawasi rumah mantan mertuanya itu dari jauh. Dengan begini saja sudah merasa dekat dengan sang anak.Hingga pagi, Aiman di sana. Di dalam mobilnya. Bahkan rasa bersalah membuatnya tak punya muka untuk sekadar memasuki halaman rumah itu.Aiman berharap seseorang keluar, membawa bayi itu, hingga ia bisa melihat
Pikiran tak fokus membawanya kembali ke rumah sang ibu, padahal tadi ia berniat pulang ke rumahnya.Tanpa menghiraukan sekeliling ia langsung masuk ke dalam kamar. Mungkin orang-orang sudah tidur, karena jam di tangannya sudah menunjukkan pukul 21.15.Lelaki itu langsung masuk kamar mandi, mengguyur dirinya mungkin bisa menghilangkan sedikit kepenatan hari ini. Cukup lama ia berkutat di dalam kamar kecil itu, hingga tubuhnya sudah merasa kedinginan.Aiman keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang membalut tubuh bagian bawahnya. Matanya memicing saat ia menyadari lampu kamar jadi temaran, padahal yakin tadi tak mematikan lampu.Tanpa mencurigai apa pun, lelaki itu langsung menuju lemari untuk
Sore hari, Hani yang sedang memberi susu bayinya terkejut karena ada ribut-ribut di depan rumahnya. Ada yang berteriak memanggil namanya dengan keras.Sang ibu yang sedang memasak tak kalah kaget, wanita setengah baya itu segera menuju ke halaman rumah di mana ada seseorang berteriak memanggil nama putrinya.Hani mengekori sang ibu dengan membawa serta sang bayi dalam gendongan.Mereka semakin kaget saat sampai di depan rumah terlihat seorang wanita duduk di kursi roda, ada juga wanita lainnya juga gadis kecil yang menemani."Yuli?" gumam Ratna dengan heran, melihat mantan besannya datang sambil berteriak-teriak. "Mau apa kamu ke sini?"
"Ai!" teriak Yuli sembari mengetuk pintu, sesampainya di teras rumah anaknya. Wanita itu yakin kalau anaknya ada di dalam, karena mobilnya terparkir di garasi.Cukup lama Aiman datang membuka pintu. Ia muncul dengan tubuh basah keringat, hingga kaos oblongnya begitu lengket dan mencetak tubuh atletis berkat latihan rutinnya.Rambut yang basah, tubuh atletis yang terpampang jelas, membuat mata Ratih seolah mau loncat dari rongganya.Wanita itu bahkan tak melepaskan tatapan dari lelaki tersebut sedetik pun, hingga membuat Aiman bergidik ngeri."Lama banget bukanya, Ai!" ucap Yuli ketus seraya menyuruh Aiman menyingkir dari pintu.
Semua mata terbelalak tak percaya melihat apa yang baru Aiman lakukan. Terlebih Hani. Lelaki itu dengan lancangnya merangkul dan mencium dirinya, sesuatu yang tak pernah dilakukannya dulu sewaktu mereka masih terikat suami istri.Jangankan orang lain, Aiman sendiri kaget dengan apa yang baru ia lakukan. Saking senangnya bisa memeluk sang anak, ia tak dapat mengendalikan dirinya.Aiman sangat bahagia bisa memeluk makhluk kecil yang begitu mirip dirinya. Ia juga terharu, Hani mau mengandung dan melahirkan anak hasil perbuatannya, padahal ia tak ada kontribusi apa pun, sebagai ayah sang anak.Kalau Hani mau, ia bisa saja menggugurkan bayi itu sejak awal. Karena kehadirannya juga bukan atas kemauannya.
"Kenapa kemarin, Ayah, memberi izin Aiman untuk menemui Hanan, sih?" protes Hani sore ini. Sang ayah yang sedang mengajak main sang cucu menoleh sebentar. "Iya, padahal usir aja dia sekalian! Ngapain disuruh masuk? Sebel Ibu sama dia. Gak tahu malu! Sekarang ngaku-ngaku Hanan anaknya. Kemarin waktu Hani sama Hanan kristis, dia ke mana? Padahal dia janji mau bertanggung jawab. Laki-laki itu kan, yang dipegang omongannya." Ratna mengomel panjang lebar dengan ekspresi sangat kesal. "Dia sama ibunya sama-sama menyebalkan. Nyesel Ibu nikahin Hani sama dia dulu. Nyesel besanan sama si Yuli mulut rombeng." Ratna terus saja menceracau. Sementara, Dery menarik napas panjang seraya menyerahkan bayi Hanan ke pangkuan Hani.
Hani berdiri mematung, ujung rambutnya dimainkan angin nakal di taman kota, sore ini. Di depannya, berdiri tak kalah kaku seorang lelaki dengan topi di kepalanya. Jarak mereka hanya dua meteran.Beberapa waktu berselang, mereka hanya saling tatap dalam kekakuan. Entah apa yang harus dilakukan. Hingga …."Sayang, dapat popcorn-nya?" Seorang lelaki lain muncul di belakang Hani menggendong anak lelaki kecil."Mas, mana popcorn-nya? Bayi kita sudah tak sabar, nanti dia ileran, lho." Seorang wanita lain juga muncul di belakang lelaki bertopi.Empat orang dewasa, berdiri kaku, dengan pandangan saling menatap tajam.Hening. Tak
Mengertilah Aiman sekarang, kenapa sejak pagi sang istri mendiamkannya. Membuat kepalanya serasa mau pecah. Memikirkan apa gerangan salahnya.Aiman masih menatap benda kecil pipih bergaris dua merah di telapak tangannya, sebelum melempar bunga di tangan ke atas sofa ruang tamu. Kemudian berlari menyusul sang istri yang sudah masuk meninggalkannya.Ditangkapnya tubuh sang istri, kemudian dibopong dan dibawa berputar-putar, untuk meluapkan rasa bahagia."Sayang ...kamu hamil lagi?" tanyanya sambil membawa tubuh Hani dalam bopongan berputar-putar.Hani memekik, seraya melingkarkan kedua tangan di leher sang suami."Mas, apaan sih kamu?
Sebulan berlalu ….Keluarga kecil itu, baru saja keluar dari RSJ tempat Sri dirawat. Mereka memang mengagendakan kunjungan rutin ke sana, untuk mengetahui perkembangan ibu dari sang kakak itu.Aiman sudah bersumpah akan mengobati wanita itu sampai sembuh. Bila nanti sudah benar-benar sembuh, ia juga akan menampung wanita itu. Akan menganggap Sri sebagai ibunya sendiri, sebagai pengganti Yuli. Itu dia lakukan sebagai bentuk penebusan dosa orang tuanya di masa lalu. Semoga dengan begitu, ayah, ibu, dan kakaknya tenang di alam sana.Tangan Aiman terjulur ingin membuka pintu mobil, saat seseorang memanggilnya. Semua menoleh ke asal suara. Tampak seorang lelaki berkacamata dan seorang gadis kecil di sana.
Jam tiga dini hari, Hani terbangun dengan kepala pusing. Wanita itu juga belum lama memejamkan mata. Ia menemani dulu sang suami mengisi perut dan mendengarkan semua ceritanya.Suara gumaman pelan terdengar dari sampingnya berbaring. Dipaksanya bola mata untuk terbuka karena penasaran dengan suara yang didengarnya.Suara itu ternyata keluar dari mulut Aiman yang tubuhnya menggigil, tetapi matanya terpejam. Hani segera bangkit, duduk di sebelah tubuh suaminya yang masih terbaring. Wanita itu menempelkan punggung tangannya di kening sang suami.Hani terperanjat, karena suhu tubuh itu begitu tinggi. Tubuh Aiman sangat panas. Pantaslah lelaki itu begitu menggigil.Hani segera beranjak ke dapur me
Aiman melangkah gontai mendekati tubuh yang meringkuk dan bersimbah darah, diiringi tatapan semua orang yang menyaksikan. Tubuh lelaki itu langsung meluruh dengan lemah tepat di sisi tubuh yang merintih itu.Tatapan nanar ia tujukan pada wajah pucat yang terus merintih, dan memegangi perutnya yang terus mengeluarkan darah. Ada dua luka di tubuh Arum. Satu di kaki, mungkin polisi menembaknya untuk melumpuhkannya, agar tidak kabur. Satu lagi di perut, karena wanita itu melawan, dan malah menyandera warga. Anak kecil pula. Mengancam dengan senjata tajam. Hingga akhirnya polisi harus menyarangkan lagi timah panas di perutnya.Semua warga yang menyaksikan tak ada yang bersuara. Mereka diam bahkan menahan napas. Semua penasaran drama apa yang akan terjadi selanjutnya antara dua bersaudara itu.
Hani dijemput orang tuanya, mereka pulang setelah Hanan membaik. Sementara Aiman kembali ke tempat semula. Mungkin jasad sang ibu sudah dibawa ke rumah sakit. Namun, ia ingin mengurus Sri, dan mengetahui sejauh mana pencarian Arum.Aiman tak menyangka, keluarganya akan hancur seperti ini. Arum yang berubah kalap setelah mengetahui kisah hidupnya. Lalu ada wanita bernama Sri, yang menderita sekian lama, karena keputusan sang ayah di masa lalu. Hanan yang menjadi korban balas dendam Arum, dan terakhir sang ibu yang harus meninggal dengan tragis, di tangan anak yang sudah dibesarkan sejak bayi.Sungguh semua terjadi begitu cepat, di saat ia seharusnya tengah menikmati bulan madu setelah berhasil membawa wanita yang dicintainya dalam pernikahan kedua kalinya.S
Dengan tangan gemetar, Aiman mengemudikan mobil keluar dari perkampungan itu mencari klinik terdekat. Di sampingnya, Hani terus menangis mendekap sang anak yang kondisinya mengkhawatirkan.Hanan demam tinggi, tubuhnya kejang-kejang, matanya berputar ke atas sejak tadi. Entah apa yang terjadi, mungkin ia ketakutan dan trauma dengan semua yang terjadi."Hanan, bertahanlah sayang. Ada mama di sini. Kita ke dokter, ya. Anak mama pasti kuat. Nanti kita pulang sayang. Kita berkumpul lagi." Hani terus menceracau di antara tangisnya yang terus berderai.Aiman membelokkan mobil ke arah klinik kecil terdekat. Keadaan lelaki itu sudah tak dapat digambarkan seperti apa. Sangat kacau. Dengan wajah pucat, rambut acak-acakan, tubuh basah akibat memeluk jasad sang ibu yang
Hani memaksakan diri bangun walaupun tubuhnya masih terasa lemas tak bertulang. Tak dapat dipercaya, semua kejadian barusan terasa seperti mimpi. Ibu mertua yang nekat mendekati Arum. Mereka rebutan Hanan, sampai Arum mendorong Yuli hingga jatuh ke sungai dan terbawa arus.Hani berdiri lalu berjalan dengan hati yang kacau balau menghampiri Aiman yang masih bersimpuh di tengah jembatan dengan tubuh beku.Disentuhnya bahu lelaki tercinta yang hatinya pasti lebih kacau."Mas," panggil Hani serak seraya ikut bersimpuh memeluk Aiman dan Hanan. Mereka berpelukan di tengah jembatan kayu yang bergoyang-goyang. Jembatan kayu yang dijadikan jembatan penyeberangan darurat oleh warga untuk mencapai kampung di seberang sungai.
Yuli semakin mendekati Arum, hingga akhirnya kursi roda akan menabrak tubuh yang berdiri kaku itu.Sepersekian detik Arum tersadar dari keterpakuannya. Refleks ia menghindar agar tidak tertabrak. Namun, tangan Yuli berhasil meraih tubuh mungil Hanan.Arum semakin tersentak, ia pertahankan tubuh mungil yang kembali menjerit itu dengan sekuat tenaga. Sementara Yuli juga melakukan hal yang sama. Adegan saling rebut tak dapat terelakkan. Keduanya sama-sama mempertahankan tubuh mungil itu."Lepaskan, cucuku! Dia tidak bersalah, dia berhak hidup bahagia!" pekik Yuli dengan suara tertahan."Tidak akan! Aku tidak rela melihat kalian bahagia sementara aku dan ibuku menderita. Aku akan lenyapkan anak i