Hari demi hari pun berlalu. Tak terasa, sudah tiga bulan lebih Lisa tinggal di kawasan baru bersama keluarga kecilnya. Semenjak pindah ke rumah yang jauh lebih besar, Lisa merasakan beberapa perubahan yang telah terjadi di depan matanya. Perubahan yang begitu besar, dan terasa menyenangkan.
Ayah dan ibunya tak lagi bertengkar seperti dulu. Tak ada lagi pertengkaran di setiap saat seperti yang sering mereka lakukan di depan anaknya. Bahkan, tatapan ayahnya yang semula menatap tidak suka, kini menjadi tatapan lembut setiap kali dia melihat kepada sang istri, yang itu berarti ibunya Lisa.
Tak ada lagi sorot kebencian ataupun rasa tidak suka yang terpancar di kedua bola matanya. Yang ada di sana hanyalah kekuatan perasaan yang baru saja tumbuh dan berkembang. Benar-benar sebuah tatapan yang tulus dari hati.
Sama seperti ayah, ibunya juga sering menampakkan raut muka tersipu yang begitu manis. Ketika Lisa memuji betapa enaknya masakan buatannya. Padahal sebelumnya, tidak pernah sekalipun ia memperlihatkan senyum seperti itu. Jika pernah pun, mungkin hanya terjadi di dalam mimpi saja.
Sebab, dulu ketika ibunya bukan yang sekarang, setiap kali Lisa dan adiknya Mira memuji keahlian sang ibu memasak, yang mereka dapatkan hanyalah raut muka datar dengan pandangan yang hampa. Seolah ia hanya boneka yang digerakkan dengan kata-kata, tanpa keinginan yang berarti. Sama sekali tak ada kebahagiaan yang terpancar di sana.
Waktu itu, suasana rumah lama mereka memang sangat mengkhawatirkan. Rumah lama mereka dekat dengan halaman kosong yang dipenuhi pohon pisang dan pohon sawo yang besar. Tinggal di sebuah desa kecil dengan rumah penduduk yang jarang-jarang memang membuat kepribadian seseorang bisa berubah-ubah. Terutama karena tanah tempat rumah didirikan dahulunya adalah hutan yang lebat. Itulah mengapa Kalimantan menyimpan banyak misteri. Mungkin itu sebabnya orang tuanya selalu bertengkar dan tidak akur satu sama lain, meski keduanya sepasang suami-istri dan telah dikaruniai dua orang anak.
Lisa dan Mira pun menjadi takut, jika ibu yang mereka sayangi membenci mereka begitu dalam. Namun, setelah melihat perubahan orang tua mereka yang jauh lebih baik dari sebelumnya, rasanya kedua anak perempuan itu menemukan sebuah harapan. Bahwa mereka bisa seperti keluarga lainnya, harmonis dan bahagia. Ini lebih manis daripada istilah kejatuhan durian runtuh.
Lisa juga akhirnya tahu nama anak laki-laki yang dijumpainya sepekan yang lalu. Ia merupakan putra bungsu keluarga Leckner, keluarga yang tinggal di depan rumah barunya. Nama anak laki-laki itu adalah Dino, lengkapnya yaitu Dino Leckner. Anak itu tidak satu sekolah dengannya, dia di sekolah lain yang lebih jauh, tapi jalan yang sering dilalui oleh laki-laki itu sama seperti jalan yang Lisa tempuh menuju sekolahnya.
Oleh karena itu, Lisa akan mengikuti setiap langkah kaki Dino di pagi hari dengan perasaan yang riang sebelum berhenti di sekolahnya. Sebab, dia senang melihat Dino yang selalu memberikan tatapan penuh arti padanya (dia tak tahu jika tatapan Dino itu adalah tatapan tidak suka), dan karena pemikiran itulah Lisa selalu memberikan perhatian berlebih padanya.
Ayah dan ibu Dino sangatlah baik. Mereka adalah tipe manusia yang rela membantu sesama, dan tak memedulikan keadaan mereka sendiri. Bagi mereka, menolong orang lain adalah perbuatan yang bisa menjadi kebaikan yang akan selalu terkenang selamanya. Semua kemurahan hati mereka dibuktikan dengan adanya klinik kesehatan cuma-cuma yang berada di samping rumah keluarga Leckner. Ya, keluarga itu tak memungut biaya sepeser pun untuk orang-orang yang kesusahan, bahkan obat pun mereka berikan gratis.
Di saat Lisa memasuki usia delapan tahun, keadaan yang telah berubah menjadi membaik itu tiba-tiba saja memburuk seperti dahulu. Bahkan lebih buruk lagi.
Ayah dan ibunya kembali bertengkar hebat, lagi dan lagi. Bahkan pertengkaran di rumah baru mereka ini jauh lebih hebat dan terdengar sangat memuakkan di telinga anak-anaknya. Sampai akhirnya, karena tak tahan lagi berdebat dengan Doran, wanita yang merupakan ibu biologis dari Mira dan Lisa pun kabur dari rumah, meninggalkan Doran beserta keluarga kecilnya.
Alasannya hanya karena pria masa lalu yang sering ibunya sebut dalam catatan hariannya kembali datang dan memintanya untuk tinggal bersamanya. Otomatis, ibu yang pada dasarnya menikah tanpa pernah mencintai ayah pun tak berpikir panjang lagi dan langsung pergi menjauh dari rumah, serta menghilang untuk selamanya dalam pandangan kedua anak perempuannya.
Dia lebih memilih pria itu, daripada keluarga yang sudah bertahun-tahun menemani hela napas dan mereka yang bersamanya melalui suka duka. Wanita itu memilih cinta masa lalunya dan mencampakkan apa yang dia miliki sekarang.
Doran menyadari kesalahannya membiarkan istrinya pergi. Fakta bahwa dia mulai mencintai sang istri membuatnya terpuruk, dan menderita. Pria itu terlihat sangat terpukul karena kepergian istrinya itu.
Lisa yang tak tahu kenyataannya pun kebingungan, bukankah ayahnya tak pernah mencintai ibunya sama seperti ibunya yang tak bisa mencintai ayahnya? Mengapa Doran malah bersedih dan tak bersemangat seperti ini? Apakah ayahnya menyesal terhadap sikapnya selama ini yang gagal menunjukkan perasaannya kepada sang istri? Apa cinta di antara mereka tak bisa tumbuh dan subur seperti di keluarga orang lain?
Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi sering bermunculan di benak Lisa dan mengganggunya di setiap paginya kala dia membuka mata menyambut hari baru. Dia masih terlalu muda kala itu, tapi dia hanya ingin tahu jawaban dari semua pertanyaan rumit ini.
Dia ingin tahu alasan mengapa ayahnya menangis hebat. Dia ingin tahu awal mula alasan perubahan sikap orang tuanya dulu yang membuat Lisa sempat berekspektasi tinggi terhadap kehidupan keluarga yang bahagia. Padahal, Lisa dan adiknya sudah melihat harapan yang seperti angin sejuk di Padang gersang, tapi kenyataannya semua hancur tak bersisa setelah ibunya memilih pergi dari keluarga mereka.
Entahlah, Lisa kalut sendiri dengan kejadian yang menimpa mereka. Pertanyaan ini terlalu sulit untuk dijawab sendiri. Ah, umurnya memang baru delapan tahun kala itu, tapi Lisa sudah terlihat lebih dewasa dalam berpikir daripada anak-anak seumurannya. Meski sedikit pemalu, dia cerdas juga berprestasi dalam akademik. Semua guru dan teman-temannya di sekolah merasa bangga terhadap pencapaian Lisa, tapi dia tidak merasa demikian.
Lisa hanyalah anak perempuan biasa, yang masih mengharapkan kasih sayang yang melimpah dalam hidupnya. Dari luar dia baik-baik saja, tapi di dalam, Lisa begitu kesepian tanpa sosok seorang ibu.
Hari berlalu seperti biasa, Lisa mengawali harinya dengan menyiapkan sarapan sederhana di atas meja makan. Tiga buah piring berisi nasi beserta telur dadar yang diletakkan di atas meja. Semua berjalan normal, hingga insiden naas itu terjadi pada keluarganya.
Lisa yang berniat memanggil Doran untuk makan pagi bersama, mendadak berteriak histeris saat mendapati ayahnya terbujur lemah di lantai. Dengan tubuh bersimbah darah dan terlihat menyedihkan di atas genangan cairan merah kental.
"Tou-san! Tou-san!" Lisa menghambur ke Doran, mendekat dan bersimpuh di depan ayahnya. "Tou-san ... kenapa bisa seperti ini?"
Lisa membungkam mulutnya, takut. Ketakutan yang hebat seketika menguasai pikiran dan jiwanya. Dia akan kehilangan lagi seseorang yang berarti baginya. Pikirannya bertambah kalut seiring bertambahnya rasa gelisah yang ia rasakan saat itu, karena tak tahu apa yang harus dia lakukan untuk menolong sang ayah.
Napas Doran masih ada di badan, meski tersengal-sengal. Ia merintih kesakitan dengan posisi badan yang meringkuk seperti bayi, tangannya lunglai di samping tubuhnya beserta pisau yang dijadikannya sebagai sarana pencabut nyawa.
Apa yang harus Lisa lakukan ketika dihadapi peristiwa tak terduga seperti ini? Lisa hampir terisak dan meneteskan air mata, sampai matanya bertemu dengan pandangan penuh rasa sakit sang ayah, keduanya saling bertatapan selama sekian detik.
Saat itulah, Lisa tahu apa yang harus dia lakukan, yaitu bergegas mencari pertolongan kepada siapa pun yang bisa menolongnya. Lisa tidak terlalu memikirkan keadaannya sendiri yang tampak mengerikan dengan kaki yang berlumuran darah. Seseorang yang bisa dimintai pertolongan, dan yang muncul di benaknya adalah Paman Mogi, ayahnya Dino. Pria yang bekerja sebagai dokter itu pasti bisa menolong ayahnya yang hampir kehilangan nyawa.
Tetapi sebelumnya, Lisa belum pernah bertandang ke rumah Dino, anak lelaki yang dikaguminya. Lebih tepatnya rumah orang tua anak itu, dan ia merasa sedikit canggung. Apalagi semenjak keluarga Lisa pindah, tak pernah sekalipun orang tuanya mengundang tetangga seberang rumah mereka itu untuk mampir makan malam di kediaman mereka.
Namun, setiap kali berpapasan, mereka selalu tersenyum ramah kepada Lisa dan anggota keluarganya yang lain.
Orang tua Lisa hanya tahu pekerjaan dan marga dari tetangga seberang rumah mereka. Termasuk nama lengkap dan berapa jumlah anggota keluarga Leckner. Namun, walau tak pernah berkunjung ke rumah masing-masing, mereka tetap saling menyapa ketika kebetulan berpapasan di luar rumah dan cukup akrab. Inilah realita tetangga di masa sekarang, pikir Lisa ketika selesai mengingat hubungan keluarganya dan keluarga Dino.
Meskipun begitu, dia telah membulatkan tekadnya. Yang terpenting sekarang adalah menyelamatkan nyawa ayahnya yang tengah sekarat.
"Ayah, tunggu di sini! Lisa cari bantuan. Mira! Mira!"
Lisa memanggil adik perempuannya dan anak kecil itu tertegun melihat keadaan sang ayah, sesaat kemudian gadis itu menangis sesenggukan sambil memeluk kaki sang ayah. Lisa dengan cepat berlari ke rumah keluarga Leckner, lalu menanyakan kepada anak laki-laki di depannya, di mana keberadaan paman dokter yang bisa membantunya menyelamatkan nyawa sang ayah. Penampilannya saat itu benar-benar kacau, wajahnya basah karena air mata.
Anak laki-laki itu bergeming, menatapnya bingung. Sejurus kemudian ia masuk sebentar ke dalam rumah. Tak berapa lama orang yang dicari Lisa pun muncul.
Begitu melihat sang penolong, Lisa begitu bahasa dan segera menarik baju kerja Mogi, menuntun sang dokter untuk segera pergi ke rumahnya dengan air mata yang masih berderai di pipi. Doran mendapat pertolongan dan dibawa ke rumah sakit dengan mobil pribadi Mogi, lelaki itu sudah kehilangan banyak darah, tapi Tuhan masih menyelamatkan nyawanya.
Semenjak kejadian itu, Lisa pun menjadi sering berkunjung ke rumah Dino karena nyonya rumah keluarga Leckner selalu ingin gadis itu ada di rumah mereka. Karena itu jugalah semakin lama, Lisa semakin jatuh hati kepada si bungsu Leckner yang selalu bersikap dingin padnaya.
Lisa tak peduli jika Dino tak banyak bicara, dia terlanjur menginginkannya, selalu mendambakan Dino di setiap hela napasnya. Berada di dekat laki-laki itu mampu menenangkan perasaannya. Walau gadis itu juga semakin menyadari satu hal, bahwa Dino tak pernah merasakan hal yang sama ketika bersamanya.
Dino tak pernah bahagia, dia tak menginginkan Lisa.
Lisa pun sadar jika hanya dia yang menjadi pecinta di dalam hubungan sepihak ini.
***
Pagi terlalu indah untuk dilewatkan dengan kenangan tak menyenangkan yang diciptakan oleh Dino kemarin. Lisa bersikap baik-baik saja, seolah tak ada sesuatu yang terjadi padanya. Dia kembali seperti semula, itu adalah pilihan untuk sekadar mendapatkan kenyamanan yang semu, meski hanya sedikit, setidaknya mampu mengobati sebongkah hati yang kecewa.
Jadi karena itu, Lisa kembali berdiri di depan rumah Dino, dan menunggu remaja itu untuk berangkat ke sekolah bersama-sama seperti biasa.
Lisa menunggu selama beberapa menit di sana. Seulas senyuman bahagia pun tercipta ketika pemuda yang dia tunggu-tunggu kehadirannya, menampakkan eksistensinya pada si sulung Hogward. Lisa tersenyum manis dan mengucap selamat pagi.
Dan tak mendapat sahutan dari Dino.
Tanpa aba-aba, Lisa langsung menyodorkan handuk putih dan sebotol air minum yang sedari tadi dibawanya kepada Dino. Ia masih tersenyum manis pada pemuda dingin itu, meski sapaannya diabaikan. "Nanti kelasmu olahraga, jadi kau harus membawa ini, Dino-kun. Aku membawakan semua ini untukmu," ucap Lisa dengan tulus, wajah si sulung Hogward tersipu, pipinya merona.
Bola mata hitam milik seseorang di depan Lisa memperhatikan gadis itu selama beberapa saat, mendengkus kesal karena merasa perbuatan gadis di depannya ini terlalu berlebihan menurutnya, namun tangan kanannya menerima begitu saja handuk dan botol air yang Lisa berikan.
Lisa tersenyum lebar, merasa bangga karena perhatiannya tersampaikan dengan baik kepada sang pujaan. Dia segera menaiki boncengan sepeda Dino, mencengkeram jas hijau tua seragam sekolah pemuda itu, sekadar berpegangan agar tidak jatuh ke tanah, yang sayangnya ditepis langsung oleh lengan kokoh sang pemuda Leckner.
Lisa hanya tersenyum seperti biasa, sebagaimana perlakuan dingin Dino yang biasa ia dapatkan.
Perjalanan menuju sekolah dilalui mereka berdua seperti biasa, tak ada yang menyenangkan. Keheningan adalah teman baik mereka berdua. Hanya ada suara desir angin, suara jangkrik dari balik semak dan suara ayam jantan yang berkokok nyaring.
***
Dino menatap aneh pada Lisa yang membungkuk dengan kedua tangan terjulur rata dengan punggungnya, membuat sebuah amplop berisi surat berwarna biru muda tersodor tepat di hadapan Dino.
Pemuda itu tak mengerti, apa teman sejak kecilnya itu juga mempunyai perasaan padanya seperti gadis-gadis lain di sekolah mereka? Dino tak ingin seperti ini, dia ingin kabur dari tempat itu. Dia bisa saja dengan seenak hatinya menolak surat yang kemungkinan besar berisi pernyataan cinta itu. Kemudian setelah itu, dia akan mengisi waktunya dengan beristirahat di kantin seperti biasa. Bukannya malah berdiri berhadap-hadapan dengan teman masa kecilnya di atap sekolah seperti yang ia lakukan saat ini.
"Apa maksudmu, Lisa?" tanya Dino setengah berbisik. Sengaja menyebut nama sang gadis agar gadis itu bisa mendengar suaranya. Lisa bungkam, seakan terpaku di tempatnya berdiri, ia menunggu Dino mengambil amplop surat yang ia sodorkan kepada anak laki-laki itu.
"Lisa, jawab aku—"
"T-terima saja ini," ucap gadis itu dengan suara bergetar, menandakan kegugupan yang luar biasa telah hinggap di dalam hatinya. Manik sehitam malam milik Dino terbelalak sesaat, sampai bola matanya berputar bosan. Dino tak habis pikir, kenapa Lisa yang setahunya anak yang tak pandai bergaul dan tak menaruh hati padanya, malah mengungkapkan perasaannya lewat surat ini.
Ternyata Lisa sama saja dengan siswi-siswi lain di sekolahnya, dia sama dengan mereka yang mengejar-ngejar dan memintanya untuk menjadi kekasih.
Dino menghela napas kasar. Ini terlalu rumit baginya. Padahal, seharusnya sejak awal tak boleh ada cinta di hubungan pertemanan ini. Si bungsu Leckner itu mendengkus pelan. Masih sambil menatap Lisa, tangannya mengambil amplop biru muda yang gadis itu sodorkan, lalu menyimpannya asal ke dalam saku jas. "Kau bisa pergi, Lisa," bisiknya datar.
"Ta-tapi—"
"Ya, aku akan membacanya di rumah."
Meski, Dino sudah bisa menebak seperti apa isi dari surat itu, tapi gadis Hogward itu menurut terhadap apa yang Dino sampaikan. Lisa berbalik dan menjauh darinya dengan wajah bersemu merah muda. Gadis itu berlari, tak peduli jika dia sedang menuruni tangga menuju lantai tiga.
Dino tahu akan seperti apa ini semua berakhir.
Semua akan berjalan sesuai rencananya, dia akan membuang surat bersampul biru muda itu secara diam-diam begitu tiba di rumah nanti, lalu bersikap seolah tak ada sesuatu yang terjadi di depan Lisa. Dengan otak yang gadis itu miliki, pastilah dia akan tahu dengan sendirinya jika Dino telah menolak perasaannya. Mereka akan kembali seperti biasa, tanpa adanya hubungan yang lebih jauh dari sekadar pertemanan antar anak tetangga, tapi bahkan seorang cerdas seperti Dino pun tak terlalu bisa memprediksikan segala sesuatu yang akan terjadi padanya.
Seorang yang ahli sekalipun tentu tak bisa menebak dengan pasti masa depannya sendiri.
Tuhan jelas tak akan memberikan kemudahan terus-menerus pada si bungsu Leckner. Mungkin karena sifat si bungsu Leckner itu yang membuat Tuhan ingin terus mengujinya.
Cobaan diterima Dino saat ingatan yang terlupa membuatnya harus menyimpan lebih lama surat pemberian Lisa di dalam kantong celananya. Ia melupakan surat bersampul biru itu seolah tak pernah menerima surat itu sebelumnya, bahkan dia sudah menjalankan rencananya dan bersikap biasa saja di depan Lisa. Namun, kesialan datang menimpanya, saat dengan tak sengaja ibunya menemukan surat cinta manakala Gina Leckner hendak mencuci seragam putra bungsunya, Dino.
Dino tahu dengan jelas apa kata-kata yang akan terlontar oleh ibunya sesaat setelah menemukan surat pemberian dari Lisa itu.
"Kaa-san harap kau tak membuat Lisa-chan sakit hati, Dino-kun," bisik wanita itu sembari menggenggam surat cinta bersampul biru muda. "Berikan keputusan yang baik dan juga pasti bisa membuatnya bahagia. Jangan membuatnya kecewa dan berakhir membuatnya menangis. Lisa anak yang baik, dia sudah cukup menderita selama ini."
"Jadi, buatlah dia senang. Kau tahu maksud Ibumu ini, kan? Dino."
Dino jelas dongkol setengah mati, bukan ia yang membuat kehidupan Lisa menderita dan nelangsa, ia bahkan sudah mau bersusah payah menemani gadis yang sulit sekali bergaul dengan orang lain sejak percobaan bunuh diri ayahnya itu. Jadi, tak ada kewajiban khusus baginya untuk membuat Lisa bahagia lebih dari yang seharusnya, dia sudah memberi batas; hanya sebuah pertemanan. Tak lebih, apalagi seperti menjadi kekasih anak itu. Dia tak bisa.
Baginya, itu sudah melewati batas yang seharusnya dari sekadar memintanya berteman baik dengan gadis itu. Dan lagi, Dino tak punya utang budi apa-apa untuk hal ini karena Dino memang tak punya kewajiban atas kebahagiaan gadis itu. Dino bertatapan dengan mata yang sekilas mirip dengannya, tatapan yang sarat dengan permohonan, harapan dan kasih sayang seorang ibu.
Gina tahu jika keputusannya ini membuat anaknya tidak suka, ia lantas mendekati putra bungsunya yang masih saja diam di tempat. Dino memalingkan wajah, enggan menatap sang ibu. "Dino," panggil Gina lembut. "Baik-baiklah dengan Lisa-chan, dia anak yang baik, kau pasti juga akan menyukainya."
Nyonya Leckner kemudian mengelus wajah anak bungsunya dengan lembut. "Jangan menyakiti hati Lisa dan membuat ibumu ini bersedih, kau mengerti?"
Dino diam, tak menghiraukan wanita dewasa yang berdiri di depannya. Ibunya berkata seolah semua ini begitu mudah, seakan dia bisa luluh hanya karena gadis itu mempunyai sifat yang baik di matanya, tapi masalahnya adalah; baik saja tidak cukup untuk membuatnya jatuh cinta.
Dalam hidup, kita akan bertemu dengan 2 tipe manusia. Yang pertama adalah mereka yang memang berhati tulus dan yang kedua adalah mereka yang hanya suka memanfaatkan kebaikan orang lain. *** Lisa sampai di sekolah dengan perasaan aneh yang terus merambati hatinya, ia takut jika itu merupakan pertanda buruk, tapi dengan ketenangan pura-pura yang ia buat, Lisa mencoba menekan segala praduga, mungkin hanya tubuhnya saja yang tak sesehat biasanya. Lisa menghampiri tempat ia biasa duduk di kelas, dan di sana sudah ada Rosa yang selalu berangkat lebih cepat darinya. Wajah gadis kecil Manoban itu terlihat murunh, seolah sedang menghadapi persoalan yang besar. Ia terlihat gelisah. Tak biasanya gadis itu terlihat tak tenang seperti seekor cacing yang kepanasan. Beberapa kali Rosa kedapatan sedang mengetuk-ketuk meja dengan jarinya seakan tengah memikirkan sesuatu yang serius. Kebiasaan itu tak se
Pada keesokan harinya, Lisa melakukan rutinitasnya seperti biasa. Bangun pagi-pagi sekali untuk memasak dan bersih-bersih rumah, menyiapkan bento untuknya dan sekalian untuk ayahnya, memeriksa tas sekolahnya sekali lagi agar tak ada barang yang tertinggal. Klise, hanya itu yang ia lakukan sebelum mandi dan berangkat ke sekolah. Setelah melakukan rutinitas yang biasa ia kerjakan setiap pagi, Lisa pun beranjak ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya. Selesai mandi dan mengeringkan badan, Lisa mengambil seragam sekolah dari dalam lemari pakaian, memakai seragam itu dengan cepat, lalu memasang dasi di kerah seragamnya, juga sedikit memoles wajahnya dengan bedak tipis. Lisa memandang pantulan dirinya di cermin, cukup bagus dan rapi. Tak perlu terlalu mencolok, sebab dia sudah cukup manis. Hanya saja, Lisa tak berpikiran seperti itu. Dia tak tahu jika sebenarnya dia memiliki senyuman yang indah. Memastikan sekali l
Melupakan itu mudah, yang sulit itu membiasakan diri dengan hal yang berbeda. Mengubah sandaran kemudian beradaptasi untuk menemukan zona nyaman. Berjuang memang tidak pernah semudah yang direncanakan.***Perjalanan dilanjutkan dengan berdoa ke kuil, seperti yang selalu Lisa lakukan, dia akan memasukan beberapa koin, menepuk tangannya tiga kali dan mulai berdoa secara khidmat. Banyak keinginan yang ia panjatkan pada tuhan, karena dia ingin semuanya berjalan baik-baik saja.Jika tak sesuai dengan keinginannya, setidaknya Lisa tahu, kalau yang ia panjatkan itu tepat di sisi Tuhan. Lisa masih terdiam cukup lama, meski doa yang ia tujukan pada Kami-sama telah selesai hampir lima belas menit yang lalu. Kemudian dia pun menyingkir ke pohon besar dekat kuil yang menawarkan kesegaran di bawah terik matahari yang bisa membakar siapa saja dan duduk bersandar pada batangnya.Si pemilik lensa mata cokelat itu merogoh ponsel merah di saku rok seragamnya
Selama aku masih kuat bersamamu, selama kesabaranku masih ada, aku akan terus bertahan.***Kalau bukan hari minggu, tentu Lisa tak akan berkunjung ke rumah bergaya minimalis bercat putih yang berada di seberang rumahnya. Kalau bukan karena ada undangan tertentu, pasti gadis bersurai panjang itu tak akan mampir ke rumah Dino. Akan tetapi, walau bagaimanapun juga, meski jauh di dasar hatinya yang terdalam tak menghendaki pergi ke rumah itu, ada seorang wanita baik hati yang perlu dia ucapkan terima kasih atas jasanya selama ini."Lisa-chan? Kenapa lama sekali tak bertamu kemari?" tanya wanita dewasa di hadapannya. Dia Gina Leckner, ibunya Dino.Karena Dino tak pernah mengijinkanku ke rumahnya, jawab Lisa dalam hati, meski dia hanya tersenyum menanggapi pertanyaan dari sang nyonya keluarga Leckner. Gadis itu menunjukkan sekotak kue kering yang ia bawa dari rumah kepada istri mendiang Mogi Leckner itu."Terima kasih untuk kue yang kemarin, Tante. Ini
"Kau tak pergi? Tak diajak, ya?" Nada suara pemuda itu terdengar menyebalkan. Ya, Lisa tahu itu hanyalah ejekan untuk menghinanya yang dicap sebagai seorang pembantu daripada kekasihnya Dino.Namun, Lisa lebih memilih diam dan berdiri setelah semua makanannya terkumpul lagi di dalam kantong plastik. Jantungnya sudah berdetak dengan normal. Gadis itu menggeser tubuhnya sedikit ke samping kanan, dan berjongkok, mengambil bola yang ia yakini milik sang pemuda, lalu mengembalikannya tepat ke tangan pemuda itu."Bolamu, kan?" tanyanya dengan suara yang terdengar tak bersemangat. "Kalau begitu, aku pulang dulu."Lisa menahan napas dan berjalan melewati si surai merah jika saja kerah bajunya tak ditarik secara tiba-tiba dari belakang, dan membuat dia langsung tertahan di tempat."Hoi, aku sedang bicara denganmu, Gadis Es Krim. Sebaiknya dengarkan dulu apa yang akan lawan bicaramu sampaikan. Kau punya sopan santun, 'kan?"Lisa tak ingin meladeni pemuda itu
Rasanya hatiku akan menjadi tumpul, hangus terbakar, lalu berubah menjadi abu ....Ini baik, atau justru sebaliknya? ***Hari senin datang dengan cepat, dan liburan satu hari yang menyenangkan bagi semua orang pun telah berlalu. Tak ada yang istimewa, tak ada yang aneh sejauh ini. Semua tetap sama. Mungkin bedanya hanya satu, ada jarak yang ingin diberikan Lisa pada Dino Leckner.Dia tidak lagi berangkat bersama, tidak mengirimkan pesan singkat, dan juga tidak membawa handuk serta botol minum yang biasanya ia bawa ketika Dino tengah berlatih sepak bola.Walau kadang Lisa masih sering kedapatan memandangi Dino secara diam-diam yang sedang bermain bola di lapangan pada saat jam istirahat makan siang. Perkataan pemuda bersurai merah pada waktu itu sedikit mempengaruhi pikiran Lisa yang bingung dengan perasaannya sendiri.Ah, dia sadar sepenuhnya, cinta tak pernah ada di hati seseorang hanya untuk membuatnya bodoh. Cinta hadi
Sampai menyerah sendiri, aku tak akan berhenti. Lagipula, aku sudah berjuang sejauh ini, masih ada hari esok. Aku akan melihat sejauh mana batu itu terkikis dan luluh terhadap ketulusan seorang yang penuh cinta.***Lisa masih bergeming di tempat, melihat wajah Dino yang seolah sudah lepas dari beban berat. Entah mengapa ... entah mengapa membuatnya ingin tersenyum juga. Seharusnya dia menangis saat ini, tapi sudut-sudut bibirnya justru tertarik ke atas. Lisa tersenyum lebar.Memang hanya sampai di sini. Tidak akan berlanjut lagi.Pipi-pipi chubby Lisa tertarik ke atas. Senyum lepas yang tak terpaksa pun tercipta. Sebuah senyum lega yang terasa begitu ringan, seolah tak ada beban lagi yang ditimpakan padanya.Pada detik itu, sang pemilik rambut cokelat mungkin mengalami keadaan di mana ia mencapai titik tertentu bisa mencintai seseorang dan mampu merelakannya dengan ikhlas untuk berbahagia dengan pilihan hatinya.Bersama gadis lain, gadis ya
Betapa merindunya cinta yang bertepuk sebelah tangan seperti ini, menumpulkan rasa agar tidak bertambah dalam luka yang tertoreh. ***"Aku ingin ikut organisasi berkebun." Lisa memandang penuh harap pada Reza, ketua organisasi berkebun di sekolahnya yang kebetulan satu kelas dengan si gadis Hogward.Lisa telah memperhatikan pemuda itu selama seharian, dan dari apa yang didapatkannya dari temannya yang lain, bahwa Reza itu adalah ketua organisasi berkebun. Organisasi yang hanya berisi orang-orang yang senang tanaman, atau orang yang tak mau capek mengikuti kegiatan klub lainnya.Reza mendongak dari posisi tidurnya di atas meja, memandang Lisa yang berdiri di sebelah mejanya sejenak. Seolah menilai kebenaran dari apa yang gadis itu ucapkan. "Kau berminat pada organisasi yang hanya mempunyai lima orang anggota saja?" tanya Reza kebingungan.Reza jelas ingin organisasi yang dipimpinnya ini bertambah anggotanya, agar semakin