Beranda / Fantasi / PRESENCE & TIME / 01. Last Dream?

Share

01. Last Dream?

Penulis: Amaleoo_
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Elyce! Buka pintunya!"

Pergerakan jari Amelyce yang terus berkutat di atas tombol laptop terpaksa dihentikan. Gadis itu memijat pelan pelipisnya yang berdenyut, seharian ini dia harus terburu mengejar waktu untuk menyelesaikan naskah cerita yang sedang dibuatnya.

"Elyce! Apa kau tuli, hah!"

Suara gedoran pintu itu benar-benar membuat Amelyce muak. Dia sangat membencinya, jika saja dirinya tak tinggal di rumah milik paman dan bibinya, mungkin sudah dari dulu gadis itu membunuh pria tua itu. Dia hanya bisa merengek pada Amelyce, meminta bekerja ini-itu hanya untuk memuaskan hasratnya yang suka mabuk, berjudi, dan bermain wanita.

Amelyce tak habis pikir dengan bibi Jessica yang masih bertahan dengan manusia bejat seperti paman Jake. Kalau saja dia jadi bibinya, mungkin Amelyce sudah pergi meninggalkannya dan mencari pria kaya dan baik di luar sana.

"Sebentar, Paman! aku akan membukanya," teriaknya kesal.

Dia membuka pintu kamar dan mendapati paman Jake yang sudah menyorot gadis itu berang sambil membawa botol minuman keras. Sudah Amelyce duga, pasti pamannya itu sedang mabuk berat, lihat saja tubuh besar itu beberapa kali ingin terjatuh dan terhuyung, jika saja disampingnya tak ada dinding sudah dipastikan paman Jake akan terjatuh ke lantai dan yang paling mengesalkan adalah saat pria tua itu sudah sadar, dia pasti akan menyalahkan Amelyce.

"Hoi Elyce! Aku tahu kerjaanmu hanya bermalas-malasan saja di dalam, iya, 'kan?"

Apa katanya tadi! Pria tua ini benar-benar tak pernah berkaca, apa perlu Amelyce membawakan kaca yang besar agar dia bisa melihat siapa disini yang hanya bisa bermalas-malasan.

"Dasar pria tua keparat tak tahu diri!" batin Amelyce kesal.

Gadis itu menghembuskan nafas pelan berusaha mengontrol emosi. "Paman, lebih baik kau istirahat di dalam kamarmu," sarannya. Karena Amelyce tau, paman Jake saat ini dalam keadaan mabuk, mengajaknya berdebat tak akan ada habisnya. Walau dia tahu pasti pamannya akan mengumpat setelah ini.

"Oh fucking! Gadis kecil sepertimu tak pantas menceramahiku, lebih baik kau kerja dan dapatkan uang yang banyak!"

Amelyce ingin sekali rasanya menampar mulut itu. Namun dia tahan, untung saja gadis itu masih tahu sopan santun. "Ayo, Paman, aku akan mengantarmu ke kamar," bujuknya.

"Ohhh lihat, Bocah satu ini sudah pandai mengaturku. Heh lihat memang kau siapa berhak menyuruhku, hah!"

"Paman! Bisakah ka—"

"Elyce, kau sudah bangun sayang. Kemarilah, Bibi sudah menyiapkan makanan kesukaanmu," teriak bibi Jessica dari ruang makan dan tentunya walau dia berteriak, suaranya masih terdengar lembut di telinga Amelyce.

Ah itu dia, bibi Jessica, satu-satunya alasan kuat gadis itu masih bertahan dirumah ini. Sifatnya sangat bertolak belakang dengan suaminya, bibi Jessica sangat baik dan murah senyum, memperhatikan Amelyce seperti anak kandungnya sendiri. Dia sangat bersyukur mempunyai bibi sepertinya. Amelyce tidak tahu hidupnya akan seperti apa jika tak ada bibinya yang selalu menjadi tempat mengadu keluh kesah dan penyemangat gadis itu.

Terkadang dia merasa sedih, mengapa wanita baik hati seperti bibi Jessica harus menikahi pria bejat sejenis paman Jake. Jika Amelyce bertanya, pasti bibinya akan menjawab pertanyaan yang benar-benar membuat gadis itu kesal sekaligus menjijikan.

Alasannya hanya satu, yakni cinta.

Amelyce tak mengerti, sehebat apa sih arti cinta hingga bisa membuat orang kehilangan akal. Dia berharap semoga saja dirinya tak dihadapakan dengan perasaan yang disebut cinta itu.

Amelyce tersenyum hangat mendengar bibi Jessica memanggil. "Baik, Aunty. Aku akan segera kesana," jawabnya.

"Heh Bocah! Mau kemana kau, Pamanmu belum selesai bicara!"

Tak ingin ambil pusing, gadis itu langsung saja melewatinya tanpa berkata apapun. Sudah tau dia ingin pergi ke ruang makan, paman Jake masih saja bertanya, apakah otaknya sudah tak berfungsi lagi.

"Hei Bocah!" Paman Jake masih berteriak dibelakang sana.

Biarkan saja, untung Amelyce sudah terbiasa dengan kesehariannya. Dia pikir hidupnya akan baik-baik saja saat tinggal di rumah itu, rupanya tak sesuai harapan.

Lebih baik Amelyce segera memakan masakan bibi Jessica, dia membutuhkan banyak energi agar cepat pulih dan kembali menyelesaikan ceritanya.

"Anak kesayangan Bibi sudah datang ya, duduk dan makanlah sepuasmu. Bibi hari ini memasak banyak untukmu."

"Terimakasih, Aunty," jawabnya riang. Amelyce mengunyah dengan lahap sampai pipinya mengembung, masakan bibi Jessica memang sangat enak.

"Bagaimana cerita yang kau buat sayang, apakah sudah selesai?"

"Sudah, Aunty." Dia tersenyum, memang benar naskah itu sudah selesai, namun Amelyce harus membaca ulang lagi dari awal.

"Elyce, malam ini Bibi dan paman akan pergi ke rumah kerabat lama ayahmu. Mungkin kami akan bermalam disana. Apakah kau ingin ikut?"

Amelyce menggeleng pelan dan tersenyum tipis. "Aku di rumah saja, Aunty. Lagi pun aku harus menuntaskan pekerjaanku malam ini juga."

"Memangnya tak apa jika kau sendirian di rumah. Bibi tak tega meninggalkanmu sendirian," sahut bibi Jessica, dari raut wajahnya dia terlihat khawatir.

Gadis itu menatap bibi Jessica lalu menunjukkan deretan gigi sampai matanya menyipit. "Aunty, aku 'kan sudah besar, tenang saja aku akan menjaga diri, keponakanmu ini kan pemberani," jawab Amelyce.

"Iya-iya. Tapi ingat, jangan membuka pintu sebelum kau melihat siapa yang datang. Perasaan Bibi hanya tak enak, ah tapi Bibi percaya kalau Elyce adalah gadis pemberani."

Amelyce hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Jujur, sebenarnya sudah lebih dari seminggu ada perasaan aneh yang menghantui gadis itu. Tapi dia tak tahu penyebabnya apa, Amelyce berharap semoga itu hanya perasaannya saja.

-Presence&Time-

Di bawah sinar gerhana bulan merah darah, gadis itu tergeletak tak bernyawa di atas batu karang besar. Mati mengenaskan dengan pedang yang masih tertancap di perutnya.

Hingga sebuah teriakan memanggil nama gadis itu berulang kali-terdengar pilu menyayat hati bagi siapapun yang mendengarnya.

Terkecuali, mereka.

Mereka yang sudah tak sabar menunggu peristiwa itu terjadi sedari dulu.

Seorang pria duduk bersimpuh lalu memindahkan kepala gadis yang sudah tak bernyawa itu di pangkuannya. Dia menangis terisak-berteriak, tak peduli tangan serta pakaian miliknya berlumuran darah. Bahkan seluruh tubuhnya yang juga terluka dibiarkan. Melihat gadis yang dicintainya tewas lebih menyakitkan melebihi apapun.

Tak jauh dari sana. Dari balik batu karang ada siluet hitam berdiri mematung memandang lurus dengan tatapan kosong, tangannya mengepal kuat sampai kukunya tanpa sadar semakin menusuk di telapak tangannya.

"Bagaimana pun caranya, aku akan membalaskan dendammu! Dia harus menerima ganjaran yang setimpal!"

Bab terkait

  • PRESENCE & TIME   02. Nightmare

    Gadis itu terbangun dengan nafas tersengal serta peluh keringat yang mengalir dipelipis serta dahinya. Saraf-saraf otak Amelyce belum sepenuhnya berfungsi. "Apa itu tadi? Mimpi?" lirih Amelyce. Itu terasa nyata, terakhir kali dia bermimpi dua minggu yang lalu. Rangkaian memori alur itu selalu tersambung bagaikan cerita yang Amelyce buat. Tapi, dia tak merasa ada bagian itu yang diketiknya di cerita Dark Side. Amelyce mengikat rambut asal lalu berjalan kearah meja, jam sudah menunjukkan tengah malam. Hampir saja dia kelupaan dengan rencananya tadi pagi. Gadis itu membaca ulang dari awal, bacaan itu terus bergulir sampai bagian akhir. Sebenarnya Amelyce kurang yakin dengan akhir cerita yang dibuatnya, selama menulis cerita, hampir setiap malam gadis itu bermimpi hal aneh di luar akal sehat, awalnya dia mencoba tak peduli, tapi entah mengapa alur mimpi itu semakin hari seperti tersambung bagaika

  • PRESENCE & TIME   03. The Beginning

    Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat. Liburan musim panas sudah berakhir. Beberapa mahasiswa berlalu-lalang mencari kelas mereka atau hanya sekadar bersenda gurau, berkumpul, dan mengitari kawasan lingkungan Universitas untuk melihat keindahan arsitektur bangunan Harvard. Tahun ini umur Amelyce sudah menginjak sembilan belas tahun. Menjadi mahasiswi tahun kedua di Harvard bukan hal yang bisa dibuat bermain dan bersantai lagi. Sebelumnya tak pernah gadis itu bayangkan jika dia bisa menjadi salah satu mahasiswa Harvard, yang menempati posisi universitas terbaik di dunia dan tentunya sangat bergengsi. Amelyce memilih masuk jurusan seni dan sains, awalnya dia sedikit ragu, tapi berhubung otaknya cerdas, jadi mudah baginya untuk berada di fakultas ini dan mendapatkan beasiswa. Amelyce menopang dagu dengan kepalan tangan, jarinya asik mengetuk-ngetuk meja pelan. Pikirannya masih berkelana pada kejadia

  • PRESENCE & TIME   04. Who is He?

    "Apa maksudmu, hah!" William membentak, dia berdiri di depan Amelyce layaknya pelindung. "Menyingkir dari hadapannya!" jawab pria itu dingin penuh penekanan. "Pengecut! Lewati aku dulu sia—!" Ucapan William terpotong. William terpental cukup jauh, jatuh tersungkur di atas lantai, sebelum itu punggungnya lebih dulu terbentur meja panjang. Sedangkan yang lain hanya bisa diam membisu tak berani melerai takut terkena imbasnya juga. Amelyce langsung bersimpuh di dekat William, sudut bibir pria itu terluka. Dia meringis menyentuh pundaknya, Amelyce yakin bagian itu sangat parah. "Are you okay, Will?" Gadis itu bertanya lirih mencoba membantu William berdiri. Namun, pria itu menggeleng pelan seolah memberi tahu bahwa dia baik-baik saja dan itu membuat Amelyce semakin merasa bersalah. Dia melirik adiknya, Peter. Tubuh Peter bergetar

  • PRESENCE & TIME   05. Cahaya itu?

    Angin sore berhembus, langit sudah berubah jingga. Kawanan burung bertebrangan menuju sarangnya. Dari atas gedung Amelyce dapat mendengar lalu lalang kendaraan lewat. Dia duduk bersandar di kursi yang masih layak dipakai dekat tumpukan kursi dan meja tak terpakai lainnya. "Ini ... benar-benar tak masuk akal. Apa maksudnya...." "Membutuhkanku?" lirihnya. Amelyce merogoh saku untuk mengambil permen batangan yang sempat dia beli waktu di kantin tadi lalu mengemutnya. Pikiran gadis itu masih tertuju pada kejadian barusan. Dia? Sebenarnya siapa? Wajah itu mengapa mirip seperti ciri-ciri salah satu karakter di cerita Dark Side. "Ah sepertinya otak ini mengalami depresi serius akibat dipaksa belajar terus menerus." Amelyce berucap meyakinkan bahwa itu tak pernah terjadi. Di zaman modern begini hal di luar akal sehat tentunya tak mungkin terjadi. Dia melirik arloji yang melingk

  • PRESENCE & TIME   06. Dia yang Datang

    Semuanya terasa gelap, hening, dan sepi. Amelyce merasa dirinya sudah mati tenggelam ke dasar danau. Tubuhnya terasa ringan dan kaku bersamaan. Di sana, ada sebuah lorong kecil mengarah ke cahaya putih. Sejenak gadis itu terdiam menatap kosong ke arah sana, apakah dia benar sudah tak bernyawa lagi. Tanpa sadar kakinya melangkah mendekati lorong menuju cahaya yang bersinar terang. Perlahan tapi pasti, Amelyce sudah hampir sampai, senyumnya mengembang. Hingga ada suara asing memanggil nama gadis itu berulang kali dari arah belakang. Awalnya tak peduli. Namun, suara itu semakin dekat dan menyuruhnya untuk berhenti. Dia berbalik. Orang itu berjalan cepat ke arah Amelyce, mengguncang pelan bahu gadis itu, dia bisa melihat sorot mata orang itu nampak khawatir, cemas, dan takut. Amelyce hanya bisa meresponnya dengan kedipan mata tanpa berucap sepatah kata apapun. "Kumohon bertahanlah, sebentar saja," ucapnya.

  • PRESENCE & TIME   07. Sisi Lain Darinya

    Di sepanjang koridor kampus Amelyce terus memikirkan kejadian semalam. Arshaka membawanya sampai ke rumah, menyelamatkan dia dari dalam danau, dan menggendongnya. Padahal dia tahu, pria itu ingin membunuhnya waktu lalu dari atas gedung. Tapi, mengapa dia tiba-tiba berbaik hati? "Elyce!" Rangkulan tangan seseorang tiba-tiba berada di pundak gadis itu, rupanya si pelaku adalah William. Pria itu tersenyum manis sambil mencubit pipi Amelyce gemas. "Syukurlah kau masih hidup." "Kau baik-baik saja, 'kan? Tidak ada lecet sedikitpun?" tanya William cemas. Sepertinya dia masih mengingat jelas tragedi waktu lalu di kantin. "Aku baik-baik saja, Will. Apa punggungmu sudah baikan? Maaf karena tidak bisa menemanimu." "Untunglah orang brengsek itu tidak terlihat lagi! Jika iya akan kupastikan seluruh badannya remuk!" Amelyce tersenyu

  • PRESENCE & TIME   08. Siapa Namamu?

    "Terserah!" Amelyce menutup loker keras dan melenggang pergi dengan segala kekesalan di hati. Baru pagi saja darahnya terasa sudah naik ke ubun-ubun. Terlebih lagi lirikan tajam dan sinis dia dapatkan di sepanjang koridor, rasanya punggung Amelyce panas mendapat tatapan dari mereka. "Lihatlah! Gadis jalang itu! Bahkan dia sudah menggoda pria tampan itu, cih," desis salah satu dari mereka. "Ya, dia memang sangat ahli soal pria!" "Gadis tak tahu diri!" Telinga Amelyce terasa panas mendengar mulut mereka yang suka men-judge oranglain tanpa tau fakta sebenarnya. Dia menghentikan langkah, menatap dingin pada dua gadis yang barusan mengatainya. Mereka ... sudah keliatan cemas. "A ... apa, memang be ... nar, 'kan!" tantang dari salah satu mereka. Dari nadanya saja sudah tersendat. Amelyce menyilangkan tangannya di depan dada sambil

  • PRESENCE & TIME   09. Garis Takdir?

    Sudah hampir seminggu semenjak Amelyce bertemu dengan Arshaka dan dia menyebutkan namanya, gadis itu tak pernah lagi melihat wujudnya. Beberapa hari lalu Amelyce sempat bertanya pada mahasiswa yang melihat pria itu juga waktu di kampus dan anehnya mereka menjawab tidak tahu sama sekali. "Arshaka ... apa ini nyata? Benarkah dia memang ke dunia ini? Tapi, bagaimana bisa itu terjadi?" gumam Amelyce. Kepalanya sakit jika terus memikirkan hal di luar nalar itu. Cerita Dark Side memang sudah selesai. Namun, rasa khawatir, cemas, dan takut terus menghantui Amelyce. Buktinya saja dua hari yang lalu dia melihat lagi sebuah cahaya merah berbentuk akar menyerupai petir berada di halaman belakang rumahnya. Dia membaca ulang alur seluruh cerita. Entah mengapa, hatinya merasakan sedikit sesak saat tahu, di cerita itu pria yang beberapa hari ini selalu terlintas di otaknya adalah pangeran Arshaka akan jatuh cinta pada seorang put

Bab terbaru

  • PRESENCE & TIME   19. Pertanyaan

    Rembulan tampak indah menghiasi langit malam dengan banyaknya bintang yang ikut serta menemaninya. Angin malam terus berhembus menerbangkan beberapa helai daun kering dan juga layu. Sayup-sayup suara hewan nokturnal mulai terdengar, memecah keheningan malam.Keduanya, tidak pulang dahulu dan memilih mendudukan diri di bangku taman bermain--tidak, sebenarnya hanya gadis itu yang duduk. Arshaka--dia berdiri tak jauh dari sana memandangi bulan yang mulai terbelah tertutup awan.Kantung mata Amelyce sudah sembap oleh air mata. Menangis hampir satu jam penuh membuatnya malu tak tahu menaruh wajah dimana, dia ... menangis di depan Arshaka. Rasanya dia ingin menghilang saat ini juga.Baru saja dipikirkan, pria itu ternyata sudah berdiri di depan Amelyce dengan ekspresi sulit ditebak.Gadis itu menetralkan raut keterkejutannya. Dia meneguk ludah kasar, dan berucap parau, "Terimakasih."A

  • PRESENCE & TIME   18. Rapuh

    "Apa yang kau lakukan disini!?" suara wanita itu terdengar sarkas dan menusuk. Namanya–Rose. Dia hampir terkena serangan jantung melihat gadis itu ada di rumahnya, minuman dan camilan di nampan jatuh begitu saja ke lantai meninggalkan hamburan serpihan gelas kaca.Kedua anaknya yang Amelyce tahu bernama Joy dan Jay juga berlari melihat kejadian itu tanpa berani mendekat, hanya mengintip dibalik tirai.Amelyce mencoba tersenyum walau hatinya sudah sangat sakit di dalam sana."Ibu....""Kau siapa!? Beraninya memanggilku dengan sebutan itu!"Tatapan Amelyce hancur, tak menyangka wanita yang sudah mengandungnya berbicara kasar padanya dan terlebih menolak dia menyebut Ibu.Andai memang bukan, mengapa Rose harus semarah itu?"Aku sudah lama mencarimu, Ibu," jawab gadis itu bergetar."Pergi! Kau salah orang, aku

  • PRESENCE & TIME   17. Penantian

    Arshaka hanya bisa mengeratkan pegangan pada gagang pedang di sampingnya, dia mencengkramnya kuat dengan kilatan mata kebencian. Apa yang pria itu lihat sungguh membuat dia geram ingin menghabisi wanita tua yang sedang berbicara pada Amelyce saat itu juga. "Ini tak bisa dibiarkan!" desisnya. Baru saja ingin masuk ke dalam gudang, langkah Arshaka terhenti di ambang pintu setelah mendengar kalimat yang terlontar dari wanita tua itu. "Apa kau seyakin itu untuk mempercayainya? Dia hanya menipumu." "Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan!" "Hahaha ... dia hanya memanfaatkanmu." "Sebenarnya siapa kau!?" "Kau tak perlu tahu siapa diriku, aku hanya memperingatimu." Ada perasaan menohok ke hatinya ketika mendengar kalimat itu. Arshaka ingin segera memberi pelajaran pada wanita tua itu, tapi kakinya enggan untu

  • PRESENCE & TIME   16. Sebuah Fakta

    Setelah kelas di Harvard selesai Amelyce duduk di bangku taman seorang diri, menikmati desiran angin di bawah pohon. Kotak itu. Ada hal yang ingin dia cari tahu di gudang. Masalahnya bibi Jessica selalu melarang dia untuk pergi ke sana, jika gadis itu bertanya kenapa, jawabannya sederhana.Kotor, berdebu, dan bau.Ya, masuk di akal. Karena tempat itu memang jauh dari rumah bibi Jessica dan tak pernah dibersihkan. Amelyce menyusun rencana ingin mendatangi tempat itu, namun masih memikirkan waktu yang tepat."Elyce!"Dia terkejut sampai buku di tangannya terjatuh, siapa lagi pelakunya jika bukan William. Pria itu selalu saja mencari perkara."Kau sedang melamunkan apa, El?""Dasar tak tahu diri! Bisakah kau tak usah mengejutkanku setiap kali datang?" rutuknya."I'm sorry, El." William menangkupkan kedua tangannya di depan wajah, matanya ber

  • PRESENCE & TIME   15. Perihal Semalam

    "Bukan itu, semalam ... aku melihat di dada-" Bugh! "Akhhh...." Arshaka meringis saat sudut bibirnya terluka mengeluarkan darah segar. Dia mendorong Amelyce menyudutkan gadis itu ke dinding. Tatapan kelam dan tajamnya menusuk seperti sebilah pedang yang siap menancap di kedua bola mata Amelyce. "Memang apa yang kau pikirkan perihal semalam!" desis Arshaka tak terima. Nada serak dan menuntut penjelasan, membuktikan amarahnya kali ini terpancing. "Jawab!" desaknya lagi. "Kau berkata semalam lalu di dada. Sekarang apa maksud dari ucapanmu!?" tantang gadis itu kembali. Dia menatap sengit netra perak milik Arshaka sesekali menggertakkan giginya geram. "Aku belum selesai bicara, kau sudah memotong kalimatku!" "Lalu?" "Haish!" Tanpa di duga Arshaka langsung merobek satu kancing baju bag

  • PRESENCE & TIME   14. Sebuah Kotak

    Lilitan kain kasa terhenti saat mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Arshaka. Amelyce tak ingin menatap mata pria itu, yang dia bisa hanya menunduk dengan mata mulai memerah, seketika hatinya berdenyut nyeri, jika mendengar hal sensitif itu. "Hei? Apakah aku salah berbicara?" Amelyce tersenyum getir, dia menarik nafas dalam lalu melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda tanpa memedulikan pertanyaan Arshaka padanya. "Sudah selesai, habiskanlah makananmu. Aku pergi dulu," pamit gadis itu tanpa melihat wajah Arshaka dan langsung pergi meninggalkannya. Amelyce turun ke bawah dan menemui William, dia merasa kasian dengan pria itu karena sudah menunggunya sangat lama. "Hampir saja aku lumutan karena menunggu tuan putri," celetuk William disertai cengiran lebar. "Huh, kau menyebalkan, Will." Gadis itu memukul pelan bahu pria itu dan ikut du

  • PRESENCE & TIME   13. Semalam, Ya?

    Hangat dan nyaman. Itulah yang Amelyce rasakan saat ini, dia enggan untuk membuka mata apalagi sekadar bergerak dari posisinya sekarang. Ada sesuatu yang hangat membuatnya merasa aman. "Elyce, apa kau sudah bangun?" Bahkan suara bibi Jessica terdengar sampai ke alam mimpi gadis itu, Amelyce bergerak pelan dan menguap lebar dengan mata masih terpejam. "Amelyce! Apa kau ada di dalam, Sayang?" suara Bibi Jessica terdengar khawatir dan mulai menggedor pintu. 'Tunggu dulu! Itu memang benar suara Aunty memanggilku dari luar.' Mata Amelyce terbuka cepat dan–– Deg! "Mengapa aku tidur di sebelahmu!" Gadis itu terpekik langsung mendorong kuat tubuh Arshaka agar menjauh, tapi nihil, pergerakannya tertahan oleh pria itu. Dia memegang kedua tangan Amelyce erat tanpa membuka matanya. Dia berbisik pelan, "Bukankah ak

  • PRESENCE & TIME   12. The Night (2)

    "Bilang saja kau peduli padaku, 'kan?" jawab Amelyce percaya diri. Arshaka terkekeh garing, melirik sinis gadis itu dari sudut matanya. "Harus ku katakan berapa kali, aku sama sekali tak peduli denganmu." "Entahlah, aku merasa ada banyak rahasia dalam dirimu yang tak ku ketahui." "Ehmm...." "Aku heran, setiap hujan dan ada petir tubuhku selalu bereaksi? Apa ini ada hubungannya dengan––" "Lebih baik kau tak usah membicarakan hal itu!" Nada bicara Arshaka berubah ketus dan dingin. Dia seolah menghindari kalimat itu. Memang sebenarnya ada apa? "Kenapa?" "Telingamu sudah tak berfungsi lagi, ya?" "Aku hanya bertanya, apakah salah?" "Sudahlah, berbicara pada gadis bodoh sepertimu tak akan selesai, ada hal yang jauh lebih penting dari menjawab pertanyaanmu itu!" "

  • PRESENCE & TIME   11. The Night (1)

    Bunga cosmos terhampar begitu luas sejauh mata memandang. Desiran angin perlahan menyapu beberapa helai daun kering yang mulai berguguran. Pria dengan surai perak itu sedang menatap seorang gadis di sampingnya begitu lembut dan tulus, lalu tangannya terulur merapikan beberapa helai rambut gadis itu dan menyelipkan ke belakang telinga. "Bolehkah aku egois untuk memilikimu seutuhnya?" Gadis itu tersenyum lebar sampai matanya menyipit. Dia mengusap pipi pria di depannya lembut. "Tentu saja, Yang Mulia Pangeran," jawabnya yakin. Dengan gerakan cepat pria yang rupanya seorang pangeran itu langsung memeluk erat gadis di hadapannya. Semenit kemudian, gadis dengan gaun biru langit selutut itu melepas perlahan pelukan mereka. Hal yang paling mengejutkan, tanpa aba-aba, dia secepat kilat mengecup bibir pria di depannya, dan berkata, "Aku mencintaimu, Arshak

DMCA.com Protection Status