Beranda / Fantasi / PRESENCE & TIME / 16. Sebuah Fakta

Share

16. Sebuah Fakta

Penulis: Amaleoo_
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Setelah kelas di Harvard selesai Amelyce duduk di bangku taman seorang diri, menikmati desiran angin di bawah pohon. Kotak itu. Ada hal yang ingin dia cari tahu di gudang. Masalahnya bibi Jessica selalu melarang dia untuk pergi ke sana, jika gadis itu bertanya kenapa, jawabannya sederhana.

Kotor, berdebu, dan bau.

Ya, masuk di akal. Karena tempat itu memang jauh dari rumah bibi Jessica dan tak pernah dibersihkan. Amelyce menyusun rencana ingin mendatangi tempat itu, namun masih memikirkan waktu yang tepat.

"Elyce!"

Dia terkejut sampai buku di tangannya terjatuh, siapa lagi pelakunya jika bukan William. Pria itu selalu saja mencari perkara.

"Kau sedang melamunkan apa, El?"

"Dasar tak tahu diri! Bisakah kau tak usah mengejutkanku setiap kali datang?" rutuknya.

"I'm sorry, El." William menangkupkan kedua tangannya di depan wajah, matanya ber

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • PRESENCE & TIME   17. Penantian

    Arshaka hanya bisa mengeratkan pegangan pada gagang pedang di sampingnya, dia mencengkramnya kuat dengan kilatan mata kebencian. Apa yang pria itu lihat sungguh membuat dia geram ingin menghabisi wanita tua yang sedang berbicara pada Amelyce saat itu juga. "Ini tak bisa dibiarkan!" desisnya. Baru saja ingin masuk ke dalam gudang, langkah Arshaka terhenti di ambang pintu setelah mendengar kalimat yang terlontar dari wanita tua itu. "Apa kau seyakin itu untuk mempercayainya? Dia hanya menipumu." "Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan!" "Hahaha ... dia hanya memanfaatkanmu." "Sebenarnya siapa kau!?" "Kau tak perlu tahu siapa diriku, aku hanya memperingatimu." Ada perasaan menohok ke hatinya ketika mendengar kalimat itu. Arshaka ingin segera memberi pelajaran pada wanita tua itu, tapi kakinya enggan untu

  • PRESENCE & TIME   18. Rapuh

    "Apa yang kau lakukan disini!?" suara wanita itu terdengar sarkas dan menusuk. Namanya–Rose. Dia hampir terkena serangan jantung melihat gadis itu ada di rumahnya, minuman dan camilan di nampan jatuh begitu saja ke lantai meninggalkan hamburan serpihan gelas kaca.Kedua anaknya yang Amelyce tahu bernama Joy dan Jay juga berlari melihat kejadian itu tanpa berani mendekat, hanya mengintip dibalik tirai.Amelyce mencoba tersenyum walau hatinya sudah sangat sakit di dalam sana."Ibu....""Kau siapa!? Beraninya memanggilku dengan sebutan itu!"Tatapan Amelyce hancur, tak menyangka wanita yang sudah mengandungnya berbicara kasar padanya dan terlebih menolak dia menyebut Ibu.Andai memang bukan, mengapa Rose harus semarah itu?"Aku sudah lama mencarimu, Ibu," jawab gadis itu bergetar."Pergi! Kau salah orang, aku

  • PRESENCE & TIME   19. Pertanyaan

    Rembulan tampak indah menghiasi langit malam dengan banyaknya bintang yang ikut serta menemaninya. Angin malam terus berhembus menerbangkan beberapa helai daun kering dan juga layu. Sayup-sayup suara hewan nokturnal mulai terdengar, memecah keheningan malam.Keduanya, tidak pulang dahulu dan memilih mendudukan diri di bangku taman bermain--tidak, sebenarnya hanya gadis itu yang duduk. Arshaka--dia berdiri tak jauh dari sana memandangi bulan yang mulai terbelah tertutup awan.Kantung mata Amelyce sudah sembap oleh air mata. Menangis hampir satu jam penuh membuatnya malu tak tahu menaruh wajah dimana, dia ... menangis di depan Arshaka. Rasanya dia ingin menghilang saat ini juga.Baru saja dipikirkan, pria itu ternyata sudah berdiri di depan Amelyce dengan ekspresi sulit ditebak.Gadis itu menetralkan raut keterkejutannya. Dia meneguk ludah kasar, dan berucap parau, "Terimakasih."A

  • PRESENCE & TIME   00. P R O L O G

    Amelyce Sarradictz. Gadis itu terus fokus memperhatikan setiap bait kata yang ditulisnya menjadi sebuah coretan, kebiasaannya sebelum mengetik cerita, Amelyce harus menuangkan ide terlebih dahulu di atas kertas. "Elyce, bolehkah Bibi masuk?" Suara Bibi Jessica terdengar dari luar, dia mengetuk pintu pelan. "Ya, Aunty," jawab Amelyce sembari berjalan menuju pintu kamar yang terkunci untuk membukanya. Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam, namun mata gadis itu sulit sekali untuk diajak bekerja sama. Lebih tepatnya dia mengalami insomnia sudah dari dua bulan yang lalu. "Bibi sudah menduga kau belum tidur," tebaknya. Amelyce hanya mengulas cengiran kecil, dan menjawab, "Hehe iya, Aunty." Bibi Jessica nampak tersenyum dan berjalan beriringan dengan Amelyce ke arah meja belajar. Dia meletakkan nampan berisi segelas susu cokelat hangat dan buah apel

  • PRESENCE & TIME   01. Last Dream?

    "Elyce! Buka pintunya!" Pergerakan jari Amelyce yang terus berkutat di atas tombol laptop terpaksa dihentikan. Gadis itu memijat pelan pelipisnya yang berdenyut, seharian ini dia harus terburu mengejar waktu untuk menyelesaikan naskah cerita yang sedang dibuatnya. "Elyce! Apa kau tuli, hah!" Suara gedoran pintu itu benar-benar membuat Amelyce muak. Dia sangat membencinya, jika saja dirinya tak tinggal di rumah milik paman dan bibinya, mungkin sudah dari dulu gadis itu membunuh pria tua itu. Dia hanya bisa merengek pada Amelyce, meminta bekerja ini-itu hanya untuk memuaskan hasratnya yang suka mabuk, berjudi, dan bermain wanita. Amelyce tak habis pikir dengan bibi Jessica yang masih bertahan dengan manusia bejat seperti paman Jake. Kalau saja dia jadi bibinya, mungkin Amelyce sudah pergi meninggalkannya dan mencari pria kaya dan baik di luar sana. "Sebentar, Paman! aku a

  • PRESENCE & TIME   02. Nightmare

    Gadis itu terbangun dengan nafas tersengal serta peluh keringat yang mengalir dipelipis serta dahinya. Saraf-saraf otak Amelyce belum sepenuhnya berfungsi. "Apa itu tadi? Mimpi?" lirih Amelyce. Itu terasa nyata, terakhir kali dia bermimpi dua minggu yang lalu. Rangkaian memori alur itu selalu tersambung bagaikan cerita yang Amelyce buat. Tapi, dia tak merasa ada bagian itu yang diketiknya di cerita Dark Side. Amelyce mengikat rambut asal lalu berjalan kearah meja, jam sudah menunjukkan tengah malam. Hampir saja dia kelupaan dengan rencananya tadi pagi. Gadis itu membaca ulang dari awal, bacaan itu terus bergulir sampai bagian akhir. Sebenarnya Amelyce kurang yakin dengan akhir cerita yang dibuatnya, selama menulis cerita, hampir setiap malam gadis itu bermimpi hal aneh di luar akal sehat, awalnya dia mencoba tak peduli, tapi entah mengapa alur mimpi itu semakin hari seperti tersambung bagaika

  • PRESENCE & TIME   03. The Beginning

    Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat. Liburan musim panas sudah berakhir. Beberapa mahasiswa berlalu-lalang mencari kelas mereka atau hanya sekadar bersenda gurau, berkumpul, dan mengitari kawasan lingkungan Universitas untuk melihat keindahan arsitektur bangunan Harvard. Tahun ini umur Amelyce sudah menginjak sembilan belas tahun. Menjadi mahasiswi tahun kedua di Harvard bukan hal yang bisa dibuat bermain dan bersantai lagi. Sebelumnya tak pernah gadis itu bayangkan jika dia bisa menjadi salah satu mahasiswa Harvard, yang menempati posisi universitas terbaik di dunia dan tentunya sangat bergengsi. Amelyce memilih masuk jurusan seni dan sains, awalnya dia sedikit ragu, tapi berhubung otaknya cerdas, jadi mudah baginya untuk berada di fakultas ini dan mendapatkan beasiswa. Amelyce menopang dagu dengan kepalan tangan, jarinya asik mengetuk-ngetuk meja pelan. Pikirannya masih berkelana pada kejadia

  • PRESENCE & TIME   04. Who is He?

    "Apa maksudmu, hah!" William membentak, dia berdiri di depan Amelyce layaknya pelindung. "Menyingkir dari hadapannya!" jawab pria itu dingin penuh penekanan. "Pengecut! Lewati aku dulu sia—!" Ucapan William terpotong. William terpental cukup jauh, jatuh tersungkur di atas lantai, sebelum itu punggungnya lebih dulu terbentur meja panjang. Sedangkan yang lain hanya bisa diam membisu tak berani melerai takut terkena imbasnya juga. Amelyce langsung bersimpuh di dekat William, sudut bibir pria itu terluka. Dia meringis menyentuh pundaknya, Amelyce yakin bagian itu sangat parah. "Are you okay, Will?" Gadis itu bertanya lirih mencoba membantu William berdiri. Namun, pria itu menggeleng pelan seolah memberi tahu bahwa dia baik-baik saja dan itu membuat Amelyce semakin merasa bersalah. Dia melirik adiknya, Peter. Tubuh Peter bergetar

Bab terbaru

  • PRESENCE & TIME   19. Pertanyaan

    Rembulan tampak indah menghiasi langit malam dengan banyaknya bintang yang ikut serta menemaninya. Angin malam terus berhembus menerbangkan beberapa helai daun kering dan juga layu. Sayup-sayup suara hewan nokturnal mulai terdengar, memecah keheningan malam.Keduanya, tidak pulang dahulu dan memilih mendudukan diri di bangku taman bermain--tidak, sebenarnya hanya gadis itu yang duduk. Arshaka--dia berdiri tak jauh dari sana memandangi bulan yang mulai terbelah tertutup awan.Kantung mata Amelyce sudah sembap oleh air mata. Menangis hampir satu jam penuh membuatnya malu tak tahu menaruh wajah dimana, dia ... menangis di depan Arshaka. Rasanya dia ingin menghilang saat ini juga.Baru saja dipikirkan, pria itu ternyata sudah berdiri di depan Amelyce dengan ekspresi sulit ditebak.Gadis itu menetralkan raut keterkejutannya. Dia meneguk ludah kasar, dan berucap parau, "Terimakasih."A

  • PRESENCE & TIME   18. Rapuh

    "Apa yang kau lakukan disini!?" suara wanita itu terdengar sarkas dan menusuk. Namanya–Rose. Dia hampir terkena serangan jantung melihat gadis itu ada di rumahnya, minuman dan camilan di nampan jatuh begitu saja ke lantai meninggalkan hamburan serpihan gelas kaca.Kedua anaknya yang Amelyce tahu bernama Joy dan Jay juga berlari melihat kejadian itu tanpa berani mendekat, hanya mengintip dibalik tirai.Amelyce mencoba tersenyum walau hatinya sudah sangat sakit di dalam sana."Ibu....""Kau siapa!? Beraninya memanggilku dengan sebutan itu!"Tatapan Amelyce hancur, tak menyangka wanita yang sudah mengandungnya berbicara kasar padanya dan terlebih menolak dia menyebut Ibu.Andai memang bukan, mengapa Rose harus semarah itu?"Aku sudah lama mencarimu, Ibu," jawab gadis itu bergetar."Pergi! Kau salah orang, aku

  • PRESENCE & TIME   17. Penantian

    Arshaka hanya bisa mengeratkan pegangan pada gagang pedang di sampingnya, dia mencengkramnya kuat dengan kilatan mata kebencian. Apa yang pria itu lihat sungguh membuat dia geram ingin menghabisi wanita tua yang sedang berbicara pada Amelyce saat itu juga. "Ini tak bisa dibiarkan!" desisnya. Baru saja ingin masuk ke dalam gudang, langkah Arshaka terhenti di ambang pintu setelah mendengar kalimat yang terlontar dari wanita tua itu. "Apa kau seyakin itu untuk mempercayainya? Dia hanya menipumu." "Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan!" "Hahaha ... dia hanya memanfaatkanmu." "Sebenarnya siapa kau!?" "Kau tak perlu tahu siapa diriku, aku hanya memperingatimu." Ada perasaan menohok ke hatinya ketika mendengar kalimat itu. Arshaka ingin segera memberi pelajaran pada wanita tua itu, tapi kakinya enggan untu

  • PRESENCE & TIME   16. Sebuah Fakta

    Setelah kelas di Harvard selesai Amelyce duduk di bangku taman seorang diri, menikmati desiran angin di bawah pohon. Kotak itu. Ada hal yang ingin dia cari tahu di gudang. Masalahnya bibi Jessica selalu melarang dia untuk pergi ke sana, jika gadis itu bertanya kenapa, jawabannya sederhana.Kotor, berdebu, dan bau.Ya, masuk di akal. Karena tempat itu memang jauh dari rumah bibi Jessica dan tak pernah dibersihkan. Amelyce menyusun rencana ingin mendatangi tempat itu, namun masih memikirkan waktu yang tepat."Elyce!"Dia terkejut sampai buku di tangannya terjatuh, siapa lagi pelakunya jika bukan William. Pria itu selalu saja mencari perkara."Kau sedang melamunkan apa, El?""Dasar tak tahu diri! Bisakah kau tak usah mengejutkanku setiap kali datang?" rutuknya."I'm sorry, El." William menangkupkan kedua tangannya di depan wajah, matanya ber

  • PRESENCE & TIME   15. Perihal Semalam

    "Bukan itu, semalam ... aku melihat di dada-" Bugh! "Akhhh...." Arshaka meringis saat sudut bibirnya terluka mengeluarkan darah segar. Dia mendorong Amelyce menyudutkan gadis itu ke dinding. Tatapan kelam dan tajamnya menusuk seperti sebilah pedang yang siap menancap di kedua bola mata Amelyce. "Memang apa yang kau pikirkan perihal semalam!" desis Arshaka tak terima. Nada serak dan menuntut penjelasan, membuktikan amarahnya kali ini terpancing. "Jawab!" desaknya lagi. "Kau berkata semalam lalu di dada. Sekarang apa maksud dari ucapanmu!?" tantang gadis itu kembali. Dia menatap sengit netra perak milik Arshaka sesekali menggertakkan giginya geram. "Aku belum selesai bicara, kau sudah memotong kalimatku!" "Lalu?" "Haish!" Tanpa di duga Arshaka langsung merobek satu kancing baju bag

  • PRESENCE & TIME   14. Sebuah Kotak

    Lilitan kain kasa terhenti saat mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Arshaka. Amelyce tak ingin menatap mata pria itu, yang dia bisa hanya menunduk dengan mata mulai memerah, seketika hatinya berdenyut nyeri, jika mendengar hal sensitif itu. "Hei? Apakah aku salah berbicara?" Amelyce tersenyum getir, dia menarik nafas dalam lalu melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda tanpa memedulikan pertanyaan Arshaka padanya. "Sudah selesai, habiskanlah makananmu. Aku pergi dulu," pamit gadis itu tanpa melihat wajah Arshaka dan langsung pergi meninggalkannya. Amelyce turun ke bawah dan menemui William, dia merasa kasian dengan pria itu karena sudah menunggunya sangat lama. "Hampir saja aku lumutan karena menunggu tuan putri," celetuk William disertai cengiran lebar. "Huh, kau menyebalkan, Will." Gadis itu memukul pelan bahu pria itu dan ikut du

  • PRESENCE & TIME   13. Semalam, Ya?

    Hangat dan nyaman. Itulah yang Amelyce rasakan saat ini, dia enggan untuk membuka mata apalagi sekadar bergerak dari posisinya sekarang. Ada sesuatu yang hangat membuatnya merasa aman. "Elyce, apa kau sudah bangun?" Bahkan suara bibi Jessica terdengar sampai ke alam mimpi gadis itu, Amelyce bergerak pelan dan menguap lebar dengan mata masih terpejam. "Amelyce! Apa kau ada di dalam, Sayang?" suara Bibi Jessica terdengar khawatir dan mulai menggedor pintu. 'Tunggu dulu! Itu memang benar suara Aunty memanggilku dari luar.' Mata Amelyce terbuka cepat dan–– Deg! "Mengapa aku tidur di sebelahmu!" Gadis itu terpekik langsung mendorong kuat tubuh Arshaka agar menjauh, tapi nihil, pergerakannya tertahan oleh pria itu. Dia memegang kedua tangan Amelyce erat tanpa membuka matanya. Dia berbisik pelan, "Bukankah ak

  • PRESENCE & TIME   12. The Night (2)

    "Bilang saja kau peduli padaku, 'kan?" jawab Amelyce percaya diri. Arshaka terkekeh garing, melirik sinis gadis itu dari sudut matanya. "Harus ku katakan berapa kali, aku sama sekali tak peduli denganmu." "Entahlah, aku merasa ada banyak rahasia dalam dirimu yang tak ku ketahui." "Ehmm...." "Aku heran, setiap hujan dan ada petir tubuhku selalu bereaksi? Apa ini ada hubungannya dengan––" "Lebih baik kau tak usah membicarakan hal itu!" Nada bicara Arshaka berubah ketus dan dingin. Dia seolah menghindari kalimat itu. Memang sebenarnya ada apa? "Kenapa?" "Telingamu sudah tak berfungsi lagi, ya?" "Aku hanya bertanya, apakah salah?" "Sudahlah, berbicara pada gadis bodoh sepertimu tak akan selesai, ada hal yang jauh lebih penting dari menjawab pertanyaanmu itu!" "

  • PRESENCE & TIME   11. The Night (1)

    Bunga cosmos terhampar begitu luas sejauh mata memandang. Desiran angin perlahan menyapu beberapa helai daun kering yang mulai berguguran. Pria dengan surai perak itu sedang menatap seorang gadis di sampingnya begitu lembut dan tulus, lalu tangannya terulur merapikan beberapa helai rambut gadis itu dan menyelipkan ke belakang telinga. "Bolehkah aku egois untuk memilikimu seutuhnya?" Gadis itu tersenyum lebar sampai matanya menyipit. Dia mengusap pipi pria di depannya lembut. "Tentu saja, Yang Mulia Pangeran," jawabnya yakin. Dengan gerakan cepat pria yang rupanya seorang pangeran itu langsung memeluk erat gadis di hadapannya. Semenit kemudian, gadis dengan gaun biru langit selutut itu melepas perlahan pelukan mereka. Hal yang paling mengejutkan, tanpa aba-aba, dia secepat kilat mengecup bibir pria di depannya, dan berkata, "Aku mencintaimu, Arshak

DMCA.com Protection Status