Dino tersenyum tipis. Gadis ini harus dibuat jera, pikirnya.
Jawaban pemuda yang selalu memiliki ekspresi minim itu adalah perintah—sekaligus ancaman, mengingat apa yang bisa Dino lakukan kepadanya. Terlebih lagi, Dino juga sudah memberikan penekanan pada kata 'segera' dan itu berarti pernyataannya tak bisa diganggu gugat. Bahkan, jika Lisa memohon belas kasihan kepadanya sekalipun, pemuda itu tetap tidak akan berhenti dan menuruti kemauannya.
Apakah ini yang biasa dilakukan oleh sepasang kekasih? Apakah ada pasangan yang tega membiarkan kekasihnya sendirian di jalanan sepi? Hanya Dino lah yang melakukan hal itu.
Sang gadis Hogward menghela napas dari hidung secara perlahan, ia hanya bisa pasrah saat Dino tak menuruti permintaannya. Memangnya dia ini siapa?
Apa dia cukup berarti bagi pemuda itu? Lisa meragu, tidak pada hari ini saja gadis Hogward ini berpikir demikian, tapi hari sebelumnya juga sama.
Gadis itu pun mengangguk kecil sebagai jawaban dan tak beberapa lama kemudian, keheningan yang sama kembali melanda.
Mereka terlalu sering diam, sampai-sampai Lisa lupa jika mereka sedang pulang bersama.
Mereka berdua terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tak ada seorang pun yang ingin memecahkan keheningan yang kembali terasa di antara mereka. Perintah dari Dino itu adalah sesuatu yang mutlak, sesuatu yang harus dilakukan oleh sang gadis Hogward.
Mau tak mau, Lisa hanya bisa menuruti keinginannya dan hari ini pun berakhir sama seperti hari yang telah lewat.
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Lisa hanya bisa diam sambil menelan pil pahit kekecewaan yang bersarang di tenggorokannya sejak tadi, sebab Dino lagi-lagi enggan mengikuti keinginannya untuk pergi ke tempat yang ia inginkan.
Si sulung dari keluarga Hogward itu pun memilih diam sambil menatap pepohonan, atau tiap-tiap rumah dan bangunan toko yang terlewati dalam perjalanan pulang mereka. Meski jarak rumah satu keluarga antara satu sama lainnya itu agak sedikit berjauhan, ataupun jumlah toko yang bisa dihitung dengan jari, tapi Lisa tetap memandanginya dengan tatapan kosong.
Tak ada minat sama sekali ketika dia menatap semua bangunan itu, karena pikiran gadis itu sedang tak berada di sana.
Pikiran Lisa pun melayang jauh, sibuk memikirkan arti dirinya dan setelahnya ia kembali disibukkan dengan pikiran tentang Dino yang tak pernah berubah menjadi lebih baik kepadanya. Padahal mereka berdua telah kenal lama, sejak keduanya masih kecil.
Di detik-detik selanjutnya, yang hadir di antara mereka hanyalah kesunyian yang sama sekali tak mengenakkan. Terasa menganggu. Keheningan itu mengiringi perjalanan sepasang manusia berbeda jenis yang berstatus sebagai sepasang kekasih itu.
Tak ada gelak tawa, tak ada candaan khas sepasang kekasih pada umumnya.
Yang ada di antara mereka hanyalah kesunyian, tanpa ada seorang pun yang ingin memecahkan kesunyian itu, dan menjadikannya suatu momen kebersamaan yang berharga bagi sang gadis Hogward yang telah lama memendam rasa sesak di antara keheningan ini.
Mereka berdua terdiam, lagi dan lagi. Lisa mencoba menikmati keadaan yang tak pernah berubah menjadi nyaman sedari dulu di antara mereka berdua.
Mungkin memerlukan waktu sekitar empat puluh menit bagi Dino dan Lisa hingga tiba di depan rumah masing-masing. Rumah siswa-siswi kelas tiga Furukawa High School itu memang saling berhadap-hadapan. Keduanya adalah tetangga sejak kecil, sebab alasan itu pulalah, hanya Dino yang Lisa miliki sebagai teman sepermainannya.
Dino yang sudah menghentikan laju sepedanya, memberi gestur kepada Lisa untuk turun. Dia sengaja membawa sepedanya agak sedikit dekat dengan gerbang rumah gadis itu, dan menurunkan Lisa tepat di depan rumahnya. Dia tak melirik gadis bersurai cokelat panjang, meski dia masih menunggu sang gadis turun dari boncengan sepedanya.
Lisa pasti mengerti apa yang dia inginkan.
Benar saja, gadis itu menahan napas sebelum menurunkan kakinya satu per satu ke tanah. Kakinya agak pegal, karena itu dia turun dengan lebih hati-hati.
Selepas Lisa menginjakkan kedua kakinya di tanah, Dino dengan segera memutar sepedanya dan kembali ke rumahnya yang berseberangan dengan rumah sang gadis Hogward. Tanpa berniat sedikit pun berbicara terlebih dahulu dengan sang kekasih, walau hanya sekadar basa-basi.
Memangnya itu penting? Dino bukan tipe orang yang senang berbasa-basi, apalagi jika membahas sesuatu yang dirasa tidak terlalu penting.
Lisa sudah masuk ke dalam pagar, dan berdiri di depan pintu berwarna hitam pekat berukuran besar. Pintu utama yang terbuat dari bahan yang kokoh dan berkualitas, itu adalah pintu depan rumahnya.
Sang gadis Hogward memandang punggung tegap pemuda tambatan hatinya itu sampai sang pemuda masuk ke dalam halaman rumah. Punggung Dino pun hilang terhalangi oleh pagar tinggi rumah kediaman keluarga Leckner yang dibuat tak berjeruji.
Bahkan rumahnya saja seperti tak membiarkan Lisa masuk. Gadis itu lalu menghela napas panjang, rasa sesak masih merongrong dirinya sejak tadi. Perasaan tak enak menggelayuti hatinya. Gadis itu kemudian berbalik memasuki rumahnya yang megah dan menutup pintunya rapat-rapat.
***
"Dino-kun, kau sudah pulang, Nak?" Pertanyaan sang ibu langsung menyapa gendang telinga Dino tepat setelah pemuda itu baru saja menginjakkan kakinya di ruang tamu kediamannya. "Bagaimana harimu hari ini? Menyenangkan?"
Dino tak menoleh, ia masih sibuk melepas sepatu dan kaos kakinya.
"Dino ...." Gina kembali memanggil. Dino bereaksi, ia menggumamkan sesuatu. Tak terdengar jelas, tak terlihat seperti dia sedang mencoba menjawab pertanyaan dari Gina Leckner, ibunya tersayang.
Gina hanya bisa tersenyum kecil melihat anak bungsunya tak menjawab pertanyaannya. Dino memang anak yang sibuk, dia terlihat begitu kelelahan setelah menghabiskan waktu selama berjam-jam di sekolah. Lagi pula, sistem pendidikan sekarang memang agak sedikit membingungkan.
"Oh, ya, Dino-kun," panggil Gina, mencoba menarik perhatian anak laki-lakinya untuk sekali lagi. "Sudah lama sekali sejak Lisa-chan main ke sini. Terakhir dia ke sini itu sekitar ...." Gina terlihat berpikir serius, mengingat waktu di mana Lisa terakhir berkunjung ke rumahnya. "Sekitar tanggal dua bulan kemarin, dan itu berarti ... sudah hampir satu bulan!"
"Padahal Lisa-chan tinggal di depan rumah kita tapi terkadang dia hanya lewat saja di depan gerbang sambil tersenyum manis. Besok, bisa tidak kau ajak Lisa-chan kemari, Dino-kun?" tanya ibunya dengan riang. Ucapan ibunya itu terdengar seperti permintaan besar.
Dino menatap ibunya sesaat, lalu kemudian dengan cepat ia palingkan wajahnya ke samping. Jelas dari gelagatnya itu, dia tak menginginkan permintaan ibunya terealisasikan.
Gina, wanita separuh baya yang masih terlihat cantik itu menatap anak bungsunya penuh harap. Berharap Dino akan mengabulkan keinginan kecilnya.
Dia memang sangat berharap, anaknya akan membawa Lisa lagi ke rumah mereka. Dino harus menuruti permintaan ibunya kali ini. Lagi pula, Gina sudah sangat merindukan Lisa, anak tetangga yang sudah dia anggap seperti anak kandungnya sendiri. Gadis yang tak pernah membuat Gina bosan saat melihat senyum di wajahnya atau menghabiskannya waktu dengan cara berbincang ringan dengannya.
Dia ingin Lisa sendirilah yang datang ke rumahnya. Tentu saja karena dia ingin gadis itu menghabiskan waktunya lebih lama di kediaman keluarga Leckner, mengingat Lisa adalah kekasihnya Dino.
Dulu sekali, saat Dino dan Lisa masih berusia 14 tahun, gadis dari keluarga Hogward itu sering datang ke rumah mereka. Sekadar berbincang ringan dengan Gina, atau menemani Dino yang sedang bermain game di ruang keluarga.
Aktivitas yang terjadi waktu itu sangat menyenangkan. Namun akhir-akhir ini, ketika kedua anak-anaknya telah tumbuh dewasa dan hampir menyelesaikan pendidikan sekolah mereka, Lisa menjadi jarang berkunjung ke rumah keluarga Leckner, dan ini sudah lebih dari dua minggu—hampir satu bulan.
Dino menepuk keningnya, hingga terdengar suara tepukan yang cukup keras. "Selalu saja begini," gumamnya asal sambil terus menggerutu. Ia sangat kesal, sebab ibunya kembali membawa-bawa gadis itu dalam pembicaraan keduanya. Dino memutar bola matanya dan sama sekali tak membalas ucapan sang ibu. Lelah menjawab permintaan yang tak terlalu penting.
Dino justru menuju arah lain dan menaiki anak tangga, pergi menuju kamarnya yang terletak di lantai dua.
"Dino-kun," panggil Gina untuk kali ketiga. Namun, Dino mengabaikan hal itu. Akhirnya Gina hanya bisa menggeleng pelan. Sebab tak mendapat tanggapan apa pun dari anak kesayangannya, Dino.
Dia benar-benar berbeda setelah kehilanganmu, Mogi. Wanita paruh baya itu membatin dengan raut wajah sendu, teringat dengan almarhum suaminya yang telah tiada beberapa tahun yang lalu.
***
Langkah kaki lebar Dino akhirnya membawa sang pemilik surai hitam pekat itu sampai di ruang pribadinya yang luas. Dino membuka pintu kamarnya dengan perlahan, sehingga menimbulkan bunyi decit yang pelan. Suara decit dari engsel pintu kembali terdengar ketika pemuda itu menutup lagi pintu kamarnya. Dia mencoba menjaga setiap privasi yang ada.
Seluruh sudut kamar dihiasi oleh berbagai perabot dan aksesori berwarna merah dan hitam yang sedikit mencolok. Nuansa kamar seorang anak laki-laki begitu kuat. Kesan yang didapat pertama kali oleh kamar itu adalah rapi dan nyaman.
Kamar itu sangat luas untuk ditempati oleh seorang anak saja, terlebih lagi dia adalah remaja kelas 3 SMA yang selalu bersifat dingin kepada siapa saja.
Yang mendesain kamar Dino adalah ibunya, itulah mengapa kamar anak itu begitu estetik. Gina memang memiliki selera yang menarik dan itu adalah sumber dari daya tariknya. Dino melangkah pelan, masih dengan seragam sekolah yang melekat di tubuh, ia pun melempar tas punggung hitam yang berisi beberapa buku pelajaran miliknya dengan asal ke sisi ranjang.
Tak peduli ketika tas itu miring dan jatuh ke bawah. Toh, hanya ada buku di dalamnya.
Dino pun langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur yang besar. Kasur itu tampaknya sanggup menampung tiga orang di atasnya, bahkan mungkin saja lebih. Akan tetapi, dari pada berbagi kamar, Dino lebih senang tidur sendiri. Sebab Dino adalah tipe serigala penyendiri, yang tidak suka berbagi kepada orang lain. Terlebih lagi berbagi ranjang, apalagi berbagi ke kakaknya, Rei. Dino tak suka sekamar dengan kakaknya itu.
Tangannya lantas merogoh-rogoh saku celana sekolahnya yang berwarna hitam selama beberapa saat. Setelan seragam sekolah anak itu memang berusaha mengikuti gaya pendidikan di sekolahan Jepang. Dino langsung meraih ponsel yang sedari tadi terus bergetar di dalam sakunya. Siapa yang menghubunginya sore-sore seperti ini? Apa orang itu tidak tahu waktu istirahat?
Dino mendecih. Setelah ponsel itu berhasil diraih oleh tangannya, Dino mengangkatnya dan menekan tombol pengeras suara. Dia tak perlu menaruh ponsel di depan wajahnya, cukup membiarkan suaranya tersampaikan kepada si penelepon.
Dino selalu seperti itu. Dia adalah tipe orang yang tidak mau repot-repot memastikan atau mengetahui siapa gerangan sang penelpon, dia akan menekan tombol hijau dan mendekatkan smartphone hitamnya ke dekat telinga atau menyalakan mode pengeras suara.
"Moshi-moshi*?" Suara gadis muda terdengar menyapa. Gadis itu kembali bersuara, "Halo, Dino-kun? Apa kau baik-baik saja? Aku dengar kau terjatuh saat pelajaran olahraga tadi. Dino-kun, apa itu benar?" Orang itu bertanya di ujung sana, tidak memberikan kesempatan kepada Dino untuk menjawab pertanyaannya satu per satu.
Suara gadis itu terdengar cemas.
"Hn." Hanya dua huruf konsonan yang keluar dari mulut Dino sebagai perwakilan atas semua pertanyaan dari seseorang di ujung telepon sana. "Aku baik-baik saja."
"Aku khawatir sekali denganmu, Dino-kun. Aku takut kamu terluka." Suara isak tangis seorang perempuan muda mulai terdengar lirih dari seberang telepon. Dino mengangkat ujung bibirnya sedikit, tersenyum tipis.
Tidak bermaksud mengejek, dia tersenyum karena dia senang gadis itu mengkhawatirkan dirinya.
"Ya, aku baik-baik saja, Rosa." Si bungsu dari keluarga Leckner itu menjawab dengan cepat. "Hanya sedikit lecet saja," sahut pemuda itu.
"Ya tuhan, benarkah itu?" tanya sang gadis, yang disusul oleh tarikan napas panjang. "Yokatta na*. Aku senang kau baik-baik saja, Dino-kun." Ucapan lega menyusul dari mulutnya, menggantikan isak tangis kecil seorang gadis dari keluarga Manoban.
Dino lagi-lagi tersenyum mendengar kata-kata gadis itu. Baru saja ia akan mengatakan sesuatu kepada sang gadis, di saat bersamaan terdengar bunyi 'bip' sebagai tanda ada satu pesan yang masuk ke ponsel pintarnya.
Dino lalu menatap ponsel di tangannya, bermaksud melihat siapa yang mengirim pesan di sore hari ini. Sebelum memeriksanya, Dino meminta waktu sejenak kepada Rosa yang langsung disetujui oleh gadis bernama lengkap Rosa Manoban itu.
Dino melihat sebentar kepada siapa yang mengirimkan pesan. Hanya melihat namanya saja, dia sudah tak tertarik. Tanpa berniat membuka dan membaca isi pesan tersebut, Dino kembali melanjutkan obrolannya dengan Rosa.
"Aku sudah selesai," ucap pemuda itu datar.
"Eh? Sudah selesai, Dino-kun? Cepat sekali," ujar Rosa keheranan. Sebelumnya, pemuda Leckner itu meminta izin padanya ingin memeriksa sesuatu, lalu kemudian Dino kembali berbicara padanya seolah tak terjadi apa-apa. Suara gadis Manoban itu tidak terdengar serak lagi seperti sebelumnya, dan hal itu membuat Dino tersenyum tipis.
"Hn, ya, aku sudah selesai, Rosa. Tolong, jangan tanyakan lebih lanjut lagi tentang hal itu," jawab si bungsu Leckner dengan cepat. Ia tidak ingin moodnya rusak karena suatu alasan yang tidak ia sukai. Apalagi tentang siapa orang yang mengirimkan pesan padanya.
"Lebih baik kita bahas hal lain saja."
Mereka kemudian berbicara dengan santai. Keduanya terlihat asyik dengan topik pembicaraan yang sedang mereka bahas. Sesekali si bungsu keluarga Leckner itu akan tertawa pelan saat mendengar guyonan lucu dari sang gadis Manoban.
Rosa adalah anak yang sangat tenang, suaranya terdengar manis di ujung telepon sana. Memang lebih dominan Rosa yang bercerita, tapi itu tidak masalah selama keduanya menikmati pembicaraan.
Dino terlihat ... begitu bahagia. Meskipun dengan cara yang menurut sebagian orang sangat sederhana. Akan tetapi, tetap saja, apa pun hal yang berhubungan dengan orang yang kita cintai, maka hal itu akan terasa sangat spesial.
Mereka sangat menikmati momen itu.
Tanpa mengetahui dan menyadari bahwa di jendela yang berada tepat di seberang jendela kamarnya Dino, terdapat seorang gadis dengan mata cokelat yang senada dengan warna rambutnya. Gadis itu tengah menatap jendela kamar Dino dengan raut wajah sendh.
"Mungkin ... pesanku itu tak terlalu penting. Iya, 'kan, Dino-kun?" gumam sang gadis dengan pilu.
* Pojok kata yang muncul dan akan muncul *
Nii-san : Ini adalah sebutan kakak laki-laki, panggilan dalam bahasa Jepang. Karena mereka bersekolah dengan sistem yang sama seperti di Jepang, mereka pun disuruh membiasakan diri menggunakan panggilan ini sehari-hari.
Ji-san : Ini adalah sebutan untuk seorang paman dalam bahasa Jepang. (Baik paman itu adalah keluarga ataupun laki-laki tua biasa.)
Baa-san : Ini adalah sebutan untuk seorang bibi dalam bahasa Jepang. (Baik bibi itu adalah keluarga ataupun laki-laki tua biasa.)
Imouto : Ini adalah sebutan untuk adik perempuan dalam bahasa Jepang. Mohon diingat panggilan dalam bahasa Jepang ini, ya.
Moshi-moshi : adalah kalimat yang selalu dipakai dalam menyapa seseorang di panggilan telepon.
Dino tersenyum setelah panggilan teleponnya dengan Rosa berakhir. Tadi itu benar-benar menyenangkan. Rosa membahas banyak hal. Dari yang penting sampai sesuatu yang tidak terlalu penting juga diceritakan olehnya. Saat Rosa bercerita, Dino hanya duduk diam di atas kasurnya. Mendengarkan dengan kaki yang sengaja disilangkan, dia duduk bersila dengan nyaman. Waktu berlalu sangat cepat dan tak terasa, sudah satu jam lebih mereka berdua berbicara di telepon. Sampai-sampai tak menyadari waktu yang telah berlalu di antara mereka. Dino terkekeh pelan dia benar-benar menikmati hal ini, rasanya sungguh menyenangkan. Inilah kualitas sesungguhnya dalam sebuah hubungan, tak ada yang saling diam dan merasa canggung terhadap satu sama lain. Hubungan itu akan menuju tingkat yang jauh lebih tinggi dan Dino akan menunggu saat itu tiba. Pemuda berambut agak jabrik itu lantas bangkit dari tempat tidurnya, kemudian beranjak menghampiri kamar mandi. Senyum tipis di wajahny
Janji itu harus ditepati, tapi bagaimana jika keadaan tidak memungkinkan kita untuk menepatinya?***Rupanya, Doran Hogward, ayahnya Lisa sedang berusaha menghabisi dirinya sendiri karena tak bisa mengenyahkan bayangan wanita yang telah berkhianat dari dalam hidupnya. Pria itu berpikir pendek, tak peduli pada trauma yang mungkin saja akan dialami kelak oleh kedua putri kecilnya.Masih menurut cerita ayah, Lisa menangis histeris sambil berulangkali mengucapkan terima kasih saat ayahnya telah berhasil menyelamatkan nyawa Doran yang malang itu.Anak kecil itu memeluk pinggang Mogi karena memang tingginya hanya sampai di situ—tetap dengan air mata haru. Lisa sangat bersyukur, karena itu jelas tidak bisa membayangkan hidupnya dan adik perempuannya nanti, jika sang ayah juga pergi meninggalkannya.Dan sesaat sesudah cerita ayah selesai, ibu lantas menatap serius ke arahku, tatapan yang tak pernah ditunjukkan oleh ibuku sebelumnya. "Kau harus jadi t
Hari demi hari pun berlalu. Tak terasa, sudah tiga bulan lebih Lisa tinggal di kawasan baru bersama keluarga kecilnya. Semenjak pindah ke rumah yang jauh lebih besar, Lisa merasakan beberapa perubahan yang telah terjadi di depan matanya. Perubahan yang begitu besar, dan terasa menyenangkan.Ayah dan ibunya tak lagi bertengkar seperti dulu. Tak ada lagi pertengkaran di setiap saat seperti yang sering mereka lakukan di depan anaknya. Bahkan, tatapan ayahnya yang semula menatap tidak suka, kini menjadi tatapan lembut setiap kali dia melihat kepada sang istri, yang itu berarti ibunya Lisa. Tak ada lagi sorot kebencian ataupun rasa tidak suka yang terpancar di kedua bola matanya. Yang ada di sana hanyalah kekuatan perasaan yang baru saja tumbuh dan berkembang. Benar-benar sebuah tatapan yang tulus dari hati.Sama seperti ayah, ibunya juga sering menampakkan raut muka tersipu yang begitu manis. Ketika Lisa memuji betapa enaknya masakan buatannya. Padahal
Dalam hidup, kita akan bertemu dengan 2 tipe manusia. Yang pertama adalah mereka yang memang berhati tulus dan yang kedua adalah mereka yang hanya suka memanfaatkan kebaikan orang lain. *** Lisa sampai di sekolah dengan perasaan aneh yang terus merambati hatinya, ia takut jika itu merupakan pertanda buruk, tapi dengan ketenangan pura-pura yang ia buat, Lisa mencoba menekan segala praduga, mungkin hanya tubuhnya saja yang tak sesehat biasanya. Lisa menghampiri tempat ia biasa duduk di kelas, dan di sana sudah ada Rosa yang selalu berangkat lebih cepat darinya. Wajah gadis kecil Manoban itu terlihat murunh, seolah sedang menghadapi persoalan yang besar. Ia terlihat gelisah. Tak biasanya gadis itu terlihat tak tenang seperti seekor cacing yang kepanasan. Beberapa kali Rosa kedapatan sedang mengetuk-ketuk meja dengan jarinya seakan tengah memikirkan sesuatu yang serius. Kebiasaan itu tak se
Pada keesokan harinya, Lisa melakukan rutinitasnya seperti biasa. Bangun pagi-pagi sekali untuk memasak dan bersih-bersih rumah, menyiapkan bento untuknya dan sekalian untuk ayahnya, memeriksa tas sekolahnya sekali lagi agar tak ada barang yang tertinggal. Klise, hanya itu yang ia lakukan sebelum mandi dan berangkat ke sekolah. Setelah melakukan rutinitas yang biasa ia kerjakan setiap pagi, Lisa pun beranjak ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya. Selesai mandi dan mengeringkan badan, Lisa mengambil seragam sekolah dari dalam lemari pakaian, memakai seragam itu dengan cepat, lalu memasang dasi di kerah seragamnya, juga sedikit memoles wajahnya dengan bedak tipis. Lisa memandang pantulan dirinya di cermin, cukup bagus dan rapi. Tak perlu terlalu mencolok, sebab dia sudah cukup manis. Hanya saja, Lisa tak berpikiran seperti itu. Dia tak tahu jika sebenarnya dia memiliki senyuman yang indah. Memastikan sekali l
Melupakan itu mudah, yang sulit itu membiasakan diri dengan hal yang berbeda. Mengubah sandaran kemudian beradaptasi untuk menemukan zona nyaman. Berjuang memang tidak pernah semudah yang direncanakan.***Perjalanan dilanjutkan dengan berdoa ke kuil, seperti yang selalu Lisa lakukan, dia akan memasukan beberapa koin, menepuk tangannya tiga kali dan mulai berdoa secara khidmat. Banyak keinginan yang ia panjatkan pada tuhan, karena dia ingin semuanya berjalan baik-baik saja.Jika tak sesuai dengan keinginannya, setidaknya Lisa tahu, kalau yang ia panjatkan itu tepat di sisi Tuhan. Lisa masih terdiam cukup lama, meski doa yang ia tujukan pada Kami-sama telah selesai hampir lima belas menit yang lalu. Kemudian dia pun menyingkir ke pohon besar dekat kuil yang menawarkan kesegaran di bawah terik matahari yang bisa membakar siapa saja dan duduk bersandar pada batangnya.Si pemilik lensa mata cokelat itu merogoh ponsel merah di saku rok seragamnya
Selama aku masih kuat bersamamu, selama kesabaranku masih ada, aku akan terus bertahan.***Kalau bukan hari minggu, tentu Lisa tak akan berkunjung ke rumah bergaya minimalis bercat putih yang berada di seberang rumahnya. Kalau bukan karena ada undangan tertentu, pasti gadis bersurai panjang itu tak akan mampir ke rumah Dino. Akan tetapi, walau bagaimanapun juga, meski jauh di dasar hatinya yang terdalam tak menghendaki pergi ke rumah itu, ada seorang wanita baik hati yang perlu dia ucapkan terima kasih atas jasanya selama ini."Lisa-chan? Kenapa lama sekali tak bertamu kemari?" tanya wanita dewasa di hadapannya. Dia Gina Leckner, ibunya Dino.Karena Dino tak pernah mengijinkanku ke rumahnya, jawab Lisa dalam hati, meski dia hanya tersenyum menanggapi pertanyaan dari sang nyonya keluarga Leckner. Gadis itu menunjukkan sekotak kue kering yang ia bawa dari rumah kepada istri mendiang Mogi Leckner itu."Terima kasih untuk kue yang kemarin, Tante. Ini
"Kau tak pergi? Tak diajak, ya?" Nada suara pemuda itu terdengar menyebalkan. Ya, Lisa tahu itu hanyalah ejekan untuk menghinanya yang dicap sebagai seorang pembantu daripada kekasihnya Dino.Namun, Lisa lebih memilih diam dan berdiri setelah semua makanannya terkumpul lagi di dalam kantong plastik. Jantungnya sudah berdetak dengan normal. Gadis itu menggeser tubuhnya sedikit ke samping kanan, dan berjongkok, mengambil bola yang ia yakini milik sang pemuda, lalu mengembalikannya tepat ke tangan pemuda itu."Bolamu, kan?" tanyanya dengan suara yang terdengar tak bersemangat. "Kalau begitu, aku pulang dulu."Lisa menahan napas dan berjalan melewati si surai merah jika saja kerah bajunya tak ditarik secara tiba-tiba dari belakang, dan membuat dia langsung tertahan di tempat."Hoi, aku sedang bicara denganmu, Gadis Es Krim. Sebaiknya dengarkan dulu apa yang akan lawan bicaramu sampaikan. Kau punya sopan santun, 'kan?"Lisa tak ingin meladeni pemuda itu