Dino tersenyum setelah panggilan teleponnya dengan Rosa berakhir. Tadi itu benar-benar menyenangkan. Rosa membahas banyak hal. Dari yang penting sampai sesuatu yang tidak terlalu penting juga diceritakan olehnya.
Saat Rosa bercerita, Dino hanya duduk diam di atas kasurnya. Mendengarkan dengan kaki yang sengaja disilangkan, dia duduk bersila dengan nyaman.
Waktu berlalu sangat cepat dan tak terasa, sudah satu jam lebih mereka berdua berbicara di telepon. Sampai-sampai tak menyadari waktu yang telah berlalu di antara mereka.
Dino terkekeh pelan dia benar-benar menikmati hal ini, rasanya sungguh menyenangkan. Inilah kualitas sesungguhnya dalam sebuah hubungan, tak ada yang saling diam dan merasa canggung terhadap satu sama lain. Hubungan itu akan menuju tingkat yang jauh lebih tinggi dan Dino akan menunggu saat itu tiba.
Pemuda berambut agak jabrik itu lantas bangkit dari tempat tidurnya, kemudian beranjak menghampiri kamar mandi. Senyum tipis di wajahnya sama sekali belum luntur sejak tadi. Tampaknya, kebahagiaan kecilnya yang sederhana itu membuatnya lupa dengan pesan yang tadi sempat masuk dan ia abaikan.
Dino memilih tak tahu, bahwa sebenarnya ada seseorang yang sedang menunggu balasan pesan darinya.
Lima menit kemudian, Dino pun keluar dari kamar mandi dengan keadaan hanya terbalut handuk tipis berwarna hijau. Laki-laki itu tak perlu berlama-lama di kamar mandi. Apa jadinya jika laki-laki mandi seperti perempuan? Mereka akan lama dan Dino tak suka pemikiran itu.
Dino membersihkan kulitnya yang masih basah. Tubuhnya sekarang sudah wangi, khas remaja laki-laki yang sedang kasmaran. Tunggu, apa orang jatuh cinta memiliki aroma yang berbeda dari mereka yang tidak jatuh cinta? Entahlah, Dino tak memusingkan hal itu. Aroma sabun mandi yang sering dipakai anak itu menguar dan keluar dari kulit pucatnya. Rasanya segar dan menenangkan.
Pemuda itu kemudian menyugar rambutnya yang masih basah. Sudah saatnya untuk Dino merapikan rambut hitamnya itu. Meskipun pertumbuhan mahkota di kepalanya itu tak terlalu cepat, tapi Dino tetap memiliki keinginan untuk memotong bagian yang dirasa tidak perlu.
Tampil beda akan jauh lebih menyenangkan, bukan?
Pasti repot jika dia tak segera merapikan rambut. Sesegera mungkin dia harus memotongnya, tidak boleh menunggu sampai musim panas tiba. Dewan kerapian sekolah atau OSIS akan mendatanginya dan langsung memberikan penalti dengan cara memangkas rambutnya di tengah lapangan sekolah. Setidaknya, itulah kejadian yang dulu pernah dialami oleh kakak kelasnya, ketika dirinya masih anak kelas satu.
Sudah lama sekali, tapi hal itu sangat memalukan jika diingat-ingat. Padahal bukan dia yang mengalami.
Dino lantas berdiri di depan cermin, masih sambil menyugar rambutnya ke belakang. Pikirannya saat ini dipenuhi oleh berbagai hal, terutama tentang sang pengirim pesan yang tadi sempat menginterupsi kegiatannya dengan Rosa.
Tidak, tidak, Dino tidak merasa menyesal mengabaikan gadis itu. Tidak sama sekali.
Dino secara perlahan masuk ke alam bawah sadarnya. Dia merenung sambil bermonolog dalam hati.
Pemuda itu mengingat berbagai peristiwa dan kenangan yang pernah terjadi dalam hidupnya. Mengulas kembali hal-hal yang juga berhubungan dengan seorang gadis yang dia kenal.
Ini tentangnya, juga tentang Lisa Hogward. Gadis tetangga yang selalu membuntutinya kemana pun dia pergi.
Gadis yang menaruh asa padanya. Gadis yang menyimpan rasa cinta untuknya.
Ini tentang pertemuan pertama mereka berdua.
***
Ketika aku teringat dengan kenangan ini, aku langsung teringat dengan lagu yang dibawakan oleh penyanyi Jepang, Nulbarich yang berjudul Lost Game. Lagu kesukaanku, di mana musiknya begitu menenangkan. Aku juga teringat dengan anime* yang juga berhubungan dengan lagu ini, Hello World. Anime movie yang mengharukan, mendebarkan dan begitu terasa kisah perjuangan yang ada di dalamnya.
Aku bukan seorang Otaku yang gemar mengoleksi sesuatu yang berbau anime, juga bukan seorang wibu. Namun, aku akan menonton anime atau drama Jepang yang menarik perhatianku.
Sejujurnya, kota tempatku tinggal ini mengusung konsep Jepang. Entah makna apa yang berusaha disampaikan oleh kota ini, namun sejarah bangsa Indonesia masih sangat kental di kota yang dijuluki Kota Air.
Hello World berlatar waktu pada tahun 2027, dan bertempat di Kyoto. Di sana, seorang anak laki-laki bernama Naomi bertemu dengan dirinya yang berasal dari masa depan. Naomi masa depan itu datang padanya untuk membantunya mendapatkan pacar. Namun, ketika kisah asmara Naomi telah bersemi, dunia mulai terhapus secara perlahan dan kehidupan mereka terancam.
Ada satu hal lagi yang paling kuingat dari cerita ini, dan itu adalah kutipan di dalamnya.
"Kota ini, aku, kamu, dan dunia yang aku kira nyata, ternyata semuanya tak lebih dari sekadar data".
Miris, bukan? Dan aku pun merasa ... hidupku sama seperti permainan yang ada di dalam film ini. Dikendalikan oleh seseorang.
Namaku Dino, lengkapnya Dino Leckner. Nama yang tak biasa untuk seorang anak yang lahir di Indonesia, menurutku. Namun aku suka.
Leckner itu adalah marga atau nama belakang dari keluarga pihak ayahku. Alasannya karena suatu tradisi yang tak tertulis di kota ini, maka hal itu membuat orang-orang akan memakai marga sang kepala keluarga untuk seluruh anggota keluarganya.
Aku juga memakai marga ini, sama halnya dengan ibuku dan juga Rei—kakakku.
Aku putra kedua dari pasangan Mogi Leckner dan Gina Leckner. Mereka ini adalah ayah dan ibu yang paling berjasa dalam hidupku.
Aku memiliki seorang kakak laki-laki, namanya Rei. Nama kakakku itu aslinya adalah Reno, tapi dia tidak suka dan ingin namanya terdengar seperti orang Jepang. Maka, Jadilah Rei Leckner.
Kakakku itu sudah bekerja untuk membantu perekonomian rumah sejak dirinya masih kecil. Misal membantu berkebun atau pergi ke kebun sawit. Kau tahu? Sawit di pulau Kalimantan sangatlah banyak.
Umurku dan Rei hanya selisih beberapa tahun. Dia benar-benar seorang kakak yang baik, panutan yang luar biasa, karena dia memang dibiasakan mandiri apa pun keadaan yang sedang menimpanya.
Meski begitu, terkadang dia memerlukan waktu untuk menyendiri demi memikirkan banyak hal. Namun, dia tak pernah menunjukkannya kepada orang lain, termasuk aku. Jadi anak pertama itu lebih susah dari apa yang aku bayangkan, ya? Bebannya ternyata berat. Jika aku anak pertama, pastilah aku tak bisa melaluinya.
Kami hanya bertetangga dengan satu keluarga, sebab hanya rumah orang itulah yang berseberangan dengan rumah keluarga kami.
Aku akan menceritakan beberapa kisah yang terus saja mengangguku hingga saat ini, meski kejadian itu telah berlalu sejak lama, hampir 10 tahun lamanya. Namun, aku masih mengingatnya dengan jelas.
Memang, ya, otak manusia itu akan dengan mudah mengingat sesuatu yang sangat membuatnya terkesan.
Baiklah, semua ini bermula dari kepindahan sebuah keluarga dan munculnya seorang gadis kecil yang cukup manis saat itu. Dia adalah anak tetangga yang suka sekali membuntutiku, kemana pun aku pergi.
Gadis kecil itu ibarat seorang penggemar fanatik yang selalu mengikuti idolanya kemana saja. Apa aku berlebihan? Tentu saja, tidak. Sebab, itulah kenyataan.
Ketika aku berangkat ke sekolah, gadis kecil berambut cokelat sebahu itu akan menatapku dari balik pagar rumahnya. Matanya yang besar menatapku dengan bola mata yang berkaca-kaca. Aku tak tahu, apa dia saat itu menangis atau karena dia yang terlalu memujaku.
Tak hanya itu saja, ketika aku berjalan menuju sekolah, aku selalu merasa diikuti oleh anak itu.
Dia akan mengiringi setiap langkahku sampai aku hampir tiba di sekolah. Rasanya seperti memiliki penjaga, tapi dia seorang anak perempuan. Dia lebih lemah dari anak laki-laki Beruntung, aku dan gadis itu berbeda sekolah.
Waktu itu, aku sempat berpikir bahwa dia tidak akan mengikutiku saat jam pulang sekolahku tiba. Namun, aku salah. Gadis kecil itu sudah menungguiku di depan gerbang sambil menjinjing tas merahnya.
Bahkan, dia tetap mengikutiku saat aku berjalan menuju rumah, kemudian kami berpisah saat aku sudah menutup pintu pagar. Saat itulah, aku bisa tenang.
Satu hal yang juga aku ingat darinya adalah ekspresinya. Pipi chubby gadis kecil itu akan bersemu merah setiap kali menatapku. Aku tak tahu mengapa dia terlihat seperti orang yang sedang demam. Mungkin karena anak itu terlalu aneh dan aku anti terhadap orang aneh.
Kepindahan keluarganya ke seberang rumahku tak pernah kusangka awalnya. Namun seperti kebanyakan anak seusiaku yang lain, aku tak peduli dengan gadis kecil berambut cokelat itu. Tak kusangka dia memiliki wajah yang cukup manis, tapi aku tidak pernah mau mengajaknya berbicara. Tidak sampai dia berhenti bersikap aneh di depanku.
Semenjak itulah hari-hariku mulai terganggu dikarenakan kehadirannya. Pertemuan pertama kami adalah siang hari di Minggu pertengahan bulan Juni yang pada waktu itu banyak orang lebih memilih berada di dalam rumah daripada harus 'membakar diri' di luar.
Musim panas tahun itu terasa begitu panas, dan begitu menyengat. Melebihi musim panas yang sudah pernah kulewati di tahun-tahun sebelumnya. Panas sekali, sehingga ada banyak orang yang tidak sanggup berdiri lama-lama di luar rumah lebih dari sepuluh sampai lima belas menit. Apalagi jika orang itu tak merasa kehausan sama sekali.
Waktu itu, aku dan kakak laki-lakiku, Rei sedang asyik memakan buah semangka dengan kipas angin yang bertiup tepat di depan wajah kami. Kegiatan yang mengharuskan kami melahap dua potong semangka dalam satu menit itu harus terganggu saat terdengar suara ketukan dari pintu depan.
Awalnya samar-samar dan tak kupedulikan, namun ketukan itu semakin bertambah cepat di tiap detiknya.
Ada seseorang yang membutuhkan bantuan, pikirku saat itu.
Aku melirik Kak Rei, dia tetap tenang dan sepertinya tak mau beranjak sedikit pun dari tempatnya. Mungkin karena aku yang paling muda dan sebagai bentuk sopan santun terhadap orang yang bertamu saat itu, maka akulah yang disuruh oleh Rei-aniki* untuk membukakan pintu depan.
Ayah dan ibuku sedang berada di samping rumah, sehingga mereka berdua tak ada di rumah utama. Di sini, hanya ada aku dan kakakku yang pemalas itu.
Ayahku adalah seorang dokter yang membuka klinik kecil di sebelah rumah, dan ibuku adalah seorang perawat yang ikut membantu di klinik kami yang sederhana itu.
Klinik itu tak terlalu besar, tapi ayah sangat menyayangi tempat itu. Orang tuaku tak selalu berada di rumah, walau klinik dan rumahku itu hanya bersebelahan dinding saja. Aku pun mengalah. Jadi, dengan langkah kaki kecil yang asal-asalan dan cenderung malas, aku terpaksa berjalan menuju pintu, sebab Rei-aniki* jelas tak mau menjeda waktu bersantainya demi membuka pintu untuk seseorang yang masih berdiri di luar sana.
Aku sebagai adik yang sayang padanya pun menerima permintaan tak langsungnya itu dengan baik.
"Ha, anak baik, Dino-chan," ejek kakakku sambil mengerling jail. Aku merengut sebal.
"Akan kuadukan pada Otou-san," kataku sambil mengentakkan kaki di lantai. Rei tertawa keras dan membuat gestur dengan tangannya, menyuruhku bergegas membuka pintu.
Kemudian dia berkata, bahwa aku tidak boleh mengganggu waktu bersantainya. Juga, karena aku adalah adiknya, maka aku harus mau dimintai tolong. Tidak adil. Padahal dia punya dua kaki yang panjang. Menurutku, apa yang dia lakukan ini terlihat seperti pemaksaan daripada sebuah permintaan tolong.
Yang kulihat pertama kali ketika membuka pintu adalah seorang gadis kecil seusia denganku, tengah berdiri dengan keadaan yang bisa dibilang sedikit 'kacau', oh maaf, aku keliru. Dia sangat, sangatlah kacau, dengan air mata yang terlihat masih menganak di kedua kelopak mata berwarna cokelatnya. Gadis itu sedang berdiri tepat di depan pintu rumahku.
Dan akhirnya setelah cukup lama terdiam, aku baru menyadari kalau gadis yang kutemui ini adalah tetangga baru seberang rumah yang bernama Lisa Hogward.
Gadis yang seringkali mengikutiku ke sekolah. Ini pertama kalinya aku dan Lisa bertatapan mata secara langsung, berhadap-hadapan.
Lisa menatapku hampa dengan wajah yang basah karena air mata. Hidungnya memerah, tubuhnya bergetar pelan dan lutut serta telapak kakinya berlumuran darah. Aku mengernyitkan wajah saat melihat penampilannya.
Aku tak bisa melupakan ekspresi putus asanya saat ia berkata lirih kepadaku. "Apa Mogi-ji-san*nya ada di rumah, Dino-kun?"
Entah apa yang terjadi dengan pendek itu, seingatku aku hanya mengangguk pelan dan segera berbalik menuju pintu yang berhubungan langsung dengan klinik samping rumah, meminta ayah yang untungnya sedang tidak ada pasien itu untuk segera menemui si pemilik bola mata kecokelatan.
Aku lalu berjalan kembali menemui Lisa tepat di belakang ayah, mengekor di belakangnya. Seolah menemukan malaikat penyelamatnya, wajah Lisa langsung berubah berseri-seri, aku bahkan tak pernah sekalipun melihat ekspresinya yang seperti itu. Sebab aku selalu berpikiran jika Lisa itu pendiam yang aneh.
Lisa yang aku tahu sangat pemalu itu tiba-tiba saja menarik jas kerja ayahku, bahkan di mataku dia terlihat memeluk ayah dengan tangan bergetar. Dengan susah payah, ia seret kembali telapak kakinya yang terluka dan mengeluarkan darah. Lisa mengajak ayah agar mengikutinya menuju rumahnya yang berada tepat di seberang rumah kami.
Aku tak tertarik dan tak berniat mengikuti mereka berdua. Jadi, aku hanya terdiam sambil memandang ayah serta Lisa yang menghilang di balik pagar rumah. Kemudian aku menutup pintu, semangka manis dengan embusan sejuk dari kipas angin, bagiku lebih menggoda daripada membuntuti ayah ke rumah gadis aneh yang selalu menatapku penuh minat.
Dan, aku bahkan tak pernah berkenalan secara resmi dengannya, tapi dia sudah mengetahui namaku. Yah, untuk jaga-jaga aku pun tahu dengan namanya. Lisa Hogward, gadis yang selalu mengikutiku.
***
Pada pembicaraan ibu dan Eiko-baa-san* yang kadang terdengar olehku (bukan berarti aku ada maksud menguping pembicaraan mereka), aku jadi tahu jika Lisa itu hanya tinggal dengan seorang ayah dan Imouto-nya* tanpa adanya seorang ibu yang merawat tumbuh kembang mereka.
Pada pembicaraan itu juga aku tahu bahwa ibu Lisa meninggalkan keluarga kecilnya itu demi seorang pria dari masa lalunya. Wanita itu memilih mencampakkan pria yang dijodohkan dengannya, meski si pria—yaitu ayahnya Lisa—sangat mencintai wanita itu. Dia malah menelantarkan dua kecil yang masing-masing masih berumur delapan dan empat tahun kala itu. Mereka tak lain dan tak bukan adalah Lisa dan adik perempuannya sendiri, Mira.
Kadang ibu menceritakan anak bersurai pendek kecokelatan itu dengan mata yang berkaca-kaca. Betapa tersentuhnya hati seorang wanita ketika melihat kemalangan yang menimpa seorang anak.
Ibu sering mengutuk wanita yang telah meninggalkan dua orang anak perempuan semanis Lisa dan adiknya. Padahal ibu sedari dulu sangat mendambakan kelahiran seorang putri di tengah keluarga kami, tapi ibu Lisa justru menyia-nyiakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Indah itu.
Puncaknya, ibu menangis sesenggukan ketika pada malamnya ayah menceritakan apa yang terjadi pada keluarga Lisa siang tadi, saat kesedihan menderanya.
Melalui cerita ayah yang kudengar, aku tak bisa membayangkan betapa paniknya seorang anak berumur delapan tahun, seperti halnya Lisa saat mendapati ayahnya sedang meregang nyawa dengan tangan yang berlumuran darah.
Lisa hanya bertiga saja dengan ayah dan adik perempuannya yang kala itu sedang menangis sesenggukan. Sama sekali tak ada seorang pun yang akan membantunya pada kejadian yang tak terduga seperti itu.
Jadi, entah bagaimana, Lisa berinisiatif berlari ke rumahku, untuk meminta pertolongan. Meski hati si sulung Hogward itu tengah dilanda rasa ketakutan yang luar biasa, karena memikirkan jiwa ayahnya yang mungkin bisa saja melayang karena terlambatnya pertolongan pertama. Jadi saat itu, ia pun terpontang-panting mencari bantuan.
Berharap seseorang bisa menyelamatkan nyawa ayahnya yang tak berdaya karena cinta telah menghancurkan segala harapannya. Membuat hidup tak lagi bermakna untuknya. Lisa dan adiknya tentu tidak ingin kehilangan siapa pun lagi, sudah cukup ibunya memilih pergi dengan pria lain, mereka tak ingin ayah mereka juga pergi dari sisi keduanya. Lisa dan adiknya masih bisa hidup bahagia bersama ayah mereka, tanpa kasih sayang seorang ibu yang berani menelantarkan mereka.
Untuk itu, dia akan berdoa lebih banyak lagi kali ini, agar ayahnya bisa diselamatkan. Agar dia mendapat kebahagiaan yang tidak disangka-sangka. Dia hanya ingin hidup bersama orang yang disayangi, kehidupan yang damai dan tak ada seorang pun yang berani mengusik.
***
Pojok kata yang akan ditemui.
Tou-san* = Ucapan untuk menyebut atau memanggil ayah dalam bahasa Jepang. Sebutan lainnya dalam formal yaitu Chichi-ue.
Kaa-san* = Ucapan untuk menyebut atau memanggil ibu dalam bahasa Jepang. Sebutannya dalam formal yaitu Haha-ue.
Kami-sama* = Ucapan untuk menyebut Tuhan atau dewa dalam bahasa Jepang.
Aniki* = Abang, tapi dalam bahasa Jepang.
Nani o kangaeteruno*?: "Apa yang sedang kamu pikirkan?" Kalimat dalam bahasa Jepang.
Ck. Ima wa nani mo hanashi o shitaikunai. Mou unzari*: "Ck. Aku sedang tak ingin bicara sekarang. Aku lelah." Kalimat dalam bahasa Jepang.
Janji itu harus ditepati, tapi bagaimana jika keadaan tidak memungkinkan kita untuk menepatinya?***Rupanya, Doran Hogward, ayahnya Lisa sedang berusaha menghabisi dirinya sendiri karena tak bisa mengenyahkan bayangan wanita yang telah berkhianat dari dalam hidupnya. Pria itu berpikir pendek, tak peduli pada trauma yang mungkin saja akan dialami kelak oleh kedua putri kecilnya.Masih menurut cerita ayah, Lisa menangis histeris sambil berulangkali mengucapkan terima kasih saat ayahnya telah berhasil menyelamatkan nyawa Doran yang malang itu.Anak kecil itu memeluk pinggang Mogi karena memang tingginya hanya sampai di situ—tetap dengan air mata haru. Lisa sangat bersyukur, karena itu jelas tidak bisa membayangkan hidupnya dan adik perempuannya nanti, jika sang ayah juga pergi meninggalkannya.Dan sesaat sesudah cerita ayah selesai, ibu lantas menatap serius ke arahku, tatapan yang tak pernah ditunjukkan oleh ibuku sebelumnya. "Kau harus jadi t
Hari demi hari pun berlalu. Tak terasa, sudah tiga bulan lebih Lisa tinggal di kawasan baru bersama keluarga kecilnya. Semenjak pindah ke rumah yang jauh lebih besar, Lisa merasakan beberapa perubahan yang telah terjadi di depan matanya. Perubahan yang begitu besar, dan terasa menyenangkan.Ayah dan ibunya tak lagi bertengkar seperti dulu. Tak ada lagi pertengkaran di setiap saat seperti yang sering mereka lakukan di depan anaknya. Bahkan, tatapan ayahnya yang semula menatap tidak suka, kini menjadi tatapan lembut setiap kali dia melihat kepada sang istri, yang itu berarti ibunya Lisa. Tak ada lagi sorot kebencian ataupun rasa tidak suka yang terpancar di kedua bola matanya. Yang ada di sana hanyalah kekuatan perasaan yang baru saja tumbuh dan berkembang. Benar-benar sebuah tatapan yang tulus dari hati.Sama seperti ayah, ibunya juga sering menampakkan raut muka tersipu yang begitu manis. Ketika Lisa memuji betapa enaknya masakan buatannya. Padahal
Dalam hidup, kita akan bertemu dengan 2 tipe manusia. Yang pertama adalah mereka yang memang berhati tulus dan yang kedua adalah mereka yang hanya suka memanfaatkan kebaikan orang lain. *** Lisa sampai di sekolah dengan perasaan aneh yang terus merambati hatinya, ia takut jika itu merupakan pertanda buruk, tapi dengan ketenangan pura-pura yang ia buat, Lisa mencoba menekan segala praduga, mungkin hanya tubuhnya saja yang tak sesehat biasanya. Lisa menghampiri tempat ia biasa duduk di kelas, dan di sana sudah ada Rosa yang selalu berangkat lebih cepat darinya. Wajah gadis kecil Manoban itu terlihat murunh, seolah sedang menghadapi persoalan yang besar. Ia terlihat gelisah. Tak biasanya gadis itu terlihat tak tenang seperti seekor cacing yang kepanasan. Beberapa kali Rosa kedapatan sedang mengetuk-ketuk meja dengan jarinya seakan tengah memikirkan sesuatu yang serius. Kebiasaan itu tak se
Pada keesokan harinya, Lisa melakukan rutinitasnya seperti biasa. Bangun pagi-pagi sekali untuk memasak dan bersih-bersih rumah, menyiapkan bento untuknya dan sekalian untuk ayahnya, memeriksa tas sekolahnya sekali lagi agar tak ada barang yang tertinggal. Klise, hanya itu yang ia lakukan sebelum mandi dan berangkat ke sekolah. Setelah melakukan rutinitas yang biasa ia kerjakan setiap pagi, Lisa pun beranjak ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya. Selesai mandi dan mengeringkan badan, Lisa mengambil seragam sekolah dari dalam lemari pakaian, memakai seragam itu dengan cepat, lalu memasang dasi di kerah seragamnya, juga sedikit memoles wajahnya dengan bedak tipis. Lisa memandang pantulan dirinya di cermin, cukup bagus dan rapi. Tak perlu terlalu mencolok, sebab dia sudah cukup manis. Hanya saja, Lisa tak berpikiran seperti itu. Dia tak tahu jika sebenarnya dia memiliki senyuman yang indah. Memastikan sekali l
Melupakan itu mudah, yang sulit itu membiasakan diri dengan hal yang berbeda. Mengubah sandaran kemudian beradaptasi untuk menemukan zona nyaman. Berjuang memang tidak pernah semudah yang direncanakan.***Perjalanan dilanjutkan dengan berdoa ke kuil, seperti yang selalu Lisa lakukan, dia akan memasukan beberapa koin, menepuk tangannya tiga kali dan mulai berdoa secara khidmat. Banyak keinginan yang ia panjatkan pada tuhan, karena dia ingin semuanya berjalan baik-baik saja.Jika tak sesuai dengan keinginannya, setidaknya Lisa tahu, kalau yang ia panjatkan itu tepat di sisi Tuhan. Lisa masih terdiam cukup lama, meski doa yang ia tujukan pada Kami-sama telah selesai hampir lima belas menit yang lalu. Kemudian dia pun menyingkir ke pohon besar dekat kuil yang menawarkan kesegaran di bawah terik matahari yang bisa membakar siapa saja dan duduk bersandar pada batangnya.Si pemilik lensa mata cokelat itu merogoh ponsel merah di saku rok seragamnya
Selama aku masih kuat bersamamu, selama kesabaranku masih ada, aku akan terus bertahan.***Kalau bukan hari minggu, tentu Lisa tak akan berkunjung ke rumah bergaya minimalis bercat putih yang berada di seberang rumahnya. Kalau bukan karena ada undangan tertentu, pasti gadis bersurai panjang itu tak akan mampir ke rumah Dino. Akan tetapi, walau bagaimanapun juga, meski jauh di dasar hatinya yang terdalam tak menghendaki pergi ke rumah itu, ada seorang wanita baik hati yang perlu dia ucapkan terima kasih atas jasanya selama ini."Lisa-chan? Kenapa lama sekali tak bertamu kemari?" tanya wanita dewasa di hadapannya. Dia Gina Leckner, ibunya Dino.Karena Dino tak pernah mengijinkanku ke rumahnya, jawab Lisa dalam hati, meski dia hanya tersenyum menanggapi pertanyaan dari sang nyonya keluarga Leckner. Gadis itu menunjukkan sekotak kue kering yang ia bawa dari rumah kepada istri mendiang Mogi Leckner itu."Terima kasih untuk kue yang kemarin, Tante. Ini
"Kau tak pergi? Tak diajak, ya?" Nada suara pemuda itu terdengar menyebalkan. Ya, Lisa tahu itu hanyalah ejekan untuk menghinanya yang dicap sebagai seorang pembantu daripada kekasihnya Dino.Namun, Lisa lebih memilih diam dan berdiri setelah semua makanannya terkumpul lagi di dalam kantong plastik. Jantungnya sudah berdetak dengan normal. Gadis itu menggeser tubuhnya sedikit ke samping kanan, dan berjongkok, mengambil bola yang ia yakini milik sang pemuda, lalu mengembalikannya tepat ke tangan pemuda itu."Bolamu, kan?" tanyanya dengan suara yang terdengar tak bersemangat. "Kalau begitu, aku pulang dulu."Lisa menahan napas dan berjalan melewati si surai merah jika saja kerah bajunya tak ditarik secara tiba-tiba dari belakang, dan membuat dia langsung tertahan di tempat."Hoi, aku sedang bicara denganmu, Gadis Es Krim. Sebaiknya dengarkan dulu apa yang akan lawan bicaramu sampaikan. Kau punya sopan santun, 'kan?"Lisa tak ingin meladeni pemuda itu
Rasanya hatiku akan menjadi tumpul, hangus terbakar, lalu berubah menjadi abu ....Ini baik, atau justru sebaliknya? ***Hari senin datang dengan cepat, dan liburan satu hari yang menyenangkan bagi semua orang pun telah berlalu. Tak ada yang istimewa, tak ada yang aneh sejauh ini. Semua tetap sama. Mungkin bedanya hanya satu, ada jarak yang ingin diberikan Lisa pada Dino Leckner.Dia tidak lagi berangkat bersama, tidak mengirimkan pesan singkat, dan juga tidak membawa handuk serta botol minum yang biasanya ia bawa ketika Dino tengah berlatih sepak bola.Walau kadang Lisa masih sering kedapatan memandangi Dino secara diam-diam yang sedang bermain bola di lapangan pada saat jam istirahat makan siang. Perkataan pemuda bersurai merah pada waktu itu sedikit mempengaruhi pikiran Lisa yang bingung dengan perasaannya sendiri.Ah, dia sadar sepenuhnya, cinta tak pernah ada di hati seseorang hanya untuk membuatnya bodoh. Cinta hadi
Entah pikiran dari mana, dan ide yang muncul karena hal apa, Lisa pun merogoh isi tasnya, mengambil sebotol air mineral yang dia beli dari kantin sekolah, lalu berjalan lambat menuju seorang pemuda yang kini sudah menengadahkan wajah untuk menatapnya."Ini," Lisa menyodorkan botol minuman itu kepada Gavin. "Ambillah."Dan dibalas dengan tatapan bingung dari Gavin yang diajak bicara, lalu gadis itu pun menambahkan, "Memang ini hanya air minum biasa, tak bisa membuat amarahmu reda atau membuat hatimu tenang, tapi setidaknya ini dapat membantu mendinginkan pikiranmu."Gavin masih belum menerima botol minum yang Lisa sodorkan padanya, dia masih diam mematung di tempatnya semula. Menatap Lisa tanpa kedip, lalu beralih menatap air minum yang masih terdapat segel pada tutupnya.Hampir beberapa menit tak kunjung diambil, Lisa pun menurunkan tangannya yang mengapung di udara. Gavin mendengkus sambil menatapnya dengan ekspresi tak suka."Kau itu jangan jadi
"KAU!" Rosa menunjuk tepat di depan wajah Gavin. Matanya berkaca-kaca menahan amarah yang bergejolak di hatinya. "Berhenti menggangguku!" jeritnya putus asa."Berhenti mencampuri urusanku! Ini hidupku! Memangnya siapa kau?! Berani berkomentar tentang apa yang aku lakukan!" Rosa berteriak, melampiaskan apa yang ia rasakan saat itu. Napasnya sedikit tersengal-sengal. Dia terlalu bersemangat mengeluarkan isi hatinya, sehingga tak menyadari batas yang ia miliki.Memangnya adik kelasnya ini tahu apa tentangnya? Kenapa berani sekali mengomentari hidup seseorang serta menentukan apa yang harus dia lakukan? Pemuda ini juga mengatainya sebagai sosok yang egois.Rosa masih menahan diri. Dia sendirilah yang menjalani hidupnya selama ini, dia tak melakukan apa-apa sehingga pantas dibenci orang lain, tapi kenapa ada orang yang berani berkomentar tentang apa yang harus dan tidak boleh dia lakukan? Apalagi, ucapan itu keluar dari orang asing yang merupakan adik kelasnya di sek
Entahlah, kukira setelah ini tak akan ada lagi air mata.***Pergi ke ruang klub adalah kegiatan yang kini sedang Lisa lakukan. Seperti yang dikatakan oleh Reza, setelah sekolah usai, mereka akan mengadakan pertemuan seperti biasa. Sore itu tampak mendung, setidaknya itu lebih baik daripada panas menyengat. Musim kemarau di Kalimantan tak jauh berbeda dengan Jawa, tetap terasa panas ketika keluar rumah dan berdiri selama sepuluh menit.Meski berada dalam ruangan, Lisa selalu dipesankan oleh Wina untuk selalu memakai sunscreen agar kulitnya tak terkena paparan cahaya matahari yang negatif. Wina cukup perhatian, Lisa senang mengenal gadis yang mengidolakan BTS itu. Semakin senang setelah ada murid pindahan yang merupakan anak berdarah campuran Korea di kelas mereka, si Lee Na.Lisa berjalan lambat, terlihat santai menikmati kesendiriannya berjalan di tengah ruangan panjang lantai dua. Toh, sepanjang koridor menuju kelas geografi di
Wanita yang apabila dilanda kesusahan mereka tidak mengeluh, tetap sabar menerima keadaan, serta berusaha mencari solusi. Ketahuilah wanita seperti itu, harus diperlakukan seperti ratu, sebab keberadaannya akan sulit didapat. *** Lisa pikir, hanya untuk kali itu saja dia datang terlambat ke sekolah, nyatanya pada keesokan harinya, gadis itu kembali bangun kesiangan. Sebuah kebiasaan yang sangat jarang dilakukan oleh Lisa yang tak pernah tidur lewat jam 11 malam. "Te-terlambat!" pekik Lisa hampir menangis di tempat. Gadis itu tak lagi memedulikan tatanan rambutnya, pun dengan seragam sekolahnya yang sedikit basah karena keringat. Lisa hanya ingin segera sampai ke sekolah, dia bahkan bisa melihat gerbang yang dicat warna biru muda dari kejauhan. "Ah, hampir sampai!" Lisa terus berlari dengan mata yang berbinar cerah. Gadis dengan surai panjang sepinggang itu terlalu fokus berlari, sampai-sampai tak men
Mengapa pemilik cinta yang bertepuk sebelah tangan harus selalu tersakiti?***Doran berharap jika dugaan sebelumnya tentang Dino yang tak mencintai anaknya itu tidaklah benar. Toh, Lisa tak selemah yang orang lain katakan, gadis itu kuat dan tegar dalam berbagai kondisi yang dihadapi olehnya.Kini, ketika lelaki dewasa itu tahu hubungan anaknya dengan Dino telah berakhir, Lisa tetap menjalani hidupnya seperti biasa, seolah tak pernah mengalami kegagalan dalam kisah cinta masa SMA. Gadis itu justru terlihat lebih bersemangat ketimbang dulu.Entah ini hanya perasaan Doran saja atau memang begitulah adanya, yang jelas dia begitu senang dengan setiap perubahan yang terlihat pada sang anak. Manik cokelat sang kepala keluarga Hogward itu akan selalu mengamati gerak-gerik sang anak yang kini sedang berlari kesana kemari di dalam rumah karena bangun kesiangan.Doran sedikit menyunggingkan senyum, sereal gandum kemasan yang jarang menjadi menu makan
Bila nanti, datang waktu di mana kau mulai mencintaiku sementara aku sudah berhenti mencintaimu. Kuharap pada saat itu, aku tak pernah merasa menyesal telah jatuh hati padamu. *** Biarkan mengalir, mengikuti arus, hanyut, dan tak terlihat lagi oleh mata, kemudian menghilang. Prinsip yang sedang berusaha dipegang teguh oleh Lisa, si sulung dari keluarga Hogward. Entah sudah berapa kali Lisa mencoba, sekeras apa dia berusaha, dia harus terus bergerak meninggalkan cinta yang hanya merupakan suatu pembodohan saja. Hubungan yang menjadikan dia seorang pecinta tolol yang tak ada bedanya dengan budak yang menyedihkan. Cinta sepihak itu memang seperti ini, ketika terjerat dan masuk ke dalamnya, seseorang bisa melupakan segala hal. Rasionalitas dan juga kepekaan akan apa yang ada di sekitarnya. Lisa tak menampik jika selama ini dia bertindak seperti seorang budak cinta yang rela mengikuti kemana saja kekasihnya pergi, menunggu dan menyodorkan minuman di setiap
Ketika memutuskan untuk berhenti, maka selesaikanlah dengan baik. Terkadang, meski sudah menumpulkan rasa, akan tetap ada penyesalan kecil karena belum menghapus kenangan seutuhnya.***Ternyata pertemuan kali ini langsung membawa Lisa ke kegiatan organisasi. Apalagi kalau bukan menanam aneka macam tumbuhan. Kebanyakan bibitnya dibeli langsung oleh Jino, karena orang tuanya bekerja di pasar dan dia bisa memilih bibit apa yang akan dibawanya ke sekolah."Kita akan menanam sayuran kali ini. Organisasi tata boga meminta bantuan kita untuk menyediakan beberapa macam jenis sayuran yang rencananya akan digunakan pada lomba masak pada hari peringatan ulang tahun sekolah kita nanti."Lisa tak ingat persis suasana ulang tahun sekolahnya, sebab dia selalu menghabiskan waktunya di lapangan sepak bola, menunggu seseorang berlatih untuk pertandingan antar kelas. Reza menjelaskan rencananya sambil membagikan beberapa kantong benih sayuran kepada masing-masing anggota k
Betapa merindunya cinta yang bertepuk sebelah tangan seperti ini, menumpulkan rasa agar tidak bertambah dalam luka yang tertoreh. ***"Aku ingin ikut organisasi berkebun." Lisa memandang penuh harap pada Reza, ketua organisasi berkebun di sekolahnya yang kebetulan satu kelas dengan si gadis Hogward.Lisa telah memperhatikan pemuda itu selama seharian, dan dari apa yang didapatkannya dari temannya yang lain, bahwa Reza itu adalah ketua organisasi berkebun. Organisasi yang hanya berisi orang-orang yang senang tanaman, atau orang yang tak mau capek mengikuti kegiatan klub lainnya.Reza mendongak dari posisi tidurnya di atas meja, memandang Lisa yang berdiri di sebelah mejanya sejenak. Seolah menilai kebenaran dari apa yang gadis itu ucapkan. "Kau berminat pada organisasi yang hanya mempunyai lima orang anggota saja?" tanya Reza kebingungan.Reza jelas ingin organisasi yang dipimpinnya ini bertambah anggotanya, agar semakin
Sampai menyerah sendiri, aku tak akan berhenti. Lagipula, aku sudah berjuang sejauh ini, masih ada hari esok. Aku akan melihat sejauh mana batu itu terkikis dan luluh terhadap ketulusan seorang yang penuh cinta.***Lisa masih bergeming di tempat, melihat wajah Dino yang seolah sudah lepas dari beban berat. Entah mengapa ... entah mengapa membuatnya ingin tersenyum juga. Seharusnya dia menangis saat ini, tapi sudut-sudut bibirnya justru tertarik ke atas. Lisa tersenyum lebar.Memang hanya sampai di sini. Tidak akan berlanjut lagi.Pipi-pipi chubby Lisa tertarik ke atas. Senyum lepas yang tak terpaksa pun tercipta. Sebuah senyum lega yang terasa begitu ringan, seolah tak ada beban lagi yang ditimpakan padanya.Pada detik itu, sang pemilik rambut cokelat mungkin mengalami keadaan di mana ia mencapai titik tertentu bisa mencintai seseorang dan mampu merelakannya dengan ikhlas untuk berbahagia dengan pilihan hatinya.Bersama gadis lain, gadis ya