Pria bertubuh atletis itu terlihat sibuk memindahkan barang-barang bawaan dari tas besar itu. Ia terlihat terburu-buru hingga rasanya ingin mengamuk saja. Dia ada janji pukul 9 pagi ini namun ia kedatangan tamu semalam—terlalu malam, disaat orang tengah tidur—yang berakibat ia harus membereskan semuanya pagi ini.
Beres
Ia lalu kembali berkutat dengan perlengkapannya yang akan di bawa pagi ini. Oke,semuanya sudah beres. Ia siap melaju sekarang.
“Yem?” panggilnya.
Namun ia tak mendengar sahutan atas panggilannya. Ah, hampir lupa, wanita itu mengatakan bahwa akan berbelanja kebutuhan dapur dan lainnya. Namun ini sudah sekitar sejam lebih namun mengapa tak kembali? Tak mau ambil pusing, pria itu hanya mengangkat bahunya acuh tak acuh dan beranggapan ada banyak barang yang mungkin ia harus beli, makanya lama.
Ia melangkah keluar rumah dan memasukkan barang-barangnya ke dalam mobil bagian penumpang belakang, lalu hendak mengirimkan pesan singkat kepada wanita itu bahwa dirinya sudah berangkat.
“Oh, sering-seringlah berkunjung ke rumahku” ucap seseorang di ujung sana.
Pria itu melirik dan menemukan pria tua berusia 45 tahun dengan postur tubuh lebih besar daripada dirinya itu tengah bercengkrama dengan seorang wanita. Benar-benar pria hidung belang pikirnya.
Tapi tunggu, ia kembali melihat kearah yang sama dengan mata mengernyit untuk memperjelas penglihatnnya. Sial, umpatnya. Langsung saja ia menghampiri pria tua itu begitu tahu siapa lawan bicaranya.
“Yemima, kenapa lama sekali?” ucapnya basa basi.
“Oh Carl, kau mau kemana?” balasnya. Terlihat ada sedikit kelegahan di raut wajah Yemima. Sepertinya ia memang sedang berusaha untuk kabur dari sana namun dilema karena merasa durkaha jika tak meladeni pak tua itu.
Suara dehaman terdengar, membuat Carl dan Yemima mengalihkan pandangannya. Tentu saja itu dari pak tua itu alis tetangga Carl. “Oh Mr Andrew, selamat pagi!” Carl menyapa – dengan terpaksa—Mr. Andrew dengan ramah tamah, namun hanya dibalas dengan gumam oleh Mr. Andrew. Bersabar lah Carl.
“Kau.. kekasih pria ini?” Mr. Andrew betanya kepada Yemima, hal itu membuat Carl sedikit was-was, dari gelagatnya terlihat aneh.
“Oh, aku kakaknya. Aku baru saja tiba semalam di Inggris karena—“
“Baguslah, kau tak mungkin menjdi kekasih anak muda nakal ini?”M-maksudnya?,
“Eh, maaf tuan, maksud anda?” tanya Yemima. Sedang Carl sudah memberi tatapan tak suka kepada Mr. Andrew.
Mr. Andrew memberi ekspresi arogannya yang sangat ingin di tinju oleh Carl. Sungguh, Carl tak pernah bermasalah kepada tetangganya dimana pun ia tinggal kecuali dengan pria tua hidung belang ini alias Andrew Zilf. “Oh, hanya saja selalu pulang tengah malam bahkan beberapa hari tak pulang, dan.. dan yaa dia bahkan merayu putriku Alice” jelasnya.
Oh baiklah, Carl tengah berusaha menahan amarahnya. Pria tua ini memang suka mengada-ngada. Carl hendak membalas ucapan omong kosong Mr. Andrew namun lebih dahulu di sela Yemima.
“Ah, maaf tuan jika mengganggu. Carl memang sering pulang larut karena ia sedang berada di tahun akhir perkuliahannya, jadi ia lebih sering menghabiskan waktu bersama temannya untuk saling membantu soal tugas akhirnya” jelas Yemima. benar sekali! Ucap Carl dalam hati, memang kakaknya sangat baik dalam membela adik kesayangannya ini. Mengharukan.
Ekspresi Mr. Andrew terlihat sedikit berubah. Merasa kalah tuan? Ia kembali memberi dehaman khas orang tuanya. “O-oh baiklah.” Ucapnya. Carl memberikan smirk kemenangan sekaligus untuk meremehkan tetangganya satu ini.
“Oh tapi dia harus menjauhi putriku” Mr. Andrew tak habis akal. Ia kembali berucap. Oke kali ini biar Carl yang membalasnya, “Mr. Andrew sudah berapa kali ku katakan aku tak menggoda putrimu. Alice beberapa kali menumpang karena ia selalu kesiangan untuk pergi kesekolah, apa salahnya aku sebagai tetangga baik menawakan tumpangan?” oh, ada nada emosi di sana.
Alice, anak Mr. Andrew yang baru duduk di sekolah akhir dan tengah berada di tahun akhir juga seringkali terlihat tergesah-gesah tiap berangkat kesekolah. Alice dan Mr. Andrew hanya tinggal berdua yang menyebabkan Alice harus menyiapkan sarapan dan membereskan rumah terlebih dahulu sebelum berangkat ke sekolah.
Alice pernah meminta tumpangan kepada Carl yang kala itu hendak berangkat ke kampus lebih pagi dari biasanya. Sepanjang perjalanan Alice menceritakan kisahnya yang membuat Carl iba, hingga tiap kesempatan Carl selalu menawarkan tumpangan untuk gadis berambut pirang tersebut.
Namun siapa sangka, niat baiknya malah di anggap menjijikan oleh ayah Alice.
“Cih, Alice bisa menggunakan bus sekolah. Mengapa kau memberinya tumpangan?”
Astaga pria tua ini.
“Aku juga menemukan kemejamu di kamar nya dan ada foto mu juga disana. Cih dasar anak muda, masih saja mengelak” ucap Mr. Andrew
Carl berpikir, kemeja? Kemeja yang man—oh ia ingat. Carl memberikan kemeja outer-nya ke Alice saat melewati sekolah Alice dan menemukan gadis itu baru saja berjalan keluar dari gerbang sekolah. Carl menawarkan tumpangan lagi namun di tolak oleh Alice.
Carl pikir mungkin gadis itu merasa tak enak hati telah merepotkannya,namun ternyata Alice tak ingin mengotori kursi mobil Carl lantaran dirinya sedang masa periode. Carl terkekeh dan memberikan kemeja yang ia gunakan sebagai outer kepada Alice dan menyuruhnya masuk kedalam mobilnya.
Seperti itu.
Namun tentang foto? Carl tak tahu sama sekali. “Biar ku jelaskan Mr. Andrew itu tidak—“
“Kau ingin membantah apa lagi anak muda? Hah dasar anak zaman sekarang, sudah terbukti namun masih saja mengelak” ucap Mr. Andrew yang sedikit membuat Carl terpancing emosi, namun di tahan olehnya. “ Hey nona, kau ajarkan kepada adik mu yang nakal ini, berhenti menggoda putriku”
Oke baiklah kesabaran Carl sudah habis.
“M-maaf tuan namun—CARL!!” Yemimah terkejut kala Carl melayangkan tinjunya kepada Mr.andrew yang memuat pria berumur itu terhuyung kebelakang.
“Hah-hah, baru kali ini aku melihat orang se-negative thinkingI seperti Mr. Andrew” ucap Carl dengn nafas memburu sembari merapikan pakaiannya. Tak terima, atas perlakuan Carl, Mr, Andrew membalas perlakuan Carl yang berakhir mereka saling adu tinju di pagi hari ini yang membuat Yemimah kewalahan unutk melerai mereka berdua.
Pagi yang sial.
(.)
Ini sudah seminggu lebih sejak kejadian dimana Matthew bertemu dengan Lynelle yang membuatnya masih mengingat wajah gadis yang kala itu hanya di terangi oleh cahaya dari gedung gereja. Tak ada cayaha rembulan sebab tertutup oleh banyaknya awan kelabu.
Matthew yang tengah berada di sebuah caffe yang tak jauh dari apartemenya itu,mengusap wajah tampannya. Ia benar-benar tak mengerti dengan dirinya saat ini.
Ia kembali menyeruput kopi latte yang ia pesan beberapa saat yang lalu kemudian melirik arloji mahal bermerk Patek Phillipe asal Swiss yang melingkar sempurna di pergelangan tangan kirinya. 12 menit lagi pukul 09.00 pagi, namun seseorang yang ia tunggu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Ia sungguh akan berangkat duluan jika saja ia membawa kendaraan. Mengingt jarak café yang tak terlalu jauh dari apartementnya, ia memutuskan berjalan kaki dengan santai
Kebiasaan.
Ia menyeruput lagi kopi milknya dan bermain dengan tablet yang ia bawa dalam tas tangan kantor miliknya.
Cukup lama untuknya menunggu, hingga seorang pria duduk di depannya dengan wajah yang—sedikit mengenaskan.
“Jangan katakan kau latihan gulat terlebih dahulu, setelah itu baru bergegas menuju kemari.” Ucap Matthew sarkas. Sedang pria di depannya hanya menatapnya tajam lalu meringis akibat luka di sudut bibirnya. “Jangan sampai kau orang ke dua yang kupukul pagi ini” balas Carl tak kala sarkas.
Matthew tak menggubrisnya. Ia memanggil pelayan lalu meminta es batu yang kemudian dia bungkus dengan sapu tangan miliknya yang selalu ia selipkan di dalam tasnya dan menadi kebiasan. Ia lalu memberikan sapu tangan itu kepada Carl.
Carl menerimanya lalu mengompress lukanya. Sedikit meringis saat dingin esbatu menempel pada luka di sudut bibirnya.
“Jadi kita akan tetap berangkat atau di undur saja?” tanya Matthew.
Hari ini mereka berencana mengunjungi beberapa rumah sakit yang akan mereka pilih salah satunya sebagai tempat koas nanti. Mereka akan mengunjungi paling banya 3-4 rumah sakit setiap harinya, ya, sebagai rangka mengisi kekososngan hari mereka menunggu wisuda.
“Kita tetap berangkat” kata Carl
“Tapi wajahmu..“Tak perlu khawatir, aku tak apa.”“Siapa bilang aku khawatir? Aku hanya tak ingin berjalan beriringan bersama orang yang berpenampilan kacau sepertimu”Sialan.
Carl mengambil sebuah es batu yang tersisa dan melemparkannya pada Matthew.
Matthew yang berusaha melindungi diri namun tetap kena —mengingat mereka duduk berhadapan dan hanya di halangi meja— tertawa karena berhasi menggoda Carl. Oh lihat lah ekspresi kesal dari Carl, selalu berhasil menghibur Matthew.
“Ahahahhha.. oke-hah, ahahha, oke maaf” kata Matthew yang tak dapat mengontrol tertawanya. Carl hanya mendengus kesal. Benar-benar kurang ajar. “Aku akan ke mobil” ucap Carl lalu bediri hendak beranjak pergi.
“Hey tunggu aku,”
“Kau tak membawa mobil?” tanya CarlMatthew memberi gelengan terlebih dahulu lalu berkata “Tidak, ku pikir berangkat dengan kendaraan masing-masing merepotkan, jadi aku tak membawa mobil dan haya berjalan kaki kemari”
“Yasudah, ayo jalan” ajak Carl. “Duluan saja, aku memesan kopi dulu untuk dijalan” Matthew berjalan menuju kasir untuk membayar pesanannya sekaligus memesan 2 kopi lagi untuk perjalanan mereka.
Sedang Carl kembali ke mobil dan menunggu di sana sembari mengecek lokasi rumah sakit yang akan mereka tuju dan langsung melajukan mobilnya kala Matthew sudah masukdan duduk di sampingnya.
“Rumah sakit mana saja yang akan di datangi?” tanya Matthew namun tetap focus pada tablet yang ia genggam. “Sepertinya hanya sekitaran Oxford saja terlebih dahulu, seperti John Radcliffe, Northampton General, Watford General, lalu..” Carl yang tengah focus menyetir terlihat bingung memikirkan kelanjutan kalimatnya.”Lalu.. Astaga aku hampir lupa. Aku tahu kita harus ke rumah sakit mana dulu" Carl menambah kecepatan mobilnya dan membawa mereka menuju rumah sakit yang akan dituju dengan Matthew di sampingnya kembali diam mengikuti kemana Carl akan membawanya.
hi fells! apa kabar kalian semua? aku harap kalian dalam keadaan sehat semua.. terima kasih karena kalian sudah membaca cerita dari aku!! aku harap kalian selalu senantiasa menanti kelanjutan dari cerita aku!! Juga jangan lupa selalu beri aku semangat ya!! dan berikan banyak cinta untuk cerita aku ini!! berikan vote dan ulasan kalian jika ada hal yang kurang atau perlu untuk di tambah!! sekali lagi terima kasih dan aku cinta kalian!! ops!! stay health juga yaa!! itu yang paling penting :3
Sebuah mobil Mercedes Benz AMG G65 dengan dua pria tampan di dalamnya tengah menyusuri salah satu kawasan di pinggiran kota yang terkenal dengan suasana rimbun dan sejuknya. Matthew beberapa kali terpaku saat mereka melewati beberapa perumahan yang terlihat sangat rimbun, membuat pikiran seketika terasa lebih tenang dari sebelumnya. Lebih mengejutkan saat Matthew melihat patung seekor hiu besar yang terlihat menyelam ke salah satu atap rumah bertingkat itu. “Hey kau terlihat seperti bocah polos yang kuculik dan tengah memperhatikan dunia luar” ucap Carl yang sesekali melirik Matthew karena focus menyetir. “Apakah ada orang di dalam sana?” tanya Matthew penuh ingin tahu.“Dimana?”“Di rumah sana, yang ada patung hiu menerobos atap rumah itu. Apa ada orang di dalam sana?” Astaga. Carl merasa bodoh meladeni Matthew, “Mana ku tahu, kau pikir aku yang membuatnya?” balas Carl cuek. Matthew menatapnya sinis kemudian bergumam kecil “Santai saja
Lynelle Chloe. Gadis berdarah asia itu terlihat begitu ramah dan ceria setiap saatnya. Ia selalu mendapat pujian dari seluruh warga desa dan menjadi anak kesayangan Madam Altha. Namun siapa sangka, gadis itu telah melalui banyak hal yang begitu berat di usia nya yang masih sangat muda. Mulai menginjak tanah eropa di usia 8 tahu membuat Lynelle kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru yang benar-benar berbeda dari tempat ia sebelumnya. Lynelle kecil tinggal di sebuah rumah sederhana di desa hanya berdua bersama ibunya. Nuansa asing ini membuat Lynelle kecil lebih banyak menghabiskan waktu bersama sang ibu yang setiap harinya bekerja sebagai penjahit di desa tersebut. Itu sebabnya bakat merancang busana Lynelle merupakan turunan dari ibunya. “Lynelle..” suara lembut itu menyapa Lynelle kecil yang tengah duduk di sofa kecil tepat di depan sang ibu bersama dengan boneka di tangannya. “Iya bu?” jawab Lynelle kecil dengan suara menggemaska
Waktu masih menunjukkan pukul 6 lewat seperempat namun Matthew sudah siap dari 20 menit yang lalu dengan kemeja navy dan celana kain hitam yang melekat sempurna di tubuh proposionalnya. Tak lupa dengan dasi bergaris yang berwarna sepadan dengan kemejanya yang sedari tadi ia pastikan melekat sempurna di antar kerah kemejanya. Sama halnya dengan pantofel hitam yang ia kenakan, di pastikan untuk tetap mengkilat di bawah sana. Acara kelulusannya akan di mulai setengah delapan namun ia telalu cepat mempersiapkan diri. Bahkan cermin panjang yang bersandar di samping tempat tidurnya sudah bosan melihatnya menampakkan pantulan dirinya untuk ke sekian kalinya. Yang benar saja. Ia terlalu antusias sampai-sampai ujung jemarinya seperti habis didiamkan dalam lemari pendingin cukup lama. Dan jangan lupakan, ia juga berulang kali merapalkan kembali sebuah pidato singkat yang sebenarnya sudah ia ulang-ulangi dari sehari sebelumnya. Sangat luar biasa persiap
Hari ini sudah terhitung seminggu saat Lynelle memutuskan untuk membantu Tuan Ethan—ayah Noah—bekerja di toko roti mereka. Anggap saja ini sebagai usahanya selain bisa mendapat sedikit penghasilan, agar pikirannya tentang pria itu juga sedikit terbayarkan. Toko biasa di buka pukul 7 pagi tepat, namun Lynelle sengaja datang sejam lebih cepat untuk membantu Tuan Ethan bersama sang istri membersihkan toko serta mulai memanggang roti. “Oh akan ku usahakan datang lebih pagi lagi tuan Ethan” ucpanya. Ia lalu mengambil alih donat yang sudah matang dengan lumuran krim vanilla dan kacang almound di atasnya. “Kau sudah datang sejam lebih awal dari pada karyawan biasanya, itu sudah patut di ancungi jempol nona Lynelle, hahaha” tawa khas orangtuanya memenuhi seluruh dapur hingga ke luar. Lynelle tersenyum. Sedang isri tuan Ethan, nyonya Alda baru saja tiba di toko. Ia datang dengan bermacam belanjaan dan sangat banyak. “Ethan!! Eth—Oh Lynelle tolong bantu aku, sepertinya
Sudah 2 bulan Matthew berada di Korea. Ia kira liburan kali ini akan berlangsung menyenangkan sesuai dengan keinginannya beberapa waktu lalu saat mengunjungi beberapa rumah sakit bersama Carl. Namun ternyata kenyataannya berbeda deNgan ekspetasinya. Sudah ada 2 minggu keadaan ayahnya naik turun. Entahlah, perasaan sebelum-sebelumnya Tuan Flint terlihat makin membaik. Buktinya, dokter bahkan mengizinkan sang ayah untuk bepergian selama 2 minggu di Jeju. Namun beberapa hari setelah itu, kondisinya mendadak menurun. Ia tengah menikmati semilir angin sejuk di sore hari sembari membaca novel dengan tenangnya. Pagi tadi ia menghadiri beberapa acara dan pertemuan penting untuk menggantikan sang ayah sama seperti akhir-akhir ini. Dugaan awalnya kegiatannya hari ini akan memakan waktu cukup lama, tapi ternyata tidak, sehingga ia gunakan untuk sedikit me time sebelum kembali ke rumah sakit untuk bergantian dengan sang ibu, Dwyne menjaga tuan Flint. Kesunyian i
Kehidupan koas yang berjalan seminggu lebih ini terasa seakan-akan mereka tengah menjadi dokter sungguhan. Di saat orang-orang yang tengah terlelap di malam hari, mereka yang tengah berjaga shift malam harus tetap terjaga untuk mengamati para pasien. Tak jarang juga beberapa dari mareka yang mencuri-curi waktu untuk memejamkan mata barang semenit. Pukul 12 kurang 15 menit, Benneth tengah memasuki salah satu kamar pasien yang baru masuk sekitar 5 jam yang lalu. Pasien yang tengah menggunakan alat bantu pernapasan itu mendadak terserang sesak napas saat tengah membantu membersihkan gereja tua. Benneth dengan teliti memeriksa sang pasien dan mengecek Elektrokardiograf atau EKG yang sengaja di pasang kepada pasien. “Ah, Selamat malam dokter” seseorang yang baru masuk menyapa Benneth yang kini tengah memeriksa cairan infus pasien. Suara lembut itu membuatnya terjekut dan langsung berbalik takut-takut tidak ada seseorang di sana seperti kejadian-kejadian mistis yang sering
Matthew berjalan dengan gontai memasuki apartementnya. Akhir-akhir ini lebih menghabiskan banyak wkatu di rumah sakit, bahkan sempat tak pulang selama 3 hari. Tanpa menyalakan lampu, ia berjalan dengan begitu lemas menuju kamar tidurnya. Sungguh yang ia inginkan saat ini adalah istirahat.Ia baru magang namun kesibukkan berasa ia sudah menjabat jadi dokter. Bagaimana jika ia menjadi dokter sungguhan? Apakah akan ada yang mau menjadi pendamping hidupnya jika ia sesibuk ini?Tunggu, apa saja yang baru ia pikirkan?Dengan sisa tenaga yang ada, ia berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya dengan air hangat. Sungguh jika bukan aktifitasnya di rumah sakit, ia lebih memilih tak akan mandi dan langsung tidur. Namun ia pulang dengan berbagai macam virus yang menempel di badannya, sebab itu ia perlu lekas mandi setelah itu bisa beristirahat.(.)“Madam, apakah aku bepergian cukup lama?” tanya Lynelle yang baru
“.. Secara keseluruhan rumah sakit telah jauh lebih unggul mulai dari penyediaan kebutuhan medis, dokter spesialis, makanan untuk pasien, dan pelayanan walaupun masih kurang sekitar 20% sebab masih ada beberapkali terjadi kelalaian saat shift malam. Tapi tenang saja, rumah sakit tersebut memiliki progress yang selalu meningkat setiap saatnya.”Presentasi yang di bawakan oleh Matthew merupakan presentase trakhir dan menutup kegiatan presentasi kegiatan awal bulan untuk fakultas mereka. Para mahasiswa dan dosen fakultas mulai beranjak meninggalkan aula untuk melanjutkan kegiatan mereka.“Presentasi yang bagus dude,” ucap Benneth kepada Matthew. Matthew sendiri hanya menanggapinya dengan senyum.“Kapan kalian akan berangkat?” Tanya Carl kepada Benneth dan yang lainnya.“Tentu saja besok” ucap Natha.“Bersamaan?”“Tentulah bodoh, kau dan Matthew harus bersyukur, untung saja han
2 tahun kemudian...Rutinitas Lynelle kembali bertambah setelah menjadi istri dari seorang dokter dan pembisnis ternama, Matthew Flint, membuat dirinya sedikit lebih repot dari biasanya. Jam kecil di atas nakas masih menunjukkan pukul 5 pagi namun Lynelle harus memaksakan dirinya untuk bangun dan mulai menyibukkan dirinya.Dimulai dengan membereskan rumah, mencuci piring dan pakaian. Begitu jam menunjukkan pukul 6 pagi, Lynelle kembali ke kamar dan membangunkan Matthew untuk bersiap-siap berangkat kerja. Begitu Matthew sudah terbangun, Lynelle kembali menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.Bertepatan saat sarapan sudah selesai, Matthew sudah siap dengan pakaian formalnya dan kembali sibuk dengan ponselnya untuk melihat jadwal hari ini.“Kau akan pulang malam lagi?” tanya Lynelle,“Heum”Heum?Lynelle melihat ke arah Matthew yang masih sibuk dengan ponselnya. “Aku harus menunggumu atau tida
Disinilah Lynelle yang duduk berhadapan dengan Belva yang tengah meneguk cola-nya dengan begitu anggun sedang Matthew tengah memesan makanan untuk dirinya dan Lynelle. Lynelle berusaha mengedalikan ekspresinya namun tak bisa di pungkiri jika sampai detik ini ia masih merasa kesal dengan kehadiran Belva.Cih, perjalanan yang memakan waktu cukup lama apanya? ini tak sampai 30 enit dari apartementku dan lagi, KENAPA HARUS ADA WANITA INI?! Seperti itulah jeritan isi hati Lynelle yang tak bisa ia suarakan.Belva yang tahu jika Lynelle akan memberinya tatapan tajam, bersikap enteng dan tetap memberikan senyum manisnya sekalipun Lynelle tetap tak merubah ekspresinya.“Kenapa kau ada disini?” ucap Lynelle pada akhirnya. Ia sudah tak bisa menahannya dan kalimat itu sudah berada di ujung lidahnya jadi seklaian saja ia keluarkan.Alih-alih langsung menjawab, Belva terlebih dahulu memakan kentang gorengnya dan menyuap 1 gigitan besar burger kedal
Kedua insan itu saling menyalurkan kehangatan melalui dekapan erat mereka dan selimut tebal menutupi tubuh polos mereka tanpa sehelai benang pun. Lynelle mengelus pelan rambut hitam legam milik Matthew yang sudah mulai memanjang. Lynelle terkekeh begitu Matthew mengendus pada dadanya untuk mencari kehangatan.“Kau tidak akan bangun?” tanya Lynelle. Matthew hanya memberikan gumaman tidak sejelas lalu mengeratkan pelukannya.“Matthew, bolehkah aku bertanya?”Tak mendapatkan jawaban apapun dari Matthew, Lynelle kembali melanjutkan pertanyaannya. “Kemarin, saat makan siang dengan ibumu, beliau sempat berkata bahwa dia bukan ibu kandungmu” Lynelle menjilat bibirnya yang kering sembari memainkan rambut Matthew. Matthew sendiri pun masih tak berkomentar apapun membuatnya kembali berbicara, “Boleh aku tahu apa yang terjadi?”“Aku sepertinya belum tahu banyak tentangmu, jadi—““Mau ku cei
Matt_ofLy, dimana?myloveLYsedang di belakang panggungnanti kuhubungi lagi“Wah, sepertinya acara peluncurannya sangat ramai sampai-sampai dia sesibuk itu” ucap Matthew sembari menatap ponselnya dengan chat terakhir dari Lynelle di sana.Ia lalu beralih ke menu kontak dan tanpa ragu mencoba menghubungi seseorang disana.“’Allo”“Halo bu, apakah acaranya sudah mulai?”“Eum sebentar lagi, ibu sedang menuju kesana. Ada apa sayangku?”Matthew mengulum senyumnya sebentar. Tiba-tiba saja ia merasa malu tanpa sebab padahal ia sudah membicaraka soal ini dengan Dwyne jauh-jauh hari.“Bu, ingatkan..”“Ahahaha, tentu saja. Kau seantusias itu?”Matthew mengangguk walaupun ia tahu Dwyne tak bisa melihat gerakannya, “Tentu saja. Ini hal yan
Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 tengah malam dan Belva baru saja selesai dengan semua pekerjaanya. Rumah sakit sudah sepi pada jam seperti ini tentunya namun sebuah langkah sepatu membuat Belva membeku sejenak menatap pintu ruangannya yang tak tertutup menanti dengan was-was siapa yang berkeliaran di area ruangannya pada jam seperti ini.“Wajahmu tegang sekali” ucap seseorang yang berada di ambang pintu sana membuat Belva menghela napasnya yang sedari tadi ia tahan dengan lega.Jujur saja ia sedikit ketakutan karena banyak cerita-cerita mistis yang beredar akhir-akhir ini membuat bulu kuduknya merinding walaupun ia bisa terbilang sering pulang larut.“Ku pikir siapa, ternyata kau” balas Belva sembari sibuk membereskan barang-barangnya lalu menghampiri pria tersebut yang masih beridiri di posisi yang sama.“Kenapa kau masih ke sini?”“Kau bilang akan pulang lebih telat”“Kau benar-benar me
“Ck!”Decihan itu terdengar untuk kesekian kalinya membuat Lynelle akhirnya menyerah dan menatap malas ke arah pria yang sudah menginjak usia kepala 3 di hadapannya. Menampilkan ekpresi cemberut sejak kemarin membuat Lynelle bertanya-tanya apakah pria itu tak lelah memasang ekpresi seperti itu?Bayangkan saja bagaimana lelahnya mengerucutkan bibir selama 2 hari berturut-turut.“Hah!”Lagi, pria itu membuat suara-suara yang di sengaja agar membuat Lynelle peka dan atensi Lynelle tertuju padanya.“Kau tak lelah seperti itu?”“Tak tahu”Jangan lupa dengan balasan yang sama selama 2 hari setiap di ajak berkomunikasi. Lynelle memijat pelipisnya, kelakuan Matthew benar-benar membuatnya pening sejak kejadian dimana ia menggunakan ponsel Carl untuk berkomunikasi sejenak dengan sahabat-sahabatnya sekedar saling berkenalan dan berujung Lynelle mendapat banyak gombalan membuat Matthew merajuk b
“Lynelle..”“Kau tahu. Ia melakukan hal yang fatal sebab tak menerima kenyataan tersebut. Ia menculikku, melukaiku dengan begitu hebatnya sampai rasanya aku ingin mengutuk dunia setiap harinya. Aku ingin mengutuk langit yang terlihat cerah sedangkan aku kesulitan untuk bernapas bebas dalam penjara indah yang ia bangun”“Lynelle maafkan aku. Bukan seperti itu maksudku”“Lalu kau tahu yang paling lucu namun mampu membuatku merasa lebih mati dari sebelumnya saat ia melukaiku? Yaitu saat aku mencoba untuk menerima semua, berdamai dengan semua. Aku kehilangan janinku dan dia membuangku, memulangkanku setelah kejadian itu.” Lynelle memberikan senyum pahit di sela tangisannya, “Bukankah seperti ia sudah tak membutuhkanku lagi?” Matthew menggeleng dengan cepat. Hal itu sudah sangat melenceng, ia tak pernah berpikir untuk seperti itu. Matthew membawa tangan Lynelle pada bibirnya dan mengecupnya berkali-kali. “Jangan berpikir demikian Ly, sedikitpun aku tak pernah ber
Matthew memarkirkan mobilnya tepat di seberang butik Lynelle dan menunggu di sana. Sudah setengah jam berlalu namun ia tak mendapatkan apapun di sana. Sosok Lynelle yang ia nanti menampakkan diri masih tak tertangkap netranya barang sekilas saja.Sepertinya ini sia-sia, pikirnya.Namun Matthew mencoba untuk menunggu lebih lama lagi hingga 1 jam lewat ia habiskan dia sana menunggu Lynelle yang masih tak kunjung nampak pada akhirnya membuatnya menyerah dan dengan sedikit lesu berisap untuk meninggalkan tempatnya.Akan tetapi, baru saja Matthew menyalakan mesin mobilnya, seorang wanita keluar yang Matthew kenal sebagai Lynelle, berjalan sedikit terburu-buru di ujung sana dan hendak menyebrangi jalan. Mengetahui itu, Matthew merasa deg-degan tanpa sebab dan sedikit menunduk untuk bersembunyi begitu Lynelle telah menyebrangi jalan untuk menuju café yang berada tak begitu jauh di tempat Matthew memarkirkan mobilnya.Matthew kembali menunggu cuku
Selagi Lynelle berperang dengan batinnya, Carl beranjak sebentar dan kembali dengan sebucket besar bunga mawar biru yang lalu ia sodorkan kepada Lynelle. Lynelle menerima bunga tersebut dan menatap Carl yang kembali duduk di posisinya.“Selama ini setiap bucket bunga besar yang kau terima itu bukan dariku melainkan dari Matthew”Kali ini tenggorokan Lynelle terasa tercekik tatkala ia berusaha untuk tidak meneteskan airmata lagi. Namun setiap fakta yang Carl ucapkan membuatnya mengalah dan membiarkan tetes demi tetes airmata itu turun membasahi wajahnya yang berekspresi datar.“Mulai dari aku yang mengajakmu ke wahana bermain saat tahun baru, memberimu bucket bunga pertama di hari uang tahumu 2 tahun yang lalu, setahun yang lalu dan sekarang, mengajakmu berkencan setiap hari sabu dan minggu, hadiah natal yang salah satunya merupakan hadiah dari Matthew, bucket bunga untuk butikmu, bahkan butik milikmu sebenarnya saran dari Matthew. Semua itu, di