Jadi, meski yang jadi pecinta hanya aku, kita akan tetap bersama, 'kan?
Jujur saja, aku tak ingin berpisah darimu.
***
Budaya dari Jepang yang populer mulai dikenal secara luas di Indonesia pada tahun 1990-an. Memang sebelumnya, pada tahun 1970-an dan 1980-an animasi khas Jepang atau biasa dipanggil anime sudah masuk ke Indonesia melalui teknologi video recorder yang filmnya didapatkan di rental-rental video. Akan tetapi, dikenalnya budaya Jepang secara lebih meluas di Indonesia pada tahun 1990-an, dapat ditandai oleh diterbitkannya komik-komik Jepang yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh PT. Elex Media Komputindo, salah satu anak perusahaan penerbit Gramedia.
Hal ini pun membuat budaya Jepang semakin terkenal di semua kalangan. Baik dari generasi tua, maupun muda. Terutama bagi mereka yang menyukai komik, animasi atau budaya lainnya yang berasal dari negeri sakura tersebut.
Sebab semakin populernya budaya Jepang di Indonesia, khususnya bagi kalangan muda, beberapa sekolah swasta di Indonesia pun mulai memasukkan bahasa Jepang sebagai bahasa yang wajib dipelajari di sekolah mereka.
Termasuk juga dengan nilai-nilai yang orang Jepang miliki. Mental yang kuat dan sangat menghargai waktu.
Dari situlah, berdirilah sekolah-sekolah yang mengajarkan para siswanya budaya Jepang. Mulai dari kebiasaan di lingkungan belajar, cara berbicara kepada orang lain, bahkan kemandirian sejak dini pun mereka perkenalkan.
Itulah yang membuat sebuah kota di pulau Kalimantan mendirikan satu sekolah untuk mengajarkan seperti apa kemandirian anak-anak di Jepang, serta cara mereka menghargai waktu.
Daerah itu tidak terlalu banyak penduduknya, namun karena mereka menggunakan sistem Jepang, wajah mereka pun terlihat oriental khas Jepang. Meski kulit mereka tak banyak yang seputih orang-orang Asia Timur sana, tapi mereka tetap terlihat rupawan dengan ciri khasnya.
***
Seorang gadis berseragam seifuku* warna putih dengan dasi berwarna hijau, tampak berlari dengan tergesa-gesa melewati jalan setapak. Langkahnya sedikit terseret karena pikiran yang mengganggu di otaknya ini membuat tenaganya terkuras sangat cepat.
Gadis itu sama sekali tak menghiraukan deru napasnya yang terlihat tak beraturan, dia juga tak peduli dengan helaian rambut panjang kecokelatannya yang kian berantakan seiring derap langkah kakinya. Keinginannya hanya satu, yaitu bisa berlari secepat mungkin seperti seorang atlet lari profesional. Dia harus segera tiba di tempat tujuannya.
Dia tak ingin seseorang menunggu lebih lama. Pemuda itu sangat benci menunggu. Sama seperti kebanyakan orang di kota kelahirannya ini. Terlambat itu memalukan, apalagi jika lebih lama dari batas waktu yang telah dijanjikan.
Gadis itu menggeleng cepat, pikiran-pikiran buruk hanya akan membuat langkah kakinya kembali melambat. Dia sudah melihat tujuannya dari sini, dia akan sampai dengan segera ke sana. Di dekat gerbang sekolahnya, itulah tempat yang dituju oleh gadis yang sedang berlari cepat bak atlet ini.
Di samping gerbang Furukawa High School, terlihat seorang pemuda yang berdiri dengan angkuh di samping sepeda hitamnya. Tingginya tak lebih dari 170 cm, terlihat seperti hanya itulah batas tinggi yang ia miliki di pertumbuhannya saat ini. Tangannya terlipat di depan dada dengan tampang yang terlihat sekali menunjukkan kebosanan. Tak ada senyuman, hanya ada garis tipis yang datar di mulutnya. Seperti melihat patung yang ekspresi di wajahnya tak pernah berubah.
Sesekali pemuda itu akan melihat arloji yang melingkar di lengan kirinya dan kembali mengembuskan napas dengan gerak-gerik tak sabaran. Menunggu adalah sesuatu yang dibenci semua orang, sama seperti yang dirasakan oleh pemuda yang satu ini.
Mana orang yang sudah ia tunggu-tunggu sejak tadi?
Terdengar suara derap langkah kaki seseorang yang bergerak cepat ke arahnya, kemudian suara itu berhenti, tapi disusul dengan suara napas yang terdengar menganggu.
"Di-Dino-kun*," panggil seseorang yang sedari tadi pemuda itu tunggu, dia baru saja tiba. Yang dipanggil namanya sama sekali tak menoleh. Akhirnya datang juga, pikirnya sambil mendengkus pelan—kebiasaan ketika tidak suka dengan suatu hal.
Suara yang memanggil Dino itu terdengar begitu lembut dan pelan, dia adalah gadis dengan surai panjang kecokelatan yang berlari bak seorang atlet lari sebelumnya. Mahkota indah yang menjadi kebanggaan semua wanita di seluruh dunia yang ia miliki tampak lebih gelap di beberapa sisi. Rambutnya basah terkena keringat yang terus saja mengalir keluar dari dalam pori-pori kulitnya.
Sejujurnya, dia benci berlari. Demi apa pun, dia lebih senang menikmati jalan santai tanpa harus berlari secepat mungkin seperti tadi. Meskipun kelelahan dan agak terlambat, pada akhirnya gadis itu sampai juga di tempat tujuannya, yaitu gerbang sekolah. Tempat di mana seorang pemuda berwajah tampan sedang menunggu kedatangannya.
Sebenarnya, situasi yang terjadi ini bisa lebih dijelaskan lagi. Pemuda itu hanya "terpaksa" berdiri di dekat gerbang sekolah dan "terpaksa" menunggu sang gadis, tak lebih.
Sang gadis membungkukkan tubuhnya sedikit, sembari memegang dadanya yang terasa sakit karena dipaksa berlari. Benar saja, dia memang payah dalam bidang olahraga, terutama lari. Jika boleh memilih, tentu saja dia akan lebih memilih olahraga yang menggunakan otak daripada olahraga yang satu itu.
Sang gadis masih mencoba mengatur ritme napasnya yang tak beraturan. Dia tetap terengah-engah, meski sudah beberapa menit terlewati dalam keheningan. Pernapasannya belum kembali normal seperti biasa, tapi ia sudah sangat kelelahan sekarang. Jantungnya terus berdetak kencang di dalam dada, hingga terasa menyentuh tulang rusuknya. Peluh membasahi wajah hingga turun ke lehernya yang jenjang.
Gadis itu sudah di ambang batas, namun respons yang ia dapatkan justru semakin menguras tenaganya.
"Terlambat lagi," dengkus pemuda yang diketahui bernama Dino. Mata obsidiannya yang pekat melirik sebal pada gadis yang berdiri di dekatnya. Gadis itu hingga kini masih sibuk mengatur napas, namun tak seperti sebelumnya, ia terlihat lebih baik sekarang. Dino tak bisa memaklumi keterlambatan sang gadis, meski dia sendiri tahu jika gadis ini memang payah jika sudah disuruh berlari, tapi jika dia tak berlari seperti tadi, maka dia akan lebih terlambat lagi dari ini.
"Ma-maaf, Dino-kun, aku tadi baru saja selesai dari merapikan berkas di ruang guru." Gadis muda itu berucap dengan kalimat putus-putus. Itulah kebiasaan buruknya, berbicara terbata-bata di depan seseorang yang ia sayangi. Sang gadis berusaha keras menjelaskan alasannya datang terlambat. "Pak Malik dari kelas Bahasa Indonesia memintaku ikut merapikan kantor dan aku—"
Namun perkataannya yang belum selesai itu langsung dipotong begitu saja oleh pemuda bertampang datar di depannya. Dino tak ingin mendengar penjelasan gadis itu lebih jauh lagi.
"Terserah kau sajalah," ucap Dino datar. Si bungsu dari keluarga Leckner itu kembali melanjutkan, "aku ingin cepat pulang."
Ucapannya itu terdengar mutlak. Dengan kesan yang begitu dingin, dan terasa tak ramah sama sekali. Dino memang tipikal orang yang tak sabaran, apalagi jika disuruh menghadapi gadis yang membuatnya semakin tidak sabaran.
Jika boleh jujur, sebenarnya Dino juga tak suka saat Lisa—gadis yang sedang menunduk dalam di sebelahnya ini—memanggilnya dengan sufiks -kun.
Walaupun sudah mendengarnya ribuan kali, tapi tetap saja Dino tak suka jika panggilan itu keluar dari mulut Lisa. Aturan mengenai sufiks -kun di Jepang dan diterapkan di sekolah sampai ke rumahnya ini membuat Dino kesal setengah mati. Memang terdengar bagus di telinga, apalagi jika ada seorang gadis yang memanggilnya dengan nada yang lembut, tapi Dino sama sekali tak tertarik jika yang memanggilnya itu adalah Lisa.
Sambil bersungut ria, Dino segera menaiki sepeda miliknya dan bersiap untuk meninggalkan area sekolah yang sudah sepi. Jadwal pelajaran terakhir sudah lewat dua jam yang lalu dan Dino telah menunggu satu jam lebih. Sepertinya hanya ada dia dan gadis membosankan ini saja lagi yang tersisa di sekolah—oh, dan jangan lupakan paman Gofur yang senantiasa menjaga sekolah ini siang dan malam. Beliau berjasa sekali, meski tak paham dengan sistem sekolah tempatnya bekerja, tapi beliau tetap menjalani tugas dengan tepat waktu.
Dino membetulkan sebentar posisi duduknya, tak lupa pula dia menaikkan sedikit celana panjang biru tua yang sudah ditetapkan khusus oleh Furukawa High School. Kalau dia tak menarik celananya sedikit ke atas saat bersepeda, mungkin saja nanti celananya akan sobek karena ada tekanan dari otot kakinya. Hampir saja Dino menggerutu dan memarahi celana ketat yang dipakainya itu, namun semua itu urung dia lakukan karena
Pemuda itu kemudian menoleh sebentar ke arah gadis dengan nama belakang Hogward yang kini menatapnya dalam diam. Lihatlah, betapa membosankannya gadis ini, pikir Dino kesal. "Cepat naik," perintah pemuda itu. Tegas dan tajam, seperti tak menyisakan kelembutan sedikit pun di dalamnya. "Hei, kuhitung sampai tiga."
"Jangan sampai kau lambat naik ke boncengan, atau kau kutinggal lagi seperti yang kulakukan pagi tadi padamu."
"Cepat naik!"
Dino benar-benar menggertak gadis malang itu, dia tak pernah main-main terhadap ucapannya. Apa yang ia katakan, harus segera dilaksanakan dan yang dia katakan itu benar terjadi. Pagi tadi, saat keduanya berangkat ke sekolah bersama-sama, dalam perjalanan gadis itu melakukan hal konyol. Lisa berhasil membuat Dino menjadi tak sabar setelah menunggu selama beberapa waktu.
Berulang kali Dino memanggil namanya, namun gadis itu sama sekali tak mendengar ataupun menyahut panggilannya itu, dan karena sudah terlalu lama menunggu, Dino pun memutuskan untuk meninggalkan Lisa sendirian di tengah jalan, tanpa belas kasihan. Itulah yang terjadi jika tak mendengar ucapan seorang Dino Leckner.
Lisa bergeming, dia turut hanyut dalam pikirannya sampai kemudian dia teringat perlakuan Dino tadi pagi. Dia tahu dia salah, tapi Lisa hanya tak menyangka jika Dino sampai hati meninggalkannya seorang diri di jalanan yang sepi. Padahal sekolah masih cukup jauh dari rumah, sedangkan kawasan tempat tinggal mereka dipenuhi hutan yang cukup lebat.
Alasan Lisa memberhentikan sepeda yang mereka tumpangi adalah karena gadis itu melihat seekor anak kucing yang merangkak di tengah jalan. Lisa pikir, anak kucing yang belum bisa berjalan itu pastilah terpisah dari induknya. Tanpa pikir panjang, Lisa pun meloncat dari sepeda dan membawa anak kucing itu dengan hati-hati. Sembari mencari induk kucing di sekitar tempat itu.
Begitu menemukannya, Lisa langsung mengembalikan anak kucing tersebut kepada induknya dan menatap makhluk berbulu lembut itu dengan tatapan haru. Lisa memang tak bisa melihat hal yang bisa memancing air matanya keluar dan jatuh ke tanah, dia tak akan sanggup.
Karena asyik dengan dunianya sendiri, Lisa pun tak sadar jika saat itu Dino sedang memanggil-manggil dirinya, meminta sang gadis untuk segera pergi dari sana. Lalu ketika gadis itu sudah sadar, dia mulai melihat ke arah Dino. Punggung pemuda itu perlahan menjauh dari pandangan Lisa. Dino marah dan meninggalkannya. Itu sudah sering terjadi.
Lisa hanya bisa tersenyum kecut, lalu tanpa mau menunggu pemuda itu menunggu lebih lama, ia pun dengan segera duduk di kursi belakang. Naik ke boncengan sepeda kesayangan milik Dino. Pria itu bisa saja menggunakan jenis kendaraan lain untuk berangkat ke sekolah, namun Dino tak menginginkannya.
Mereka dengan segera pergi meninggalkan gerbang sekolah yang sudah sepi itu, jam pulang telah lama usai. Jika kembali mengingat hal itu, Dino pun merasa kesal. Keduanya lantas beranjak tanpa banyak kata, tanpa banyak suara.
Benar-benar hening.
Larut dalam pemikiran mereka masing-masing.
"Dino-kun," panggil Lisa dengan suara pelan di tengah perjalanan mereka. Tak ada yang tak nyaman dengan keheningan, kecuali Lisa, dia tak suka hening karena keheningan itu membuatnya tak nyaman.
"Hm." Hanya terdengar gumaman tak jelas dari sang pemuda. Entah Dino mendengar panggilan tersebut atau tidak. Namun, sepeda terus berjalan dengan lambat. Membawa seorang gadis SMA memang agak sulit, tubuh mereka cukup berat.
"Hmm, begini ...." Lisa merasa sulit mengatakan. Jika ia teruskan, ada kemungkinan Dino tak akan suka saat mendengarnya. Namun, tak ada salahnya mencoba, bukan? "Dino-kun, ba-bagaimana kalau kita berdua pergi dan mampir sebentar ke ... toko buku yang baru saja dibuka di dekat stasiun bus itu?"
Lisa begitu gugup, dia sudah berhasil menyuarakan isi hatinya di belakang boncengan sepeda Dino. Ini sebuah kemajuan karena dia tak langsung dibentak oleh pemuda itu. Sebelumnya dia tak boleh berbicara saat perjalanan pulang, karena Dino berkata hal itu akan mengusik konsentrasinya. Namun, Lisa akan terus mencobanya.
Jika tak bisa di hari ini, dia akan kembali mencobanya di dua hari lagi.
Jika tak bisa di dua hari lagi, dia akan kembali mencobanya lima hari lagi.
Jika Lisa tak melakukannya, maka sepanjang perjalanan mereka hanya akan diisi oleh keheningan seperti biasa.
"Dino-kun?" panggilnya sekali lagi. Jalan sepi sekali, inilah pulau Kalimantan. Rasanya seperti tinggal jauh di pedalaman. Sesekali tubuh Lisa akan tersentak saat sepeda yang diboncengi oleh Dino melewati jalan yang tak rata, atau pada saat melewati lubang-lubang kecil di tengah jalan yang saat itu mereka berdua lewati.
Untuk sejenak, terdengar helaan napas kasar dari boncengan di depan. Dino mendengkus dengan ekspresi masam. "Perlu jalan memutar untuk menuju stasiun bus dekat tempat toko buku yang kau maksud itu, dan aku ingin SEGERA pulang," jawab Dino dengan tegas. "Sekarang ... juga."
Dino benar-benar memberi penekanan di kata 'segera', agar gadis yang duduk di boncengan belakang lebih mudah mencerna maksudnya. Lagi pula, jika Lisa tak mengerti apa yang dia sampaikan, dia bisa kembali mengingatkan gadis itu pada kejadian pagi tadi. Tentang Dino yang meninggalkan Lisa berjalan seorang diri di pinggir jalan.
* Pojok kata yang akan muncul dan yang muncul *
Yokatta na : Syukurlah, dalam bahasa Jepang.
Seifuku : Seragam sekolah Jepang yang dirancang berdasarkan pada seragam angkatan laut bergaya Eropa dan pertama kali digunakan di Jepang pada akhir abad ke-19. Sekarang, seragam sekolah tersebut umumnya dipakai di berbagai sistem publik dan sekolah swasta di Jepang. Kata Jepang untuk jenis seragam ini adalah seifuku.
Dino tersenyum tipis. Gadis ini harus dibuat jera, pikirnya.Jawaban pemuda yang selalu memiliki ekspresi minim itu adalah perintah—sekaligus ancaman, mengingat apa yang bisa Dino lakukan kepadanya. Terlebih lagi, Dino juga sudah memberikan penekanan pada kata 'segera' dan itu berarti pernyataannya tak bisa diganggu gugat. Bahkan, jika Lisa memohon belas kasihan kepadanya sekalipun, pemuda itu tetap tidak akan berhenti dan menuruti kemauannya.Apakah ini yang biasa dilakukan oleh sepasang kekasih? Apakah ada pasangan yang tega membiarkan kekasihnya sendirian di jalanan sepi? Hanya Dino lah yang melakukan hal itu.Sang gadis Hogward menghela napas dari hidung secara perlahan, ia hanya bisa pasrah saat Dino tak menuruti permintaannya. Memangnya dia ini siapa?Apa dia cukup berarti bagi pemuda itu? Lisa meragu, tidak pada hari ini saja gadis Hogward ini berpikir demikian, tapi hari sebelumnya juga sama.Gadis itu pun mengangguk kecil sebagai jaw
Dino tersenyum setelah panggilan teleponnya dengan Rosa berakhir. Tadi itu benar-benar menyenangkan. Rosa membahas banyak hal. Dari yang penting sampai sesuatu yang tidak terlalu penting juga diceritakan olehnya. Saat Rosa bercerita, Dino hanya duduk diam di atas kasurnya. Mendengarkan dengan kaki yang sengaja disilangkan, dia duduk bersila dengan nyaman. Waktu berlalu sangat cepat dan tak terasa, sudah satu jam lebih mereka berdua berbicara di telepon. Sampai-sampai tak menyadari waktu yang telah berlalu di antara mereka. Dino terkekeh pelan dia benar-benar menikmati hal ini, rasanya sungguh menyenangkan. Inilah kualitas sesungguhnya dalam sebuah hubungan, tak ada yang saling diam dan merasa canggung terhadap satu sama lain. Hubungan itu akan menuju tingkat yang jauh lebih tinggi dan Dino akan menunggu saat itu tiba. Pemuda berambut agak jabrik itu lantas bangkit dari tempat tidurnya, kemudian beranjak menghampiri kamar mandi. Senyum tipis di wajahny
Janji itu harus ditepati, tapi bagaimana jika keadaan tidak memungkinkan kita untuk menepatinya?***Rupanya, Doran Hogward, ayahnya Lisa sedang berusaha menghabisi dirinya sendiri karena tak bisa mengenyahkan bayangan wanita yang telah berkhianat dari dalam hidupnya. Pria itu berpikir pendek, tak peduli pada trauma yang mungkin saja akan dialami kelak oleh kedua putri kecilnya.Masih menurut cerita ayah, Lisa menangis histeris sambil berulangkali mengucapkan terima kasih saat ayahnya telah berhasil menyelamatkan nyawa Doran yang malang itu.Anak kecil itu memeluk pinggang Mogi karena memang tingginya hanya sampai di situ—tetap dengan air mata haru. Lisa sangat bersyukur, karena itu jelas tidak bisa membayangkan hidupnya dan adik perempuannya nanti, jika sang ayah juga pergi meninggalkannya.Dan sesaat sesudah cerita ayah selesai, ibu lantas menatap serius ke arahku, tatapan yang tak pernah ditunjukkan oleh ibuku sebelumnya. "Kau harus jadi t
Hari demi hari pun berlalu. Tak terasa, sudah tiga bulan lebih Lisa tinggal di kawasan baru bersama keluarga kecilnya. Semenjak pindah ke rumah yang jauh lebih besar, Lisa merasakan beberapa perubahan yang telah terjadi di depan matanya. Perubahan yang begitu besar, dan terasa menyenangkan.Ayah dan ibunya tak lagi bertengkar seperti dulu. Tak ada lagi pertengkaran di setiap saat seperti yang sering mereka lakukan di depan anaknya. Bahkan, tatapan ayahnya yang semula menatap tidak suka, kini menjadi tatapan lembut setiap kali dia melihat kepada sang istri, yang itu berarti ibunya Lisa. Tak ada lagi sorot kebencian ataupun rasa tidak suka yang terpancar di kedua bola matanya. Yang ada di sana hanyalah kekuatan perasaan yang baru saja tumbuh dan berkembang. Benar-benar sebuah tatapan yang tulus dari hati.Sama seperti ayah, ibunya juga sering menampakkan raut muka tersipu yang begitu manis. Ketika Lisa memuji betapa enaknya masakan buatannya. Padahal
Dalam hidup, kita akan bertemu dengan 2 tipe manusia. Yang pertama adalah mereka yang memang berhati tulus dan yang kedua adalah mereka yang hanya suka memanfaatkan kebaikan orang lain. *** Lisa sampai di sekolah dengan perasaan aneh yang terus merambati hatinya, ia takut jika itu merupakan pertanda buruk, tapi dengan ketenangan pura-pura yang ia buat, Lisa mencoba menekan segala praduga, mungkin hanya tubuhnya saja yang tak sesehat biasanya. Lisa menghampiri tempat ia biasa duduk di kelas, dan di sana sudah ada Rosa yang selalu berangkat lebih cepat darinya. Wajah gadis kecil Manoban itu terlihat murunh, seolah sedang menghadapi persoalan yang besar. Ia terlihat gelisah. Tak biasanya gadis itu terlihat tak tenang seperti seekor cacing yang kepanasan. Beberapa kali Rosa kedapatan sedang mengetuk-ketuk meja dengan jarinya seakan tengah memikirkan sesuatu yang serius. Kebiasaan itu tak se
Pada keesokan harinya, Lisa melakukan rutinitasnya seperti biasa. Bangun pagi-pagi sekali untuk memasak dan bersih-bersih rumah, menyiapkan bento untuknya dan sekalian untuk ayahnya, memeriksa tas sekolahnya sekali lagi agar tak ada barang yang tertinggal. Klise, hanya itu yang ia lakukan sebelum mandi dan berangkat ke sekolah. Setelah melakukan rutinitas yang biasa ia kerjakan setiap pagi, Lisa pun beranjak ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya. Selesai mandi dan mengeringkan badan, Lisa mengambil seragam sekolah dari dalam lemari pakaian, memakai seragam itu dengan cepat, lalu memasang dasi di kerah seragamnya, juga sedikit memoles wajahnya dengan bedak tipis. Lisa memandang pantulan dirinya di cermin, cukup bagus dan rapi. Tak perlu terlalu mencolok, sebab dia sudah cukup manis. Hanya saja, Lisa tak berpikiran seperti itu. Dia tak tahu jika sebenarnya dia memiliki senyuman yang indah. Memastikan sekali l
Melupakan itu mudah, yang sulit itu membiasakan diri dengan hal yang berbeda. Mengubah sandaran kemudian beradaptasi untuk menemukan zona nyaman. Berjuang memang tidak pernah semudah yang direncanakan.***Perjalanan dilanjutkan dengan berdoa ke kuil, seperti yang selalu Lisa lakukan, dia akan memasukan beberapa koin, menepuk tangannya tiga kali dan mulai berdoa secara khidmat. Banyak keinginan yang ia panjatkan pada tuhan, karena dia ingin semuanya berjalan baik-baik saja.Jika tak sesuai dengan keinginannya, setidaknya Lisa tahu, kalau yang ia panjatkan itu tepat di sisi Tuhan. Lisa masih terdiam cukup lama, meski doa yang ia tujukan pada Kami-sama telah selesai hampir lima belas menit yang lalu. Kemudian dia pun menyingkir ke pohon besar dekat kuil yang menawarkan kesegaran di bawah terik matahari yang bisa membakar siapa saja dan duduk bersandar pada batangnya.Si pemilik lensa mata cokelat itu merogoh ponsel merah di saku rok seragamnya
Selama aku masih kuat bersamamu, selama kesabaranku masih ada, aku akan terus bertahan.***Kalau bukan hari minggu, tentu Lisa tak akan berkunjung ke rumah bergaya minimalis bercat putih yang berada di seberang rumahnya. Kalau bukan karena ada undangan tertentu, pasti gadis bersurai panjang itu tak akan mampir ke rumah Dino. Akan tetapi, walau bagaimanapun juga, meski jauh di dasar hatinya yang terdalam tak menghendaki pergi ke rumah itu, ada seorang wanita baik hati yang perlu dia ucapkan terima kasih atas jasanya selama ini."Lisa-chan? Kenapa lama sekali tak bertamu kemari?" tanya wanita dewasa di hadapannya. Dia Gina Leckner, ibunya Dino.Karena Dino tak pernah mengijinkanku ke rumahnya, jawab Lisa dalam hati, meski dia hanya tersenyum menanggapi pertanyaan dari sang nyonya keluarga Leckner. Gadis itu menunjukkan sekotak kue kering yang ia bawa dari rumah kepada istri mendiang Mogi Leckner itu."Terima kasih untuk kue yang kemarin, Tante. Ini