Udara pagi terasa begitu lembab dari sebelumnya. Sisa hujan yang mengguyur bumi tepatnya di bagian Eropa barat itu masih begitu terasa.Waktu telah menunjukkan hampir pukul 06.00 pagi ini namun langit terlihat masih agak gelap. Sedangkan sang surya tengah mencoba mengintip di balik kumpulan awan kelabu itu,berusaha memberikan sinarnya untuk menghangatkan para penduduk bumi pagi ini.
Ya, seperti itu lah cuaca di Inggris pagi ini. Sangat nyaman untuk memilih lebih lama mendekap di balik selimut tebal sembari melajutkan mimpi indah.
Namun, beberapa dari mereka nampak tetap melanjutkan aktvitas seperti biasanya. Tak tertipu dengan keadaan langit mendung pagi ini.
Sama hal nya dengan pria tampan yang tinggal di sebuah apatement di kawasan 01-35 Oxford Castle, New Rd, Oxford, OX1 1AY, UK. Cuaca pagi ini terlihat tak menggangu dirinya yang hanya menggunakan celana panjang berwarna hitam dan bagian atas yang shirtless dan rambutnya yang masih basah dengan handuk kecil yang menutupinya. Terlihat jelas baru saja habis mandi.
Dirinya tengah sibuk mondar-mandir sambil sesekali menggosok rambut basahnya sembari menatap posel genggamnya.
“Hah” sebuah desahan pasrah dari bibir tipis miliknya. Frustasi di pagi hari?
Ia melempar ponsel genggamnya asal ke atas tempat tidurnya dan berjalan menuju lemari pakaiannya. Sekiranya ia akan memilih pakaian untuk hari ini, namun ia hanya berdiri diam di sana.
Merenung. Entah apa yang dipikirkan olehnya, hingga alis tebal itu mengkerut. Benar-benar memikirkan suatu sebaik mungkin.
Drrttt.. Drrtt..
Satu deringan dari ponselnya, membuatnya secepat kilat berbalik dan mengacak kasurnya. Mencari keberadaan ponsel geggamnya yang ia lempar asal tadi.
Dapat!
Ia berdehem sejenak sebelum menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan dari seseorang.
“Hallo..” ucapnya dengan pelafalan yang berbeda dari orang Inggris asli, ada sedikit aksen lain disana.
“Hah.. ‘Allo Matt” ucap seorang gadis di seberang sana. Berbeda dengan pria sebelumnya, gadis ini mempunyai pelafalan dengan aksen british yang sangat kental.
Hening sesaat di anara mereka. Tak ada lagi yang memulai percakapan, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Berusaha mencari kalimat yang tepat untuk di utarakan. Ketika pria yang di sapa Matt itu telah mantap akan apa yang akan ia sampaikan, ia telah membuka mulut untuk menyampaikan sesuatu, lantas di sela oleh gadis di sana.
“Matt, ku pikir kita sudahi saja hubungan ini. Aku tak bisa melanjutkannya”
Deg..
Bagaikan langit tahu akan apa yang terjadi padanya hari ini. Bagaikan cuaca mendung pagi ini meramalkan bahwa hatinya akan berubah menjadi kelabu juga hari ini.
Secepat itukah? Pikirnya.
Keluh. Ia hanya mampu memijat pelipisnya. Kepalanya terasa begitu berat secara tiba-tiba. “Fleur..” panggilnya kepada gadis di seberang sana. Tak kunjung mendapat jawaban ia kembali melanjutkan kalimatnya.
“Fleur, dengar.. Aku ,-- aku tak, – mengapa demikian Fleur?”
Oh, lihat saja, ia menyampaikan kalimat tak beraturan itu. Ia dan sang kekasih hati, Fleur, baru 3 bulan menjalin hubungan dan , “Fleur – oh baiklah, maafkan aku yang tak menjemputmu kemarin, tapi sungguh aku-“
“Matt, bukan karena itu. Kau tahu kita berkenalan karena apa?”
Ya, tentu saja ia tahu itu. Pertemuannya dengan Fleur di salah satu acara tahunan kampus tahun kemarin. Fleur dan dirinya di kenalkan oleh temannya dan berakhir saling bertukar kontak melakukan pendekatan, kemudian, baru berani menjalin kasih 3 bulan kemarin.
“Fleur,selama ini kita baik-baik saja. Ada apa denganmu? Jika bukan karena persoalan kemarin, lantas apa?” tuntunya.
“Matt, kau tahu, kau sangat membosankan. Sungguh, dan aku tak sanggup dengan hal itu”Diam. Ia lebih memilih diam, membiarkan Fleur melanjutkan ucapannya.
“—dari awal kita melakukan pendekatan, kau selalu sibuk, entah untuk urusan kampus lah, jurusanmu lah. Kupikir, saat kau mengjakku berpacaran kau bisa meluangkan waktumu. Karena apa? Aku telah menjadi pacarmu. Tapi ternyata sama saja, aku tak bisa Matt, aku juga butuh kasih sayang dan perhatianmu.” jelas Fleur panjang lebar.
Sedang apa yang dapat ia lakukan jika itu alasan Fleur? Ingin rasanya ia berkata bahwa faktanya ia begitu menyayangi gadis dengan keturunan Prancis itu. Namun, ia tak bisa berbuat apa pun. Jujur ia juga merasa bersalah tak dapat membagi waktu dengan benar antara kehidupan kampusnya dan kekasihnya.
Fleur benar, siapapun tak akan sanggup bertahan di sisi nya jika seperti itu. Dan haruskah ia melerakannya?
“Baiklah..” ucapnya dengan berat hati.
“Baiklah Fleur, jika itu maumu, ka—“ Terputus.
Seingin itu kah Fleur terlepas darinya? Ia masih menempalkan ponsel genggam di telinganya, walaupun sudah tak ada siapapun di ujung sana. “Jika itu maumu, baiklah. Kau pantas bahagia! Terima kasih untuk 3 bulan, oh tidak, terima kasih untuk setahun lebih telah bersamaku. Sampai jumpa.”
Ia masih tetap melanjutkan ucapannya walaupun Fleur sudah tak berada dalam panggilan lagi. Miris.
Ia merebahkan dirinya di atas kasur. Kembali memijat kening dan pelipisnya. Ia melirik ke jendela tepat di sisi kanannya.
Hujan.
Ia tak mampu menangis, walaupun hatinya menangis dan begitu sesak di dadanya. Seolah langit menggantikan dirinya menangis. Ia hanya mampu memejamkan matanya dan menikmati luka nya hari ini. Sangat sempurna! Semua keadaan hari ini sangat senada dengan suasana hatinya.
Berbagai pertanyaan berputar di kepalanya. Ia mencoba untuk tidak memperdulikannya.
Hari ini, sepertinya ia tak ingin di ganggu dulu. Ia kembali membuka mata dan menatap ponselnya, mengetik beberapa pesan untuk seseorang dan mematikan daya ponselnya.
Untuk hari ini, biarkan ia sendiri dan tenggelam bersama hujan deras di luar sana.
(.)
Suara operator di ujung sana kembali terdengar, pertanda bahwa nomor yang di tuju sedang tidak aktif. Pria bertubuh idela dengan sweater maroonnya kembali menghela nafas. Kemana anak itu? Pikirnya. Untuk kesekian kalinya, ia kembali mencoba menghubungi nomor tersebut namun naas, suara operator kembali saja terdengar.
“Matthew masih tak menjawab?” seseorang dengan postur lebih kurus dari pria sebelumnya datang dengan 2 kopi yang masih mengepul di tangannya, lalu memberikan salah satunya kepada pria sebelumnya.
Pria dengan sweater maroon itu hanya menggeleng dan menerima kopi yang di berikan lalu menyeruputnya pelan.
“Kau tak mencoba menghubungi Fleur, Carl?”
“Sama saja, Ben. Tak ada jawaban”Carl Hence adalah nama dari pria bersweater maroon tadi, sedangkan pria dengan jaket bomber army itu bernama Bennett Adam.
Hari ini telah lewat setengah ceritanya. Sedikit lagi mentari akan berganti tugas dengan sang rembulan walaupun awan kelabu masih saja mengganggunya dalam bertugas. Dan selama itu, Carl masih terus mencoba menghubungi Matthew setelah ia menerima pesan singkat darinya yang mengataknn bahwa ia tak akan hadir untuk hari ini.
Tak biasanya.
Matthew terbilang cukup aktif entah dalam kelas, jurusan ataupun kegiatan kampus atau organisasi lainnya. Bahkan saat terserang sakitpun, selagi masih bisa berdiri, ia tetap beraktivitas seperti biasa.
Sangat aneh jika tiba-tiba ia tak datang hari ini. Apakah ada terjadi sesuatu?
Entahlah itu cukup membuatnya risau.
(.)
Pening.
Hal itu yang ia rasakan saat pertama kali membuka matanya.
Keadaan sekitarnya sangat gelap. Tak ada satupun pencahayaan disana. Ia melirik jendela tepat di samping tempat tidurnya.
Sudah malam.
Ia sedikit menjambak rambutnya, guna meredahkan sedikit rasa peningnya. Ia bahkan tak menyadari jika sang mentari telah benar-benar berganti tugas hari ini. Sudah lewat setengah hari. Apakah selama itu ia tertidur?
Ia masih membiarkan apartementnya dalam keadaan gelap. Hanya cahaya lampu jalanan di dekat apartementnya yang berhasil menyelip masuk dan memberikan sedikit cahaya di dalam sana.
Pikirannya kembali mereka ulang kejadian tadi pagi. Begitu sakit. Sangat sakit rasanya. Rasanya ingin menahan Fleur dan memohon untuk diberikan kesempatan namun ia sendiri pun tak bisa mengucapkan kata itu. Rasanya ia begitu hancur dan mendadak tak mampu mengatakan apapun kecuali ‘baiklah’
Haruskah besok ia menemui Fleur dan memintanya untuk memberinya kesempatan lagi?
Ia lalu menghidupkan lampu tidur yang berada di atas nakas tepat di samping ranjang miliknya, lalu menghidupkan daya ponselnya. Beberapa pesan dan notifikasi lainnya berentetan masuk menyerbu ponselnya, namun ia tak menggubris lalu mencari kontak Fleur dan menghubunginya.
Nada sambung terdengar di sana. Sedang ia menunggu sambil memohon dalam hati agar sang pujaan hati mau menjawab telponnya. Tapi sayang sungguh sayang. Pangilan tersebut tak di jawab.
Lantas tak menyerah, ia kembali mencobanya.
Sekali
Dua kali
Hingga ketiga kalinya, Fleur tak menjawab panggilannya.
Perasaan sedih kembali merundunginya. Memikirkan apa benar-benar ia harus menemui Fleur besok? Atau mungkin ada cara lain?
Namun sepertinya tak ada cara lain. Melihat bagaimana Fleur tak menjawab panggilannya. Baiklah, ia memutuskan akan menemuinya besok. Semoga saja dewa Eros berpihak pada dirinya dan Fleur. Semoga saja.
“Matt? Kau di dalam?”
Terdengar seseorang dari luar sana. ia mencoba membalasnya namun tenggorokannya begitu kering sehingga menyebabkan suaranya terdengar parau. Dengan sedikit malas ia akhirnya menyalakan lampu dan mengambil baju kaos asalan
“Matthew? Kau tak apa?”
Sungguh tak sabaran.
Ia pun bergegas menuju pintu apartemenya dan membukanya. Nampak Carl berdiri di depan sana dengan membawa 3 kantongan besar yang entah apa saja isinya.
“Hey! Kau darimana saja!” gerutuhnya.
Kini Carl tak lagi menggunakan bahasa dan logat Inggrisnya melainkan bahasa ibunya, Korea. Mattew hanya berbalik tanpa mempersilahkan Carl untuk masuk. Baginya itu tak perlu, karena Carl tetap akan menerobos masuk bahkan jika Matthew mengeluarkan sumpah serapah untuknya.
Lihat saja sekarang, ia bahkan mendahului Matthew dan duduk di sofa besar sana sembari mengatur bawaannya di atas meja.
“Aku membawakanmu ayam goreng, burger dan juga Pizza.” Ucapnya sambil menata makan di meja
“Ini ada beberapa camilan dan minuman, juga aku membelikan beberapa obat, aku tak tahu sakitmu separah apa tapi minumlah”
Matthew hanya menatap Carl sambil memutar bola matanya malas. Berlebihan. Ia mendudukan diri di sofa tunggal di samping Carl dan menatap semua belanjaan Carl untuknya. “ Hey bung, kau lebih mirip ibuku sekarang” lalu ia mengambil sepotong Pizza dan menyuapnya dalam mulutnya.
Sangat enak!
Jujur saja ia memang kelaparan karena tak mengkonsumsi apapun sedari pagi tadi. Terlebih Carl sangat lihai dalam memilh makanan enak. “Kau membeli ini di mana? Sangat enak!”
Carl menatap Mattew yang tengah menggigit pizza dengan ukuran besar sampai mulutnya begitu penuh dan mengunyanya dengan lahap. Ia melayangkan kepalan tangannya bersiap ingin menghajar Matthew habis-habisan walaupun tak jadi, ia mengurungkan niatnya dan hanya menggerutu kesal. “Dasar brengsek!”
Tak ambil pusing, Matthew kembali melirik ayam goreng di sana, menggambil bagian sayapnya lalu kembali melahapnya. Setidaknya untuk saat ini ia tak mati kelaparan akibat patah hati.
“Hey, bocah! Kau tak menjawab pertanyaanku barusan”
Masih asyik menikmati setiap inci sayap ayam itu, Mathew hanya menatap Carl dengan alis terangkat sebelah, seolah berkata pertanyan mana yang kau maksud? Seolah paham, Carl kembali mengulang pertanyaannya dengan sabar.
“Kau kemana saja brengsek! Apa kau lupa hari ini kita rapat panitia untuk penyambutan mahasiswa baru? Harus nya kau yang memimpin rapat, tapi malah aku yang menggantikannya”
Carl kembali berceloteh.
“Aku bahkan sampai menghubungi Fleur” lanjutnya.
Mendengar nama itu, satu titik di bagian hati Matthew terasa sakit. “Ia menjawab panggilanmu?” tanya nya memastikan. Sungguh sangat tak adil jika Fleur mengabaikan panggilan dari Matthew namun meladeni panggilan dari Carl.
Carl menggeleng terlebih dahulu, kemudian mengambil salah satu cola di kantongan belanjaan, lalu meneguknya. “Kalian sama saja, tak menjawab panggilanku” kata Carl, kemudian melanjutkan meneguk cola-nya.
Matthew bisa sedikit bernapas lega, ternyata Fleur cukup adil dalam konteks ini.
Seketika rasa nafsu makannya mendadak hilang. Namun, makanan ini terlalu enak untuk di sia-siakan. “Hey..” kini giliran Matthew yang memanggil dan hanya di balas dengan ekspresi oleh Carl.
“Fleur memutuskanku pagi ini” kata Matthew, ada nada sedih terdengar dalam ucapannya.
Carl yang masih meneguk cola nya, mendadak tersedak dan menyemburkan cola yang sudah berada di dalam mulutnya ke lantai dan mengenai sedikit celananya.
“Yak! Kau menjijikan!”
Gagal mellow.
Ada-ada saja. Matthew beranjak dan kembali dengan tisu basah dan kering di tangannya, lalu memberikan pada Carl. “Ohok.. ugh.. ha, maaf.” Carl membersihkan hasil kekacauannya dengan masih terbatuk-batuk.
Hening.
Carl sibuk membersihkan cola nya di lantai dan di celananya, sedangkan Matthew hanya menatap Carl dan kembali mengunyah ayam gorengnya. Kali ini ia mengambil bagian paha.
Setelah usai, Carl berdehem untuk memecahkan kecanggungan mendadak ini.
“Eum, ada masalah apa sampai Fleur memutuskanmu?” kali ini Carl bertanya dengan nada sedikit rendah.
“Kupikir ia merasa kecewa karena aku berjanji menjemputnya kemarin tapi kubatalkan karena barang yang di pesan untuk acara nanti tiba lebih cepat daripada dugaanku, dan—ya, aku harus memeriksanya.” Ada jeda sesaat sebelum Matthew melanjutkan “Tapi ternyata dia tak setertarik itu denganku. Dari awal. Ia seperti hanya penasaran?”
Cukup diluar dugaan bagi Carl. Fleur Flavia merupakan salah satu mahasiswi jurusan Bisnis dan Managemnt dari Oxford Brookes University Headington Campus, yang berjarak 1.0 mi atau sekitar 2 menit jika menggunakan mobil dari kampus Carl dan Matthew, Oxford University.
Fleur memang cukup terkenal tak hanya di kampusnya namun ia juga terkenal di kampus-kampus lain. Bak seorang seleb, begitulah Fleur. Dan tentu saja, Fleur terkenal di kalangan pria. Juga beredar kabar jika pria yang dapat bersanding dengan Fleur hanya mereka dari golongan atas saja, dalam artian konglomerat dan sejenisnya.
Dan rumor itu baru di percaya oleh Carl melihat Fleur menjadi kekasih dari sahabatnya Matthew.
Matthew bisa di katakan seperti itu. Ia adalah anak tunggal dari Direktur utama dari sebuah perusahaan yang bekerja di bidang property dan termasuk investor terbesar di Korea Selatan. Lalu ibunya merupakan seorang designer busana terkenal, beberapa artis papan atas pernah menggunakan pakaian hasil design dari ibunya.
“Lalu?” Carl ingin tahu apalagi yang terjadi selanjutnya antara mereka.
Matthew mengangkat bahu lalu berkata “Awalnya ku katakan ‘baiklah’ karena aku tak mampu menemukan kata yang tepat. Tapi sepertinya aku salah, tak seharusnya ku lakukan itu. Jadi akan ku temui ia besok”
Carl hanya dapat mengangguk. Tentu saja, apalagi yang harus ia lakukan? Ini urusan mereka berdua. Carl tak mau ikut campur dan hanya bisa berharap yang terbaik untuk mereka berdua.
Cukup lama Carl berada di tempat Matthew hingga waktu menunjukkan pukul 11.48 malam. Tak terasa selama itu. Carl akhirnya berucap pamit dan tak lupa memastikan Matthew untuk hadir besok pagi yang di-iyakan oleh Matthew.
Setelah perginya Carl, Matthew membereskan barang-barang di meja ruang tamunya itu, menyimpan camilan di dapur, memindahkan makanan yang sudah terbuka dalam wadah, membuang sampah, menyedot remahan makanan dengan vacuum cleaner lalu merebahkan diri setelah dirasa semua beres.
Matthew kembali beranjak, memperbaiki posisinya menjadi bersandar pada kepala ranjang.
Menghayal. Entah apa yang ia pikirkan.
Matthew kembali mengambil ponsel genggamnya yang tergelak asalan tepat di sampingnya.
Bagaimana kalau coba sekali lagi?
Pikirnya demikian. Ia kembali menekan layar ponselnya, mencari kontak Fleur lalu mencoba menghubunginya. Sedikit deg-degan, berharap kali ini Fleur menjawab panggilan telpon dari nya.
Sekali lagi, sayang seribu sayang.
Sang kekasih kembali tak menjawab panggilannya. Menyesakkan. Matthew mencoba untuk tak terlalu bersedih, bukankah masih ada hari esok? Tentusaja. Pikirnya, ia hanya perlu menjeput Fleur di kampusnya, membawanya untuk makan siang bersama, lalu memberikannya hadiah dan sebuket bunga mawar merah. Oh jangan lupa ungkapan betapa Matthew sangat menyayangi Fleur sepenuh hati.
Sempurna.
Ia kembali memposisikan dirinya untuk siap terlelap. Sungguh tak sabar menunggu hari esok.
(.)
Kawasan Headington siang ini cukup ramai di jam makan siang. Tentu saja, apalagi kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa dari Oxford Brookes University Headington Campus yang memilih untuk menyantap makan siang mereka di kafe dan resto yang tersedia di sekitaran kampus, dan cukup banyak berjejeran di sana.
Sebuah mobil bermerek Audi R8 melanju memasuki area Oxfor Brooker University dan terparkir dengan sangat elegan tepat di depan fakultas bisnis dan manajemen.
Pintu mobil mulai terbuka dan menampakkan sosok pria tampan bagaikan melihat jelmaan malaikat. Hal itu menjadi sangat kongkrit tak kala semua mata hawa menatapnya begitu memuja. Tak hanya kaum hawa, kaum adam pun merasa begitu tersaingi sehingga merasa menciut tanpa sebab.
Matthew Flint, ialah sosok pemilik wajah tampan dan Audi R8 tersebut, tengah bersender pada mobilnya. Terlihat seperti menunggu seseorang.
Mata elang miliknya sibuk menatap sekitar dengan cermat, barangkali sosok yang dicari berada di sekitar sana.
Cukup lama, kurang lebih 15 menit Matthew menunggu, akhirnya sosok yang ia tunggu—Fleur – menampakkan diri dari kejauhan. Nampak dari arah datangnya, sepertinya Fleur baru saja menghabiskan jam makan siangnya di luar kampus bersama 3 temannya.
Matthew dengan mantap melangkahkan kakinya menghampiri Fleur. Kalimat yang akan ia ucapkan berulang-ulang ia rapalkan dalam otaknya.
“Fleur!!”
Matthew menghentikan langkahnya.
Jika kalian berpikir itu adalah Matthew yang memanggil Fleur, maka salah besar. Seseorang di belakang Fleur yang memanggilnya, dan itu berhasil membuat Matthew menghentikan langkahnya yang sudah berada sekitar 10 langkah besar di hadapan Fleur.
Fleur masih belum menyadari keberadaan Matthew di depannya. Mungkin memang ia benar-benar tak menyadarinya lantaran asyik bercengkrama dengan teman-temannya ataukah ia sudah menyadari keberadaan Matthew namun memilih untuk menghiraukannya?
“Fleur!” panggil lagi seseorang itu. Fleur berbalik memberikan senyumnya kepada sosok pria itu lalu memberi kode kepada teman-temannya yang membuat mereka meninggalkan Fleur dan sosok pria itu. Lalu Matthew? Hanya berdiam di tempat menyimak apa yag akan terjadi selanjutnya.
Keadaan sekitar terlalu ramai, jarak mereka juga tak memungkinkan untuk Matthew sedikit menguping pembicaraan mereka. Matthew hanya dapat melihat gerak gerik keduanya dari sana.
Sebuah pelukan mesra di berikan sang pria ketika sudah berada tepat di samping Fleur.
Ada apa ini?
Tak hanya itu, pria itu kembali memegang sebelah tangan Fleur yang bebas, melihat sebelah tangannya tengah menenteng buku yang tak terlalu berat. Ekspresi cemberut terlihat di wajah Fleur, sedang sang pria terlihat tengah menghiburnya.
Bagaikan mendapat serangan jantung, Matthew merasakan sakit di dadanya. Sebuah asumsi yang tak ingin ia benarkan sebelum ia bertanya langsung pada Fleur sudah bersemayam dalam pikirannya. Tak mungkin secepat ini bukan?
Memang Tuhan paling mengetahui apa yang di pikiran semua orang walaupun seseorang itu tak membuka suara seditikpun. Langsung saja, Matthew mendapatkan jawaban atas apa yang terbelit di kepalanya.
Pria itu. Setelah mungkin berhasil membujuk Fleur, ia langsung mendaratkan kecupan mesra di pipi Fleur dan Fleur sendiri tersenyum serta tersipu malu.
Runtuhlah harapan.
Ketika mereka berdua di sana terlihat bagaikan ada sinar matahari yang dan efek berkilauan serta bertabur bunga-bunga indah, di sini Matthew merasa suram tak ada kehidupan. Matthew hanya mampu menatap mereka lesu.
Masih bercengkrama, Fleur memalingkan wajahnya sambil terkekeh akibat ucapan sang pria yang kini kembali merangkuh mesra pinggang rampingnya. Tak sengaja ia bertatap mata dengan Matthew di ujung sana yang menatapnya dengan tatapan senduh. Lumayan terkejut bagi Fleur, namun ia tak ambil pusing dan menatap datar Matthew di sana, seolah-olah ia tak mengenal sosok pria di sana.
Ia kemudian mengajak sang pria – seperti yang sudah di tebak, kekasih baru Fleur – untuk pergi dari sana.
Matthew masih setia menatap punggung Fleur yang makin menjauh. Pupuslah sudah harapannya dan memang benar-benar tak ada harapan lagi. Fleur memilih itu dan apa kuasanya untuk mencegah?
Berjalan gontai dan menghembuskan napas kasarnya, Matthew kembali memasuki mobilnya dan siap untuk meninggalkan kampus itu. Bisa jadi ini akan menjadi terakhir kalinya ia kemari kan?
Dramatis. Matthew kembali menatap keadaan sekitar kampus Fleur. Sekali lagi ia kembali menghembuskan napasnya, lalu menyalakan mesin kereta kudanya dan benar-benar meninggalkan kampus itu dengan luka di hatinya.
5 bulan kemudian… Tak terasa sudah selama itu berlalu. Hari dimana ada luka yang timbul karena cinta. Dan selama itu juga Matthew berangsur-angsur menajalani kehidupan seperti biasa. Sejak saat itu ia tak mencoba menghubungi Fleur lagi dan menghapus kontak Fleur seminggu kemudian. Sebulan awal ia masih terasa bagaikan orang mati namun terlihat hidup. Entahlah apa maksudnya yang jelas ia benar-benar mengenaskan. Sampai Carl kembali menjadi ibu bagai Matthew selama sebulan penuh. Datang pagi buta, membersihkan apartement Matthew, menyiapkan sarapan, ke kampus, kembali ke apartement saat siang untuk memberi Matthew makan siang, kembali lagi ke kampus, lalu kembali lagi ke aparement saat malam untuk memberikan makan malam untuk Matthew dan terakhir akan pulang saat Matthew tertidur pulas. Hey, ayolah, bukankah mereka terlihat seperti pasangan – oh sudah cukup itu mengerikan. Jangan tanya bagaimana dengan tugas kampus Matthew. Yap, tentusaja, semu
Pria bertubuh atletis itu terlihat sibuk memindahkan barang-barang bawaan dari tas besar itu. Ia terlihat terburu-buru hingga rasanya ingin mengamuk saja. Dia ada janji pukul 9 pagi ini namun ia kedatangan tamu semalam—terlalu malam, disaat orang tengah tidur—yang berakibat ia harus membereskan semuanya pagi ini. Beres Ia lalu kembali berkutat dengan perlengkapannya yang akan di bawa pagi ini. Oke,semuanya sudah beres. Ia siap melaju sekarang. “Yem?” panggilnya. Namun ia tak mendengar sahutan atas panggilannya. Ah, hampir lupa, wanita itu mengatakan bahwa akan berbelanja kebutuhan dapur dan lainnya. Namun ini sudah sekitar sejam lebih namun mengapa tak kembali? Tak mau ambil pusing, pria itu hanya mengangkat bahunya acuh tak acuh dan beranggapan ada banyak barang yang mungkin ia harus beli, makanya lama. Ia melangkah keluar rumah dan memasukkan barang-barangnya ke dalam mobil bagian penumpang belakang, lalu hendak mengirimkan pesan si
Sebuah mobil Mercedes Benz AMG G65 dengan dua pria tampan di dalamnya tengah menyusuri salah satu kawasan di pinggiran kota yang terkenal dengan suasana rimbun dan sejuknya. Matthew beberapa kali terpaku saat mereka melewati beberapa perumahan yang terlihat sangat rimbun, membuat pikiran seketika terasa lebih tenang dari sebelumnya. Lebih mengejutkan saat Matthew melihat patung seekor hiu besar yang terlihat menyelam ke salah satu atap rumah bertingkat itu. “Hey kau terlihat seperti bocah polos yang kuculik dan tengah memperhatikan dunia luar” ucap Carl yang sesekali melirik Matthew karena focus menyetir. “Apakah ada orang di dalam sana?” tanya Matthew penuh ingin tahu.“Dimana?”“Di rumah sana, yang ada patung hiu menerobos atap rumah itu. Apa ada orang di dalam sana?” Astaga. Carl merasa bodoh meladeni Matthew, “Mana ku tahu, kau pikir aku yang membuatnya?” balas Carl cuek. Matthew menatapnya sinis kemudian bergumam kecil “Santai saja
Lynelle Chloe. Gadis berdarah asia itu terlihat begitu ramah dan ceria setiap saatnya. Ia selalu mendapat pujian dari seluruh warga desa dan menjadi anak kesayangan Madam Altha. Namun siapa sangka, gadis itu telah melalui banyak hal yang begitu berat di usia nya yang masih sangat muda. Mulai menginjak tanah eropa di usia 8 tahu membuat Lynelle kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru yang benar-benar berbeda dari tempat ia sebelumnya. Lynelle kecil tinggal di sebuah rumah sederhana di desa hanya berdua bersama ibunya. Nuansa asing ini membuat Lynelle kecil lebih banyak menghabiskan waktu bersama sang ibu yang setiap harinya bekerja sebagai penjahit di desa tersebut. Itu sebabnya bakat merancang busana Lynelle merupakan turunan dari ibunya. “Lynelle..” suara lembut itu menyapa Lynelle kecil yang tengah duduk di sofa kecil tepat di depan sang ibu bersama dengan boneka di tangannya. “Iya bu?” jawab Lynelle kecil dengan suara menggemaska
Waktu masih menunjukkan pukul 6 lewat seperempat namun Matthew sudah siap dari 20 menit yang lalu dengan kemeja navy dan celana kain hitam yang melekat sempurna di tubuh proposionalnya. Tak lupa dengan dasi bergaris yang berwarna sepadan dengan kemejanya yang sedari tadi ia pastikan melekat sempurna di antar kerah kemejanya. Sama halnya dengan pantofel hitam yang ia kenakan, di pastikan untuk tetap mengkilat di bawah sana. Acara kelulusannya akan di mulai setengah delapan namun ia telalu cepat mempersiapkan diri. Bahkan cermin panjang yang bersandar di samping tempat tidurnya sudah bosan melihatnya menampakkan pantulan dirinya untuk ke sekian kalinya. Yang benar saja. Ia terlalu antusias sampai-sampai ujung jemarinya seperti habis didiamkan dalam lemari pendingin cukup lama. Dan jangan lupakan, ia juga berulang kali merapalkan kembali sebuah pidato singkat yang sebenarnya sudah ia ulang-ulangi dari sehari sebelumnya. Sangat luar biasa persiap
Hari ini sudah terhitung seminggu saat Lynelle memutuskan untuk membantu Tuan Ethan—ayah Noah—bekerja di toko roti mereka. Anggap saja ini sebagai usahanya selain bisa mendapat sedikit penghasilan, agar pikirannya tentang pria itu juga sedikit terbayarkan. Toko biasa di buka pukul 7 pagi tepat, namun Lynelle sengaja datang sejam lebih cepat untuk membantu Tuan Ethan bersama sang istri membersihkan toko serta mulai memanggang roti. “Oh akan ku usahakan datang lebih pagi lagi tuan Ethan” ucpanya. Ia lalu mengambil alih donat yang sudah matang dengan lumuran krim vanilla dan kacang almound di atasnya. “Kau sudah datang sejam lebih awal dari pada karyawan biasanya, itu sudah patut di ancungi jempol nona Lynelle, hahaha” tawa khas orangtuanya memenuhi seluruh dapur hingga ke luar. Lynelle tersenyum. Sedang isri tuan Ethan, nyonya Alda baru saja tiba di toko. Ia datang dengan bermacam belanjaan dan sangat banyak. “Ethan!! Eth—Oh Lynelle tolong bantu aku, sepertinya
Sudah 2 bulan Matthew berada di Korea. Ia kira liburan kali ini akan berlangsung menyenangkan sesuai dengan keinginannya beberapa waktu lalu saat mengunjungi beberapa rumah sakit bersama Carl. Namun ternyata kenyataannya berbeda deNgan ekspetasinya. Sudah ada 2 minggu keadaan ayahnya naik turun. Entahlah, perasaan sebelum-sebelumnya Tuan Flint terlihat makin membaik. Buktinya, dokter bahkan mengizinkan sang ayah untuk bepergian selama 2 minggu di Jeju. Namun beberapa hari setelah itu, kondisinya mendadak menurun. Ia tengah menikmati semilir angin sejuk di sore hari sembari membaca novel dengan tenangnya. Pagi tadi ia menghadiri beberapa acara dan pertemuan penting untuk menggantikan sang ayah sama seperti akhir-akhir ini. Dugaan awalnya kegiatannya hari ini akan memakan waktu cukup lama, tapi ternyata tidak, sehingga ia gunakan untuk sedikit me time sebelum kembali ke rumah sakit untuk bergantian dengan sang ibu, Dwyne menjaga tuan Flint. Kesunyian i
Kehidupan koas yang berjalan seminggu lebih ini terasa seakan-akan mereka tengah menjadi dokter sungguhan. Di saat orang-orang yang tengah terlelap di malam hari, mereka yang tengah berjaga shift malam harus tetap terjaga untuk mengamati para pasien. Tak jarang juga beberapa dari mareka yang mencuri-curi waktu untuk memejamkan mata barang semenit. Pukul 12 kurang 15 menit, Benneth tengah memasuki salah satu kamar pasien yang baru masuk sekitar 5 jam yang lalu. Pasien yang tengah menggunakan alat bantu pernapasan itu mendadak terserang sesak napas saat tengah membantu membersihkan gereja tua. Benneth dengan teliti memeriksa sang pasien dan mengecek Elektrokardiograf atau EKG yang sengaja di pasang kepada pasien. “Ah, Selamat malam dokter” seseorang yang baru masuk menyapa Benneth yang kini tengah memeriksa cairan infus pasien. Suara lembut itu membuatnya terjekut dan langsung berbalik takut-takut tidak ada seseorang di sana seperti kejadian-kejadian mistis yang sering
2 tahun kemudian...Rutinitas Lynelle kembali bertambah setelah menjadi istri dari seorang dokter dan pembisnis ternama, Matthew Flint, membuat dirinya sedikit lebih repot dari biasanya. Jam kecil di atas nakas masih menunjukkan pukul 5 pagi namun Lynelle harus memaksakan dirinya untuk bangun dan mulai menyibukkan dirinya.Dimulai dengan membereskan rumah, mencuci piring dan pakaian. Begitu jam menunjukkan pukul 6 pagi, Lynelle kembali ke kamar dan membangunkan Matthew untuk bersiap-siap berangkat kerja. Begitu Matthew sudah terbangun, Lynelle kembali menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.Bertepatan saat sarapan sudah selesai, Matthew sudah siap dengan pakaian formalnya dan kembali sibuk dengan ponselnya untuk melihat jadwal hari ini.“Kau akan pulang malam lagi?” tanya Lynelle,“Heum”Heum?Lynelle melihat ke arah Matthew yang masih sibuk dengan ponselnya. “Aku harus menunggumu atau tida
Disinilah Lynelle yang duduk berhadapan dengan Belva yang tengah meneguk cola-nya dengan begitu anggun sedang Matthew tengah memesan makanan untuk dirinya dan Lynelle. Lynelle berusaha mengedalikan ekspresinya namun tak bisa di pungkiri jika sampai detik ini ia masih merasa kesal dengan kehadiran Belva.Cih, perjalanan yang memakan waktu cukup lama apanya? ini tak sampai 30 enit dari apartementku dan lagi, KENAPA HARUS ADA WANITA INI?! Seperti itulah jeritan isi hati Lynelle yang tak bisa ia suarakan.Belva yang tahu jika Lynelle akan memberinya tatapan tajam, bersikap enteng dan tetap memberikan senyum manisnya sekalipun Lynelle tetap tak merubah ekspresinya.“Kenapa kau ada disini?” ucap Lynelle pada akhirnya. Ia sudah tak bisa menahannya dan kalimat itu sudah berada di ujung lidahnya jadi seklaian saja ia keluarkan.Alih-alih langsung menjawab, Belva terlebih dahulu memakan kentang gorengnya dan menyuap 1 gigitan besar burger kedal
Kedua insan itu saling menyalurkan kehangatan melalui dekapan erat mereka dan selimut tebal menutupi tubuh polos mereka tanpa sehelai benang pun. Lynelle mengelus pelan rambut hitam legam milik Matthew yang sudah mulai memanjang. Lynelle terkekeh begitu Matthew mengendus pada dadanya untuk mencari kehangatan.“Kau tidak akan bangun?” tanya Lynelle. Matthew hanya memberikan gumaman tidak sejelas lalu mengeratkan pelukannya.“Matthew, bolehkah aku bertanya?”Tak mendapatkan jawaban apapun dari Matthew, Lynelle kembali melanjutkan pertanyaannya. “Kemarin, saat makan siang dengan ibumu, beliau sempat berkata bahwa dia bukan ibu kandungmu” Lynelle menjilat bibirnya yang kering sembari memainkan rambut Matthew. Matthew sendiri pun masih tak berkomentar apapun membuatnya kembali berbicara, “Boleh aku tahu apa yang terjadi?”“Aku sepertinya belum tahu banyak tentangmu, jadi—““Mau ku cei
Matt_ofLy, dimana?myloveLYsedang di belakang panggungnanti kuhubungi lagi“Wah, sepertinya acara peluncurannya sangat ramai sampai-sampai dia sesibuk itu” ucap Matthew sembari menatap ponselnya dengan chat terakhir dari Lynelle di sana.Ia lalu beralih ke menu kontak dan tanpa ragu mencoba menghubungi seseorang disana.“’Allo”“Halo bu, apakah acaranya sudah mulai?”“Eum sebentar lagi, ibu sedang menuju kesana. Ada apa sayangku?”Matthew mengulum senyumnya sebentar. Tiba-tiba saja ia merasa malu tanpa sebab padahal ia sudah membicaraka soal ini dengan Dwyne jauh-jauh hari.“Bu, ingatkan..”“Ahahaha, tentu saja. Kau seantusias itu?”Matthew mengangguk walaupun ia tahu Dwyne tak bisa melihat gerakannya, “Tentu saja. Ini hal yan
Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 tengah malam dan Belva baru saja selesai dengan semua pekerjaanya. Rumah sakit sudah sepi pada jam seperti ini tentunya namun sebuah langkah sepatu membuat Belva membeku sejenak menatap pintu ruangannya yang tak tertutup menanti dengan was-was siapa yang berkeliaran di area ruangannya pada jam seperti ini.“Wajahmu tegang sekali” ucap seseorang yang berada di ambang pintu sana membuat Belva menghela napasnya yang sedari tadi ia tahan dengan lega.Jujur saja ia sedikit ketakutan karena banyak cerita-cerita mistis yang beredar akhir-akhir ini membuat bulu kuduknya merinding walaupun ia bisa terbilang sering pulang larut.“Ku pikir siapa, ternyata kau” balas Belva sembari sibuk membereskan barang-barangnya lalu menghampiri pria tersebut yang masih beridiri di posisi yang sama.“Kenapa kau masih ke sini?”“Kau bilang akan pulang lebih telat”“Kau benar-benar me
“Ck!”Decihan itu terdengar untuk kesekian kalinya membuat Lynelle akhirnya menyerah dan menatap malas ke arah pria yang sudah menginjak usia kepala 3 di hadapannya. Menampilkan ekpresi cemberut sejak kemarin membuat Lynelle bertanya-tanya apakah pria itu tak lelah memasang ekpresi seperti itu?Bayangkan saja bagaimana lelahnya mengerucutkan bibir selama 2 hari berturut-turut.“Hah!”Lagi, pria itu membuat suara-suara yang di sengaja agar membuat Lynelle peka dan atensi Lynelle tertuju padanya.“Kau tak lelah seperti itu?”“Tak tahu”Jangan lupa dengan balasan yang sama selama 2 hari setiap di ajak berkomunikasi. Lynelle memijat pelipisnya, kelakuan Matthew benar-benar membuatnya pening sejak kejadian dimana ia menggunakan ponsel Carl untuk berkomunikasi sejenak dengan sahabat-sahabatnya sekedar saling berkenalan dan berujung Lynelle mendapat banyak gombalan membuat Matthew merajuk b
“Lynelle..”“Kau tahu. Ia melakukan hal yang fatal sebab tak menerima kenyataan tersebut. Ia menculikku, melukaiku dengan begitu hebatnya sampai rasanya aku ingin mengutuk dunia setiap harinya. Aku ingin mengutuk langit yang terlihat cerah sedangkan aku kesulitan untuk bernapas bebas dalam penjara indah yang ia bangun”“Lynelle maafkan aku. Bukan seperti itu maksudku”“Lalu kau tahu yang paling lucu namun mampu membuatku merasa lebih mati dari sebelumnya saat ia melukaiku? Yaitu saat aku mencoba untuk menerima semua, berdamai dengan semua. Aku kehilangan janinku dan dia membuangku, memulangkanku setelah kejadian itu.” Lynelle memberikan senyum pahit di sela tangisannya, “Bukankah seperti ia sudah tak membutuhkanku lagi?” Matthew menggeleng dengan cepat. Hal itu sudah sangat melenceng, ia tak pernah berpikir untuk seperti itu. Matthew membawa tangan Lynelle pada bibirnya dan mengecupnya berkali-kali. “Jangan berpikir demikian Ly, sedikitpun aku tak pernah ber
Matthew memarkirkan mobilnya tepat di seberang butik Lynelle dan menunggu di sana. Sudah setengah jam berlalu namun ia tak mendapatkan apapun di sana. Sosok Lynelle yang ia nanti menampakkan diri masih tak tertangkap netranya barang sekilas saja.Sepertinya ini sia-sia, pikirnya.Namun Matthew mencoba untuk menunggu lebih lama lagi hingga 1 jam lewat ia habiskan dia sana menunggu Lynelle yang masih tak kunjung nampak pada akhirnya membuatnya menyerah dan dengan sedikit lesu berisap untuk meninggalkan tempatnya.Akan tetapi, baru saja Matthew menyalakan mesin mobilnya, seorang wanita keluar yang Matthew kenal sebagai Lynelle, berjalan sedikit terburu-buru di ujung sana dan hendak menyebrangi jalan. Mengetahui itu, Matthew merasa deg-degan tanpa sebab dan sedikit menunduk untuk bersembunyi begitu Lynelle telah menyebrangi jalan untuk menuju café yang berada tak begitu jauh di tempat Matthew memarkirkan mobilnya.Matthew kembali menunggu cuku
Selagi Lynelle berperang dengan batinnya, Carl beranjak sebentar dan kembali dengan sebucket besar bunga mawar biru yang lalu ia sodorkan kepada Lynelle. Lynelle menerima bunga tersebut dan menatap Carl yang kembali duduk di posisinya.“Selama ini setiap bucket bunga besar yang kau terima itu bukan dariku melainkan dari Matthew”Kali ini tenggorokan Lynelle terasa tercekik tatkala ia berusaha untuk tidak meneteskan airmata lagi. Namun setiap fakta yang Carl ucapkan membuatnya mengalah dan membiarkan tetes demi tetes airmata itu turun membasahi wajahnya yang berekspresi datar.“Mulai dari aku yang mengajakmu ke wahana bermain saat tahun baru, memberimu bucket bunga pertama di hari uang tahumu 2 tahun yang lalu, setahun yang lalu dan sekarang, mengajakmu berkencan setiap hari sabu dan minggu, hadiah natal yang salah satunya merupakan hadiah dari Matthew, bucket bunga untuk butikmu, bahkan butik milikmu sebenarnya saran dari Matthew. Semua itu, di