Share

02. Nightmare

Penulis: Amaleoo_
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Gadis itu terbangun dengan nafas tersengal serta peluh keringat yang mengalir dipelipis serta dahinya. Saraf-saraf otak Amelyce belum sepenuhnya berfungsi.

"Apa itu tadi? Mimpi?" lirih Amelyce.

Itu terasa nyata, terakhir kali dia bermimpi dua minggu yang lalu. Rangkaian memori alur itu selalu tersambung bagaikan cerita yang Amelyce buat. Tapi, dia tak merasa ada bagian itu yang diketiknya di cerita Dark Side.

Amelyce mengikat rambut asal lalu berjalan kearah meja, jam sudah menunjukkan tengah malam. Hampir saja dia kelupaan dengan rencananya tadi pagi. Gadis itu membaca ulang dari awal, bacaan itu terus bergulir sampai bagian akhir.

Sebenarnya Amelyce kurang yakin dengan akhir cerita yang dibuatnya, selama menulis cerita, hampir setiap malam gadis itu bermimpi hal aneh di luar akal sehat, awalnya dia mencoba tak peduli, tapi entah mengapa alur mimpi itu semakin hari seperti tersambung bagaikan film.

Malam ini, akhirnya Amelyce telah menyelesaikan ceritanya yang berjudul Dark Side.

"Yey, akhirnya selesai juga. Saatnya tidur," ungkapnya senang sambil menguap sesekali. Rumah ini sangat sepi, tak ada bibi dan paman rasanya hampa. Biasanya bibi Jessica akan membawakan segelas susu ke kamar, jika Amelyce bergadang sampai larut malam.

Gadis itu sebenarnya sedikit ngeri membaca akhir ceritanya. Tak biasanya dia membuat akhir yang tragis. Karena Amelyce pikir jika memberi ending yang bahagia sangat tak memungkinkan, jatuhnya malah aneh.

Dlep!

Tiba-tiba listrik padam, tak ada angin maupun hujan. Amelyce rasa bibi Jessica tak mungkin lupa membayar tagihan listrik bulan ini. Walau dia pemberani, namun sama saja sedikit takut jika sewaktu-waktu ada penjahat yang masuk kerumahnya.

Tok.

Tok..tok...

Tuk..

Siapa lagi yang mengetuk tengah malam begini, mana suara itu dari arah pintu belakang. Karena rasa penasaran Amelyce sudah sangat melekat, dia pikir tak ada salahnya untuk memeriksa suara ketukan itu berasal. Semakin lama suara itu terdengar kencang seiring degup jantungnya yang berdetak tak karuan. Amelyce memberanikan diri berjalan ke arah dapur, ditangannya sudah ada tongkat baseball. Jika ada orang iseng yang mencoba menakuti gadis itu, awas saja, dia tak segan akan memukul badan orang itu sampai patah tulang.

"Lihat saja, akan ku keluarkan tenaga dalamku!" Satu tangan Amelyce sudah memegang handle pintu dengan kayu baseball terangkat siap siaga. Dia membuka perlahan. Suara deritan pintu itu semakin membuat suasana terasa horror. Amelyce bahkan sampai meneguk saliva kasar.

Pintu terbuka, dan ...

Seketika nafasnya tercekat di tenggorokan, aliran darah Amelyce seolah terhenti, matanya melotot tak percaya apa yang dilihat dia saat ini.

Sosok pria yang hampir mirip seperti karakter di cerita miliknya!

"Si ... siapa kau?"

"Seseorang yang akan menjemput kematianmu lebih cepat!" sahutnya datar. Aura disekitarnya terasa menusuk.

Deg!

Tubuh Amelyce terasa kaku, apa ini nyata? Sosok yang berdiri di luar teras belakang rumah mengapa seperti salah satu tokoh di dalam ceritanya. Tongkat baseball sudah terjatuh di lantai sejak tadi, dia bahkan mengerjapkan mata berulang kali agar tersadar dari halusinasi yang dibuatnya.

"Aku harap ini hanya mimpi," batin Amelyce menduga.

Desiran angin dingin berhembus menerbangkan beberapa helai rambut pria di depan Amelyce, dapat dia rasakan ketegangan tercipta dan aura gelap menguar disekitarnya. Dari cahaya bulan purnama dia dapat melihat kedua bola mata pria itu bersinar terang. Tak ada senyum, pandangannya lurus menatap Amelyce seolah ingin mengulitinya hidup-hidup.

Amelyce mencubit kuat lengannya, "Akhh ... Ini nyata!" gumamnya. Karena cubitannya barusan terasa sakit.

Dengan cepat Amelyce berbalik dan menutup pintu, namun belum sampai tertutup sempurna, pintunya sudah ditahan dari luar, sekuat apapun tenaganya berusaha mendorong, tapi tenaga lawan gadis itu lebih kuat. 

Selang berapa menit kemudian, hawa dingin seketika berhembus, bulan nampak tertutup. Suara hewan nokturnal seolah lenyap menyisakan desiran angin menyapu beberapa dedaunan kering.

Bruk

"Akhhh." Amelyce meringis saat tubuhnya terhempas ke dinding sekitar satu meter, saat mendongak pintu belakang sudah terbuka lebar. Diisana, pria itu berdiri seperti patung di ambang pintu. Gadis itu tak menyangka kekuatannya jauh lebih besar.

Rintikan hujan mulai turun, semakin lama bertambah deras dan pria asing itu masih betah berada diposisinya. Dia menyeringai tipis dan itu terlihat ... mengerikan.

"Arghhhh...," 

Petir menyambar pohon belakang dekat sumur, Amelyce berteriak kesakitan dengan kedua mata terpejam serta telapak tangan menutupi kedua telinga. Sebelumnya tak pernah dia rasakan sakit ini ketika hujan turun, telinganya berdengung. Dada gadis itu seketika sakit sampai berulang kali dia memukulnya berupaya menghilangkan rasa sesak.

"Akhh ... sa ... sakit."

"Siapa pun ... tolong a ... ku."

"Sstttt tenanglah." Suara itu menggema ditelinga Amelyce. Saat membuka mata yang dia lihat pertama kali yaitu sosok pria di sana tadi mengulurkan tangannya tepat di depan wajah, matanya bersinar di kegelapan malam.

"Sakit?"

Amelyce mengangguk sebagai jawaban. Tangannya masih setia terulur, dia ragu untuk menggapai. Apa ini jebakan? Siapa dia sebenarnya, apa dia memang karakter yang keluar dari cerita, oh itu tak masuk akal. Tapi mungkin saja iya? Amelyce merasa otaknya sudah tak berfungsi lagi akibat cerita yang dibacanya tadi. Anehnya rasa sakit itu sudah menghilang, padahal hujan masih deras di luar sana.

"Ck, gadis lemah!" Dia berdesis sembari menarik uluran tangannya dan menepuk-nepuk keras seolah habis memegang debu.

Apa katanya tadi? Amelyce tak terima dirinya disebut gadis lemah. Dia tak tahu saja seberapa sakitnya tadi, rasanya mirip seperti diambil jiwa secara paksa.

Amelyce berdiri, menatap dia sengit, dan menyahut, "Aku tak butuh bantuanmu! Sekarang, keluar, dari, rumahku!" Gadis itu menekankan kalimat itu agar dia segera pergi dari sini.

"Hmm ... kau yakin? Akan kupastikan setelah ini kau akan mencariku," jawabnya dingin.

"Kau hanya orang asing yang seenaknya main masuk ke rumah orang tanpa izin! Untuk apa aku mencarimu!"

Dia berbalik membelakangi Amelyce dan berdesis. "Sekujur tubuh itu akan sakit tak mampu menahan, kecuali—" Dia menggantungkan kalimatnya. Setelah itu dia tertawa keras. Apa yang lucu?

"Kecuali?"

"Aku harap kau tidak memohon padaku," lanjutnya ketus.

Lalu dia melangkah keluar semakin jauh hilang ditelan kegelapan yang menyisakan rintikan hujan. Tadi, Amelyce tak bisa melihat wajahnya secara jelas, hanya pantulan cahaya rembulan yang sedikit menerangi. Tapi entah firasatnya saja, dia merasa pria itu mirip seperti karakter di dalam cerita Dark Side.

Tak ingin memikirkan lebih jauh, Amelyce segera menutup pintu dan menguncinya. Pria itu kira, dirinya penting sampai Amelyce akan mencarinya. Lihat saja, dia tak akan memohon apapun kepada sosok misterius itu.

"Sejauh ini hidupku baik-baik saja tanpanya, memang dia Tuhan yang berhak mengaturku! Cih!" dengusnya.

Saat sudah sampai di ambang pintu kamar, Amelyce termangu mencengkram kuat sisi baju tidurnya. Disana, di atas meja ada sebuah cahaya merah darah menguar membentuk akar tanaman mirip seperti petir, tak berselang lama kemudian, pudar menyisakan setitik cahaya yang melebur perlahan dikegelapan.

Bab terkait

  • PRESENCE & TIME   03. The Beginning

    Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat. Liburan musim panas sudah berakhir. Beberapa mahasiswa berlalu-lalang mencari kelas mereka atau hanya sekadar bersenda gurau, berkumpul, dan mengitari kawasan lingkungan Universitas untuk melihat keindahan arsitektur bangunan Harvard. Tahun ini umur Amelyce sudah menginjak sembilan belas tahun. Menjadi mahasiswi tahun kedua di Harvard bukan hal yang bisa dibuat bermain dan bersantai lagi. Sebelumnya tak pernah gadis itu bayangkan jika dia bisa menjadi salah satu mahasiswa Harvard, yang menempati posisi universitas terbaik di dunia dan tentunya sangat bergengsi. Amelyce memilih masuk jurusan seni dan sains, awalnya dia sedikit ragu, tapi berhubung otaknya cerdas, jadi mudah baginya untuk berada di fakultas ini dan mendapatkan beasiswa. Amelyce menopang dagu dengan kepalan tangan, jarinya asik mengetuk-ngetuk meja pelan. Pikirannya masih berkelana pada kejadia

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • PRESENCE & TIME   04. Who is He?

    "Apa maksudmu, hah!" William membentak, dia berdiri di depan Amelyce layaknya pelindung. "Menyingkir dari hadapannya!" jawab pria itu dingin penuh penekanan. "Pengecut! Lewati aku dulu sia—!" Ucapan William terpotong. William terpental cukup jauh, jatuh tersungkur di atas lantai, sebelum itu punggungnya lebih dulu terbentur meja panjang. Sedangkan yang lain hanya bisa diam membisu tak berani melerai takut terkena imbasnya juga. Amelyce langsung bersimpuh di dekat William, sudut bibir pria itu terluka. Dia meringis menyentuh pundaknya, Amelyce yakin bagian itu sangat parah. "Are you okay, Will?" Gadis itu bertanya lirih mencoba membantu William berdiri. Namun, pria itu menggeleng pelan seolah memberi tahu bahwa dia baik-baik saja dan itu membuat Amelyce semakin merasa bersalah. Dia melirik adiknya, Peter. Tubuh Peter bergetar

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • PRESENCE & TIME   05. Cahaya itu?

    Angin sore berhembus, langit sudah berubah jingga. Kawanan burung bertebrangan menuju sarangnya. Dari atas gedung Amelyce dapat mendengar lalu lalang kendaraan lewat. Dia duduk bersandar di kursi yang masih layak dipakai dekat tumpukan kursi dan meja tak terpakai lainnya. "Ini ... benar-benar tak masuk akal. Apa maksudnya...." "Membutuhkanku?" lirihnya. Amelyce merogoh saku untuk mengambil permen batangan yang sempat dia beli waktu di kantin tadi lalu mengemutnya. Pikiran gadis itu masih tertuju pada kejadian barusan. Dia? Sebenarnya siapa? Wajah itu mengapa mirip seperti ciri-ciri salah satu karakter di cerita Dark Side. "Ah sepertinya otak ini mengalami depresi serius akibat dipaksa belajar terus menerus." Amelyce berucap meyakinkan bahwa itu tak pernah terjadi. Di zaman modern begini hal di luar akal sehat tentunya tak mungkin terjadi. Dia melirik arloji yang melingk

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • PRESENCE & TIME   06. Dia yang Datang

    Semuanya terasa gelap, hening, dan sepi. Amelyce merasa dirinya sudah mati tenggelam ke dasar danau. Tubuhnya terasa ringan dan kaku bersamaan. Di sana, ada sebuah lorong kecil mengarah ke cahaya putih. Sejenak gadis itu terdiam menatap kosong ke arah sana, apakah dia benar sudah tak bernyawa lagi. Tanpa sadar kakinya melangkah mendekati lorong menuju cahaya yang bersinar terang. Perlahan tapi pasti, Amelyce sudah hampir sampai, senyumnya mengembang. Hingga ada suara asing memanggil nama gadis itu berulang kali dari arah belakang. Awalnya tak peduli. Namun, suara itu semakin dekat dan menyuruhnya untuk berhenti. Dia berbalik. Orang itu berjalan cepat ke arah Amelyce, mengguncang pelan bahu gadis itu, dia bisa melihat sorot mata orang itu nampak khawatir, cemas, dan takut. Amelyce hanya bisa meresponnya dengan kedipan mata tanpa berucap sepatah kata apapun. "Kumohon bertahanlah, sebentar saja," ucapnya.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • PRESENCE & TIME   07. Sisi Lain Darinya

    Di sepanjang koridor kampus Amelyce terus memikirkan kejadian semalam. Arshaka membawanya sampai ke rumah, menyelamatkan dia dari dalam danau, dan menggendongnya. Padahal dia tahu, pria itu ingin membunuhnya waktu lalu dari atas gedung. Tapi, mengapa dia tiba-tiba berbaik hati? "Elyce!" Rangkulan tangan seseorang tiba-tiba berada di pundak gadis itu, rupanya si pelaku adalah William. Pria itu tersenyum manis sambil mencubit pipi Amelyce gemas. "Syukurlah kau masih hidup." "Kau baik-baik saja, 'kan? Tidak ada lecet sedikitpun?" tanya William cemas. Sepertinya dia masih mengingat jelas tragedi waktu lalu di kantin. "Aku baik-baik saja, Will. Apa punggungmu sudah baikan? Maaf karena tidak bisa menemanimu." "Untunglah orang brengsek itu tidak terlihat lagi! Jika iya akan kupastikan seluruh badannya remuk!" Amelyce tersenyu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • PRESENCE & TIME   08. Siapa Namamu?

    "Terserah!" Amelyce menutup loker keras dan melenggang pergi dengan segala kekesalan di hati. Baru pagi saja darahnya terasa sudah naik ke ubun-ubun. Terlebih lagi lirikan tajam dan sinis dia dapatkan di sepanjang koridor, rasanya punggung Amelyce panas mendapat tatapan dari mereka. "Lihatlah! Gadis jalang itu! Bahkan dia sudah menggoda pria tampan itu, cih," desis salah satu dari mereka. "Ya, dia memang sangat ahli soal pria!" "Gadis tak tahu diri!" Telinga Amelyce terasa panas mendengar mulut mereka yang suka men-judge oranglain tanpa tau fakta sebenarnya. Dia menghentikan langkah, menatap dingin pada dua gadis yang barusan mengatainya. Mereka ... sudah keliatan cemas. "A ... apa, memang be ... nar, 'kan!" tantang dari salah satu mereka. Dari nadanya saja sudah tersendat. Amelyce menyilangkan tangannya di depan dada sambil

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • PRESENCE & TIME   09. Garis Takdir?

    Sudah hampir seminggu semenjak Amelyce bertemu dengan Arshaka dan dia menyebutkan namanya, gadis itu tak pernah lagi melihat wujudnya. Beberapa hari lalu Amelyce sempat bertanya pada mahasiswa yang melihat pria itu juga waktu di kampus dan anehnya mereka menjawab tidak tahu sama sekali. "Arshaka ... apa ini nyata? Benarkah dia memang ke dunia ini? Tapi, bagaimana bisa itu terjadi?" gumam Amelyce. Kepalanya sakit jika terus memikirkan hal di luar nalar itu. Cerita Dark Side memang sudah selesai. Namun, rasa khawatir, cemas, dan takut terus menghantui Amelyce. Buktinya saja dua hari yang lalu dia melihat lagi sebuah cahaya merah berbentuk akar menyerupai petir berada di halaman belakang rumahnya. Dia membaca ulang alur seluruh cerita. Entah mengapa, hatinya merasakan sedikit sesak saat tahu, di cerita itu pria yang beberapa hari ini selalu terlintas di otaknya adalah pangeran Arshaka akan jatuh cinta pada seorang put

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • PRESENCE & TIME   10. Hurt

    Amelyce bergegas turun dan memastikan apakah benar, dia pria itu. Matanya membulat sempurna melihat seseorang yang terus hinggap di pikiran Amelyce muncul dengan keadaan tidak baik-baik saja. Dia langsung berlari ke arah Arshaka dengan perasaan cemas. "Arshaka! Apa yang terjadi padamu?" tanya Amelyce, terdengar khawatir. Bukannya menjawab, Arshaka terjatuh tepat di bawah kaki gadis itu. Tangannya terus memegang perut seolah menutupi sesuatu. Saat Amelyce sentuh, dia terkejut, dari sana darah merah pekat merembes menodai seluruh baju pria itu. Arshaka mengerang tertahan, sebenarnya apa yang terjadi padanya. "Aku tahu keadaanmu sekarang sedang tak baik." "Tapi, bisakah kau berjalan sedikit lagi? Aku akan membawamu ke rumahku. Udara disini sangat dingin, itu akan membuatmu semakin jatuh sakit," lanjutnya. "Sshhhhh––" ringisnya tertahan, mata Arshaka terpejam erat dan selur

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • PRESENCE & TIME   19. Pertanyaan

    Rembulan tampak indah menghiasi langit malam dengan banyaknya bintang yang ikut serta menemaninya. Angin malam terus berhembus menerbangkan beberapa helai daun kering dan juga layu. Sayup-sayup suara hewan nokturnal mulai terdengar, memecah keheningan malam.Keduanya, tidak pulang dahulu dan memilih mendudukan diri di bangku taman bermain--tidak, sebenarnya hanya gadis itu yang duduk. Arshaka--dia berdiri tak jauh dari sana memandangi bulan yang mulai terbelah tertutup awan.Kantung mata Amelyce sudah sembap oleh air mata. Menangis hampir satu jam penuh membuatnya malu tak tahu menaruh wajah dimana, dia ... menangis di depan Arshaka. Rasanya dia ingin menghilang saat ini juga.Baru saja dipikirkan, pria itu ternyata sudah berdiri di depan Amelyce dengan ekspresi sulit ditebak.Gadis itu menetralkan raut keterkejutannya. Dia meneguk ludah kasar, dan berucap parau, "Terimakasih."A

  • PRESENCE & TIME   18. Rapuh

    "Apa yang kau lakukan disini!?" suara wanita itu terdengar sarkas dan menusuk. Namanya–Rose. Dia hampir terkena serangan jantung melihat gadis itu ada di rumahnya, minuman dan camilan di nampan jatuh begitu saja ke lantai meninggalkan hamburan serpihan gelas kaca.Kedua anaknya yang Amelyce tahu bernama Joy dan Jay juga berlari melihat kejadian itu tanpa berani mendekat, hanya mengintip dibalik tirai.Amelyce mencoba tersenyum walau hatinya sudah sangat sakit di dalam sana."Ibu....""Kau siapa!? Beraninya memanggilku dengan sebutan itu!"Tatapan Amelyce hancur, tak menyangka wanita yang sudah mengandungnya berbicara kasar padanya dan terlebih menolak dia menyebut Ibu.Andai memang bukan, mengapa Rose harus semarah itu?"Aku sudah lama mencarimu, Ibu," jawab gadis itu bergetar."Pergi! Kau salah orang, aku

  • PRESENCE & TIME   17. Penantian

    Arshaka hanya bisa mengeratkan pegangan pada gagang pedang di sampingnya, dia mencengkramnya kuat dengan kilatan mata kebencian. Apa yang pria itu lihat sungguh membuat dia geram ingin menghabisi wanita tua yang sedang berbicara pada Amelyce saat itu juga. "Ini tak bisa dibiarkan!" desisnya. Baru saja ingin masuk ke dalam gudang, langkah Arshaka terhenti di ambang pintu setelah mendengar kalimat yang terlontar dari wanita tua itu. "Apa kau seyakin itu untuk mempercayainya? Dia hanya menipumu." "Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan!" "Hahaha ... dia hanya memanfaatkanmu." "Sebenarnya siapa kau!?" "Kau tak perlu tahu siapa diriku, aku hanya memperingatimu." Ada perasaan menohok ke hatinya ketika mendengar kalimat itu. Arshaka ingin segera memberi pelajaran pada wanita tua itu, tapi kakinya enggan untu

  • PRESENCE & TIME   16. Sebuah Fakta

    Setelah kelas di Harvard selesai Amelyce duduk di bangku taman seorang diri, menikmati desiran angin di bawah pohon. Kotak itu. Ada hal yang ingin dia cari tahu di gudang. Masalahnya bibi Jessica selalu melarang dia untuk pergi ke sana, jika gadis itu bertanya kenapa, jawabannya sederhana.Kotor, berdebu, dan bau.Ya, masuk di akal. Karena tempat itu memang jauh dari rumah bibi Jessica dan tak pernah dibersihkan. Amelyce menyusun rencana ingin mendatangi tempat itu, namun masih memikirkan waktu yang tepat."Elyce!"Dia terkejut sampai buku di tangannya terjatuh, siapa lagi pelakunya jika bukan William. Pria itu selalu saja mencari perkara."Kau sedang melamunkan apa, El?""Dasar tak tahu diri! Bisakah kau tak usah mengejutkanku setiap kali datang?" rutuknya."I'm sorry, El." William menangkupkan kedua tangannya di depan wajah, matanya ber

  • PRESENCE & TIME   15. Perihal Semalam

    "Bukan itu, semalam ... aku melihat di dada-" Bugh! "Akhhh...." Arshaka meringis saat sudut bibirnya terluka mengeluarkan darah segar. Dia mendorong Amelyce menyudutkan gadis itu ke dinding. Tatapan kelam dan tajamnya menusuk seperti sebilah pedang yang siap menancap di kedua bola mata Amelyce. "Memang apa yang kau pikirkan perihal semalam!" desis Arshaka tak terima. Nada serak dan menuntut penjelasan, membuktikan amarahnya kali ini terpancing. "Jawab!" desaknya lagi. "Kau berkata semalam lalu di dada. Sekarang apa maksud dari ucapanmu!?" tantang gadis itu kembali. Dia menatap sengit netra perak milik Arshaka sesekali menggertakkan giginya geram. "Aku belum selesai bicara, kau sudah memotong kalimatku!" "Lalu?" "Haish!" Tanpa di duga Arshaka langsung merobek satu kancing baju bag

  • PRESENCE & TIME   14. Sebuah Kotak

    Lilitan kain kasa terhenti saat mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Arshaka. Amelyce tak ingin menatap mata pria itu, yang dia bisa hanya menunduk dengan mata mulai memerah, seketika hatinya berdenyut nyeri, jika mendengar hal sensitif itu. "Hei? Apakah aku salah berbicara?" Amelyce tersenyum getir, dia menarik nafas dalam lalu melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda tanpa memedulikan pertanyaan Arshaka padanya. "Sudah selesai, habiskanlah makananmu. Aku pergi dulu," pamit gadis itu tanpa melihat wajah Arshaka dan langsung pergi meninggalkannya. Amelyce turun ke bawah dan menemui William, dia merasa kasian dengan pria itu karena sudah menunggunya sangat lama. "Hampir saja aku lumutan karena menunggu tuan putri," celetuk William disertai cengiran lebar. "Huh, kau menyebalkan, Will." Gadis itu memukul pelan bahu pria itu dan ikut du

  • PRESENCE & TIME   13. Semalam, Ya?

    Hangat dan nyaman. Itulah yang Amelyce rasakan saat ini, dia enggan untuk membuka mata apalagi sekadar bergerak dari posisinya sekarang. Ada sesuatu yang hangat membuatnya merasa aman. "Elyce, apa kau sudah bangun?" Bahkan suara bibi Jessica terdengar sampai ke alam mimpi gadis itu, Amelyce bergerak pelan dan menguap lebar dengan mata masih terpejam. "Amelyce! Apa kau ada di dalam, Sayang?" suara Bibi Jessica terdengar khawatir dan mulai menggedor pintu. 'Tunggu dulu! Itu memang benar suara Aunty memanggilku dari luar.' Mata Amelyce terbuka cepat dan–– Deg! "Mengapa aku tidur di sebelahmu!" Gadis itu terpekik langsung mendorong kuat tubuh Arshaka agar menjauh, tapi nihil, pergerakannya tertahan oleh pria itu. Dia memegang kedua tangan Amelyce erat tanpa membuka matanya. Dia berbisik pelan, "Bukankah ak

  • PRESENCE & TIME   12. The Night (2)

    "Bilang saja kau peduli padaku, 'kan?" jawab Amelyce percaya diri. Arshaka terkekeh garing, melirik sinis gadis itu dari sudut matanya. "Harus ku katakan berapa kali, aku sama sekali tak peduli denganmu." "Entahlah, aku merasa ada banyak rahasia dalam dirimu yang tak ku ketahui." "Ehmm...." "Aku heran, setiap hujan dan ada petir tubuhku selalu bereaksi? Apa ini ada hubungannya dengan––" "Lebih baik kau tak usah membicarakan hal itu!" Nada bicara Arshaka berubah ketus dan dingin. Dia seolah menghindari kalimat itu. Memang sebenarnya ada apa? "Kenapa?" "Telingamu sudah tak berfungsi lagi, ya?" "Aku hanya bertanya, apakah salah?" "Sudahlah, berbicara pada gadis bodoh sepertimu tak akan selesai, ada hal yang jauh lebih penting dari menjawab pertanyaanmu itu!" "

  • PRESENCE & TIME   11. The Night (1)

    Bunga cosmos terhampar begitu luas sejauh mata memandang. Desiran angin perlahan menyapu beberapa helai daun kering yang mulai berguguran. Pria dengan surai perak itu sedang menatap seorang gadis di sampingnya begitu lembut dan tulus, lalu tangannya terulur merapikan beberapa helai rambut gadis itu dan menyelipkan ke belakang telinga. "Bolehkah aku egois untuk memilikimu seutuhnya?" Gadis itu tersenyum lebar sampai matanya menyipit. Dia mengusap pipi pria di depannya lembut. "Tentu saja, Yang Mulia Pangeran," jawabnya yakin. Dengan gerakan cepat pria yang rupanya seorang pangeran itu langsung memeluk erat gadis di hadapannya. Semenit kemudian, gadis dengan gaun biru langit selutut itu melepas perlahan pelukan mereka. Hal yang paling mengejutkan, tanpa aba-aba, dia secepat kilat mengecup bibir pria di depannya, dan berkata, "Aku mencintaimu, Arshak

DMCA.com Protection Status