5 bulan kemudian…
Tak terasa sudah selama itu berlalu. Hari dimana ada luka yang timbul karena cinta. Dan selama itu juga Matthew berangsur-angsur menajalani kehidupan seperti biasa. Sejak saat itu ia tak mencoba menghubungi Fleur lagi dan menghapus kontak Fleur seminggu kemudian.
Sebulan awal ia masih terasa bagaikan orang mati namun terlihat hidup. Entahlah apa maksudnya yang jelas ia benar-benar mengenaskan. Sampai Carl kembali menjadi ibu bagai Matthew selama sebulan penuh. Datang pagi buta, membersihkan apartement Matthew, menyiapkan sarapan, ke kampus, kembali ke apartement saat siang untuk memberi Matthew makan siang, kembali lagi ke kampus, lalu kembali lagi ke aparement saat malam untuk memberikan makan malam untuk Matthew dan terakhir akan pulang saat Matthew tertidur pulas.
Hey, ayolah, bukankah mereka terlihat seperti pasangan – oh sudah cukup itu mengerikan.
Jangan tanya bagaimana dengan tugas kampus Matthew. Yap, tentusaja, semua akan beres saat seorang pria bernama Carl Hence masuk kedalam hidupmu. Sungguh sangat beruntung!
Kacamata antiradiasi melekat dan menggantung sempurna di hidung mancung Matthew. Ia tengah berkutat serius dengan laptopnya sedari tadi. Tangannya menari lancar di atas keyboard dan matanya meneliti dengan serius apa yang tengah terpampang di layar laptopnya tersebut.
Butuh waktu yang sangat lama untuk akhirnya ia menyelesaikan laporannya, padahal ia sudah mulai mengerjakannya 4 hari yang lalu dan baru selesai sekarang.
Ia melepaskan kacamatanya dan melakukan sedikit peregangan untuk merilekskan otot-otot badannya yang ikut kaku. Matthew kemudian mengambil kopi yang ia pesan beberapa jam yang lalu saat akan mulai mengerjakan tugas. “Sudah dingin” ucapnya setelah meneguk kopinya.
Matthew lalu melirik ponselnya untuk mengecek jam.
03.00 pagi.
Tak terasa hari sudah berganti. Hari ini juga merupakan deadline untuk tugas laporannya. Ia kembali menatap layar laptopnya, mengarahkan kursornya dan meng-klik sesuatu disana dan mengirimkan laporan miliknya. Selesai.
Dirasa semua sudah beres, ia berpindah dari tempat duduknya menuju ke kamarnya. Kelas hari ini hanya ada disiang hari, sangat cukup untuk ia beristirahat sejenak. Hah, sungguh, kuliah di jurusan kedokteran begitu melelahkan dan juga menyenangkan.
(.)
“Bagaimana kuliahmu?” suara wanita paruh baya itu terdengar dalam panggilan yang tengah dalam mode loudspeaker. Aksen british yang begitu kental dalam bahasa koreanya
“Ya seperti biasa. Aku tengah sibuk dengan kelulusanku sebelum koas”
Seperti biasa, kebiasaan rutin sang ibu untuk menelpon dan menanyakan kabar anaknya seperti yang tengah di lakukan Ny. Dwyne Flint.
“Jangan sampai lupa untuk makan, ibu tak mau kau menjadi mayat hidup seperti tempo hari.”
Terkekeh. Matthew ingat ketika ia dalam mode suram akibat patah hati. Ia sampai tak menjawab panggilan dari ibunya selama 2 minggu dan baru akan ia hubungi balik di minggu selanjutnya. Ibu mana yang tak khawatir jika anaknya tiba-tiba menghilang tak bisa di hubungi dalam 2 minggu, lalu tiba-tiba sang anak kembali menghubunginya dengan keadaan kehilangan banyak berat badan. Mengingat itu membuat Dwyne ingin segera menyusul anaknya dan menampar gadis yang menyakiti sang buah hati.
Cukup lama ibu dan anak itu bercengkrama melalu panggilan telepon untuk melepas rindu, lalu kemudian sang ibu izin untuk mengakhiri panggilan di karenakan ada tamu yang datang ke butik.
Setelah panggilan di akhiri, Matthew kembali berkutat dengan laptopnya untuk menyelesaikan skripsinya. Setelah skripsi ini, ia akan wisuda untuk gelar S1 nya, lalu di lanjutkan dengan koas semester depannya. Cukup rumit mendapat gelar dokter, namun pasti selalu saja ada hal yang menyenangkan terjadi dalam dunia kedokteran.
(.)
Gadis dengan raut wajah Asia itu menatap pantulan dirinya di cermin besar yang tergantung dekat meja riasnya. Ia sibuk membalikkan tubuh kecilnya ke kann dan ke kiri guna meneliti tak ada yang kurang pada dress berwarna merah jambu hasil jahitannya sendiri.
Sempurna.pikirnya sambil merekahkan senyum manisnya. Sangat manis.
Ia lalu beralih ke meja riasnya. Mencermati jenis make up apa saja yang ia punya selain lipstick dan bedak pemberian Madam Altha untuknya.
“Nelle..”
Wanita berbadan sedikit gemuk dengan pakaian birawatinya tengah berdiri di ambang pintu kamar yang di biarkan terbuka.
“Madam..” sahut gadis itu.
“Wah, biar ku lihat, kau memakai baju baru?”
Pertanyaan itu sontak membuat gadis itu tersenyum malu dan mengangguk pelan. “Kau menjahitnya lagi?” tanya lagi Madam Altha yang dijawab oleh anggukan oleh gadis itu.
Senyum bangga terukir di wajah Madam Altha. Lynelle Chloe, benar-benar anak yang mandiri. Kebanyakan dress miliknya merupakan hasil dari jahitannya sendiri, sangat pandai. Tak hanya menjahit miliknya, beberapa anak-anak juga ibu-ibu di desa ini meminta Lynelle untuk membuatkan mereka pakaian dan hal itu dengan senang hati di iyakan oleh Lynelle.
“Madam, aku tak punya riasan lain selain bedak dan lipstick yang Madam berikan seminggu kemarin” ucapnya Nelle dengan sedikit semberut. Wanita berusia 36 tahun itu menghampiri Lynelle dan mengelus rambut kecoklatan miliknya. “Tak apa, hanya berdandan seadanya kau tetap menawan.”
Ia kemudian memutar badan Lyelle yang tadinya membelakangi meja rias nya menjadi menghadap ke meja rias yang juga memiliki cermin itu. Madam Altha mengambil sisir dan mulai menyisir rambut panjang Lynelle. “Tak perlu berias yang berlebihan, kita ke kota hanya untuk menghadiri acara gereja. Lagipula kau sudah sangat menawan dengan dress cantikmu ini”
“Bukankah orang-orang di kota akan berias ketika mereka menghadiri acara?” ucap Lynelle sambil menatap Madam Altha dari cermin meja riasnya. “Tidak juga..” balas Madam Altha.
“Selesai.” Madam Altha selesai mengikat model kepang rambut panjang Lynelle. Ia kemudian menatap pantulan Lynelle dari cermin, memegang pudak sempit gadis itu dan sedikit membukung untuk mensejajarkan kepalanya dengan Lynelle dari samping.
“Tuhan tak melihat umatnya berdasarkan riasan mereka sayang.” Jeda sesaat.
“Tak masalah jika kau seadanya, yang terpenting adalah..” Madam Altha menggemam tangan mungil Lynelle dan mengarahkannya untuk memegang dada gadis itu lalu berkata “hatimu..”
“Selama hatimu benar-benar tulus, Tuhan pasti tahu kau yang paling terindah di antara semuannya.” Suara lembut dermawan milik Madam Altha membuat Lynelle tak jadi berkecil hati. Gadis itu tersenyum dan membalikkan badanya memeluk Madam Altha dengan sayang.
Sungguh, ia sangat menyayangi Madam Atlha dan tak mau kehilangannya.
“Marilah. Tuan Josep sudah siap di depan. Kita akan terlambat jika tak bergegas.”
“Ah, baiklah. Aku mengambil tas kecilku dulu.”Lynelle bergegas mengambil tas rajut selempang berukuran sedang dengan warna yang senada dengan dress miliknya. Memasukkan barang penting dan sebuak buku catatan kecil dan tan tak lupa dengan bucket hat berwarna abu-abu.
“Nelle, jangan lupa pakai coat dan dan sarung tanganmu. Cuaca sedang hujan akhir-akhir ini” ucap Madam Altha yang kini sudah berada di runag tengah.”
“Iya madam”
“Oh dan jangan lupa pakai boot mu dan kaos kaki.”Huh, merepotkan.
Menggurut dalam hati, itu yang dirasakan Lynelle. Sama saja ia tak bisa memperlihatkan Dress miliknya jika tertutup oleh coat yang sedikit kebesaran untuknya. “Saja bohong..” gerutuhnya pelan.
Ia kemudian bergegas untuk keluar rumah karena Madam Altha sudah memanggilnya berkali-kali. Secepatnya ia keluar rumah, tak lupa menguncinya dan masuk kedalam mobil lalu berangkat ke kota.
Ini bukan kali pertamanya ke kota. Namun tetap saja, ia merasa sedikit gugup tiap menuju ke kota.
(.)
“Matthew Flint.” Salah seorang professor memanggil Matthew yang baru saja keluar dari perpusatakaan kampus.
“Ya Prof?” balasnya setelah menghampiri sang dosen yang cukup dekat dengannya.
“Kau ada urusan setelah ini?” Sedikit menimbang terlebih dahulu, memikirkan apa saja yang akan ia lakukan setelah ini. Mungkin hanya perlu melanjutkan skripsi nya yang sedikit lagi akan beres. Mungkin bisa di undur sedikit pikirnya. “Tak ada. Ada apa Prof?”
“Ah, aku ada acara gereja sore ini. Bisa kah kau menemaniku ke London? Aku tak dapat menyetir terlalu jauh, hahahaha” ya cukup wajar, mengingat sang professor telah berusia 63 tahun,cukup melelahkan jika pria tua ini harus menyetir ke London yang menempuh sekitar sejam lebih.
“Oh tentu saja. Aku akan bersiap-siap dulu, lalu akan ku jemput di rumah Professor, tenang saja”
Sangat baik dan sopan. Professor itu memberi anggukan dan menepuk pundak Matthew sebelum akhirnya beranjak pergi dari sana.
Selanjutnya Matthew bergegas kembali ke apartement untuk membersihkan diri sebelum berangkat ke London.
(.)
Westminster Catherdal merupakan salah satu gereja yang cukup terkenal di London tepatnya di kawasan Victoria St. Sore itu keadaan gereja cukup ramai dan kebanyakan dari mereka yang menghadiri adalah yang menggunakan kain penutup di kepala mereka dengan ukuran yang sedang hingga besar sampai menutup sebagian badan mereka. Itu untuk perempuan dan untuk lelaki ada beberapa dari mereka yang menggunakan pakaian biasa, ada juga yang menggunakan dress panjang hingga mata kaki.
Madam Altha juga Lynelle sudah tiba sekitar 30 menit yang lalu. Kini mereka tengah membantu birawati lain untuk menyiapkan makanan juga di bantu oleh beberapa perempuan dengan kain yang menutupi kepala mereka.
Ini merupakan pemandangan baru bagi Lynelle. Ia jadi selalu mencuri-curi pandang untuk memperhatikan para gadis-gadis itu yang mungkin lebih tua dari pada dirinya?
“Ah biar ku bantu.” Kata salah satu dari mereka. Lynelle baru saja akan mengangkat kue-kue dalam wadah berukuran besar yang nantinya akan di bagi kedalam wadah yang lebih kecil untuk di tata lalu di sajikan.
“Aku baru pertama kali melihatmu, siapa namamu?” tanya gadis itu sambil membatu Lynelle.
“Ah,a-aku Lynelle. Lynelle Chloe. Panggil Nelle saja”
“Salam kenal. Aku Almeera” gadis bernama Almeera itu mengulurkan tangannya yang di sambut dan di jabat oleh Lynelle.“Jadi, biar ku tanya lagi, Ini pertama kalinya kau kesini?”Almeera kembali mengulang pertanyaannya untuk Lynelle. Gadis berwajah Arab itu senantiasa memberikan senyumnya kepada Lynelle yang membuat Nelle merasa tak terlalu canggung.
“Eum ya, tapi ini bukan pertama kalinya aku ke kota. Namun tetap saja, eum aku sedikit,- gugup?” ucapnya lalu terkekeh.
“Ah, biar ku beri tahu, ini kegiatan yang biasa di lakukan gereja saat umat muslim sepertiku tengah melakukan puasa. Gereja akan selalu mengadakan bulan puasa setiap bulannya.” Jelas AlmeeraAh seperti itu. Ucapnya dalam hati sembari mengangguk.
Hal seperti ini bukan hanya di lakukan di Wistminster Catherdal. Namun Gereja St. James juga melakukan kegiatan serupa. Tak hanya di hadiri kaum muslim, beberapa pemeluk agama lain juga datang untuk ikut sekaligus merasakan kebersamaan toleransi yang luar biasa ini.
Begitulah kegiatan para perempuan di salah satu bilik dalam gereja.
Sementara itu. Matthew dan juga sang professor baru tiba di lokasi yang sama. Sang professor keluar terlebih dahulu kemudian diikuti oleh Matthew dibelakangnya. “Hey Simon!” seorang pastor yang tadinya tengah bercengkrama dengan sekumpulan pria di sana. Ia langsung menyapa begitu menyadari kedatangan sang professor bersama dengan Matthew.
“Haha, Philip.” Sapaan khas pria tua. Mereka berpelukan sejenak lalu kembali saling menanyakan kabar masing-masing.
“Lalu, siapa pria muda yang tampan ini Simon?”
Tentu saja pertanyaan itu di tujukan oleh sosok pria bernama Matthew Flint. “Oh dia salah satu mahasiswa terbaikku. Hahaha” mungkin terdengar berlebihan, namun ya, begitu adanya.
“Oh, Philip. Kenalkan, ini Matthew Flint, salah satu mahasiswa terbaikku. Dan Matthew, ini Pastor Philip kerabatku sejak masa sekolah” jelas professor Simon.
“Halo anak muda. Aku dulu setampan dirimu ketika masih muda. Benarkan Simon?”
Lolucon khas orangtua yang membuat Matthew terkekeh. Itu sedikit agak lucu namun ia juga sedikit tersipu karena di katakan tampan. “Ah terima kasih pastor”
Para tamu sore itu tengah sibuk berbicara dengan rekan atau kerabat mereka masing-masing. Saling menceriakan peristiwa terkini, saling bertukar pengalaman dan lainnya.
Matthew tengah menyimak bagaimana pria dengan usia yang berbeda-beda di hadapannya ini saling bertukar opini tentang topic pembahasan mereka. Kemudian secara tak sadar berganti menjadi lolucon yang membuatnya ikut tertawa mendengar kisah itu.
Tak terasa waktupun berlalu dengan cepat. Sudah pukul 05.30 sore, yang berarti sekitar 30 menit lagi acara akan di mulai.
Mereka yang berada di luar gereja, mulai memasuki gerja dan duduk di kursi yang di sediakan. Lalu para perempuan yang bertugas untuk menyiapkan makanan tadi, mulai keluar bersama dengan makanan yang akan di hidangkan.
Tepat pukul 06.05, umat muslim mulai melakukan buka puasa yang di ikuti oleh hadirin lainnya dengan menyantap makanan yang tersedia. Suasana begitu harmonis yang damai. Melihat begitu tingginya toleransi ini, memberi kehangatan tersendiri bagi mereka yang hadir di sana.
Hari sudah gelap bertepatan dengan acara yang juga sudah selesai. Namun beberapa dari mereka masih tinggal untuk membantu membereskan gereja atau bahkan kembali melanjutkan obrolan yang tertunda.
Matthew memilih untuk duduk di salah satu kursi panjang di bawah pohon dekat gereja tersebut sementara professor Simon masih melanjutkan obrolan dengan kerabatnya.
“Aww.. sstt..”
Suara meringis itu terdengan oleh Matthew, ia pun berbalik ke sumber suara dan mendapatkan seorang gadis tengah menunduk sambil menatap telapak tangan kirinya.
Apakah dia terluka?
Gadis itu kembali meringis perih yang membuat Matthew memberanikan diri menyapanya. “Hey dik, kau tak apa?”
Gadis dengan dress berwarna merah jambu itu berbalik dan menatap ke arah Matthew yang duduk di belakangnya yang terhalangi pohon dengan mata berkaca-kaca. Terlihat seperti menahan sakit.
“A-aku terjatuh saat membantu Madam membereskan gereja di dalam” ucapnya sambil terisak. Matthew kemudian mendekati sang gadis, “Biar kulihat” ucapnya. Namun gadis itu terlihat sedikit ketakutan. Matthew sedikit memaklumi itu, ia termasuk orang asing untuk si gadis dengan dress pink ini.
“Tak perlu takut, aku calon dokter” ucapnya.
Sedikit percaya, gadis itu memperlihatkan telapak tangannya yang tergores. Matthew juga melihat lutut sang gadis ikut terluka juga. “Tunggu ya, aku akan mengambil obat di mobil” kalimat dari Matthew mendapat anggukan singkat dari gadis itu.
Ia lalu berjalan menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari sana dan kembali dengan sebuah kotak obat yang sengaja ia simpan di dalam mobilnya untuk berjaga-jaga. Matthew berlutut di hadapan gadis tersebut, meminta izin terlebih dahulu untuk mengangkat sedikit dressnya agar tidak menutupi luka di lututnya.
Ia membersihkan luka-luka tersebut dengan alcohol yang membuat si gadis kembali meringis dan menangis menahan perih. Hah, ia tak melakukan hal yang salah tapi Matthew merasa bersalah karena membuat gadis kecil itu menangis menahan perih.
Setelah di rasa cukup, ia mengolehkan obat merah disana, lalu meniupnya. “Sudah.” Ucapnya ketika sudah selelsai mengobati luka si gadis.
“Hey tak usah menangis. Lukanya biarkan saja sampai mengering. Jangan di kelupas, karena itu akan membuatnya berbekas dan agak susah hilangnya” pintah Matthew yang lagi-lagi hanya di jawab dengan anggukan oleh sang gadis.
Menggemaskan.
“Terima kasih, kak” ucap gadis itu.
Entahlah, hanya dengar suara lembut sang gadis, Matthew merasa sedikit salah tingkah? Ia berdehem lalu menjawab “sama-sama”
Hening kembali menyelimuti mereka.
Tak ada satupun yang berani membuka suara sampai sang gadis kembali berkata “Lynelle Chloe. Panggil saja Nelle” ucapnya sambil mengulurkan tangannya yang tak terluka. Matthew terlebih dahulu menatap tangan kurus kecil milik Lynelle sebelum menjabat uluran tangan gadis itu “Matthew Flint”
Tangannya sangat lembut. Ucap Matthew dalam hati.
Aroma manis juga menyeruak dari tubuh Lynelle. Begitu memabukkan dan seperti tak asing?. Oh astaga ada apa dengan Matthew? Ia kembali berdehem untuk tak membuat canggung suasanan. Atau hanya dirinya saja yang merasa canggung?
Setelah perkenalan singkat itu, mereka kembali membisu. Matthew yang mendadak merasa tak karuan pun memilih diam karena sibuk bertanya pada diri sendiri, ada apa denganku?
“Kak aku masuk dulu, mungkin Madam tengah mencariku” ucap Lynelle secara tiba-tiba yang membuat Matthew sedikit tersentak karenanya. “O-oh, ya. T-tentu saja” ucapnya terbata-bata. Mengapa juga aku gugup?ia kembali merutuki dirinya yang mendadak aneh ini.
Lynelle pun beranjak pergi dan masuk kedalam gereja. Matthew merasa sedikit lega, entah karena apa. Aroma Lynelle pun masih berbekas padahal tak ada seorangpun disana.
Pertemuan pertama yang gila. Mana mungkin secepat itu menyukai seseorang yang baru? Ini bahkan belum lama sejak ia putus dengan Fleur. Ada-ada saja.
“Matthew, ayo kita pulang”
Entah sejak kapan Professor Simon sudah berada di samping mobilnya. Namun itu cukup membuat Matthew untuk menyadarkan dirinya yang sungguh sangat aneh. Faktor ditinggalkan pasangan dengan mengenaskan mungkin?
Pria bertubuh atletis itu terlihat sibuk memindahkan barang-barang bawaan dari tas besar itu. Ia terlihat terburu-buru hingga rasanya ingin mengamuk saja. Dia ada janji pukul 9 pagi ini namun ia kedatangan tamu semalam—terlalu malam, disaat orang tengah tidur—yang berakibat ia harus membereskan semuanya pagi ini. Beres Ia lalu kembali berkutat dengan perlengkapannya yang akan di bawa pagi ini. Oke,semuanya sudah beres. Ia siap melaju sekarang. “Yem?” panggilnya. Namun ia tak mendengar sahutan atas panggilannya. Ah, hampir lupa, wanita itu mengatakan bahwa akan berbelanja kebutuhan dapur dan lainnya. Namun ini sudah sekitar sejam lebih namun mengapa tak kembali? Tak mau ambil pusing, pria itu hanya mengangkat bahunya acuh tak acuh dan beranggapan ada banyak barang yang mungkin ia harus beli, makanya lama. Ia melangkah keluar rumah dan memasukkan barang-barangnya ke dalam mobil bagian penumpang belakang, lalu hendak mengirimkan pesan si
Sebuah mobil Mercedes Benz AMG G65 dengan dua pria tampan di dalamnya tengah menyusuri salah satu kawasan di pinggiran kota yang terkenal dengan suasana rimbun dan sejuknya. Matthew beberapa kali terpaku saat mereka melewati beberapa perumahan yang terlihat sangat rimbun, membuat pikiran seketika terasa lebih tenang dari sebelumnya. Lebih mengejutkan saat Matthew melihat patung seekor hiu besar yang terlihat menyelam ke salah satu atap rumah bertingkat itu. “Hey kau terlihat seperti bocah polos yang kuculik dan tengah memperhatikan dunia luar” ucap Carl yang sesekali melirik Matthew karena focus menyetir. “Apakah ada orang di dalam sana?” tanya Matthew penuh ingin tahu.“Dimana?”“Di rumah sana, yang ada patung hiu menerobos atap rumah itu. Apa ada orang di dalam sana?” Astaga. Carl merasa bodoh meladeni Matthew, “Mana ku tahu, kau pikir aku yang membuatnya?” balas Carl cuek. Matthew menatapnya sinis kemudian bergumam kecil “Santai saja
Lynelle Chloe. Gadis berdarah asia itu terlihat begitu ramah dan ceria setiap saatnya. Ia selalu mendapat pujian dari seluruh warga desa dan menjadi anak kesayangan Madam Altha. Namun siapa sangka, gadis itu telah melalui banyak hal yang begitu berat di usia nya yang masih sangat muda. Mulai menginjak tanah eropa di usia 8 tahu membuat Lynelle kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru yang benar-benar berbeda dari tempat ia sebelumnya. Lynelle kecil tinggal di sebuah rumah sederhana di desa hanya berdua bersama ibunya. Nuansa asing ini membuat Lynelle kecil lebih banyak menghabiskan waktu bersama sang ibu yang setiap harinya bekerja sebagai penjahit di desa tersebut. Itu sebabnya bakat merancang busana Lynelle merupakan turunan dari ibunya. “Lynelle..” suara lembut itu menyapa Lynelle kecil yang tengah duduk di sofa kecil tepat di depan sang ibu bersama dengan boneka di tangannya. “Iya bu?” jawab Lynelle kecil dengan suara menggemaska
Waktu masih menunjukkan pukul 6 lewat seperempat namun Matthew sudah siap dari 20 menit yang lalu dengan kemeja navy dan celana kain hitam yang melekat sempurna di tubuh proposionalnya. Tak lupa dengan dasi bergaris yang berwarna sepadan dengan kemejanya yang sedari tadi ia pastikan melekat sempurna di antar kerah kemejanya. Sama halnya dengan pantofel hitam yang ia kenakan, di pastikan untuk tetap mengkilat di bawah sana. Acara kelulusannya akan di mulai setengah delapan namun ia telalu cepat mempersiapkan diri. Bahkan cermin panjang yang bersandar di samping tempat tidurnya sudah bosan melihatnya menampakkan pantulan dirinya untuk ke sekian kalinya. Yang benar saja. Ia terlalu antusias sampai-sampai ujung jemarinya seperti habis didiamkan dalam lemari pendingin cukup lama. Dan jangan lupakan, ia juga berulang kali merapalkan kembali sebuah pidato singkat yang sebenarnya sudah ia ulang-ulangi dari sehari sebelumnya. Sangat luar biasa persiap
Hari ini sudah terhitung seminggu saat Lynelle memutuskan untuk membantu Tuan Ethan—ayah Noah—bekerja di toko roti mereka. Anggap saja ini sebagai usahanya selain bisa mendapat sedikit penghasilan, agar pikirannya tentang pria itu juga sedikit terbayarkan. Toko biasa di buka pukul 7 pagi tepat, namun Lynelle sengaja datang sejam lebih cepat untuk membantu Tuan Ethan bersama sang istri membersihkan toko serta mulai memanggang roti. “Oh akan ku usahakan datang lebih pagi lagi tuan Ethan” ucpanya. Ia lalu mengambil alih donat yang sudah matang dengan lumuran krim vanilla dan kacang almound di atasnya. “Kau sudah datang sejam lebih awal dari pada karyawan biasanya, itu sudah patut di ancungi jempol nona Lynelle, hahaha” tawa khas orangtuanya memenuhi seluruh dapur hingga ke luar. Lynelle tersenyum. Sedang isri tuan Ethan, nyonya Alda baru saja tiba di toko. Ia datang dengan bermacam belanjaan dan sangat banyak. “Ethan!! Eth—Oh Lynelle tolong bantu aku, sepertinya
Sudah 2 bulan Matthew berada di Korea. Ia kira liburan kali ini akan berlangsung menyenangkan sesuai dengan keinginannya beberapa waktu lalu saat mengunjungi beberapa rumah sakit bersama Carl. Namun ternyata kenyataannya berbeda deNgan ekspetasinya. Sudah ada 2 minggu keadaan ayahnya naik turun. Entahlah, perasaan sebelum-sebelumnya Tuan Flint terlihat makin membaik. Buktinya, dokter bahkan mengizinkan sang ayah untuk bepergian selama 2 minggu di Jeju. Namun beberapa hari setelah itu, kondisinya mendadak menurun. Ia tengah menikmati semilir angin sejuk di sore hari sembari membaca novel dengan tenangnya. Pagi tadi ia menghadiri beberapa acara dan pertemuan penting untuk menggantikan sang ayah sama seperti akhir-akhir ini. Dugaan awalnya kegiatannya hari ini akan memakan waktu cukup lama, tapi ternyata tidak, sehingga ia gunakan untuk sedikit me time sebelum kembali ke rumah sakit untuk bergantian dengan sang ibu, Dwyne menjaga tuan Flint. Kesunyian i
Kehidupan koas yang berjalan seminggu lebih ini terasa seakan-akan mereka tengah menjadi dokter sungguhan. Di saat orang-orang yang tengah terlelap di malam hari, mereka yang tengah berjaga shift malam harus tetap terjaga untuk mengamati para pasien. Tak jarang juga beberapa dari mareka yang mencuri-curi waktu untuk memejamkan mata barang semenit. Pukul 12 kurang 15 menit, Benneth tengah memasuki salah satu kamar pasien yang baru masuk sekitar 5 jam yang lalu. Pasien yang tengah menggunakan alat bantu pernapasan itu mendadak terserang sesak napas saat tengah membantu membersihkan gereja tua. Benneth dengan teliti memeriksa sang pasien dan mengecek Elektrokardiograf atau EKG yang sengaja di pasang kepada pasien. “Ah, Selamat malam dokter” seseorang yang baru masuk menyapa Benneth yang kini tengah memeriksa cairan infus pasien. Suara lembut itu membuatnya terjekut dan langsung berbalik takut-takut tidak ada seseorang di sana seperti kejadian-kejadian mistis yang sering
Matthew berjalan dengan gontai memasuki apartementnya. Akhir-akhir ini lebih menghabiskan banyak wkatu di rumah sakit, bahkan sempat tak pulang selama 3 hari. Tanpa menyalakan lampu, ia berjalan dengan begitu lemas menuju kamar tidurnya. Sungguh yang ia inginkan saat ini adalah istirahat.Ia baru magang namun kesibukkan berasa ia sudah menjabat jadi dokter. Bagaimana jika ia menjadi dokter sungguhan? Apakah akan ada yang mau menjadi pendamping hidupnya jika ia sesibuk ini?Tunggu, apa saja yang baru ia pikirkan?Dengan sisa tenaga yang ada, ia berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya dengan air hangat. Sungguh jika bukan aktifitasnya di rumah sakit, ia lebih memilih tak akan mandi dan langsung tidur. Namun ia pulang dengan berbagai macam virus yang menempel di badannya, sebab itu ia perlu lekas mandi setelah itu bisa beristirahat.(.)“Madam, apakah aku bepergian cukup lama?” tanya Lynelle yang baru
2 tahun kemudian...Rutinitas Lynelle kembali bertambah setelah menjadi istri dari seorang dokter dan pembisnis ternama, Matthew Flint, membuat dirinya sedikit lebih repot dari biasanya. Jam kecil di atas nakas masih menunjukkan pukul 5 pagi namun Lynelle harus memaksakan dirinya untuk bangun dan mulai menyibukkan dirinya.Dimulai dengan membereskan rumah, mencuci piring dan pakaian. Begitu jam menunjukkan pukul 6 pagi, Lynelle kembali ke kamar dan membangunkan Matthew untuk bersiap-siap berangkat kerja. Begitu Matthew sudah terbangun, Lynelle kembali menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.Bertepatan saat sarapan sudah selesai, Matthew sudah siap dengan pakaian formalnya dan kembali sibuk dengan ponselnya untuk melihat jadwal hari ini.“Kau akan pulang malam lagi?” tanya Lynelle,“Heum”Heum?Lynelle melihat ke arah Matthew yang masih sibuk dengan ponselnya. “Aku harus menunggumu atau tida
Disinilah Lynelle yang duduk berhadapan dengan Belva yang tengah meneguk cola-nya dengan begitu anggun sedang Matthew tengah memesan makanan untuk dirinya dan Lynelle. Lynelle berusaha mengedalikan ekspresinya namun tak bisa di pungkiri jika sampai detik ini ia masih merasa kesal dengan kehadiran Belva.Cih, perjalanan yang memakan waktu cukup lama apanya? ini tak sampai 30 enit dari apartementku dan lagi, KENAPA HARUS ADA WANITA INI?! Seperti itulah jeritan isi hati Lynelle yang tak bisa ia suarakan.Belva yang tahu jika Lynelle akan memberinya tatapan tajam, bersikap enteng dan tetap memberikan senyum manisnya sekalipun Lynelle tetap tak merubah ekspresinya.“Kenapa kau ada disini?” ucap Lynelle pada akhirnya. Ia sudah tak bisa menahannya dan kalimat itu sudah berada di ujung lidahnya jadi seklaian saja ia keluarkan.Alih-alih langsung menjawab, Belva terlebih dahulu memakan kentang gorengnya dan menyuap 1 gigitan besar burger kedal
Kedua insan itu saling menyalurkan kehangatan melalui dekapan erat mereka dan selimut tebal menutupi tubuh polos mereka tanpa sehelai benang pun. Lynelle mengelus pelan rambut hitam legam milik Matthew yang sudah mulai memanjang. Lynelle terkekeh begitu Matthew mengendus pada dadanya untuk mencari kehangatan.“Kau tidak akan bangun?” tanya Lynelle. Matthew hanya memberikan gumaman tidak sejelas lalu mengeratkan pelukannya.“Matthew, bolehkah aku bertanya?”Tak mendapatkan jawaban apapun dari Matthew, Lynelle kembali melanjutkan pertanyaannya. “Kemarin, saat makan siang dengan ibumu, beliau sempat berkata bahwa dia bukan ibu kandungmu” Lynelle menjilat bibirnya yang kering sembari memainkan rambut Matthew. Matthew sendiri pun masih tak berkomentar apapun membuatnya kembali berbicara, “Boleh aku tahu apa yang terjadi?”“Aku sepertinya belum tahu banyak tentangmu, jadi—““Mau ku cei
Matt_ofLy, dimana?myloveLYsedang di belakang panggungnanti kuhubungi lagi“Wah, sepertinya acara peluncurannya sangat ramai sampai-sampai dia sesibuk itu” ucap Matthew sembari menatap ponselnya dengan chat terakhir dari Lynelle di sana.Ia lalu beralih ke menu kontak dan tanpa ragu mencoba menghubungi seseorang disana.“’Allo”“Halo bu, apakah acaranya sudah mulai?”“Eum sebentar lagi, ibu sedang menuju kesana. Ada apa sayangku?”Matthew mengulum senyumnya sebentar. Tiba-tiba saja ia merasa malu tanpa sebab padahal ia sudah membicaraka soal ini dengan Dwyne jauh-jauh hari.“Bu, ingatkan..”“Ahahaha, tentu saja. Kau seantusias itu?”Matthew mengangguk walaupun ia tahu Dwyne tak bisa melihat gerakannya, “Tentu saja. Ini hal yan
Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 tengah malam dan Belva baru saja selesai dengan semua pekerjaanya. Rumah sakit sudah sepi pada jam seperti ini tentunya namun sebuah langkah sepatu membuat Belva membeku sejenak menatap pintu ruangannya yang tak tertutup menanti dengan was-was siapa yang berkeliaran di area ruangannya pada jam seperti ini.“Wajahmu tegang sekali” ucap seseorang yang berada di ambang pintu sana membuat Belva menghela napasnya yang sedari tadi ia tahan dengan lega.Jujur saja ia sedikit ketakutan karena banyak cerita-cerita mistis yang beredar akhir-akhir ini membuat bulu kuduknya merinding walaupun ia bisa terbilang sering pulang larut.“Ku pikir siapa, ternyata kau” balas Belva sembari sibuk membereskan barang-barangnya lalu menghampiri pria tersebut yang masih beridiri di posisi yang sama.“Kenapa kau masih ke sini?”“Kau bilang akan pulang lebih telat”“Kau benar-benar me
“Ck!”Decihan itu terdengar untuk kesekian kalinya membuat Lynelle akhirnya menyerah dan menatap malas ke arah pria yang sudah menginjak usia kepala 3 di hadapannya. Menampilkan ekpresi cemberut sejak kemarin membuat Lynelle bertanya-tanya apakah pria itu tak lelah memasang ekpresi seperti itu?Bayangkan saja bagaimana lelahnya mengerucutkan bibir selama 2 hari berturut-turut.“Hah!”Lagi, pria itu membuat suara-suara yang di sengaja agar membuat Lynelle peka dan atensi Lynelle tertuju padanya.“Kau tak lelah seperti itu?”“Tak tahu”Jangan lupa dengan balasan yang sama selama 2 hari setiap di ajak berkomunikasi. Lynelle memijat pelipisnya, kelakuan Matthew benar-benar membuatnya pening sejak kejadian dimana ia menggunakan ponsel Carl untuk berkomunikasi sejenak dengan sahabat-sahabatnya sekedar saling berkenalan dan berujung Lynelle mendapat banyak gombalan membuat Matthew merajuk b
“Lynelle..”“Kau tahu. Ia melakukan hal yang fatal sebab tak menerima kenyataan tersebut. Ia menculikku, melukaiku dengan begitu hebatnya sampai rasanya aku ingin mengutuk dunia setiap harinya. Aku ingin mengutuk langit yang terlihat cerah sedangkan aku kesulitan untuk bernapas bebas dalam penjara indah yang ia bangun”“Lynelle maafkan aku. Bukan seperti itu maksudku”“Lalu kau tahu yang paling lucu namun mampu membuatku merasa lebih mati dari sebelumnya saat ia melukaiku? Yaitu saat aku mencoba untuk menerima semua, berdamai dengan semua. Aku kehilangan janinku dan dia membuangku, memulangkanku setelah kejadian itu.” Lynelle memberikan senyum pahit di sela tangisannya, “Bukankah seperti ia sudah tak membutuhkanku lagi?” Matthew menggeleng dengan cepat. Hal itu sudah sangat melenceng, ia tak pernah berpikir untuk seperti itu. Matthew membawa tangan Lynelle pada bibirnya dan mengecupnya berkali-kali. “Jangan berpikir demikian Ly, sedikitpun aku tak pernah ber
Matthew memarkirkan mobilnya tepat di seberang butik Lynelle dan menunggu di sana. Sudah setengah jam berlalu namun ia tak mendapatkan apapun di sana. Sosok Lynelle yang ia nanti menampakkan diri masih tak tertangkap netranya barang sekilas saja.Sepertinya ini sia-sia, pikirnya.Namun Matthew mencoba untuk menunggu lebih lama lagi hingga 1 jam lewat ia habiskan dia sana menunggu Lynelle yang masih tak kunjung nampak pada akhirnya membuatnya menyerah dan dengan sedikit lesu berisap untuk meninggalkan tempatnya.Akan tetapi, baru saja Matthew menyalakan mesin mobilnya, seorang wanita keluar yang Matthew kenal sebagai Lynelle, berjalan sedikit terburu-buru di ujung sana dan hendak menyebrangi jalan. Mengetahui itu, Matthew merasa deg-degan tanpa sebab dan sedikit menunduk untuk bersembunyi begitu Lynelle telah menyebrangi jalan untuk menuju café yang berada tak begitu jauh di tempat Matthew memarkirkan mobilnya.Matthew kembali menunggu cuku
Selagi Lynelle berperang dengan batinnya, Carl beranjak sebentar dan kembali dengan sebucket besar bunga mawar biru yang lalu ia sodorkan kepada Lynelle. Lynelle menerima bunga tersebut dan menatap Carl yang kembali duduk di posisinya.“Selama ini setiap bucket bunga besar yang kau terima itu bukan dariku melainkan dari Matthew”Kali ini tenggorokan Lynelle terasa tercekik tatkala ia berusaha untuk tidak meneteskan airmata lagi. Namun setiap fakta yang Carl ucapkan membuatnya mengalah dan membiarkan tetes demi tetes airmata itu turun membasahi wajahnya yang berekspresi datar.“Mulai dari aku yang mengajakmu ke wahana bermain saat tahun baru, memberimu bucket bunga pertama di hari uang tahumu 2 tahun yang lalu, setahun yang lalu dan sekarang, mengajakmu berkencan setiap hari sabu dan minggu, hadiah natal yang salah satunya merupakan hadiah dari Matthew, bucket bunga untuk butikmu, bahkan butik milikmu sebenarnya saran dari Matthew. Semua itu, di