Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat.
Liburan musim panas sudah berakhir. Beberapa mahasiswa berlalu-lalang mencari kelas mereka atau hanya sekadar bersenda gurau, berkumpul, dan mengitari kawasan lingkungan Universitas untuk melihat keindahan arsitektur bangunan Harvard.
Tahun ini umur Amelyce sudah menginjak sembilan belas tahun. Menjadi mahasiswi tahun kedua di Harvard bukan hal yang bisa dibuat bermain dan bersantai lagi. Sebelumnya tak pernah gadis itu bayangkan jika dia bisa menjadi salah satu mahasiswa Harvard, yang menempati posisi universitas terbaik di dunia dan tentunya sangat bergengsi. Amelyce memilih masuk jurusan seni dan sains, awalnya dia sedikit ragu, tapi berhubung otaknya cerdas, jadi mudah baginya untuk berada di fakultas ini dan mendapatkan beasiswa.
Amelyce menopang dagu dengan kepalan tangan, jarinya asik mengetuk-ngetuk meja pelan. Pikirannya masih berkelana pada kejadian dua hari lalu, bahkan suara dosen di depan sana dia hiraukan.
"Elyce!"
"Amelyce!"
"Hei!"
Bahu Amelyce terguncang pelan, saat tersadar dari dunianya sendiri, yang dilihat pertama kali William yang tengah menatap gadis itu khawatir.
Pria berkaca mata itu memijat pangkal hidungnya dan bergumam pelan.
"Are you okay, Elyce?" tanyanya.
Seolah nyawa Amelyce sudah terkumpul, dia langsung memegang pundak William dan mengangguk mantap dengan bibir terkulum. Wajahnya serius dan menjawab, "I'm okay, Will."
"Syukurlah, aku kira tadi kau sedang kesurupan," balas William disertai kekehan ringan.
"Enak saja!"
Amelyce baru menyadari jika sudah masuk jam istirahat, Profesor Moriz sudah keluar sejak lima menit yang lalu, itupun William yang memberitahunya.
"Ayo kita menuju kantin, saatnya mengisi perut," ucap Amelyce riang sambil mengusap-usap perut. Membayangkan makanan kantin membuat jiwa lapar gadis itu terpanggil.
"Let's go," jawab William tak ingin kalah.
-Presence&Time-
Harvard memiliki dining hall berjumlah tiga belas tempat. Disinilah Amelyce berada, salah satu dining hall yang terkenal yaitu Anennberg Hall, dengan gaya arsitekturnya yang unik seolah-olah kita sedang berada di Hogwarts, kantin di film Harry potter.
Makanan dan minumannya pun beragam, setahun sekali pada bulan Maret akan di adakan program tahunan bernama Recipes from Here.
Program itu bertujuan untuk menghadirkan resep rumahan bagi mahasiswa yang rindu akan cita rasa dari keluarga masing-masing. Mereka bisa memasak dengan resep yang sudah dikumpulkan dalam acara Recipe from Home. Jika banyak yang menyukai, maka menu itu bisa disajikan permanen.
Siang ini Amelyce memilih menu sandwich bar begitupun dengan William, mereka duduk berhadapan di meja pojok. Sebenarnya ada yang ingin dia tanyakan pada pria berkaca mata didepannya. Tapi, gadis itu masih ragu apa William akan mempercayai ucapannya atau tidak. Jika terus menyimpan, rasanya seperti ada yang terus mengganjal dibenak Amelyce.
William itu sahabatnya sejak pertama masuk sekolah menengah, sewajarnya William harus tahu rahasia ini, karena mereka selalu terbuka satu sama lain.
"Emm ... Will, ada yang ingin kutanyakan padamu," ungkapnya.
William cepat menggeser tempat makanannya yang sudah kosong, menopang dagunya dengan kepalan tangan, satu alis William terangkat.
"Ya, El. Katakan saja?"
"Sebelumnya aku tak tahu harus mulai dari mana, aku harap kau tidak menertawakanku apalagi menganggapku gadis tak waras."
"Oh c'mon, El. Kau tahu 'kan, aku tak seperti itu."
Memang benar, William tak mungkin tega melakukan itu. Tapi, terkadang dia bisa saja di waktu-waktu tertentu akan menjelma menjadi sosok pria menyebalkan.
Amelyce menghela nafas gusar, dan melanjutkan, "Apa kau percaya jika ada karakter dari salah satu novel yang kau baca keluar ... dari dalam buku?"
Dahi William nampak mengerut, dia melepas kaca mata menaruhnya di atas meja. Pria itu nampak berpikir keras dengan ibu jarinya yang mengelus dagu berulang kali.
"Percaya dan tidak percaya. Memang ada apa, El? Tumben kau bertanya hal seperti itu?" tanyanya kembali menyorot Amelyce serius.
"Dua hari yang lalu, saat tengah malam ada sosok misterius yang mendatangiku," jawab Amelyce pelan, nyaris tak terdengar jika saja William tak berpindah posisi duduk disebelahnya.
Gadis itu terus menceritakan sampai akhir. William membekap mulut, dia kira pria itu terkejut dan percaya. Dua menit kemudian telapak tangan William menempel di kening Amelyce lalu dia menggeleng pelan.
"Aku rasa kau hanya kelelahan, El. Karena terburu mengejar waktu dan itu membuatmu berhalusinasi," ucapnya meyakinkan gadis itu.
Mungkin apa yang dikatakan William ada benarnya, Amelyce hanya kelelahan dan itu membuatnya membayangkan suatu hal yang tak masuk akal.
"Yah, sepertinya aku hanya kelelahan. Oh iya, apa kau sudah membaca ceritaku sampai habis, Will?" tanyanya.
Kemarin, Amelyce menyuruh pria berkaca mata itu membaca cerita Dark Side, sudah menjadi kebiasaannya setiap selesai mengetik cerita, orang yang pertama kali dia izinkan membaca, pasti William. Karena gadis itu tahu, William tak segan melontarkan pendapatnya jika memang cerita itu tak menarik.
"Tentu saja, El. Dari sekian banyak ceritamu. Baru kali ini aku sangat terbawa suasana dengan alurnya. Bukannya aku menyebut ceritamu sebelumnya itu tak bagus, hanya saja kau tahu, 'kan? Kau selalu menulis cerita genre romance. Sejujurnya aku agak terkejut kau akan mengambil genre fantasi kali ini, tapi kuakui, kau sangat hebat, El. Cerita itu benar-benar membawaku seperti ke dunia lain," ungkap William. Dia tersenyum tipis.
Inilah yang Amelyce suka darinya, dia akan menjawab sejujur-jujurnya.
"Emm ... menurutmu bagaimana dengan endingnya?" tanya Amelyce penasaran. Bahkan dia sampai memajukan wajahnya agar melihat ekspresi William lebih dekat dan jelas.
William menatapnya aneh. "Kau tahu, El––" dia menggantungkan kalimatnya memandang Amelyce tajam.
Gadis itu jadi merasa terintimidasi.
"Perfect," lanjutnya.
Bugh
Amelyce langsung memukul pelan William. Tatapan matanya tadi membuatnya sedikit ngeri, mengingatkan gadis itu dengan kejadian dua hari yang lalu. William meringis pelan, padahal itu tidak sakit, lagipun dia sudah sering mendapat bogeman mentah dari Amelyce.
Walau William berkaca mata, namun jangan salah, banyak gadis yang mengincarnya, selain senyum yang manis ditambah lesung pipi, dia juga pria bermulut manis yang suka menebar janji harapan palsu. Entah mengapa dari sekian banyak gadis yang dia dekati, hanya Amelyce yang tidak jatuh kedalam pesonanya. Padahal, William memperlakukannya berbeda dari kebanyakan orang, bisa dibilang mereka bersahabat tanpa melibatkan perasaan. Meskipun Amelyce tak tahu isi hati William seperti apa padanya.
"Tapi Elyce, jujur sebenarnya aku sedikit ngeri dengan ending ceritamu," ungkap William. Amelyce pun juga berpikir begitu.
"Hmm kau benar, Will."
"Dibalik itu aku sangat puas dengan endingnya, tokoh itu memang pantas mati. Kau memang penulis berbakat, El. Aku bangga padamu," pujinya dengan senyuman manis.
"Will," panggilnya pelan. "Apa kau merasa pria di ujung sana tengah memperhatikan kita?" lanjut Amelyce.
Dia sedari tadi sesekali melirik kearah yang dimaksud. Disana, seseorang tengah memandang Amelyce tajam dibalik maskernya.
William mengikuti arah yang ditunjuk, pria itu mengedipkan mata, paham akan maksud Amelyce.
"Entahlah, auranya sedikit berbeda. Tapi biarkan saja, El. Anggap saja dia tak ada," ujar William berusaha meyakinkan gadis itu. Tidak ingin membuat Amelyce berpikir terlalu jauh.
Prang!
Semua orang menengok kearah asal suara, begitupun dengan Amelyce dan William. Disana kaca jendela besar pecah tak beraturan. Suasana kantin yang riuh seketika senyap menyisakan seorang pria yang memegang kuat kerah salah satu mahasiswa yang Amelyce tahu, itu adalah Peter.
Adik William.
Ini tak bisa dibiarkan, gadis itu melihat William sudah tak ada didekatnya. Sejak kapan dia pergi dan Amelyce pun tidak menyadari? Rupanya dia sudah berjalan kearah tempat kejadian dengan tangan mengepal.
Amelyce tahu emosi pria itu sekarang sedang membuncah. Dia lantas berlari menyusul, karena dia tahu jika William sudah dikuasai emosi, pria itu akan sangat mengerikan.
"Kau ingin mati, hah!" Bentak pria bermasker tadi. Amelyce bahkan terkejut sambil memegang dadanya. Begitu juga dengan semua orang.
"Oh fuck! Jangan sentuh dia brengsek!" umpat William sembari mendorong kasar pria itu agar adiknya terlepas dari cengkraman.
"Kau—"
Kali ini bukan William atau Peter, yang dia tunjuk adalah Amelyce! Apa maksudnya? Bicara sepatah kata pun tidak ada.
"Why?"
Dia menatap gadis itu tajam sembari melangkah mendekat. Di luar dugaan, sekali lagi dia melempar kursi ke arah jendela dan seketika pecah berkeping-keping membuat mahasiswa yang lainnya memekik dan berteriak heboh.
Amelyce menahan nafas saat tak sengaja membalas tatapannya, aura disekitar pria itu sungguh mencekam.
"Mati!"
"Apa maksudmu, hah!" William membentak, dia berdiri di depan Amelyce layaknya pelindung. "Menyingkir dari hadapannya!" jawab pria itu dingin penuh penekanan. "Pengecut! Lewati aku dulu sia—!" Ucapan William terpotong. William terpental cukup jauh, jatuh tersungkur di atas lantai, sebelum itu punggungnya lebih dulu terbentur meja panjang. Sedangkan yang lain hanya bisa diam membisu tak berani melerai takut terkena imbasnya juga. Amelyce langsung bersimpuh di dekat William, sudut bibir pria itu terluka. Dia meringis menyentuh pundaknya, Amelyce yakin bagian itu sangat parah. "Are you okay, Will?" Gadis itu bertanya lirih mencoba membantu William berdiri. Namun, pria itu menggeleng pelan seolah memberi tahu bahwa dia baik-baik saja dan itu membuat Amelyce semakin merasa bersalah. Dia melirik adiknya, Peter. Tubuh Peter bergetar
Angin sore berhembus, langit sudah berubah jingga. Kawanan burung bertebrangan menuju sarangnya. Dari atas gedung Amelyce dapat mendengar lalu lalang kendaraan lewat. Dia duduk bersandar di kursi yang masih layak dipakai dekat tumpukan kursi dan meja tak terpakai lainnya. "Ini ... benar-benar tak masuk akal. Apa maksudnya...." "Membutuhkanku?" lirihnya. Amelyce merogoh saku untuk mengambil permen batangan yang sempat dia beli waktu di kantin tadi lalu mengemutnya. Pikiran gadis itu masih tertuju pada kejadian barusan. Dia? Sebenarnya siapa? Wajah itu mengapa mirip seperti ciri-ciri salah satu karakter di cerita Dark Side. "Ah sepertinya otak ini mengalami depresi serius akibat dipaksa belajar terus menerus." Amelyce berucap meyakinkan bahwa itu tak pernah terjadi. Di zaman modern begini hal di luar akal sehat tentunya tak mungkin terjadi. Dia melirik arloji yang melingk
Semuanya terasa gelap, hening, dan sepi. Amelyce merasa dirinya sudah mati tenggelam ke dasar danau. Tubuhnya terasa ringan dan kaku bersamaan. Di sana, ada sebuah lorong kecil mengarah ke cahaya putih. Sejenak gadis itu terdiam menatap kosong ke arah sana, apakah dia benar sudah tak bernyawa lagi. Tanpa sadar kakinya melangkah mendekati lorong menuju cahaya yang bersinar terang. Perlahan tapi pasti, Amelyce sudah hampir sampai, senyumnya mengembang. Hingga ada suara asing memanggil nama gadis itu berulang kali dari arah belakang. Awalnya tak peduli. Namun, suara itu semakin dekat dan menyuruhnya untuk berhenti. Dia berbalik. Orang itu berjalan cepat ke arah Amelyce, mengguncang pelan bahu gadis itu, dia bisa melihat sorot mata orang itu nampak khawatir, cemas, dan takut. Amelyce hanya bisa meresponnya dengan kedipan mata tanpa berucap sepatah kata apapun. "Kumohon bertahanlah, sebentar saja," ucapnya.
Di sepanjang koridor kampus Amelyce terus memikirkan kejadian semalam. Arshaka membawanya sampai ke rumah, menyelamatkan dia dari dalam danau, dan menggendongnya. Padahal dia tahu, pria itu ingin membunuhnya waktu lalu dari atas gedung. Tapi, mengapa dia tiba-tiba berbaik hati? "Elyce!" Rangkulan tangan seseorang tiba-tiba berada di pundak gadis itu, rupanya si pelaku adalah William. Pria itu tersenyum manis sambil mencubit pipi Amelyce gemas. "Syukurlah kau masih hidup." "Kau baik-baik saja, 'kan? Tidak ada lecet sedikitpun?" tanya William cemas. Sepertinya dia masih mengingat jelas tragedi waktu lalu di kantin. "Aku baik-baik saja, Will. Apa punggungmu sudah baikan? Maaf karena tidak bisa menemanimu." "Untunglah orang brengsek itu tidak terlihat lagi! Jika iya akan kupastikan seluruh badannya remuk!" Amelyce tersenyu
"Terserah!" Amelyce menutup loker keras dan melenggang pergi dengan segala kekesalan di hati. Baru pagi saja darahnya terasa sudah naik ke ubun-ubun. Terlebih lagi lirikan tajam dan sinis dia dapatkan di sepanjang koridor, rasanya punggung Amelyce panas mendapat tatapan dari mereka. "Lihatlah! Gadis jalang itu! Bahkan dia sudah menggoda pria tampan itu, cih," desis salah satu dari mereka. "Ya, dia memang sangat ahli soal pria!" "Gadis tak tahu diri!" Telinga Amelyce terasa panas mendengar mulut mereka yang suka men-judge oranglain tanpa tau fakta sebenarnya. Dia menghentikan langkah, menatap dingin pada dua gadis yang barusan mengatainya. Mereka ... sudah keliatan cemas. "A ... apa, memang be ... nar, 'kan!" tantang dari salah satu mereka. Dari nadanya saja sudah tersendat. Amelyce menyilangkan tangannya di depan dada sambil
Sudah hampir seminggu semenjak Amelyce bertemu dengan Arshaka dan dia menyebutkan namanya, gadis itu tak pernah lagi melihat wujudnya. Beberapa hari lalu Amelyce sempat bertanya pada mahasiswa yang melihat pria itu juga waktu di kampus dan anehnya mereka menjawab tidak tahu sama sekali. "Arshaka ... apa ini nyata? Benarkah dia memang ke dunia ini? Tapi, bagaimana bisa itu terjadi?" gumam Amelyce. Kepalanya sakit jika terus memikirkan hal di luar nalar itu. Cerita Dark Side memang sudah selesai. Namun, rasa khawatir, cemas, dan takut terus menghantui Amelyce. Buktinya saja dua hari yang lalu dia melihat lagi sebuah cahaya merah berbentuk akar menyerupai petir berada di halaman belakang rumahnya. Dia membaca ulang alur seluruh cerita. Entah mengapa, hatinya merasakan sedikit sesak saat tahu, di cerita itu pria yang beberapa hari ini selalu terlintas di otaknya adalah pangeran Arshaka akan jatuh cinta pada seorang put
Amelyce bergegas turun dan memastikan apakah benar, dia pria itu. Matanya membulat sempurna melihat seseorang yang terus hinggap di pikiran Amelyce muncul dengan keadaan tidak baik-baik saja. Dia langsung berlari ke arah Arshaka dengan perasaan cemas. "Arshaka! Apa yang terjadi padamu?" tanya Amelyce, terdengar khawatir. Bukannya menjawab, Arshaka terjatuh tepat di bawah kaki gadis itu. Tangannya terus memegang perut seolah menutupi sesuatu. Saat Amelyce sentuh, dia terkejut, dari sana darah merah pekat merembes menodai seluruh baju pria itu. Arshaka mengerang tertahan, sebenarnya apa yang terjadi padanya. "Aku tahu keadaanmu sekarang sedang tak baik." "Tapi, bisakah kau berjalan sedikit lagi? Aku akan membawamu ke rumahku. Udara disini sangat dingin, itu akan membuatmu semakin jatuh sakit," lanjutnya. "Sshhhhh––" ringisnya tertahan, mata Arshaka terpejam erat dan selur
Bunga cosmos terhampar begitu luas sejauh mata memandang. Desiran angin perlahan menyapu beberapa helai daun kering yang mulai berguguran. Pria dengan surai perak itu sedang menatap seorang gadis di sampingnya begitu lembut dan tulus, lalu tangannya terulur merapikan beberapa helai rambut gadis itu dan menyelipkan ke belakang telinga. "Bolehkah aku egois untuk memilikimu seutuhnya?" Gadis itu tersenyum lebar sampai matanya menyipit. Dia mengusap pipi pria di depannya lembut. "Tentu saja, Yang Mulia Pangeran," jawabnya yakin. Dengan gerakan cepat pria yang rupanya seorang pangeran itu langsung memeluk erat gadis di hadapannya. Semenit kemudian, gadis dengan gaun biru langit selutut itu melepas perlahan pelukan mereka. Hal yang paling mengejutkan, tanpa aba-aba, dia secepat kilat mengecup bibir pria di depannya, dan berkata, "Aku mencintaimu, Arshak
Rembulan tampak indah menghiasi langit malam dengan banyaknya bintang yang ikut serta menemaninya. Angin malam terus berhembus menerbangkan beberapa helai daun kering dan juga layu. Sayup-sayup suara hewan nokturnal mulai terdengar, memecah keheningan malam.Keduanya, tidak pulang dahulu dan memilih mendudukan diri di bangku taman bermain--tidak, sebenarnya hanya gadis itu yang duduk. Arshaka--dia berdiri tak jauh dari sana memandangi bulan yang mulai terbelah tertutup awan.Kantung mata Amelyce sudah sembap oleh air mata. Menangis hampir satu jam penuh membuatnya malu tak tahu menaruh wajah dimana, dia ... menangis di depan Arshaka. Rasanya dia ingin menghilang saat ini juga.Baru saja dipikirkan, pria itu ternyata sudah berdiri di depan Amelyce dengan ekspresi sulit ditebak.Gadis itu menetralkan raut keterkejutannya. Dia meneguk ludah kasar, dan berucap parau, "Terimakasih."A
"Apa yang kau lakukan disini!?" suara wanita itu terdengar sarkas dan menusuk. Namanya–Rose. Dia hampir terkena serangan jantung melihat gadis itu ada di rumahnya, minuman dan camilan di nampan jatuh begitu saja ke lantai meninggalkan hamburan serpihan gelas kaca.Kedua anaknya yang Amelyce tahu bernama Joy dan Jay juga berlari melihat kejadian itu tanpa berani mendekat, hanya mengintip dibalik tirai.Amelyce mencoba tersenyum walau hatinya sudah sangat sakit di dalam sana."Ibu....""Kau siapa!? Beraninya memanggilku dengan sebutan itu!"Tatapan Amelyce hancur, tak menyangka wanita yang sudah mengandungnya berbicara kasar padanya dan terlebih menolak dia menyebut Ibu.Andai memang bukan, mengapa Rose harus semarah itu?"Aku sudah lama mencarimu, Ibu," jawab gadis itu bergetar."Pergi! Kau salah orang, aku
Arshaka hanya bisa mengeratkan pegangan pada gagang pedang di sampingnya, dia mencengkramnya kuat dengan kilatan mata kebencian. Apa yang pria itu lihat sungguh membuat dia geram ingin menghabisi wanita tua yang sedang berbicara pada Amelyce saat itu juga. "Ini tak bisa dibiarkan!" desisnya. Baru saja ingin masuk ke dalam gudang, langkah Arshaka terhenti di ambang pintu setelah mendengar kalimat yang terlontar dari wanita tua itu. "Apa kau seyakin itu untuk mempercayainya? Dia hanya menipumu." "Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan!" "Hahaha ... dia hanya memanfaatkanmu." "Sebenarnya siapa kau!?" "Kau tak perlu tahu siapa diriku, aku hanya memperingatimu." Ada perasaan menohok ke hatinya ketika mendengar kalimat itu. Arshaka ingin segera memberi pelajaran pada wanita tua itu, tapi kakinya enggan untu
Setelah kelas di Harvard selesai Amelyce duduk di bangku taman seorang diri, menikmati desiran angin di bawah pohon. Kotak itu. Ada hal yang ingin dia cari tahu di gudang. Masalahnya bibi Jessica selalu melarang dia untuk pergi ke sana, jika gadis itu bertanya kenapa, jawabannya sederhana.Kotor, berdebu, dan bau.Ya, masuk di akal. Karena tempat itu memang jauh dari rumah bibi Jessica dan tak pernah dibersihkan. Amelyce menyusun rencana ingin mendatangi tempat itu, namun masih memikirkan waktu yang tepat."Elyce!"Dia terkejut sampai buku di tangannya terjatuh, siapa lagi pelakunya jika bukan William. Pria itu selalu saja mencari perkara."Kau sedang melamunkan apa, El?""Dasar tak tahu diri! Bisakah kau tak usah mengejutkanku setiap kali datang?" rutuknya."I'm sorry, El." William menangkupkan kedua tangannya di depan wajah, matanya ber
"Bukan itu, semalam ... aku melihat di dada-" Bugh! "Akhhh...." Arshaka meringis saat sudut bibirnya terluka mengeluarkan darah segar. Dia mendorong Amelyce menyudutkan gadis itu ke dinding. Tatapan kelam dan tajamnya menusuk seperti sebilah pedang yang siap menancap di kedua bola mata Amelyce. "Memang apa yang kau pikirkan perihal semalam!" desis Arshaka tak terima. Nada serak dan menuntut penjelasan, membuktikan amarahnya kali ini terpancing. "Jawab!" desaknya lagi. "Kau berkata semalam lalu di dada. Sekarang apa maksud dari ucapanmu!?" tantang gadis itu kembali. Dia menatap sengit netra perak milik Arshaka sesekali menggertakkan giginya geram. "Aku belum selesai bicara, kau sudah memotong kalimatku!" "Lalu?" "Haish!" Tanpa di duga Arshaka langsung merobek satu kancing baju bag
Lilitan kain kasa terhenti saat mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Arshaka. Amelyce tak ingin menatap mata pria itu, yang dia bisa hanya menunduk dengan mata mulai memerah, seketika hatinya berdenyut nyeri, jika mendengar hal sensitif itu. "Hei? Apakah aku salah berbicara?" Amelyce tersenyum getir, dia menarik nafas dalam lalu melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda tanpa memedulikan pertanyaan Arshaka padanya. "Sudah selesai, habiskanlah makananmu. Aku pergi dulu," pamit gadis itu tanpa melihat wajah Arshaka dan langsung pergi meninggalkannya. Amelyce turun ke bawah dan menemui William, dia merasa kasian dengan pria itu karena sudah menunggunya sangat lama. "Hampir saja aku lumutan karena menunggu tuan putri," celetuk William disertai cengiran lebar. "Huh, kau menyebalkan, Will." Gadis itu memukul pelan bahu pria itu dan ikut du
Hangat dan nyaman. Itulah yang Amelyce rasakan saat ini, dia enggan untuk membuka mata apalagi sekadar bergerak dari posisinya sekarang. Ada sesuatu yang hangat membuatnya merasa aman. "Elyce, apa kau sudah bangun?" Bahkan suara bibi Jessica terdengar sampai ke alam mimpi gadis itu, Amelyce bergerak pelan dan menguap lebar dengan mata masih terpejam. "Amelyce! Apa kau ada di dalam, Sayang?" suara Bibi Jessica terdengar khawatir dan mulai menggedor pintu. 'Tunggu dulu! Itu memang benar suara Aunty memanggilku dari luar.' Mata Amelyce terbuka cepat dan–– Deg! "Mengapa aku tidur di sebelahmu!" Gadis itu terpekik langsung mendorong kuat tubuh Arshaka agar menjauh, tapi nihil, pergerakannya tertahan oleh pria itu. Dia memegang kedua tangan Amelyce erat tanpa membuka matanya. Dia berbisik pelan, "Bukankah ak
"Bilang saja kau peduli padaku, 'kan?" jawab Amelyce percaya diri. Arshaka terkekeh garing, melirik sinis gadis itu dari sudut matanya. "Harus ku katakan berapa kali, aku sama sekali tak peduli denganmu." "Entahlah, aku merasa ada banyak rahasia dalam dirimu yang tak ku ketahui." "Ehmm...." "Aku heran, setiap hujan dan ada petir tubuhku selalu bereaksi? Apa ini ada hubungannya dengan––" "Lebih baik kau tak usah membicarakan hal itu!" Nada bicara Arshaka berubah ketus dan dingin. Dia seolah menghindari kalimat itu. Memang sebenarnya ada apa? "Kenapa?" "Telingamu sudah tak berfungsi lagi, ya?" "Aku hanya bertanya, apakah salah?" "Sudahlah, berbicara pada gadis bodoh sepertimu tak akan selesai, ada hal yang jauh lebih penting dari menjawab pertanyaanmu itu!" "
Bunga cosmos terhampar begitu luas sejauh mata memandang. Desiran angin perlahan menyapu beberapa helai daun kering yang mulai berguguran. Pria dengan surai perak itu sedang menatap seorang gadis di sampingnya begitu lembut dan tulus, lalu tangannya terulur merapikan beberapa helai rambut gadis itu dan menyelipkan ke belakang telinga. "Bolehkah aku egois untuk memilikimu seutuhnya?" Gadis itu tersenyum lebar sampai matanya menyipit. Dia mengusap pipi pria di depannya lembut. "Tentu saja, Yang Mulia Pangeran," jawabnya yakin. Dengan gerakan cepat pria yang rupanya seorang pangeran itu langsung memeluk erat gadis di hadapannya. Semenit kemudian, gadis dengan gaun biru langit selutut itu melepas perlahan pelukan mereka. Hal yang paling mengejutkan, tanpa aba-aba, dia secepat kilat mengecup bibir pria di depannya, dan berkata, "Aku mencintaimu, Arshak