Dalam hidup, kita akan bertemu dengan 2 tipe manusia. Yang pertama adalah mereka yang memang berhati tulus dan yang kedua adalah mereka yang hanya suka memanfaatkan kebaikan orang lain.
***
Lisa sampai di sekolah dengan perasaan aneh yang terus merambati hatinya, ia takut jika itu merupakan pertanda buruk, tapi dengan ketenangan pura-pura yang ia buat, Lisa mencoba menekan segala praduga, mungkin hanya tubuhnya saja yang tak sesehat biasanya.
Lisa menghampiri tempat ia biasa duduk di kelas, dan di sana sudah ada Rosa yang selalu berangkat lebih cepat darinya. Wajah gadis kecil Manoban itu terlihat murunh, seolah sedang menghadapi persoalan yang besar. Ia terlihat gelisah.
Tak biasanya gadis itu terlihat tak tenang seperti seekor cacing yang kepanasan. Beberapa kali Rosa kedapatan sedang mengetuk-ketuk meja dengan jarinya seakan tengah memikirkan sesuatu yang serius. Kebiasaan itu tak seperti Rosa Manoban yang Lisa kenal. Rosa yang Lisa tahu adalah gadis yang ceria, seperti tak pernah memiliki beban dalam hidupnya. Berbeda dengan Lisa yang tenang laksana rembulan, Rosa bagaikan cahaya matahari yang menyilaukan.
"Rosa-chan?" panggil Lisa dengan suara pelan. "Daijoubu desu ka*?" Gadis Hogward itu memulai percakapan ringan dengan menanyakan keadaan sahabatnya, membuat Rosa yang sedang menatap kotak pensil di atas meja tersentak kaget karena sapaan dari seseorang yang ternyata sudah berdiri di dekatnya.
Akan terlihat biasa saja jika ekspresi ketakutan tak sengaja tertangkap oleh kedua mata Lisa, dan keanehan pada ekspresi Rosa itu sayangnya terlalu janggal di mata gadis yang memiliki warna mata serupa dengan warna rambutnya itu. Tapi si sulung dari keluarga Hogward mencoba berpikir positif ketika melihat keadaan sahabatnya ini. Mungkin ada sesuatu yang mengganggunya, pikir Lisa peduli.
"Eng ... Lisa ...." Rosa menggantung ucapannya selama empat detik. Bola matanya bergerak gelisah, sampai kemudian dia kembali bersuara, "Ah, tak apa. Aku hanya sedang tak enak badan saja kok hari ini."
Gadis cantik yang selalu mengenakan pin rambut di kepalanya itu tersenyum tipis kepada sahabatnya. Lisa terlihat ragu, tapi Rosa buru-buru melambaikan kedua tangannya ke kiri dan ke kanan secara bersamaan, meyakinkan teman sebangkunya bahwa dia baik-baik saja. Setidaknya untuk saat ini.
Lisa membuang napas perlahan, lalu tersenyum manis kepada Rosa. "Syukurlah kau dalam keadaan baik," balas Lisa tulus. "Kalau ada apa-apa, katakan saja, yah."
Lisa kemudian duduk di bangkunya seperti biasa, sambil melirik gadis keluarga Manoban lewat ekor matanya. Masih dilihatnya jika Rosa terlihat gusar di tempat duduknya. Mungkin ada yang sengaja disembunyikan oleh teman sebangkunya ini dan tak ingin dibaginya pada Lisa.
Tak apa, Rosa jelas butuh waktu untuk menceritakan semua kekuh kesah yang mengganjal di hatinya, dan Lisa juga tidak boleh memaksa Rosa untuk berterus terang padanya. Sebab dia tahu, itu pastilah privasi, sebuah rahasia yang tak boleh dikatakan sembarangan dan perlu menunggu waktu yang tepat untuk dikatakan.
Meski berkata bahwa keadaannya baik-baik saja walau sedikit tak enak badan, nyatanya Lisa penasaran terhadap apa yang mungkin saja disembunyikan Rosa darinya.
Entah mengapa, perasaan tak enak itu kembali menyusup di relung hatinya, membuat Lisa mau tak mau ikut kepikiran.
Sebenarnya, apa yang terjadi dengan Rosa?
***
Sepanjang hari, Lisa disibukkan dengan berbagai pertanyaan tentang keadaan Rosa yang mau tak mau merebut segala perhatiannya di hari itu. Waktu serasa berjalan cepat ketika bel pulang sekolah berbunyi nyaring, seakan memberi sebuah tanda kebebasan kepada para siswa yang terlampau jenuh pada pelajaran di sekolah, untuk segera bersiap-siap dan pulang ke rumah.
Semua murid di kelas Lisa sibuk membenahi peralatan belajar mereka, setelah guru yang mengajar keluar dari kelas. Mereka semua langsung berebut keluar dari kelas 3-1, dan hendak menuju parkiran sekolah Furukawa High School yang luas. Lisa masih terduduk bersama Rosa di kelas. Mereka hanya berdua, tentu saja karena teman-teman mereka yang lain sudah lebih dulu meninggalkan lingkungan sekolah agar bisa cepat sampai ke rumahnya masing-masing.
Kebetulan Lisa ada piket menyapu hari itu, dan entah mengapa Rosa sedari tadi tak beranjak pergi dari tempat duduknya, padahal tak ada namanya yang tertera di jadwal piket hari ini. Rosa seperti sedang menunggui Lisa, karena hari itu teman-teman piketnya yang lain tak bisa membersihkan kelas. Jadi, Lisa terpaksa harus piket sendirian karena empat orang temannya masing-masing ada kesibukan yang tak bisa diganggu gugat.
Setiap siswa harus memiliki setidaknya satu organisasi yang diikuti untuk memperoleh nilai tambah, berbeda dengan Lisa, nilainya selalu bagus sehingga dia tak perlu nilai tambah dari mengikuti organisasi.
Itulah mengapa mereka yang mengikuti kegiatan organisasi pada sore hari menjadi tak selalu bisa piket membersihkan kelas, juga karena Lisa tak ikut organisasi apa pun, dia pun terpaksa menggantikan teman-temannya. Lagipula, Lisa tak pernah keberatan, justru dia senang bisa menolong teman-temannya. Setelah keheningan yang hadir tanpa pernah diundang, Lisa akhirnya memberanikan diri memulai percakapan dengan Rosa.
"Rosa-chan, doushite*?" tanyanya sambil membersihkan papan tulis. "Kamu kenapa sih? Kalau ada sesuatu yang mau dibicarakan, katakan saja. Bicarakan apa pun itu denganku."
Rosa yang semula menundukkan kepala, dengan sangat perlahan mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah Lisa, memperlihatkan butiran air mata yang mengalir dengan jelas di pipi putihnya yang halus bak porselen. Lisa yang sengaja menghentikan kegiatan piketnya sekadar untuk lebih memperhatikan sahabatnya terdiam sendiri di tempat. Sibuk menatap wajah cantik yang sedang menangis, memandangi wajah yang berderai air mata.
Apa yang terjadi dengan gadis dari keluarga Manoban ini?
"Lisa, a-aku ... sejak lama ingin meminta maaf ... pada Lisa-chan tentang ...." Perkataan Rosa yang biasanya lancar kini tersendat, tak terkontrol, seperti air mata yang kian deras keluar dari bola matanya yang memiliki pupil berwarna hitam.
Lisa tahu perasaan aneh yang sempat ia rasakan pagi tadi ini pasti ada hubungannya dengan semua ini. "Tentang apa?" Lisa bertanya dengan lirih.
Rosa kembali meneruskan dengan suara kecilnya. "Tentang ... Dino-kun," bisiknya pelan. Lisa mengatupkan bibirnya rapat-rapat, ia ingin sekali menutup telinganya saat ini dan tak ingin berbicara satu kata pun kepada gadis di depannya.
Kenapa harus berbicara tentang Dino? Kenapa harus miliknya?
Seakan ada lem super kuat yang mengunci rapat mulutnya, Lisa hanya mampu menunggu Rosa melanjutkan kalimatnya.
"Apa aku bisa dimaafkan karena mempunyai hati pada Dino-kun, Lisa-chan?"
Bagai diserang petir tepat di jantungnya, Lisa membatu, rasa sakit menyerang ulu hatinya yang paling dalam. Ia yakin detak jantungnya sempat berhenti sesaat setelah mendengar kalimat itu. Pandangan gadis Hogward itu tak lagi fokus pada wajah sang sahabat dekat yang tepat berada di hadapannya ini. Pikiran di dalam kepalanya menjadi berkecamuk tak beraturan.
Lidahnya semakin kelu tak mampu berkata-kata. Lisa diam membisu. Matanya terasa memanas.
"Aku menyukai Dino, Lisa-chan. Aku menyukainya, maafkan aku." Rosa tertunduk dengan isakan yang justru terdengar semakin keras. Gadis Manoban itu menangis tersedu-sedu di depan gadis bersurai cokelat panjang yang mematung di tempatnya berdiri.
Jika bisa memilih, Rosa jelas tak mau menjatuhkan hatinya kepada kekasih orang lain, terutama ini adalah sahabatnya sendiri. Demi apa pun, Rosa merasa jahat sekali. Lisa masih saja terdiam, tatapannya kosong menatap lurus ke depan, dia bahkan tak sadar jika Rosa tak lagi duduk di kursi dan berjalan mendatanginya. Tangan mungil Rosa yang hendak meraih kedua tangannya, ia tepis dengan cepat.
Gadis bersurai cokelat panjang itu tertohok dengan kenyataan pahit yang seakan mengejeknya.
"Aku tak bisa berhenti mencintai Dino, Lisa-chan. Aku sudah berusaha tapi ... maaf. Maaf, maaf, maafkan aku," bisik Rosa sekali lagi. Gadis itu mengakhiri serentetan kalimat yang diucapkannya bersamaan dengan raut wajah penuh penyesalan.
Suaranya parau dengan tubuh yang gemetar menahan isak tangis yang semakin lama semakin keras saja terdengar. Lisa merasakan sesak di dadanya, terasa sakit dan juga perih di dalam sana. Napasnya ikut memburu dengan cepat.
Tanpa sadar Lisa berjalan menuju kursi yang terletak di baris kedua dari depan, masih sambil menatap kosong ke apa pun itu. Begitu terduduk, sang gadis kembali berkutat dengan alam bawah sadarnya, mengulang ucapan Rosa secara berturut-turut dalam otaknya.
Rosa masih berdiri di dekat papan tulis, menyesal terhadap apa yang baru saja ia ungkapkan kepada sahabatnya. Mencintai kekasih orang lain adalah dosa besar, dan dia merasa tak bisa dimaafkan dengan mudah.
Tiba-tiba saja Lisa bangkit berdiri, menimbulkan derit nyaring yang terdengar tak mengenakkan di telinga sebab kursinya bergesekkan langsung dengan lantai tempatnya berpijak.
Gadis berkulit putih dengan tahi lalat di telapak tangan kanannya itu menggeleng, tak kuasa terlalu larut dalam pikirannya. "Kau tak boleh seperti ini, Rosa-chan," bisiknya menahan tangis.
Suara gadis Hogward terdengar serak dan gemetar. Gadis itu mencoba tersenyum, meski yang tampak hanyalah lengkungan yang kaku. Hidung dan wajah Lisa memerah bak seseorang yang terkena demam tinggi. Anak sulung Doran tersebut berusaha menahan Isak tangis yang sebentar lagi akan meledak karena kesedihan yang begitu dalam.
Rosa menatap Lisa dengan pandangan meminta maaf, ia tahu ia bersalah pada gadis Hogward itu, tapi ekspresi Lisa yang memperlihatkan tatapan kosong semakin membuat hatinya merasakan sakit yang tak terhingga.
"Kau tak boleh seperti ini, Rosa," ucap Lisa berulang-ulang, seolah kalimat itu adalah mantra yang bisa membatalkan semua yang telah terjadi. Setitik air mata menetes, menuruni pipi kirinya. Lisa pun menjauh dari kursinya saat Rosa bergerak menghampiri. Dia mundur secara perlahan, menjauh dari seseorang yang dianggap sebagai teman baiknya itu sebanyak beberapa langkah.
"Lisa-chan ... aku—"
"Tidak, jangan katakan apa pun!" Tanpa sadar, Lisa menaikkan suaranya. Air matanya terus mengalir keluar. "Kumohon jangan katakan apa pun lagi ...."
"Tapi Lisa—"
"Cukup, kau tak boleh seperti ini ... Rosa-chan. Sama sekali tak boleh ...." Lisa bergumam sendu, lalu berbalik badan dan segera lari keluar dari kelas.
Menapakkan langkah kaki mungilnya di lorong sekolah yang sudah sepi, berhenti tertahan dan terdiam di ujung tangga penghubung lantai dua dan satu. Tubuh gadis Hogward itu merosot jatuh. Ia langsung berjongkok dengan tangan kanan yang menutup mulutnya, mencegah isakan keluar dari sana.
Dia tak boleh menangis, terutama di tempat dan dalam keadaan seperti ini. Sama sekali tak boleh. Saat di mana seharusnya Lisa bertahan di samping Dino, ia tidak boleh menunjukkan air mata seperti yang hampir selalu dia lakukan. Ia harus bisa menahan air mata yang tertahan di pelupuk matanya.
Jika menangis dan terlihat menyedihkan, ia tidak akan pernah punya kesempatan lagi untuk bersama dengan Dino selamanya. Kini Rosa dengan jelas menyatakan bahwa dia menyukai Dino, sementara laki-laki itu tanpa perlu ditanya sudah jelas memiliki perasaan yang sama dengannya.
Lisa merasa bodoh, ia merasa sangat bodoh. Kenapa ia terus berdiri di antara dua orang yang saling mencintai ini? Bertindak seolah cintanya terbalas, padahal justru ia malah menghalangi perasaan mereka berdua yang sudah terlihat jelas demi keegoisannya sendiri. Bukankah Dino berhak mendapatkan kebahagiaan untuk dirinya sendiri?
Apakah seperti ini perasaan seorang antagonis ketika melihat pemuda yang dicintainya lebih memilih sang pemeran utama? Apakah sama seperti perasaan yang Lisa alami sekarang? Mungkin Lisa bisa mengerti, ia memang berperan menjadi penjahat tidak tahu diri di kisah cintanya sendiri. Gadis itu tak kuasa menahan semuanya, ia menyerah terhadap keadaan dan mulai menangis. Dia frustrasi, sebab tak bisa lebih lama menahan air matanya agar tak tumpah seperti yang dia inginkan sebelumnya.
Kenapa rasanya sulit sekali untuk tak bersikap egois?
***
Lisa memandang pantulan dirinya di toilet siswi, ia terlihat berantakan. Saat ini, sekolahnya sudah sepi. Matahari hampir berganti dengan bulan ketika senja menghampiri. Lisa sedang memastikan bahwa sudah tak ada lagi jejak air mata yang tertinggal di wajahnya. Ia menatap pantulan wajah dan juga hidungnya yang masih merah karena menangis terlalu lama.
Mata yang sembap dan pipi yang masih terasa basah. Lisa lalu menyapu sisa air mata yang lagi-lagi jatuh ke kedua pipinya. Ia ada janji dengan Dino untuk pulang bersama pada hari ini, walau ia yakin seribu persen bahwa Dino tak akan memperhatikan apa pun yang terjadi pada dirinya saat ini. Dia hanya ingin membuat wajah yang terlihat kusut itu menjadi sedikit lebih ceria, dan berekspresi seolah tak pernah terjadi apa pun padanya.
Lisa memeriksa seragam sekolahnya yang sedikit berantakan. Dia juga merapikan tatanan rambutnya yang kurang rapi dan tak lupa pula merapikan rok sekolahnya. Gadis Hogward itu sudah terlambat lima belas menit dari waktu janjian yang ditentukan Dino, tentu saja keterlambatan ini akan membuat laki-laki itu tak senang.
Dengan terburu-buru, Lisa meninggalkan gedung sekolah dan langsung menuju ke tempat parkir sepeda. Lisa mencoba tersenyum pada pemuda Leckner yang kini tengah memperlihatkan wajah kesal yang angkuh kepadanya.
"Kau lama sekali," gerutu Dino dingin.
Lisa tersenyum tipis. "Maaf," bisiknya penuh penyesalan. "Apa hari ini kita bisa melihat matahari tenggelam, Dino-kun?"
Lisa tak terlalu memedulikan sikap dingin yang diperlihatkan Dino, sebab dia sudah terbiasa, setidaknya sampai saat ini.
"Aku tak bisa," tolak pemuda Leckner itu cepat.
"Kumohon?" Lisa mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada, memohon agar keinginannya dikabulkan. Setelah cukup lama memasang posisi yang sama, pada akhirnya Dino pun menurut, walau harus mendengar pemuda itu menggerutu di sepanjang jalan.
Melihat matahari yang mundur ke peraduannya adalah pemandangan indah yang akan menjadi kesenangan tersendiri bagi Lisa. Terutama karena hari itu Dino mau menuruti kehendaknya.
Gadis itu tak bisa berhenti mengagumi warna senja yang mengikat matanya, menghibur diri sendiri dengan anggapan bahwa Dino menemaninya karena kemauan pemuda itu sendiri. Lisa lalu menoleh pada ekspresi Dino yang masam. Dia tersenyum sedih untuk sedetik, dan sudah kembali menampilkan wajah ceria seperti biasa.
"Apa kau mau menemaniku sebentar ke suatu tempat untuk berdoa, Dino-kun?"
Dino mendengkus setelah ketenangan yang dirasakannya kembali diusik oleh seseorang. "Bisa tidak sehari saja kau tidak jadi bebanku?" selorohnya sambil berdecak lidah.
Lisa tersenyum dan berkata, "Kalau begitu, aku akan ke kuil sendiri saja."
Setelah turun dari boncengan sepeda Dino, gadis sulung keluarga Hogward itu berjalan pelan menuju kuil yang berada tak jauh dari tempat tinggalnya. Ia memasukkan beberapa koin senilai seribu Rupiah pada tempat koin pengunjung, menepuk tangannya tiga kali dan mulai berdoa.
Pelan, lambat-lambat, mencoba berkonsentrasi agar Tuhan mau mengabulkan permohonannya. "Aku ingin ayahku bahagia dengan pilihannya sekarang, Kami-sama. Berikan kebahagiaan pada kami semua, pada keluarga Gina-baasan, dan juga Dino-kun. Berikan aku kekuatan jika Kau membuat keputusan yang berbeda dari harapanku."
Lalu gadis itu terdiam, air mata mulai luruh kembali, padahal akan sangat memalukan jika menangis di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Meski ditahan pun, sesenggukan itu semakin lama semakin jelas terasa.
Lisa menangis kembali untuk kedua kalinya, di kuil sepi yang menjadi saksi bisu betapa bingungnya si gadis keluarga Hogward itu. Lisa menyudahi berdoa, berbalik badan hendak pulang ke rumah saat siluet seseorang berdiri di hadapannya, terhalang oleh bayangan pohon beringin besar di dekat kuil.
Ketakutan menjalari tubuh Lisa, berbagai dugaan negatif pun muncul di dalam pikirannya, tapi kemudian berubah menjadi helaan napas lega ketika menyadari sosok itu adalah Dino yang sedang berdiri di samping sepeda.
"Apa Dino-kun menungguku?" tanya Lisa berharap, matanya berbinar cerah. Sedikit berharap jelas tak dilarang, bukan?
"Kau pikir ibuku akan diam saja saat melihatku pulang sendiri tanpamu? Kau akan merepotkanku jika terus seperti ini."
Lisa meringis. Tentu saja, tentu saja Dino menungguinya karena ibunya akan memarahinya habis-habisan jika ia tidak pulang bersama-sama sang gadis. Pemuda bungsu Leckner itu tidak dengan keinginannya sendiri menunggui Lisa sampai selama ini.
Lagi-lagi Lisa harus menelan kepahitan. Dalam peran yang ia jalani sekarang, tak ada yang pernah menceritakan si penjahat berakhir dengan kemauan yang tersampaikan kepada sang tokoh utama.
Selalu saja tokoh antagonis itu berakhir menyedihkan seperti yang Lisa alami sekarang. Pada tiap kisah cinta, walau berbeda karakter, suasana dan alur cerita, cinta sepihak tetap akan membunuh tanpa peringatan.
****
Pojok kata yang muncul dan akan muncul.
Doushite : Ada apa? Pertanyaan yang sering dipakai dalam bahasa Jepang ketika menanyakan kenapa.
Ohayou : Ucapan selamat pagi dalam bahasa Jepang.
Ittadakimasu : Ucapan selamat makan yang di lakukan orang Jepang ketika berhadapan dengan makanan.
Ittekimasu : Ucapan ketika berpamitan dengan orang rumah dalam bahasa Jepang, artinya "Aku berangkat."
Itterashai**: Ucapan dari orang rumah ketika mendengar 'ittekimasu' dalam budaya Jepang, artinya yaitu "Hati-hati di jalan."
Hontou*: Ucapan dari kata "Benarkah?" dalam bahasa Jepang.
Bento*: Kotak makan, tempat bekal dalam bahasa Jepang.
Pada keesokan harinya, Lisa melakukan rutinitasnya seperti biasa. Bangun pagi-pagi sekali untuk memasak dan bersih-bersih rumah, menyiapkan bento untuknya dan sekalian untuk ayahnya, memeriksa tas sekolahnya sekali lagi agar tak ada barang yang tertinggal. Klise, hanya itu yang ia lakukan sebelum mandi dan berangkat ke sekolah. Setelah melakukan rutinitas yang biasa ia kerjakan setiap pagi, Lisa pun beranjak ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya. Selesai mandi dan mengeringkan badan, Lisa mengambil seragam sekolah dari dalam lemari pakaian, memakai seragam itu dengan cepat, lalu memasang dasi di kerah seragamnya, juga sedikit memoles wajahnya dengan bedak tipis. Lisa memandang pantulan dirinya di cermin, cukup bagus dan rapi. Tak perlu terlalu mencolok, sebab dia sudah cukup manis. Hanya saja, Lisa tak berpikiran seperti itu. Dia tak tahu jika sebenarnya dia memiliki senyuman yang indah. Memastikan sekali l
Melupakan itu mudah, yang sulit itu membiasakan diri dengan hal yang berbeda. Mengubah sandaran kemudian beradaptasi untuk menemukan zona nyaman. Berjuang memang tidak pernah semudah yang direncanakan.***Perjalanan dilanjutkan dengan berdoa ke kuil, seperti yang selalu Lisa lakukan, dia akan memasukan beberapa koin, menepuk tangannya tiga kali dan mulai berdoa secara khidmat. Banyak keinginan yang ia panjatkan pada tuhan, karena dia ingin semuanya berjalan baik-baik saja.Jika tak sesuai dengan keinginannya, setidaknya Lisa tahu, kalau yang ia panjatkan itu tepat di sisi Tuhan. Lisa masih terdiam cukup lama, meski doa yang ia tujukan pada Kami-sama telah selesai hampir lima belas menit yang lalu. Kemudian dia pun menyingkir ke pohon besar dekat kuil yang menawarkan kesegaran di bawah terik matahari yang bisa membakar siapa saja dan duduk bersandar pada batangnya.Si pemilik lensa mata cokelat itu merogoh ponsel merah di saku rok seragamnya
Selama aku masih kuat bersamamu, selama kesabaranku masih ada, aku akan terus bertahan.***Kalau bukan hari minggu, tentu Lisa tak akan berkunjung ke rumah bergaya minimalis bercat putih yang berada di seberang rumahnya. Kalau bukan karena ada undangan tertentu, pasti gadis bersurai panjang itu tak akan mampir ke rumah Dino. Akan tetapi, walau bagaimanapun juga, meski jauh di dasar hatinya yang terdalam tak menghendaki pergi ke rumah itu, ada seorang wanita baik hati yang perlu dia ucapkan terima kasih atas jasanya selama ini."Lisa-chan? Kenapa lama sekali tak bertamu kemari?" tanya wanita dewasa di hadapannya. Dia Gina Leckner, ibunya Dino.Karena Dino tak pernah mengijinkanku ke rumahnya, jawab Lisa dalam hati, meski dia hanya tersenyum menanggapi pertanyaan dari sang nyonya keluarga Leckner. Gadis itu menunjukkan sekotak kue kering yang ia bawa dari rumah kepada istri mendiang Mogi Leckner itu."Terima kasih untuk kue yang kemarin, Tante. Ini
"Kau tak pergi? Tak diajak, ya?" Nada suara pemuda itu terdengar menyebalkan. Ya, Lisa tahu itu hanyalah ejekan untuk menghinanya yang dicap sebagai seorang pembantu daripada kekasihnya Dino.Namun, Lisa lebih memilih diam dan berdiri setelah semua makanannya terkumpul lagi di dalam kantong plastik. Jantungnya sudah berdetak dengan normal. Gadis itu menggeser tubuhnya sedikit ke samping kanan, dan berjongkok, mengambil bola yang ia yakini milik sang pemuda, lalu mengembalikannya tepat ke tangan pemuda itu."Bolamu, kan?" tanyanya dengan suara yang terdengar tak bersemangat. "Kalau begitu, aku pulang dulu."Lisa menahan napas dan berjalan melewati si surai merah jika saja kerah bajunya tak ditarik secara tiba-tiba dari belakang, dan membuat dia langsung tertahan di tempat."Hoi, aku sedang bicara denganmu, Gadis Es Krim. Sebaiknya dengarkan dulu apa yang akan lawan bicaramu sampaikan. Kau punya sopan santun, 'kan?"Lisa tak ingin meladeni pemuda itu
Rasanya hatiku akan menjadi tumpul, hangus terbakar, lalu berubah menjadi abu ....Ini baik, atau justru sebaliknya? ***Hari senin datang dengan cepat, dan liburan satu hari yang menyenangkan bagi semua orang pun telah berlalu. Tak ada yang istimewa, tak ada yang aneh sejauh ini. Semua tetap sama. Mungkin bedanya hanya satu, ada jarak yang ingin diberikan Lisa pada Dino Leckner.Dia tidak lagi berangkat bersama, tidak mengirimkan pesan singkat, dan juga tidak membawa handuk serta botol minum yang biasanya ia bawa ketika Dino tengah berlatih sepak bola.Walau kadang Lisa masih sering kedapatan memandangi Dino secara diam-diam yang sedang bermain bola di lapangan pada saat jam istirahat makan siang. Perkataan pemuda bersurai merah pada waktu itu sedikit mempengaruhi pikiran Lisa yang bingung dengan perasaannya sendiri.Ah, dia sadar sepenuhnya, cinta tak pernah ada di hati seseorang hanya untuk membuatnya bodoh. Cinta hadi
Sampai menyerah sendiri, aku tak akan berhenti. Lagipula, aku sudah berjuang sejauh ini, masih ada hari esok. Aku akan melihat sejauh mana batu itu terkikis dan luluh terhadap ketulusan seorang yang penuh cinta.***Lisa masih bergeming di tempat, melihat wajah Dino yang seolah sudah lepas dari beban berat. Entah mengapa ... entah mengapa membuatnya ingin tersenyum juga. Seharusnya dia menangis saat ini, tapi sudut-sudut bibirnya justru tertarik ke atas. Lisa tersenyum lebar.Memang hanya sampai di sini. Tidak akan berlanjut lagi.Pipi-pipi chubby Lisa tertarik ke atas. Senyum lepas yang tak terpaksa pun tercipta. Sebuah senyum lega yang terasa begitu ringan, seolah tak ada beban lagi yang ditimpakan padanya.Pada detik itu, sang pemilik rambut cokelat mungkin mengalami keadaan di mana ia mencapai titik tertentu bisa mencintai seseorang dan mampu merelakannya dengan ikhlas untuk berbahagia dengan pilihan hatinya.Bersama gadis lain, gadis ya
Betapa merindunya cinta yang bertepuk sebelah tangan seperti ini, menumpulkan rasa agar tidak bertambah dalam luka yang tertoreh. ***"Aku ingin ikut organisasi berkebun." Lisa memandang penuh harap pada Reza, ketua organisasi berkebun di sekolahnya yang kebetulan satu kelas dengan si gadis Hogward.Lisa telah memperhatikan pemuda itu selama seharian, dan dari apa yang didapatkannya dari temannya yang lain, bahwa Reza itu adalah ketua organisasi berkebun. Organisasi yang hanya berisi orang-orang yang senang tanaman, atau orang yang tak mau capek mengikuti kegiatan klub lainnya.Reza mendongak dari posisi tidurnya di atas meja, memandang Lisa yang berdiri di sebelah mejanya sejenak. Seolah menilai kebenaran dari apa yang gadis itu ucapkan. "Kau berminat pada organisasi yang hanya mempunyai lima orang anggota saja?" tanya Reza kebingungan.Reza jelas ingin organisasi yang dipimpinnya ini bertambah anggotanya, agar semakin
Ketika memutuskan untuk berhenti, maka selesaikanlah dengan baik. Terkadang, meski sudah menumpulkan rasa, akan tetap ada penyesalan kecil karena belum menghapus kenangan seutuhnya.***Ternyata pertemuan kali ini langsung membawa Lisa ke kegiatan organisasi. Apalagi kalau bukan menanam aneka macam tumbuhan. Kebanyakan bibitnya dibeli langsung oleh Jino, karena orang tuanya bekerja di pasar dan dia bisa memilih bibit apa yang akan dibawanya ke sekolah."Kita akan menanam sayuran kali ini. Organisasi tata boga meminta bantuan kita untuk menyediakan beberapa macam jenis sayuran yang rencananya akan digunakan pada lomba masak pada hari peringatan ulang tahun sekolah kita nanti."Lisa tak ingat persis suasana ulang tahun sekolahnya, sebab dia selalu menghabiskan waktunya di lapangan sepak bola, menunggu seseorang berlatih untuk pertandingan antar kelas. Reza menjelaskan rencananya sambil membagikan beberapa kantong benih sayuran kepada masing-masing anggota k