Janji itu harus ditepati, tapi bagaimana jika keadaan tidak memungkinkan kita untuk menepatinya?
***
Rupanya, Doran Hogward, ayahnya Lisa sedang berusaha menghabisi dirinya sendiri karena tak bisa mengenyahkan bayangan wanita yang telah berkhianat dari dalam hidupnya. Pria itu berpikir pendek, tak peduli pada trauma yang mungkin saja akan dialami kelak oleh kedua putri kecilnya.
Masih menurut cerita ayah, Lisa menangis histeris sambil berulangkali mengucapkan terima kasih saat ayahnya telah berhasil menyelamatkan nyawa Doran yang malang itu.
Anak kecil itu memeluk pinggang Mogi karena memang tingginya hanya sampai di situ—tetap dengan air mata haru. Lisa sangat bersyukur, karena itu jelas tidak bisa membayangkan hidupnya dan adik perempuannya nanti, jika sang ayah juga pergi meninggalkannya.
Dan sesaat sesudah cerita ayah selesai, ibu lantas menatap serius ke arahku, tatapan yang tak pernah ditunjukkan oleh ibuku sebelumnya. "Kau harus jadi teman baik untuk Lisa-chan, Dino-kun." Ibu berkata dengan suara pelan.
Aku diam, tak mencoba untuk membantah maupun memotong sedikit pun perkataannya. "Dan baik-baiklah selalu pada itu."
Aku mengangguk patuh, padahal aku sama sekali tak mengerti kenapa harus aku yang diberi 'amanat' oleh ibu? Kenapa tidak Rei-niisan saja yang disuruh untuk menjaga anak itu?
Daripada mengelak dan justru dimarahi ibu, meski sejujurnya aku tak paham apa maksudnya, tapi aku tetap setuju-setuju saja dengan usulan ibu.
Toh, cuma jadi temannya saja, kan? Aku cuma jadi temannya Lisa. Jadi pasti tidak apa-apa.
***
Langkah kaki kecil milik Lisa membawanya menuju ke suatu tempat. Tempat yang terkadang akan ia datangi ketika gelisah sedang melandanya. Gadis itu menelusuri jalan setapak dengan pusara yang berderet di sisi kiri dan kanannya dalam keheningan. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
Suasana di sekitarnya begitu hening dan terasa damai, seperti itulah area pemakaman. Khas dengan keheningan yang menenangkan. Di tempat itu, tak terdengar bunyi lain seperti deru kendaraan bermotor ataupun mobil. Di sana hanya terdengar suara derap langkah kaki seorang gadis bermarga Hogward dan gemeresak daun di pepohonan yang diterpa angin sehingga tertangkap oleh indra pendengaran. Seolah semua itu hanyalah sapaan kehidupan pada mereka yang telah ditelan oleh keabadian.
Lisa berjalan pelan, menuju ke sebuah makam di ujung paling kanan barisan ketiga dari gerbang masuk, dan setelah sampai di depan sebuah pusara berwarna putih dengan beberapa ikat bunga lily di atasnya, ia pun berjongkok. Lalu memperhatikan makam itu dengan saksama.
Tak menghiraukan rok seragamnya yang menyapu tanah berdebu, dan lututnya yang menekan batu di bawah kakinya, pemilik mata kecokelatan yang senada dengan warna rambutnya itu pun tampak merogoh tas jinjing yang ia bawa. Kemudian mengeluarkan sebatang bunga lily putih untuk diletakkan di atas pusara Mogi Leckner, ayahnya Dino.
Lisa mulai menangkupkan kedua tangannya, berdoa sejenak untuk orang yang paling berjasa dalam hidupnya, mengharapkan pria itu mendapatkan tempat terbaik di alam sana.
Sudah lewat beberapa tahun sejak kematian sang kepala keluarga Leckner. Namun, ingatan tentang orang itu masih membekas dalam ingatan setiap orang. Termasuk bagi Lisa dan keluarga kecilnya. Bagi mereka, jasa-jasa Mogi begitu besar dalam hidup mereka yang sempat berada di ujung tanduk.
Dan jujur, semua orang begitu merindukan sosok dokter yang baik hati itu. Kebaikannya telah membekas dan tertanam dengan baik di dalam benak setiap orang yang pernah ditolong olehnya. Seseorang bijak pernah berkata kepada Lisa, "Jika tak ada rindu, maka tidak akan ada kenangan."
Namun, semakin besar kenangan, maka yang ada hanyalah rasa rindu yang tak tertahankan. Lisa telah menganggap Mogi seperti ayahnya sendiri. Baginya, Mogi adalah penyelamat sekaligus malaikat penolong.
Jika orang berkata jika tak ada rindu, maka tidak akan ada kenangan. Justru Lisa berkata sebaliknya. Tetaplah merindu dalam diam, sebab kadang itulah yang terbaik untuk semuanya.
Untuk mereka yang ditinggalkan.
Untuk mereka yang meninggalkan.
"Ji-san? Aku kembali lagi." Monolog dalam kesunyian makam pun mulai terbentuk. Lisa tersenyum tipis sembari membersihkan makam Mogi dengan tangan kecilnya. Ketika tempat peristirahatan terakhir itu telah bersih, ia pun menaruh bunga lily putih segar yang ia bawa dari rumah. Menempatkannya di tengah-tengah malam.
"Ini yang ketiga kalinya dalam minggu ini aku mengunjungi Ji-san. Tolong jangan bosan dengan kunjunganku, ya." Lisa terkekeh geli. Ia tahu jika ia mungkin terlihat konyol sekarang, karena sudah berbicara dengan makam. Secara, makam itu adalah benda mati yang tak bisa bergerak, tapi ia terlihat tak peduli sama sekali. Toh, takkan ada yang melihatnya di pemakaman yang sepi itu.
"Em, Ji-san. Hari ini aku senang sekali, sepertinya tou-san* sudah mempunyai wanita pengganti kaa-san*. Semoga saja, dia adalah wanita yang tepat, wanita pilihan yang Kami-sama* turunkan untuk tou-san. Jadi, tou-san tidak akan kesepian lagi seperti dulu."
Lisa tersenyum tulus mengingat ayahnya yang sekarang. Betapa bahagianya dia dan Mira, ketika melihat ayahnya tersenyum cerah di setiap pagi. Ayahnya memancarkan rona kebahagiaan yang sebelumnya pernah hilang di wajahnya.
"Ah, ya! Di sekolah, lagi-lagi Dino-kun berhasil meraih peringkat pertama seangkatan kami, loh, Ji-san," cerita Lisa sembari menatap langit biru berawan di atas sana.
Angin melambaikan beberapa helai rambut indah miliknya, membuat pandangan Lisa seketika tertutup oleh anak-anak rambutnya yang panjang.
Senyum manis terukir di wajah cantiknya. Lisa lalu menyisipkan helaian rambutnya yang menghalangi pandangannya ke belakang telinga, ia pun kembali berkata, "Dia memang pintar dari dulu, dan Ji-san tahu hal itu."
Lisa memasang wajah sendu, mengingat-ingat kenangan yang selama beberapa waktu terakhir terjadi dalam hidupnya.
Dialah saksi yang melihat sendiri perkembangan Dino, dan dia pulalah yang melaporkan setiap perkembangan laki-laki itu kepada Mogi.
"Aku yang sudah belajar mati-matian saja, hanya bisa menempati posisi delapan di kelas. Huh, aku rasa, aku harus belajar lebih giat lagi. Juga harus lebih bersungguh-sungguh seperti Dino-kun. Aku benarkan, Ji-san?"
Lisa tersenyum setelah menyelesaikan kalimatnya. Tiba-tiba saja, air mata menyela di antara kata yang selanjutnya diucapkan olehnya. "Dan lagi, Dino-kun ... masih menyukai Rosa-chan. Dia masih menyukai sahabat baikku, Ji-san."
Lalu isakan kecil menyusul kemudian dengan pelan. Meski ia sudah sangat mencoba untuk menahan air matanya agar tidak tumpah dan membuatnya terlihat menyedihkan, tetapi tetap saja air matanya tak berhenti mengalir.
"Apa aku boleh seperti ini, Ji-san? Aku tak bisa membuat Dino-kun bahagia seperti yang Ji-san inginkan. Aku malah mengekangnya dengan hubungan yang sama sekali tak dia inginkan, tapi ... aku juga tak bisa begitu saja melepaskan Dino-kun."
"Dia ... begitu berarti bagiku," bisik Lisa lirih, dan akhirnya pertahanannya runtuh dan berubah menjadi tangisan seperti biasa. Seperti yang sudah terlalu sering ia lakukan selama ini. Menangis tersedu-sedu dengan kepala yang ia tundukkan dalam-dalam.
Lisa menangis, di depan pusara Mogi Leckner. "Karena aku mencintainya, Ji-san. Aku sangat mencintai Dino-kun, dan karena itulah ... pasti aku akan menjadi sangat egois," ucapnya lirih, mengakhiri curahan hatinya di depan makam itu.
***
Mencintai seseorang itu sulit, apalagi jika orang yang kita cintai tak mempunyai perasaan yang sama seperti kita. Jadi, jika boleh ... apa aku bisa memilih untuk tidak mencintaimu saja? Ini terlalu menyakitkan.
***
Rasanya sudah hampir satu jam Lisa berdiri menunggu di depan gerbang sekolahnya, bahkan lingkungan sekolah saja sudah sepi dari siswa-siswi yang menunggu jemputan orang tua mereka di sana, tapi kenapa orang yang ia tunggu-tunggu sedari tadi tak muncul juga?
Lapangan parkir sepeda pun sudah terlihat sepi, hanya menyisakan beberapa buah sepeda saja. Mungkin sepeda-sepeda itu milik mereka yang mengikuti kegiatan organisasi. Kebetulan, kegiatan organisasi biasanya memang dilaksanakan setiap sore, setelah pulang sekolah. Jadi, tak heran jika masih ada yang belum pulang ke rumah.
Kaki jenjang milik Lisa sudah terasa pegal karena harus berdiri terus sedari tadi. Apa sebaiknya, dia menyusul ke kelas Dino saja?
Mungkin bukan ide yang buruk, pikir Lisa. Maka dengan langkah kaki yang pendek, Lisa berjalan masuk kembali ke gedung sekolah, melewati tangga lantai satu dan dua demi menuju kelas 3-1 yang terletak di lantai tiga.
la sedikit berlari-lari kecil agar segera sampai di kelasnya Dino. Begitu sampai di depan kelas 3-1, gadis itu lalu membuka pintu itu sedikit dan melongokkan kepalanya ke dalam. Memeriksa keberadaan kekasihnya.
Sunyi dan sepi, tak ada seorang pun di kelas itu.
Dino tidak ada. Di kelasnya Dino tidak ada sama sekali. Ke mana dia? Lisa mengigit bibir bawahnya sedikit. Apa mungkin dirinya kembali ditinggal seperti kemarin lusa Dino lakukan terhadapnya? Bukankah Lisa tidak terlambat kali ini? Apa Dino memang sengaja meninggalkannya? Dan berbagai pertanyaan dengan jumlah yang banyak, mulai mendesak pikirannya sampai membuat dadanya sesak.
"Pulang saja, Dino-kun. Aku tidak apa-apa ditinggal sendirian di sini kok."
Samar-samar Lisa seperti mendengar suara Rosa yang merupakan teman baiknya dari kelas sebelah, yang itu berarti kelasnya Lisa, yaitu di kelas 3-2.
Dengan berjalan sepelan mungkin, gadis bersurai cokelat panjang yang kadang rambutnya dikepang itu mengintip sedikit melalui kaca jendela kelasnya yang cukup transparan. Kemudian didapatinya orang yang sedari tadi ia tunggu sedang duduk di salah satu meja dekat jendela, seraya memperhatikan Rosa yang ternyata mendapat tugas piket hari ini.
Lisa lupa, jika hari itu Rosa memang piket membersihkan kelas. Sendirian.
"Lisa-chan pasti menunggumu, Dino-kun, aku sungguh tidak apa ditinggalkan sendirian," ucap gadis Manoban itu lagi sembari menyapu lantai kelas. Gadis yang sangat menyukai warna merah muda itu jelas merasa tidak enak berduaan saja di satu ruangan yang sama. Terlebih lagi dengan pria yang faktanya adalah kekasih sahabatnya sendiri.
"Lisa bisa menunggu," elak Dino dengan cepat. Pemuda dari keluarga Leckner itu lalu memutar bola matanya, bosan. Ia kemudian melirik sekilas pada papan tulis kelas 3-2 yang masih belum dibersihkan.
Rosa memandang ragu pada Dino. "Tapi, Dino-kun—"
"Berhenti membicarakannya di depanku, Rosa. Aku bosan ketika kau sudah mulai menyebutkan namanya di depanku," ucap Dino seraya mendesis tajam.
Mata jelaganya lalu menatap langit sore dari jendela kelas, lalu kemudian ia mendengkus kecil. Jujur, ia hanya ingin menemani gadis Manoban saja hari ini, tak perlu diingatkan lagi dengan Lisa Hogward, membuat moodnya langsung tak enak saja.
Lagipula, kenapa dia harus peduli dengan gadis itu?
Mendengar semuanya, Lisa yang bersembunyi hanya bisa tersenyum pahit. Dengan mata yang mulai berkaca-kaca, ia berbalik pergi, mencoba menunggu kembali di gerbang sekolah sama seperti sebelumnya.
Ia akan bersikap seolah tak ada sesuatu yang terjadi. Bersikap seolah tak pernah mendengar ucapan Dino yang tadi ia dengar, dia akan bersikap seakan ia baik-baik saja. Toh, sudah terlalu biasa pemuda itu melakukan hal ini padanya.
Juga Lisa, akan mengikuti setiap alur yang tercipta.
***
Dino memandang malas pada sosok di depannya, pada seorang gadis yang sedang berdiri diam di depan gerbang sekolah, menunggu pemuda dengan mata sekelam malam itu. Ya, siapa lagi kalau bukan Lisa.
"Kau mau minum? Hari ini panas sekali, bukan?" tawar Lisa sambil menyodorkan sebotol air minum kemasan kepada Dino yang berjalan mendekatinya.
Gadis itu tersenyum tipis saat menatap dalam mata Dino. Pemuda itu menatapnya sekilas lalu menggeleng malas. "Tidak usah. Ayo pulang."
Lisa kembali tersenyum hampa, perlahan ia tarik lagi tangannya yang terulur, kemudian mendekap botol minum itu ke pelukannya. Menatap ekspresi cemberut Dino yang terlihat jelas sekali bahwa pemuda Leckner itu sedang kesal, dan hal itu berhasil membuat Lisa bertanya-tanya.
Bukankah Dino dan Rosa tadi bersama? Pasti keduanya senang sekali.
Sesaat sebelum Lisa melangkah ke arah Dino yang membawa sepeda hitam miliknya, Lisa memberanikan dirinya untuk bertanya. "Nani o ... kangaeteruno*?" tanyanya dalam bahasa Jepang.
Gadis Hogward itu menunduk dalam, enggan menatap wajah Dino. Dadanya terasa sesak, dipenuhi berbagai hal yang sulit ia jelaskan.
Dino hanya mendengkus kesal saat mendengar pertanyaan dari sang gadis Hogward. Ia pun memutar matanya dengan cepat. Kenapa harus memakai bahasa Jepang saat berbicara dengannya?
"Hng, ima wa nani mo hanashi o shitaikunai. Mou unzari*," jawab Dino dengan datar.
Mata hitamnya kemudian menatap lurus ke depan selama beberapa saat. Lalu memberikan gestur 'cepat naik' pada Lisa dengan kepalanya. Tanpa ekspresi. Hanya tampang datar khas pemuda Leckner.
Lagi, Lisa hanya bisa tersenyum hampa sembari menelan pil kekecewaan yang kembali menyesakkan dada.
Yang dilakukannya kemudian hanyalah menaiki boncengan sepeda Dino, walau hatinya tetap merasa kecewa dengan sikap si bungsu Leckner yang tak pernah bisa berubah lebih baik kepadanya.
Kita bersama, tapi tak pernah benar-benar bersama. Benar begitu kan, Dino-kun? Batin Lisa pilu.
***
Cinta? Sebenarnya apa itu cinta?
Apa semua cinta yang ada di dunia akan berakhir bahagia? Jika bisa memilih, tentu aku ingin hidup penuh cinta dan bahagia.
***
Dulu, dulu sekali. Lisa pernah mendambakan kisah cinta yang manis dan bahagia.
Kisah cinta yang saling berbalas, saling membutuhkan dan saling menyayangi satu sama lainnya dengan perasaan yang tulus. Ia yang pada waktu itu berumur lima tahun, sering bertanya-tanya kepada apa pun yang bisa ia temui.
Baik kepada bunga-bunga, ataupun kepada angkasa biru yang membentang luas di langit.
Apa itu kasih sayang dan apa itu cinta?
Lisa jelas tak tahu arti dari kedua hal itu. Dia masih anak-anak yang dipenuhi dengan rasa ingin tahu yang besar.
Dia sering mendengar kosa kata itu dari orang-orang di lingkungannya berada. Namun, tak pernah ada seorang pun yang mau menjelaskan kepada anak perempuan berusia lima tahun sepertinya. Membuat Lisa berusaha mencari tahu makna cinta dan kasih sayang yang sebenarnya dari sebuah buku yang tak sengaja ia temukan di perpustakaan sekolah.
Cukup mengherankan, buku seperti itu tiba-tiba ada di sebuah sekolah dasar. Namun, Lisa tak mempertanyakan hal itu, karena dia memang ingin tahu makna sebenarnya dari cinta ataupun kasih sayang.
Kemudian, ia pun menjadi tahu jika cinta itu merupakan perasaan indah yang dirasakan oleh setiap makhluk Tuhan di dalam hatinya. Cinta adalah perasaan hakiki yang suci dan murni. Perasaan mutlak yang juga dilandasi oleh kasih sayang satu sama lainnya.
Lisa pernah tak sengaja mendengar dari pembicaraan orang lain, dan mereka saat itu mengatakan bahwa cinta itu juga berarti memberi dan menerima dengan seikhlas hati.
Seperti yang sering Lisa saksikan dalam sebuah drama percintaan, cinta itu adalah ketika menghabiskan waktu bersama dengan orang yang kita cintai. Suatu momentum yang dipenuhi dengan kebahagiaan yang mewarnai setiap detiknya.
Lantas, mengapa ayah dan ibunya tak terlihat seperti itu?
Tak ada raut wajah kebahagiaan yang terlihat di antara mereka saat menghabiskan waktu bersama. Tak ada waktu untuk berjalan keluar rumah berdua. Walau sekadar bersantai bersama keluarga. Tak ada kalimat pujian yang terlontar kepada satu sama lainnya. Tak ada kalimat penuh cinta di antara keduanya.
Tak ada, sama sekali tak terlihat ada di antara ayah dan ibunya. Yang hanya terlihat di setiap harinya hanyalah pertengkaran, pertengkaran, dan pertengkaran saja di antara keduanya.
Tak ada juga sebutan keluarga harmonis yang juga sangat didambakan oleh Lisa, sang gadis kecil yang kala itu berumur 6 tahun. Bahkan ketika kehadiran seorang malaikat kecil yang telah Tuhan titipkan ke tengah-tengah keluarga mereka—yaitu Mira—saja tak mampu menyatukan dua hati yang ternyata saling membenci ini.
Ya, alasan apa lagi yang membuat mereka bertengkar jika bukan karena kebencian kepada satu sama lainnya?
Bukankah mereka menikah karena sebuah perjodohan yang tak diinginkan? Dan tentu saja, perjodohan dengan orang asing yang sama sekali tak dicintai oleh keduanya.
Lisa tak habis pikir, setahun setelahnya, di umurnya yang beranjak memasuki angka tujuh di tahun ini, ia sama sekali tak melihat adanya perkembangan perasaan dari kedua orang tuanya. Tak ada tanda-tanda mereka akan berbaikan dan menyimpan asa seperti pasangan suami istri lainnya.
Tidak ada.
Dan yang terlintas dalam pikiran Lisa kala itu hanya satu, yaitu perasaan tidak suka.
Bagaimana tidak? Di catatan harian yang ditulis oleh ibunya dulu—yang sering Lisa baca secara diam-diam, tanpa sepengetahuan sang ibu—tertulis di sana bahwa ibunya tak mempunyai perasaan apa-apa kepada pria yang kini menjadi suaminya. Tulisan itu ditulis menggunakan tinta merah, seakan sebuah kutukan. Ibunya bahkan cenderung membenci Doran, ayahnya Lisa. Dan ayahnya juga terlihat seperti itu, walau ia tidak pernah mencurahkan isi hatinya ke dalam tulisan seperti halnya yang Meiko lakukan.
Akan tetapi, tetap saja, sorot mata sang ayah hanya menunjukkan rasa tidak suka dan amarah bahkan setelah tujuh tahun berlalu di dalam keluarga mereka. Lalu, keluarga Hogward pun pindah ke rumah yang jauh lebih besar. Dan ternyata, jarak rumah itu tak terlalu jauh dari rumah lama mereka.
Mungkin hanya berbeda komplek saja.
Lisa, gadis kecil itu hanya membantu sebisanya saat kedua orang tuanya memindahkan barang ke rumah baru mereka. Sambil sesekali ia menjaga adiknya yang masih berumur 3 tahun. Di saat ia tengah menjaga adiknya itulah, Lisa melihat laki-laki itu. Melihat yang akan selalu dikenangnya kelak dengan sepenuh hati.
Tatapan mata keduanya pun bertemu. Lisa langsung tersenyum hangat sebagai sapaan yang ia tujukan kepada sang tetangga, tetapi dengan mata berwarna hitam itu hanya menatapnya dengan dingin dan dengan raut wajah kurang ramah. Lisa tersipu malu, menganggap ekspresi itu sebagai bentuk apaan. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Lisa merasa sangat senang saat bertemu dengan orang baru.
Apalagi, orang baru itu merupakan seorang anak laki-laki yang berwajah cukup tampan. Dan Lisa pun, bermimpi dapat berteman baik dengan itu. Ya, dia ingin sekali berteman baik dengan laki-laki itu. Karena dia tahu, tak akan mudah jika tak mempunyai seorang teman pun di dunia ini.
Lagipula, sepertinya anak itu cukup baik walau penyambutannya kurang ramah terhadap Lisa. Gadis kecil itu akan berusaha sebaik mungkin agar keberadaannya bisa diterima oleh anak laki-laki bernama Dino itu.
Ya, harus. Sebab dia ingin memiliki seorang teman pertama, dan yang dipilihnya adalah anak di seberang rumahnya.
Dino.
Hari demi hari pun berlalu. Tak terasa, sudah tiga bulan lebih Lisa tinggal di kawasan baru bersama keluarga kecilnya. Semenjak pindah ke rumah yang jauh lebih besar, Lisa merasakan beberapa perubahan yang telah terjadi di depan matanya. Perubahan yang begitu besar, dan terasa menyenangkan.Ayah dan ibunya tak lagi bertengkar seperti dulu. Tak ada lagi pertengkaran di setiap saat seperti yang sering mereka lakukan di depan anaknya. Bahkan, tatapan ayahnya yang semula menatap tidak suka, kini menjadi tatapan lembut setiap kali dia melihat kepada sang istri, yang itu berarti ibunya Lisa. Tak ada lagi sorot kebencian ataupun rasa tidak suka yang terpancar di kedua bola matanya. Yang ada di sana hanyalah kekuatan perasaan yang baru saja tumbuh dan berkembang. Benar-benar sebuah tatapan yang tulus dari hati.Sama seperti ayah, ibunya juga sering menampakkan raut muka tersipu yang begitu manis. Ketika Lisa memuji betapa enaknya masakan buatannya. Padahal
Dalam hidup, kita akan bertemu dengan 2 tipe manusia. Yang pertama adalah mereka yang memang berhati tulus dan yang kedua adalah mereka yang hanya suka memanfaatkan kebaikan orang lain. *** Lisa sampai di sekolah dengan perasaan aneh yang terus merambati hatinya, ia takut jika itu merupakan pertanda buruk, tapi dengan ketenangan pura-pura yang ia buat, Lisa mencoba menekan segala praduga, mungkin hanya tubuhnya saja yang tak sesehat biasanya. Lisa menghampiri tempat ia biasa duduk di kelas, dan di sana sudah ada Rosa yang selalu berangkat lebih cepat darinya. Wajah gadis kecil Manoban itu terlihat murunh, seolah sedang menghadapi persoalan yang besar. Ia terlihat gelisah. Tak biasanya gadis itu terlihat tak tenang seperti seekor cacing yang kepanasan. Beberapa kali Rosa kedapatan sedang mengetuk-ketuk meja dengan jarinya seakan tengah memikirkan sesuatu yang serius. Kebiasaan itu tak se
Pada keesokan harinya, Lisa melakukan rutinitasnya seperti biasa. Bangun pagi-pagi sekali untuk memasak dan bersih-bersih rumah, menyiapkan bento untuknya dan sekalian untuk ayahnya, memeriksa tas sekolahnya sekali lagi agar tak ada barang yang tertinggal. Klise, hanya itu yang ia lakukan sebelum mandi dan berangkat ke sekolah. Setelah melakukan rutinitas yang biasa ia kerjakan setiap pagi, Lisa pun beranjak ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya. Selesai mandi dan mengeringkan badan, Lisa mengambil seragam sekolah dari dalam lemari pakaian, memakai seragam itu dengan cepat, lalu memasang dasi di kerah seragamnya, juga sedikit memoles wajahnya dengan bedak tipis. Lisa memandang pantulan dirinya di cermin, cukup bagus dan rapi. Tak perlu terlalu mencolok, sebab dia sudah cukup manis. Hanya saja, Lisa tak berpikiran seperti itu. Dia tak tahu jika sebenarnya dia memiliki senyuman yang indah. Memastikan sekali l
Melupakan itu mudah, yang sulit itu membiasakan diri dengan hal yang berbeda. Mengubah sandaran kemudian beradaptasi untuk menemukan zona nyaman. Berjuang memang tidak pernah semudah yang direncanakan.***Perjalanan dilanjutkan dengan berdoa ke kuil, seperti yang selalu Lisa lakukan, dia akan memasukan beberapa koin, menepuk tangannya tiga kali dan mulai berdoa secara khidmat. Banyak keinginan yang ia panjatkan pada tuhan, karena dia ingin semuanya berjalan baik-baik saja.Jika tak sesuai dengan keinginannya, setidaknya Lisa tahu, kalau yang ia panjatkan itu tepat di sisi Tuhan. Lisa masih terdiam cukup lama, meski doa yang ia tujukan pada Kami-sama telah selesai hampir lima belas menit yang lalu. Kemudian dia pun menyingkir ke pohon besar dekat kuil yang menawarkan kesegaran di bawah terik matahari yang bisa membakar siapa saja dan duduk bersandar pada batangnya.Si pemilik lensa mata cokelat itu merogoh ponsel merah di saku rok seragamnya
Selama aku masih kuat bersamamu, selama kesabaranku masih ada, aku akan terus bertahan.***Kalau bukan hari minggu, tentu Lisa tak akan berkunjung ke rumah bergaya minimalis bercat putih yang berada di seberang rumahnya. Kalau bukan karena ada undangan tertentu, pasti gadis bersurai panjang itu tak akan mampir ke rumah Dino. Akan tetapi, walau bagaimanapun juga, meski jauh di dasar hatinya yang terdalam tak menghendaki pergi ke rumah itu, ada seorang wanita baik hati yang perlu dia ucapkan terima kasih atas jasanya selama ini."Lisa-chan? Kenapa lama sekali tak bertamu kemari?" tanya wanita dewasa di hadapannya. Dia Gina Leckner, ibunya Dino.Karena Dino tak pernah mengijinkanku ke rumahnya, jawab Lisa dalam hati, meski dia hanya tersenyum menanggapi pertanyaan dari sang nyonya keluarga Leckner. Gadis itu menunjukkan sekotak kue kering yang ia bawa dari rumah kepada istri mendiang Mogi Leckner itu."Terima kasih untuk kue yang kemarin, Tante. Ini
"Kau tak pergi? Tak diajak, ya?" Nada suara pemuda itu terdengar menyebalkan. Ya, Lisa tahu itu hanyalah ejekan untuk menghinanya yang dicap sebagai seorang pembantu daripada kekasihnya Dino.Namun, Lisa lebih memilih diam dan berdiri setelah semua makanannya terkumpul lagi di dalam kantong plastik. Jantungnya sudah berdetak dengan normal. Gadis itu menggeser tubuhnya sedikit ke samping kanan, dan berjongkok, mengambil bola yang ia yakini milik sang pemuda, lalu mengembalikannya tepat ke tangan pemuda itu."Bolamu, kan?" tanyanya dengan suara yang terdengar tak bersemangat. "Kalau begitu, aku pulang dulu."Lisa menahan napas dan berjalan melewati si surai merah jika saja kerah bajunya tak ditarik secara tiba-tiba dari belakang, dan membuat dia langsung tertahan di tempat."Hoi, aku sedang bicara denganmu, Gadis Es Krim. Sebaiknya dengarkan dulu apa yang akan lawan bicaramu sampaikan. Kau punya sopan santun, 'kan?"Lisa tak ingin meladeni pemuda itu
Rasanya hatiku akan menjadi tumpul, hangus terbakar, lalu berubah menjadi abu ....Ini baik, atau justru sebaliknya? ***Hari senin datang dengan cepat, dan liburan satu hari yang menyenangkan bagi semua orang pun telah berlalu. Tak ada yang istimewa, tak ada yang aneh sejauh ini. Semua tetap sama. Mungkin bedanya hanya satu, ada jarak yang ingin diberikan Lisa pada Dino Leckner.Dia tidak lagi berangkat bersama, tidak mengirimkan pesan singkat, dan juga tidak membawa handuk serta botol minum yang biasanya ia bawa ketika Dino tengah berlatih sepak bola.Walau kadang Lisa masih sering kedapatan memandangi Dino secara diam-diam yang sedang bermain bola di lapangan pada saat jam istirahat makan siang. Perkataan pemuda bersurai merah pada waktu itu sedikit mempengaruhi pikiran Lisa yang bingung dengan perasaannya sendiri.Ah, dia sadar sepenuhnya, cinta tak pernah ada di hati seseorang hanya untuk membuatnya bodoh. Cinta hadi
Sampai menyerah sendiri, aku tak akan berhenti. Lagipula, aku sudah berjuang sejauh ini, masih ada hari esok. Aku akan melihat sejauh mana batu itu terkikis dan luluh terhadap ketulusan seorang yang penuh cinta.***Lisa masih bergeming di tempat, melihat wajah Dino yang seolah sudah lepas dari beban berat. Entah mengapa ... entah mengapa membuatnya ingin tersenyum juga. Seharusnya dia menangis saat ini, tapi sudut-sudut bibirnya justru tertarik ke atas. Lisa tersenyum lebar.Memang hanya sampai di sini. Tidak akan berlanjut lagi.Pipi-pipi chubby Lisa tertarik ke atas. Senyum lepas yang tak terpaksa pun tercipta. Sebuah senyum lega yang terasa begitu ringan, seolah tak ada beban lagi yang ditimpakan padanya.Pada detik itu, sang pemilik rambut cokelat mungkin mengalami keadaan di mana ia mencapai titik tertentu bisa mencintai seseorang dan mampu merelakannya dengan ikhlas untuk berbahagia dengan pilihan hatinya.Bersama gadis lain, gadis ya