Share

03. Berbicara Pertama Kali Dengannya

Dino tersenyum setelah panggilan teleponnya dengan Rosa berakhir. Tadi itu benar-benar menyenangkan. Rosa membahas banyak hal. Dari yang penting sampai sesuatu yang tidak terlalu penting juga diceritakan olehnya.

Saat Rosa bercerita, Dino hanya duduk diam di atas kasurnya. Mendengarkan dengan kaki yang sengaja disilangkan, dia duduk bersila dengan nyaman.

Waktu berlalu sangat cepat dan tak terasa, sudah satu jam lebih mereka berdua berbicara di telepon. Sampai-sampai tak menyadari waktu yang telah berlalu di antara mereka.

Dino terkekeh pelan dia benar-benar menikmati hal ini, rasanya sungguh menyenangkan. Inilah kualitas sesungguhnya dalam sebuah hubungan, tak ada yang saling diam dan merasa canggung terhadap satu sama lain. Hubungan itu akan menuju tingkat yang jauh lebih tinggi dan Dino akan menunggu saat itu tiba.

Pemuda berambut agak jabrik itu lantas bangkit dari tempat tidurnya, kemudian beranjak menghampiri kamar mandi. Senyum tipis di wajahnya sama sekali belum luntur sejak tadi. Tampaknya, kebahagiaan kecilnya yang sederhana itu membuatnya lupa dengan pesan yang tadi sempat masuk dan ia abaikan.

Dino memilih tak tahu, bahwa sebenarnya ada seseorang yang sedang menunggu balasan pesan darinya.

Lima menit kemudian, Dino pun keluar dari kamar mandi dengan keadaan hanya terbalut handuk tipis berwarna hijau. Laki-laki itu tak perlu berlama-lama di kamar mandi. Apa jadinya jika laki-laki mandi seperti perempuan? Mereka akan lama dan Dino tak suka pemikiran itu.

Dino membersihkan kulitnya yang masih basah. Tubuhnya sekarang sudah wangi, khas remaja laki-laki yang sedang kasmaran. Tunggu, apa orang jatuh cinta memiliki aroma yang berbeda dari mereka yang tidak jatuh cinta? Entahlah, Dino tak memusingkan hal itu. Aroma sabun mandi yang sering dipakai anak itu menguar dan keluar dari kulit pucatnya. Rasanya segar dan menenangkan.

Pemuda itu kemudian menyugar rambutnya yang masih basah. Sudah saatnya untuk Dino merapikan rambut hitamnya itu. Meskipun pertumbuhan mahkota di kepalanya itu tak terlalu cepat, tapi Dino tetap memiliki keinginan untuk memotong bagian yang dirasa tidak perlu.

Tampil beda akan jauh lebih menyenangkan, bukan?

Pasti repot jika dia tak segera merapikan rambut. Sesegera mungkin dia harus memotongnya, tidak boleh menunggu sampai musim panas tiba. Dewan kerapian sekolah atau OSIS akan mendatanginya dan langsung memberikan penalti dengan cara memangkas rambutnya di tengah lapangan sekolah. Setidaknya, itulah kejadian yang dulu pernah dialami oleh kakak kelasnya, ketika dirinya masih anak kelas satu.

Sudah lama sekali, tapi hal itu sangat memalukan jika diingat-ingat. Padahal bukan dia yang mengalami.

Dino lantas berdiri di depan cermin, masih sambil menyugar rambutnya ke belakang. Pikirannya saat ini dipenuhi oleh berbagai hal, terutama tentang sang pengirim pesan yang tadi sempat menginterupsi kegiatannya dengan Rosa.

Tidak, tidak, Dino tidak merasa menyesal mengabaikan gadis itu. Tidak sama sekali.

Dino secara perlahan masuk ke alam bawah sadarnya. Dia merenung sambil bermonolog dalam hati.

Pemuda itu mengingat berbagai peristiwa dan kenangan yang pernah terjadi dalam hidupnya. Mengulas kembali hal-hal yang juga berhubungan dengan seorang gadis yang dia kenal.

Ini tentangnya, juga tentang Lisa Hogward. Gadis tetangga yang selalu membuntutinya kemana pun dia pergi.

Gadis yang menaruh asa padanya. Gadis yang menyimpan rasa cinta untuknya.

Ini tentang pertemuan pertama mereka berdua.

***

Ketika aku teringat dengan kenangan ini, aku langsung teringat dengan lagu yang dibawakan oleh penyanyi Jepang, Nulbarich yang berjudul Lost Game. Lagu kesukaanku, di mana musiknya begitu menenangkan. Aku juga teringat dengan anime* yang juga berhubungan dengan lagu ini, Hello World. Anime movie yang mengharukan, mendebarkan dan begitu terasa kisah perjuangan yang ada di dalamnya.

Aku bukan seorang Otaku yang gemar mengoleksi sesuatu yang berbau anime, juga bukan seorang wibu. Namun, aku akan menonton anime atau drama Jepang yang menarik perhatianku.

Sejujurnya, kota tempatku tinggal ini mengusung konsep Jepang. Entah makna apa yang berusaha disampaikan oleh kota ini, namun sejarah bangsa Indonesia masih sangat kental di kota yang dijuluki Kota Air.

Hello World berlatar waktu pada tahun 2027, dan bertempat di Kyoto. Di sana, seorang anak laki-laki bernama Naomi bertemu dengan dirinya yang berasal dari masa depan. Naomi masa depan itu datang padanya untuk membantunya mendapatkan pacar. Namun, ketika kisah asmara Naomi telah bersemi, dunia mulai terhapus secara perlahan dan kehidupan mereka terancam.

Ada satu hal lagi yang paling kuingat dari cerita ini, dan itu adalah kutipan di dalamnya.

"Kota ini, aku, kamu, dan dunia yang aku kira nyata, ternyata semuanya tak lebih dari sekadar data".

Miris, bukan? Dan aku pun merasa ... hidupku sama seperti permainan yang ada di dalam film ini. Dikendalikan oleh seseorang.

Namaku Dino, lengkapnya Dino Leckner. Nama yang tak biasa untuk seorang anak yang lahir di Indonesia, menurutku. Namun aku suka.

Leckner itu adalah marga atau nama belakang dari keluarga pihak ayahku. Alasannya karena suatu tradisi yang tak tertulis di kota ini, maka hal itu membuat orang-orang akan memakai marga sang kepala keluarga untuk seluruh anggota keluarganya.

Aku juga memakai marga ini, sama halnya dengan ibuku dan juga Rei—kakakku.

Aku putra kedua dari pasangan Mogi Leckner dan Gina Leckner. Mereka ini adalah ayah dan ibu yang paling berjasa dalam hidupku.

Aku memiliki seorang kakak laki-laki, namanya Rei. Nama kakakku itu aslinya adalah Reno, tapi dia tidak suka dan ingin namanya terdengar seperti orang Jepang. Maka, Jadilah Rei Leckner.

Kakakku itu sudah bekerja untuk membantu perekonomian rumah sejak dirinya masih kecil. Misal membantu berkebun atau pergi ke kebun sawit. Kau tahu? Sawit di pulau Kalimantan sangatlah banyak.

Umurku dan Rei hanya selisih beberapa tahun. Dia benar-benar seorang kakak yang baik, panutan yang luar biasa, karena dia memang dibiasakan mandiri apa pun keadaan yang sedang menimpanya.

Meski begitu, terkadang dia memerlukan waktu untuk menyendiri demi memikirkan banyak hal. Namun, dia tak pernah menunjukkannya kepada orang lain, termasuk aku. Jadi anak pertama itu lebih susah dari apa yang aku bayangkan, ya? Bebannya ternyata berat. Jika aku anak pertama, pastilah aku tak bisa melaluinya.

Kami hanya bertetangga dengan satu keluarga, sebab hanya rumah orang itulah yang berseberangan dengan rumah keluarga kami.

Aku akan menceritakan beberapa kisah yang terus saja mengangguku hingga saat ini, meski kejadian itu telah berlalu sejak lama, hampir 10 tahun lamanya. Namun, aku masih mengingatnya dengan jelas.

Memang, ya, otak manusia itu akan dengan mudah mengingat sesuatu yang sangat membuatnya terkesan.

Baiklah, semua ini bermula dari kepindahan sebuah keluarga dan munculnya seorang gadis kecil yang cukup manis saat itu. Dia adalah anak tetangga yang suka sekali membuntutiku, kemana pun aku pergi.

Gadis kecil itu ibarat seorang penggemar fanatik yang selalu mengikuti idolanya kemana saja. Apa aku berlebihan? Tentu saja, tidak. Sebab, itulah kenyataan.

Ketika aku berangkat ke sekolah, gadis kecil berambut cokelat sebahu itu akan menatapku dari balik pagar rumahnya. Matanya yang besar menatapku dengan bola mata yang berkaca-kaca. Aku tak tahu, apa dia saat itu menangis atau karena dia yang terlalu memujaku.

Tak hanya itu saja, ketika aku berjalan menuju sekolah, aku selalu merasa diikuti oleh anak itu.

Dia akan mengiringi setiap langkahku sampai aku hampir tiba di sekolah. Rasanya seperti memiliki penjaga, tapi dia seorang anak perempuan. Dia lebih lemah dari anak laki-laki Beruntung, aku dan gadis itu berbeda sekolah.

Waktu itu, aku sempat berpikir bahwa dia tidak akan mengikutiku saat jam pulang sekolahku tiba. Namun, aku salah. Gadis kecil itu sudah menungguiku di depan gerbang sambil menjinjing tas merahnya.

Bahkan, dia tetap mengikutiku saat aku berjalan menuju rumah, kemudian kami berpisah saat aku sudah menutup pintu pagar. Saat itulah, aku bisa tenang.

Satu hal yang juga aku ingat darinya adalah ekspresinya. Pipi chubby gadis kecil itu akan bersemu merah setiap kali menatapku. Aku tak tahu mengapa dia terlihat seperti orang yang sedang demam. Mungkin karena anak itu terlalu aneh dan aku anti terhadap orang aneh.

Kepindahan keluarganya ke seberang rumahku tak pernah kusangka awalnya. Namun seperti kebanyakan anak seusiaku yang lain, aku tak peduli dengan gadis kecil berambut cokelat itu. Tak kusangka dia memiliki wajah yang cukup manis, tapi aku tidak pernah mau mengajaknya berbicara. Tidak sampai dia berhenti bersikap aneh di depanku.

Semenjak itulah hari-hariku mulai terganggu dikarenakan kehadirannya. Pertemuan pertama kami adalah siang hari di Minggu pertengahan bulan Juni yang pada waktu itu banyak orang lebih memilih berada di dalam rumah daripada harus 'membakar diri' di luar.

Musim panas tahun itu terasa begitu panas, dan begitu menyengat. Melebihi musim panas yang sudah pernah kulewati di tahun-tahun sebelumnya. Panas sekali, sehingga ada banyak orang yang tidak sanggup berdiri lama-lama di luar rumah lebih dari sepuluh sampai lima belas menit. Apalagi jika orang itu tak merasa kehausan sama sekali.

Waktu itu, aku dan kakak laki-lakiku, Rei sedang asyik memakan buah semangka dengan kipas angin yang bertiup tepat di depan wajah kami. Kegiatan yang mengharuskan kami melahap dua potong semangka dalam satu menit itu harus terganggu saat terdengar suara ketukan dari pintu depan.

Awalnya samar-samar dan tak kupedulikan, namun ketukan itu semakin bertambah cepat di tiap detiknya.

Ada seseorang yang membutuhkan bantuan, pikirku saat itu.

Aku melirik Kak Rei, dia tetap tenang dan sepertinya tak mau beranjak sedikit pun dari tempatnya. Mungkin karena aku yang paling muda dan sebagai bentuk sopan santun terhadap orang yang bertamu saat itu, maka akulah yang disuruh oleh Rei-aniki* untuk membukakan pintu depan.

Ayah dan ibuku sedang berada di samping rumah, sehingga mereka berdua tak ada di rumah utama. Di sini, hanya ada aku dan kakakku yang pemalas itu.

Ayahku adalah seorang dokter yang membuka klinik kecil di sebelah rumah, dan ibuku adalah seorang perawat yang ikut membantu di klinik kami yang sederhana itu.

Klinik itu tak terlalu besar, tapi ayah sangat menyayangi tempat itu. Orang tuaku tak selalu berada di rumah, walau klinik dan rumahku itu hanya bersebelahan dinding saja. Aku pun mengalah. Jadi, dengan langkah kaki kecil yang asal-asalan dan cenderung malas, aku terpaksa berjalan menuju pintu, sebab Rei-aniki* jelas tak mau menjeda waktu bersantainya demi membuka pintu untuk seseorang yang masih berdiri di luar sana.

Aku sebagai adik yang sayang padanya pun menerima permintaan tak langsungnya itu dengan baik.

"Ha, anak baik, Dino-chan," ejek kakakku sambil mengerling jail. Aku merengut sebal.

"Akan kuadukan pada Otou-san," kataku sambil mengentakkan kaki di lantai. Rei tertawa keras dan membuat gestur dengan tangannya, menyuruhku bergegas membuka pintu.

Kemudian dia berkata, bahwa aku tidak boleh mengganggu waktu bersantainya. Juga, karena aku adalah adiknya, maka aku harus mau dimintai tolong. Tidak adil. Padahal dia punya dua kaki yang panjang. Menurutku, apa yang dia lakukan ini terlihat seperti pemaksaan daripada sebuah permintaan tolong.

Yang kulihat pertama kali ketika membuka pintu adalah seorang gadis kecil seusia denganku, tengah berdiri dengan keadaan yang bisa dibilang sedikit 'kacau', oh maaf, aku keliru. Dia sangat, sangatlah kacau, dengan air mata yang terlihat masih menganak di kedua kelopak mata berwarna cokelatnya. Gadis itu sedang berdiri tepat di depan pintu rumahku.

Dan akhirnya setelah cukup lama terdiam, aku baru menyadari kalau gadis yang kutemui ini adalah tetangga baru seberang rumah yang bernama Lisa Hogward.

Gadis yang seringkali mengikutiku ke sekolah. Ini pertama kalinya aku dan Lisa bertatapan mata secara langsung, berhadap-hadapan.

Lisa menatapku hampa dengan wajah yang basah karena air mata. Hidungnya memerah, tubuhnya bergetar pelan dan lutut serta telapak kakinya berlumuran darah. Aku mengernyitkan wajah saat melihat penampilannya.

Aku tak bisa melupakan ekspresi putus asanya saat ia berkata lirih kepadaku. "Apa Mogi-ji-san*nya ada di rumah, Dino-kun?"

Entah apa yang terjadi dengan pendek itu, seingatku aku hanya mengangguk pelan dan segera berbalik menuju pintu yang berhubungan langsung dengan klinik samping rumah, meminta ayah yang untungnya sedang tidak ada pasien itu untuk segera menemui si pemilik bola mata kecokelatan.

Aku lalu berjalan kembali menemui Lisa tepat di belakang ayah, mengekor di belakangnya. Seolah menemukan malaikat penyelamatnya, wajah Lisa langsung berubah berseri-seri, aku bahkan tak pernah sekalipun melihat ekspresinya yang seperti itu. Sebab aku selalu berpikiran jika Lisa itu pendiam yang aneh.

Lisa yang aku tahu sangat pemalu itu tiba-tiba saja menarik jas kerja ayahku, bahkan di mataku dia terlihat memeluk ayah dengan tangan bergetar. Dengan susah payah, ia seret kembali telapak kakinya yang terluka dan mengeluarkan darah. Lisa mengajak ayah agar mengikutinya menuju rumahnya yang berada tepat di seberang rumah kami.

Aku tak tertarik dan tak berniat mengikuti mereka berdua. Jadi, aku hanya terdiam sambil memandang ayah serta Lisa yang menghilang di balik pagar rumah. Kemudian aku menutup pintu, semangka manis dengan embusan sejuk dari kipas angin, bagiku lebih menggoda daripada membuntuti ayah ke rumah gadis aneh yang selalu menatapku penuh minat.

    Dan, aku bahkan tak pernah berkenalan secara resmi dengannya, tapi dia sudah mengetahui namaku. Yah, untuk jaga-jaga aku pun tahu dengan namanya. Lisa Hogward, gadis yang selalu mengikutiku.

***

Pada pembicaraan ibu dan Eiko-baa-san* yang kadang terdengar olehku (bukan berarti aku ada maksud menguping pembicaraan mereka), aku jadi tahu jika Lisa itu hanya tinggal dengan seorang ayah dan Imouto-nya* tanpa adanya seorang ibu yang merawat tumbuh kembang mereka.

Pada pembicaraan itu juga aku tahu bahwa ibu Lisa meninggalkan keluarga kecilnya itu demi seorang pria dari masa lalunya. Wanita itu memilih mencampakkan pria yang dijodohkan dengannya, meski si pria—yaitu ayahnya Lisa—sangat mencintai wanita itu. Dia malah menelantarkan dua kecil yang masing-masing masih berumur delapan dan empat tahun kala itu. Mereka tak lain dan tak bukan adalah Lisa dan adik perempuannya sendiri, Mira.

Kadang ibu menceritakan anak bersurai pendek kecokelatan itu dengan mata yang berkaca-kaca. Betapa tersentuhnya hati seorang wanita ketika melihat kemalangan yang menimpa seorang anak.

Ibu sering mengutuk wanita yang telah meninggalkan dua orang anak perempuan semanis Lisa dan adiknya. Padahal ibu sedari dulu sangat mendambakan kelahiran seorang putri di tengah keluarga kami, tapi ibu Lisa justru menyia-nyiakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Indah itu.

Puncaknya, ibu menangis sesenggukan ketika pada malamnya ayah menceritakan apa yang terjadi pada keluarga Lisa siang tadi, saat kesedihan menderanya.

Melalui cerita ayah yang kudengar, aku tak bisa membayangkan betapa paniknya seorang anak berumur delapan tahun, seperti halnya Lisa saat mendapati ayahnya sedang meregang nyawa dengan tangan yang berlumuran darah.

Lisa hanya bertiga saja dengan ayah dan adik perempuannya yang kala itu sedang menangis sesenggukan. Sama sekali tak ada seorang pun yang akan membantunya pada kejadian yang tak terduga seperti itu.

Jadi, entah bagaimana, Lisa berinisiatif berlari ke rumahku, untuk meminta pertolongan. Meski hati si sulung Hogward itu tengah dilanda rasa ketakutan yang luar biasa, karena memikirkan jiwa ayahnya yang mungkin bisa saja melayang karena terlambatnya pertolongan pertama. Jadi saat itu, ia pun terpontang-panting mencari bantuan.

    Berharap seseorang bisa menyelamatkan nyawa ayahnya yang tak berdaya karena cinta telah menghancurkan segala harapannya. Membuat hidup tak lagi bermakna untuknya. Lisa dan adiknya tentu tidak ingin kehilangan siapa pun lagi, sudah cukup ibunya memilih pergi dengan pria lain, mereka tak ingin ayah mereka juga pergi dari sisi keduanya. Lisa dan adiknya masih bisa hidup bahagia bersama ayah mereka, tanpa kasih sayang seorang ibu yang berani menelantarkan mereka.

    Untuk itu, dia akan berdoa lebih banyak lagi kali ini, agar ayahnya bisa diselamatkan. Agar dia mendapat kebahagiaan yang tidak disangka-sangka. Dia hanya ingin hidup bersama orang yang disayangi, kehidupan yang damai dan tak ada seorang pun yang berani mengusik.

***

Pojok kata yang akan ditemui.

Tou-san* = Ucapan untuk menyebut atau memanggil ayah dalam bahasa Jepang. Sebutan lainnya dalam formal yaitu Chichi-ue.

Kaa-san* = Ucapan untuk menyebut atau memanggil ibu dalam bahasa Jepang. Sebutannya dalam formal yaitu Haha-ue.

Kami-sama* = Ucapan untuk menyebut Tuhan atau dewa dalam bahasa Jepang.

Aniki* = Abang, tapi dalam bahasa Jepang.

Nani o kangaeteruno*?: "Apa yang sedang kamu pikirkan?" Kalimat dalam bahasa Jepang.

Ck. Ima wa nani mo hanashi o shitaikunai. Mou unzari*: "Ck. Aku sedang tak ingin bicara sekarang. Aku lelah." Kalimat dalam bahasa Jepang. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status