"Apa maksudmu, hah!" William membentak, dia berdiri di depan Amelyce layaknya pelindung.
"Menyingkir dari hadapannya!" jawab pria itu dingin penuh penekanan.
"Pengecut! Lewati aku dulu sia—!"
Ucapan William terpotong. William terpental cukup jauh, jatuh tersungkur di atas lantai, sebelum itu punggungnya lebih dulu terbentur meja panjang. Sedangkan yang lain hanya bisa diam membisu tak berani melerai takut terkena imbasnya juga.
Amelyce langsung bersimpuh di dekat William, sudut bibir pria itu terluka. Dia meringis menyentuh pundaknya, Amelyce yakin bagian itu sangat parah.
"Are you okay, Will?" Gadis itu bertanya lirih mencoba membantu William berdiri. Namun, pria itu menggeleng pelan seolah memberi tahu bahwa dia baik-baik saja dan itu membuat Amelyce semakin merasa bersalah.
Dia melirik adiknya, Peter.
Tubuh Peter bergetar dengan kepalan tangan di kedua sisi, tak ada gunanya menunggu pria penakut itu bertindak. Melihat William terjatuh saja, dia sama sekali tak membantu, apalagi sekadar memberi pelajaran pada pelakunya. Itu sangat tak mungkin.
"Peter! Ruang kesehatan!" Suara Amelyce meninggi, dengan cepat Peter berlari ke arah mereka. Membantu kakaknya berdiri.
"Sialan!" desis gadis itu.
Giginya bergemeletuk, dengan kilatan mata merah Amelyce berdiri dan mengacungkan jari telunjuk tepat di depan wajah pria bermasker itu.
"Oh fuck!" bentaknya. "Apa yang kau inginkan, hah!"
Amelyce dapat merasakan hawa mengerikan menguar di sekitarnya, atmosfir seolah memanas. Saat pria asing itu membuka masker, mata Amelyce melotot tak percaya. Lambungnya bergejolak. Dada Amelyce terasa sesak, pasokan udara seolah menyempit.
Berbeda dengan mahasiswi yang lain, sepertinya mereka terperangah oleh pesonanya barusan.
"Kau!" sentak Amelyce. Dia bahkan mengerjapkan mata berulang kali, menyangkal bahwa ini tidak nyata.
"Emm....," gumamnya lalu pria itu tersenyum miring.
Tak cukup membuat Amelyce terkejut, tanpa dia duga pria asing itu menarik lengannya, menyeret jauh dari kerumunan. Entah dia ingin membawa Amelyce kemana, beberapa kali gadis itu nyaris terjatuh karena tak bisa menyeimbangkan langkah kakinya yang begitu cepat.
"Apa kau gila, hah! Kau ingin membawaku kemana!" bentak Amelyce sembari memukul kuat tangan pria itu agar melepaskannya.
Namun, dia seperti tak merasakan sakit sama sekali, tenaganya jauh lebih kuat. Gadis itu melihat ke belakang, di sana William tengah mengejar sambil berteriak memanggil nama Amelyce berulang kali.
"Berani sekali kau menyentuhku! Lepaskan atau—"
Kalimat Amelyce terputus. Dia terkejut saat tempat yang dipijak bukan lagi wilayah Harvard. Melainkan berada di atas gedung tertinggi, tepat di pinggirnya. Dari atas gedung Amelyce dapat mendengar banyak kendaraan berlalu lalang di bawah sana.
Bagaimana bisa secepat kilat Amelyce berada di sini. Tidak! Itu mustahil di lakukan oleh manusia.
"Apa yang ingin kau lakukan?" tanya gadis itu serak. Dia menatap pria di hadapannya dengan wajah sendu.
Pria itu berdecih memalingkan wajah lalu membalas tatapan Amelyce dengan sorot tajam dan kelam. "Menurutmu?" jawabnya dingin.
Adrenalin gadis itu sudah mengalir deras di dalam sana, matanya sudah berair.
"Sial! Mengapa air mata ini harus terlihat. Sekali saja dia melepas pegangannya, aku akan terjatuh ke bawah sana dengan tubuh yang tak ingin kubayangkan," batin Amelyce.
"Ku mohon, jangan bunuh aku," lirihnya. Cairan bening itu sudah menetes ke pipi Amelyce, disituasi seperti ini dia harus mengeluarkan air mata palsunya.
Tentu saja Amelyce gadis yang kuat, menangis bukanlah salah satu kebiasaannya.
Dapat Amelyce rasakan cekalannya semakin kuat. Apakah berhasil? Tapi, jauh dari lubuk hatinya yang terdalam, dia sangat takut jika pria itu memang benar ingin merenggut nyawanya sekarang.
"Sebenarnya apa maumu?" Amelyce bertanya lirih.
"Mauku, ya?" jawabnya ketus.
Sekuat tenaga Amelyce bertahan, tak ingin terlihat lemah di depannya. Dia menatap pria itu begitu dalam dan lekat. Gadis itu tersenyum miris.
"Apa kau tak memiliki hati nurani? Aku tak mengenalmu sama sekali, mengapa tiba-tiba kau ingin melakukan hal ini padaku?"
"Tanyakan itu pada dirimu sendiri, bodoh! Apa kau membuatku memiliki belas kasih! Cih, lebih baik kau mati!"
"Apa kau tahu?" Amelyce meneguk saliva kasar, dan menjawab pedih, "Tak apa jika kau ingin mendorongku. Tapi kumohon setelah ini jangan bunuh orang-orang yang kusayang."
Amelyce masih mempertahankan wajah sedih. Oh, ayolah sepertinya gadis itu memang tak waras, bagaimana bisa dia masih sempat bermain peran di penghujung nyawa.
"Tergantung."
Apa katanya, dasar pria psikopat. Sebelum itu Amelyce harus memastikan seberapa jauh tubuhnya akan terjatuh. Kepalanya melihat ke dasar bawah sana.
"Ya ampun, gedung ini ... benar-benar tinggi, mengerikan."
Amelyce menghembuskan nafas kasar. Dia sudah muak dengan semua ini. Gadis itu menunduk lalu tersenyum miring dengan rambut tergerai ke depan, ini sangat melelahkan, pikirnya. Tak lama Amelyce tertawa keras lalu mendongak cepat menatap pria itu sengit dan tajam.
"Cepat lakukan yang kau mau! Sedikit cepat lebih baik. Lambat akan menyesal," ungkapnya lelah.
Kelopak mata Amelyce sudah terpejam rapat, dia sudah siap jika akan mati mengenaskan nantinya.
Keringat dingin sudah mengucur deras. Tangan dan kaki Amelyce bergetar, dia berharap semoga pria di depannya tak menyadari. Dia meneguk air liurnya kasar.
"Oh Tuhan, mengapa lama sekali?" Amelyce mulai bermonolog.
Dia penasaran, apa yang membuatnya mengundur-ngundur waktu. Apa wajah menyedihkannya tadi membuat hati pria itu tersentuh. Lebih baik Amelyce memastikan.
Gadis itu membuka kelopak mata perlahan, dia tersentak saat tubuhnya tiba-tiba ditarik ke depan dan terjatuh di atas badan pria tadi, Amelyce menindih. Lengan kekar pria itu melingkar dipinggangnya.
Amelyce mendongak, memastikan apakah memang dia yang menariknya barusan? Apa dia berubah pikiran. Baru kali ini Amelyce dapat melihat wajahnya sedekat ini, rahang yang tegas, alis tak terlalu tebal, sungguh seperti karakter kartun yang keluar dalam wujud sempurna.
Tapi, ada satu hal yang membuat gadis itu terpaku dengan berbagai pertanyaan yang muncul di benaknya. Dileher pria itu terdapat tanda seperti lukisan berbentuk akar bercampur petir, persis seperti apa yang dia lihat waktu di atas meja kamarnya.
"Apa ini ada hubungannya," batin Amelyce mulai menduga.
Masih hanyut memandangnya, Amelyce tak sadar jika pria itu sudah membuka mata. Seketika netra mereka bertemu, bola mata peraknya begitu indah dan menakjubkan namun bersamaan itu Amelyce dapat melihat kekosongan disana layaknya tak ada kehidupan.
"Sial!"
Amelyce tersadar dari situasi itu, dia berusaha bangkit, pelukan pria itu begitu kuat. Lebih parahnya dia masih menyorot Amelyce dengan tatapan tajam seolah dirinya makanan hewan buas.
"Ck, selain lemah, rupanya kau juga gadis yang sombong," gumamnya sangat pelan. Namun, masih bisa tertangkap jelas oleh telinga Amelyce.
Gadis itu tersenyum miring. "Ya, kau benar. Lepas!" sentaknya.
"Kau berhutang nyawa padaku kali ini."
Dijarak sedekat itu, gatal sekali tangan Amelyce ingin meninju wajahnya. Sayangnya pergerakan gadis itu terkunci. Dia memang bisa membangkitkan singa tidur. Amelyce berdecak kesal, "Apa kau gila!"
"Ck, harusnya kau berterima kasih."
"Aku rasa kau tak pantas menerima ucapan itu! Sekarang lep—"
"Aakhhh...."
Belum selesai kalimat Amelyce, dia sudah mendorongnya ke samping hingga badan gadis itu terbentur ke lantai keras.
"Dasar sialan!" Amelyce mengumpat. Kedua tangannya mengepal dengan posisi duduk.
Pria itu sudah berdiri dihadapan Amelyce, helai rambutnya bertebrangan mengikuti arah angin lalu dia menunduk sedikit melihat gadis itu dengan tatapan remeh.
"Mengapa kau menundanya, hah!" teriak Ameyce kesal.
Satu alis pria itu terangkat dengan kening mengerut. Dia tertawa renyah.
"Karena aku masih membutuhkanmu," jawabnya dingin lalu menghilang begitu saja saat mata Amelyce berkedip sekali.
Sekujur tubuh gadis itu melemas. Apa dia hantu atau memiliki sihir dan semacamnya. Mengapa sosok itu selalu hilang tak kasat mata. Namun, yang paling mengusik benak Amelyce adalah kalimatnya barusan.
"Membutuhkanku?"
Angin sore berhembus, langit sudah berubah jingga. Kawanan burung bertebrangan menuju sarangnya. Dari atas gedung Amelyce dapat mendengar lalu lalang kendaraan lewat. Dia duduk bersandar di kursi yang masih layak dipakai dekat tumpukan kursi dan meja tak terpakai lainnya. "Ini ... benar-benar tak masuk akal. Apa maksudnya...." "Membutuhkanku?" lirihnya. Amelyce merogoh saku untuk mengambil permen batangan yang sempat dia beli waktu di kantin tadi lalu mengemutnya. Pikiran gadis itu masih tertuju pada kejadian barusan. Dia? Sebenarnya siapa? Wajah itu mengapa mirip seperti ciri-ciri salah satu karakter di cerita Dark Side. "Ah sepertinya otak ini mengalami depresi serius akibat dipaksa belajar terus menerus." Amelyce berucap meyakinkan bahwa itu tak pernah terjadi. Di zaman modern begini hal di luar akal sehat tentunya tak mungkin terjadi. Dia melirik arloji yang melingk
Semuanya terasa gelap, hening, dan sepi. Amelyce merasa dirinya sudah mati tenggelam ke dasar danau. Tubuhnya terasa ringan dan kaku bersamaan. Di sana, ada sebuah lorong kecil mengarah ke cahaya putih. Sejenak gadis itu terdiam menatap kosong ke arah sana, apakah dia benar sudah tak bernyawa lagi. Tanpa sadar kakinya melangkah mendekati lorong menuju cahaya yang bersinar terang. Perlahan tapi pasti, Amelyce sudah hampir sampai, senyumnya mengembang. Hingga ada suara asing memanggil nama gadis itu berulang kali dari arah belakang. Awalnya tak peduli. Namun, suara itu semakin dekat dan menyuruhnya untuk berhenti. Dia berbalik. Orang itu berjalan cepat ke arah Amelyce, mengguncang pelan bahu gadis itu, dia bisa melihat sorot mata orang itu nampak khawatir, cemas, dan takut. Amelyce hanya bisa meresponnya dengan kedipan mata tanpa berucap sepatah kata apapun. "Kumohon bertahanlah, sebentar saja," ucapnya.
Di sepanjang koridor kampus Amelyce terus memikirkan kejadian semalam. Arshaka membawanya sampai ke rumah, menyelamatkan dia dari dalam danau, dan menggendongnya. Padahal dia tahu, pria itu ingin membunuhnya waktu lalu dari atas gedung. Tapi, mengapa dia tiba-tiba berbaik hati? "Elyce!" Rangkulan tangan seseorang tiba-tiba berada di pundak gadis itu, rupanya si pelaku adalah William. Pria itu tersenyum manis sambil mencubit pipi Amelyce gemas. "Syukurlah kau masih hidup." "Kau baik-baik saja, 'kan? Tidak ada lecet sedikitpun?" tanya William cemas. Sepertinya dia masih mengingat jelas tragedi waktu lalu di kantin. "Aku baik-baik saja, Will. Apa punggungmu sudah baikan? Maaf karena tidak bisa menemanimu." "Untunglah orang brengsek itu tidak terlihat lagi! Jika iya akan kupastikan seluruh badannya remuk!" Amelyce tersenyu
"Terserah!" Amelyce menutup loker keras dan melenggang pergi dengan segala kekesalan di hati. Baru pagi saja darahnya terasa sudah naik ke ubun-ubun. Terlebih lagi lirikan tajam dan sinis dia dapatkan di sepanjang koridor, rasanya punggung Amelyce panas mendapat tatapan dari mereka. "Lihatlah! Gadis jalang itu! Bahkan dia sudah menggoda pria tampan itu, cih," desis salah satu dari mereka. "Ya, dia memang sangat ahli soal pria!" "Gadis tak tahu diri!" Telinga Amelyce terasa panas mendengar mulut mereka yang suka men-judge oranglain tanpa tau fakta sebenarnya. Dia menghentikan langkah, menatap dingin pada dua gadis yang barusan mengatainya. Mereka ... sudah keliatan cemas. "A ... apa, memang be ... nar, 'kan!" tantang dari salah satu mereka. Dari nadanya saja sudah tersendat. Amelyce menyilangkan tangannya di depan dada sambil
Sudah hampir seminggu semenjak Amelyce bertemu dengan Arshaka dan dia menyebutkan namanya, gadis itu tak pernah lagi melihat wujudnya. Beberapa hari lalu Amelyce sempat bertanya pada mahasiswa yang melihat pria itu juga waktu di kampus dan anehnya mereka menjawab tidak tahu sama sekali. "Arshaka ... apa ini nyata? Benarkah dia memang ke dunia ini? Tapi, bagaimana bisa itu terjadi?" gumam Amelyce. Kepalanya sakit jika terus memikirkan hal di luar nalar itu. Cerita Dark Side memang sudah selesai. Namun, rasa khawatir, cemas, dan takut terus menghantui Amelyce. Buktinya saja dua hari yang lalu dia melihat lagi sebuah cahaya merah berbentuk akar menyerupai petir berada di halaman belakang rumahnya. Dia membaca ulang alur seluruh cerita. Entah mengapa, hatinya merasakan sedikit sesak saat tahu, di cerita itu pria yang beberapa hari ini selalu terlintas di otaknya adalah pangeran Arshaka akan jatuh cinta pada seorang put
Amelyce bergegas turun dan memastikan apakah benar, dia pria itu. Matanya membulat sempurna melihat seseorang yang terus hinggap di pikiran Amelyce muncul dengan keadaan tidak baik-baik saja. Dia langsung berlari ke arah Arshaka dengan perasaan cemas. "Arshaka! Apa yang terjadi padamu?" tanya Amelyce, terdengar khawatir. Bukannya menjawab, Arshaka terjatuh tepat di bawah kaki gadis itu. Tangannya terus memegang perut seolah menutupi sesuatu. Saat Amelyce sentuh, dia terkejut, dari sana darah merah pekat merembes menodai seluruh baju pria itu. Arshaka mengerang tertahan, sebenarnya apa yang terjadi padanya. "Aku tahu keadaanmu sekarang sedang tak baik." "Tapi, bisakah kau berjalan sedikit lagi? Aku akan membawamu ke rumahku. Udara disini sangat dingin, itu akan membuatmu semakin jatuh sakit," lanjutnya. "Sshhhhh––" ringisnya tertahan, mata Arshaka terpejam erat dan selur
Bunga cosmos terhampar begitu luas sejauh mata memandang. Desiran angin perlahan menyapu beberapa helai daun kering yang mulai berguguran. Pria dengan surai perak itu sedang menatap seorang gadis di sampingnya begitu lembut dan tulus, lalu tangannya terulur merapikan beberapa helai rambut gadis itu dan menyelipkan ke belakang telinga. "Bolehkah aku egois untuk memilikimu seutuhnya?" Gadis itu tersenyum lebar sampai matanya menyipit. Dia mengusap pipi pria di depannya lembut. "Tentu saja, Yang Mulia Pangeran," jawabnya yakin. Dengan gerakan cepat pria yang rupanya seorang pangeran itu langsung memeluk erat gadis di hadapannya. Semenit kemudian, gadis dengan gaun biru langit selutut itu melepas perlahan pelukan mereka. Hal yang paling mengejutkan, tanpa aba-aba, dia secepat kilat mengecup bibir pria di depannya, dan berkata, "Aku mencintaimu, Arshak
"Bilang saja kau peduli padaku, 'kan?" jawab Amelyce percaya diri. Arshaka terkekeh garing, melirik sinis gadis itu dari sudut matanya. "Harus ku katakan berapa kali, aku sama sekali tak peduli denganmu." "Entahlah, aku merasa ada banyak rahasia dalam dirimu yang tak ku ketahui." "Ehmm...." "Aku heran, setiap hujan dan ada petir tubuhku selalu bereaksi? Apa ini ada hubungannya dengan––" "Lebih baik kau tak usah membicarakan hal itu!" Nada bicara Arshaka berubah ketus dan dingin. Dia seolah menghindari kalimat itu. Memang sebenarnya ada apa? "Kenapa?" "Telingamu sudah tak berfungsi lagi, ya?" "Aku hanya bertanya, apakah salah?" "Sudahlah, berbicara pada gadis bodoh sepertimu tak akan selesai, ada hal yang jauh lebih penting dari menjawab pertanyaanmu itu!" "
Rembulan tampak indah menghiasi langit malam dengan banyaknya bintang yang ikut serta menemaninya. Angin malam terus berhembus menerbangkan beberapa helai daun kering dan juga layu. Sayup-sayup suara hewan nokturnal mulai terdengar, memecah keheningan malam.Keduanya, tidak pulang dahulu dan memilih mendudukan diri di bangku taman bermain--tidak, sebenarnya hanya gadis itu yang duduk. Arshaka--dia berdiri tak jauh dari sana memandangi bulan yang mulai terbelah tertutup awan.Kantung mata Amelyce sudah sembap oleh air mata. Menangis hampir satu jam penuh membuatnya malu tak tahu menaruh wajah dimana, dia ... menangis di depan Arshaka. Rasanya dia ingin menghilang saat ini juga.Baru saja dipikirkan, pria itu ternyata sudah berdiri di depan Amelyce dengan ekspresi sulit ditebak.Gadis itu menetralkan raut keterkejutannya. Dia meneguk ludah kasar, dan berucap parau, "Terimakasih."A
"Apa yang kau lakukan disini!?" suara wanita itu terdengar sarkas dan menusuk. Namanya–Rose. Dia hampir terkena serangan jantung melihat gadis itu ada di rumahnya, minuman dan camilan di nampan jatuh begitu saja ke lantai meninggalkan hamburan serpihan gelas kaca.Kedua anaknya yang Amelyce tahu bernama Joy dan Jay juga berlari melihat kejadian itu tanpa berani mendekat, hanya mengintip dibalik tirai.Amelyce mencoba tersenyum walau hatinya sudah sangat sakit di dalam sana."Ibu....""Kau siapa!? Beraninya memanggilku dengan sebutan itu!"Tatapan Amelyce hancur, tak menyangka wanita yang sudah mengandungnya berbicara kasar padanya dan terlebih menolak dia menyebut Ibu.Andai memang bukan, mengapa Rose harus semarah itu?"Aku sudah lama mencarimu, Ibu," jawab gadis itu bergetar."Pergi! Kau salah orang, aku
Arshaka hanya bisa mengeratkan pegangan pada gagang pedang di sampingnya, dia mencengkramnya kuat dengan kilatan mata kebencian. Apa yang pria itu lihat sungguh membuat dia geram ingin menghabisi wanita tua yang sedang berbicara pada Amelyce saat itu juga. "Ini tak bisa dibiarkan!" desisnya. Baru saja ingin masuk ke dalam gudang, langkah Arshaka terhenti di ambang pintu setelah mendengar kalimat yang terlontar dari wanita tua itu. "Apa kau seyakin itu untuk mempercayainya? Dia hanya menipumu." "Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan!" "Hahaha ... dia hanya memanfaatkanmu." "Sebenarnya siapa kau!?" "Kau tak perlu tahu siapa diriku, aku hanya memperingatimu." Ada perasaan menohok ke hatinya ketika mendengar kalimat itu. Arshaka ingin segera memberi pelajaran pada wanita tua itu, tapi kakinya enggan untu
Setelah kelas di Harvard selesai Amelyce duduk di bangku taman seorang diri, menikmati desiran angin di bawah pohon. Kotak itu. Ada hal yang ingin dia cari tahu di gudang. Masalahnya bibi Jessica selalu melarang dia untuk pergi ke sana, jika gadis itu bertanya kenapa, jawabannya sederhana.Kotor, berdebu, dan bau.Ya, masuk di akal. Karena tempat itu memang jauh dari rumah bibi Jessica dan tak pernah dibersihkan. Amelyce menyusun rencana ingin mendatangi tempat itu, namun masih memikirkan waktu yang tepat."Elyce!"Dia terkejut sampai buku di tangannya terjatuh, siapa lagi pelakunya jika bukan William. Pria itu selalu saja mencari perkara."Kau sedang melamunkan apa, El?""Dasar tak tahu diri! Bisakah kau tak usah mengejutkanku setiap kali datang?" rutuknya."I'm sorry, El." William menangkupkan kedua tangannya di depan wajah, matanya ber
"Bukan itu, semalam ... aku melihat di dada-" Bugh! "Akhhh...." Arshaka meringis saat sudut bibirnya terluka mengeluarkan darah segar. Dia mendorong Amelyce menyudutkan gadis itu ke dinding. Tatapan kelam dan tajamnya menusuk seperti sebilah pedang yang siap menancap di kedua bola mata Amelyce. "Memang apa yang kau pikirkan perihal semalam!" desis Arshaka tak terima. Nada serak dan menuntut penjelasan, membuktikan amarahnya kali ini terpancing. "Jawab!" desaknya lagi. "Kau berkata semalam lalu di dada. Sekarang apa maksud dari ucapanmu!?" tantang gadis itu kembali. Dia menatap sengit netra perak milik Arshaka sesekali menggertakkan giginya geram. "Aku belum selesai bicara, kau sudah memotong kalimatku!" "Lalu?" "Haish!" Tanpa di duga Arshaka langsung merobek satu kancing baju bag
Lilitan kain kasa terhenti saat mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Arshaka. Amelyce tak ingin menatap mata pria itu, yang dia bisa hanya menunduk dengan mata mulai memerah, seketika hatinya berdenyut nyeri, jika mendengar hal sensitif itu. "Hei? Apakah aku salah berbicara?" Amelyce tersenyum getir, dia menarik nafas dalam lalu melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda tanpa memedulikan pertanyaan Arshaka padanya. "Sudah selesai, habiskanlah makananmu. Aku pergi dulu," pamit gadis itu tanpa melihat wajah Arshaka dan langsung pergi meninggalkannya. Amelyce turun ke bawah dan menemui William, dia merasa kasian dengan pria itu karena sudah menunggunya sangat lama. "Hampir saja aku lumutan karena menunggu tuan putri," celetuk William disertai cengiran lebar. "Huh, kau menyebalkan, Will." Gadis itu memukul pelan bahu pria itu dan ikut du
Hangat dan nyaman. Itulah yang Amelyce rasakan saat ini, dia enggan untuk membuka mata apalagi sekadar bergerak dari posisinya sekarang. Ada sesuatu yang hangat membuatnya merasa aman. "Elyce, apa kau sudah bangun?" Bahkan suara bibi Jessica terdengar sampai ke alam mimpi gadis itu, Amelyce bergerak pelan dan menguap lebar dengan mata masih terpejam. "Amelyce! Apa kau ada di dalam, Sayang?" suara Bibi Jessica terdengar khawatir dan mulai menggedor pintu. 'Tunggu dulu! Itu memang benar suara Aunty memanggilku dari luar.' Mata Amelyce terbuka cepat dan–– Deg! "Mengapa aku tidur di sebelahmu!" Gadis itu terpekik langsung mendorong kuat tubuh Arshaka agar menjauh, tapi nihil, pergerakannya tertahan oleh pria itu. Dia memegang kedua tangan Amelyce erat tanpa membuka matanya. Dia berbisik pelan, "Bukankah ak
"Bilang saja kau peduli padaku, 'kan?" jawab Amelyce percaya diri. Arshaka terkekeh garing, melirik sinis gadis itu dari sudut matanya. "Harus ku katakan berapa kali, aku sama sekali tak peduli denganmu." "Entahlah, aku merasa ada banyak rahasia dalam dirimu yang tak ku ketahui." "Ehmm...." "Aku heran, setiap hujan dan ada petir tubuhku selalu bereaksi? Apa ini ada hubungannya dengan––" "Lebih baik kau tak usah membicarakan hal itu!" Nada bicara Arshaka berubah ketus dan dingin. Dia seolah menghindari kalimat itu. Memang sebenarnya ada apa? "Kenapa?" "Telingamu sudah tak berfungsi lagi, ya?" "Aku hanya bertanya, apakah salah?" "Sudahlah, berbicara pada gadis bodoh sepertimu tak akan selesai, ada hal yang jauh lebih penting dari menjawab pertanyaanmu itu!" "
Bunga cosmos terhampar begitu luas sejauh mata memandang. Desiran angin perlahan menyapu beberapa helai daun kering yang mulai berguguran. Pria dengan surai perak itu sedang menatap seorang gadis di sampingnya begitu lembut dan tulus, lalu tangannya terulur merapikan beberapa helai rambut gadis itu dan menyelipkan ke belakang telinga. "Bolehkah aku egois untuk memilikimu seutuhnya?" Gadis itu tersenyum lebar sampai matanya menyipit. Dia mengusap pipi pria di depannya lembut. "Tentu saja, Yang Mulia Pangeran," jawabnya yakin. Dengan gerakan cepat pria yang rupanya seorang pangeran itu langsung memeluk erat gadis di hadapannya. Semenit kemudian, gadis dengan gaun biru langit selutut itu melepas perlahan pelukan mereka. Hal yang paling mengejutkan, tanpa aba-aba, dia secepat kilat mengecup bibir pria di depannya, dan berkata, "Aku mencintaimu, Arshak