Semuanya terasa gelap, hening, dan sepi. Amelyce merasa dirinya sudah mati tenggelam ke dasar danau. Tubuhnya terasa ringan dan kaku bersamaan. Di sana, ada sebuah lorong kecil mengarah ke cahaya putih. Sejenak gadis itu terdiam menatap kosong ke arah sana, apakah dia benar sudah tak bernyawa lagi.
Tanpa sadar kakinya melangkah mendekati lorong menuju cahaya yang bersinar terang. Perlahan tapi pasti, Amelyce sudah hampir sampai, senyumnya mengembang. Hingga ada suara asing memanggil nama gadis itu berulang kali dari arah belakang.
Awalnya tak peduli. Namun, suara itu semakin dekat dan menyuruhnya untuk berhenti. Dia berbalik. Orang itu berjalan cepat ke arah Amelyce, mengguncang pelan bahu gadis itu, dia bisa melihat sorot mata orang itu nampak khawatir, cemas, dan takut. Amelyce hanya bisa meresponnya dengan kedipan mata tanpa berucap sepatah kata apapun.
"Kumohon bertahanlah, sebentar saja," ucapnya.
Dia ... seorang pria.
Amelyce sama sekali tidak bisa merespon ucapannya. Ingin membalas, namun, suaranya hilang. Bahkan sekedar lirihanpun dia tak bisa.
"Jika saja aku terlambat, mungkin kau sudah masuk ke dalam cahaya putih itu."
"Jadi, bertahanlah, Elyce. Aku akan membawamu keluar dari sini."
Uhuk....
Gadis itu membuka kelopak mata cepat dan terbatuk mengeluarkan banyak air, dadanya terasa sesak, saat menengok dia menegang sesaat, mata orang itu bersinar di kegelapan malam. Baju yang dia kenakan tampak kuno seperti zaman kerajaan.
Mengapa itu ... terlihat tak asing.
Pria itu berdeham canggung, kening Amelyce mengerut. Setelah dia merasa baik-baik saja, Amelyce ingin mengatakan sesuatu padanya. Namun, belum sempat mulutnya terbuka, pria itu sudah berucap mendahuluinya.
"Dasar ceroboh!" ucapnya ketus.
Hati Amelyce yang sebelumnya menghangat dan berniat mengucapkan terimakasih, tiba-tiba saja berubah kesal, tangan Amelyce mengepal di kedua sisi, menatapnya dengan sorot dingin. Tapi kembali lagi, jika dia memang yang membantu gadis itu dari kematian yang mungkin saja merenggut nyawanya beberapa saat lalu, sebaiknya dia menahan amarah.
"Ck, jika saja aku tak ada. Dapat kupastikan kau sudah mati mengenaskan," pungkasnya menatap Amelyce dengan tatapan yang sulit diartikan.
Gadis itu mengalihkan pandang kearah lain. "Oh, ya?" jawabnya mengejek.
"Huh, membayangkannya saja sudah membuatku mual. Pasti kau akan ditemukan dalam keadaan jelek, kotor, bau, dan mengembung!"
Amelyce mendengus kasar, mulutnya benar-benar tidak ada rem sama sekali. Bagaimana bisa dengan kondisinya seperti ini, dia masih sempat mengatai gadis itu.
"Lebih baik menurunkan ego daripada harus berdebat dengannya. Tunggu dulu, disini gelap, sebenarnya siapa dia? Mengapa suara itu terdengar tak asing? Apa mungkin?"
Amelyce menoleh cepat mengamati wajahnya, bersamaan dengan cahaya bulan menyinari yang sebelumnya tertutup awan mendung. Dia menahan nafas sesaat.
"Apa kau ingin membunuhku lagi kali ini!?" tangan gadis itu mencengkram kuat rerumputan, dia memang berhasil selamat beberapa menit lalu. Tapi, tidak menutup kemungkinan kali ini nyawanya juga terancam.
Dia berdiri lalu menatap bulan di atas sana, dapat Amelyce lihat dia menyeringai.
"Membunuhmu, ya?" jawabnya dengan nada serak disertai kekehan ringan.
Bulan kembali tertutup, hembusan angin malam terus menerpa kulit Amelyce yang terbuka, ditambah lagi seluruh pakaiannya basah. Entah mengapa, hawanya sangat tidak bersahabat. Gelap, dia bergidik saat tak lama mendengar suara lolongan serigala saling bersahutan satu sama lain.
"Apa kau tidak merasa takut? Entah mengapa aku merasa suara lolongan serigala itu seperti menyerukan ke arah kita," lirih Amelyce.
Pria itu terkekeh sembari menunjuk ke arah bulan yang kembali bersinar. Amelyce langsung mengikuti ke arah mana jarinya.
"Bulan purnama, serigala, pedang."
Dahi gadis itu mengerut dalam tak mengerti apa yang dia bicarakan.
"Dan terakhir ... bulan darah," lanjutnya.
Kali ini bukan lolongan serigala yang terdengar, melainkan suara beberapa langkah yang berlari menimbulkan suara berisik dari ranting patah dan dedaunan kering.
'Jangan takut, Elyce. Itu hanya halusinasi,' batinnya.
Ketegangan Amelyce mereda saat melihat dia masih ada disini berdiri di dekatnya. Dia memperhatikan wajah pria itu dari samping, firasatnya mengatakan dia mirip seperti salah satu karakter di cerita yang dia buat. Pakaian kuno pada zaman kerajaan membuat semua kemungkinan di benak Amelyce semakin kuat.
"Ck, berhentilah memandangku seperti itu!"
Amelyce meneguk ludah kasar. Jadi, sedari tadi dia menyadari gadis itu karena memperhatikannya. Amelyce menyapukan pandangan ketempat lain. Sial, dia baru saja tertangkap basah.
"Bodoh! Apa kau ingin tetap tinggal disini!" omelnya.
"Ohh ... jadi, kau menemaniku sejak tadi? Sudah kuduga."
"Hah!"
Karena posisi gadis itu masih duduk. Dia mendongak melihatnya lagi. "Mungkin saja kau peduli denganku," sahutnya tak santai.
"Apa kau pikir aku peduli denganmu!? Aku masih banyak urusan yang lebih penting daripada harus menemani gadis sepertimu, cih!" Dia berdecih. Namun, masih tetap berada di posisinya. Bertolak belakang dengan kalimatnya barusan.
Tanpa sadar Amelyce tersenyum tipis, entahlah, dia tak tahu biasanya dia selalu bersikap acuh dengan lawan jenis, tapi saat berbicara dengannya, Amelyce merasa sedikit berbeda.
"Pergilah, aku tak butuh bantuanmu," ucap gadis itu pelan. Ternyata dia benar-benar mengikuti ucapannya barusan.
"Huh. Tak apa, aku bisa berjalan sendiri."
Baru saja beberapa langkah, tiba-tiba Amelyce terjatuh, rupanya kaki kirinya terkilir. Sakit, perih. Mulut gadis itu tertutup rapat, tak ingin meringis apalagi merengek meminta pertolongan. Karena pasti pria itu akan mengatakan, dia adalah gadis lemah. Untung saja tepat di dekat telapak tangan Amelyce berpijak ada sebuah batang kayu kecil lumayan panjang, itu akan dia gunakan sebagai penyangga.
Dia berdiri, melihat sekitar, pria itu sudah menghilang, ditelan kegelapan malam. Sunyi, sepi, untungnya cahaya bulan kembali lagi menyinari membuat jalanan terlihat walau samar. Amelyce terkekeh, selalu seperti ini. Dimana pun berada, selalu sendiri. Kakinya terus melangkah, perlahan tapi pasti, sesekali dia mengigit bibir bawah kuat, berusaha menahan rasa sakit yang kian menjalar ke seluruh tubuh.
"Ck, menyusahkan!"
Langkah Amelyce terhenti, tatkala mendengar suara seseorang di belakangnya. Suara itu seperti pria tadi, apakah dia kembali lagi? Baru ingin memastikan, derap langkah terdengar semakin dekat dan melewatinya. Ah benar, pria tadi kembali lagi. Tapi untuk apa? Apa ada yang tertinggal. Amelyce sedikit terkejut saat dia berjongkok di bawah gadis itu sambil menepuk pundaknya dua kali.
Amelyce bingung harus merespon apa, mana mungkin dia menyuruh untuk naik kepundaknya. Apalagi menggendong gadis itu.
'Oh ayolah aku tak boleh terlalu percaya diri. Berfikirlah positif, dia menepuk pundak hanya karena lelah.' Amelyce membatin.
"Apa yang kau tunggu lagi, hah! Naiklah ke pundakku, sekarang!" ucapnya ketus terdengar memerintah.
"Hah?"
"Hah heh, apa kau bodoh!"
Tak ingin membuatnya lebih marah lagi, kali ini Amelyce mengikuti perintahnya. Lagi pun sekujur tubuh gadis itu juga sakit, kesempatan seperti ini tak boleh dia sia-sia 'kan?
Perlahan gadis itu mendekat dan naik ke pundaknya, tangan Amelyce melingkar di leher pria itu, ralat, sebenarnya dia hanya memegang baju bagian atasnya sedikit, dia hanya merasa canggung, baru kali ini jantung Amelyce berdetak tak karuan, bukan karena jatuh cinta, melainkan khawatir, sewaktu-waktu pria itu berniat membunuhnya lagi.
"Maaf sudah merepotka—"
Dengan secepat kilat, dia langsung berdiri tanpa aba-aba, refleks tangan Amelyce melingkar dilehernya, hampir saja dia terjatuh.
Keheningan terjadi diantara keduanya. Hanya suara jangkrik dan lolongan serigala yang sesekali terdengar. Tapi anehnya saat pria itu menoleh cepat ke asal suara, lolongan serigala seketika senyap beberapa menit. Apa dia bisa berbicara bahasa binatang? Atau memiliki kekuatan supranatural.
Amelyce menggeleng pelan menepis berbagai pertanyaan-pertanyaan konyol yang selalu muncul di otaknya saat berdekatan dengan pria itu.
Dia berdeham pelan sambil melihat lurus ke depan. "Mengapa kau kembali lagi dan menolongku?" Amelyce menghembuskan nafas lega, akhirnya pertanyaan paling membuat dia resah keluar juga.
"Aku rasa pertanyaanmu tak penting untuk dijawab."
Dia berhenti lalu menoleh bertepatan dengan kepala Amelyce yang sudah tersandar dibahunya, gadis itu menahan nafas saat jarak mereka begitu dekat, jika saja wajahnya maju dapat dipastikan hidung mereka akan bersentuhan.
Seolah tersihir, Amelyce terus menatap matanya lekat dan dalam. Iris peraknya yang terang menyoroti gadis itu tajam. Tentu saja, dia sama sekali tak takut.
"Mengapa kau membuatnya menderita?" lirihnya pelan, terdengar sendu dan putus asa.
Amelyce sontak tersadar dari dunianya sendiri, apa maksud dari ucapan itu?
"Aku tak mengerti apa yang kau katakan?" jawabnya lirih. Memang benar Amelyce tak paham maksudnya apa dan kepalanya masih tetap bersandar di bahu pria itu.
"Dia sudah cukup merasakan sakit, perlukah kau membuatnya tambah menderita lagi!" jawabnya. Entah mengapa disetiap kata, terdengar ada emosi yang dia tahan untuk keluar.
Amelyce yang mulai merasa jengkel tanpa tahu ke arah mana tuduhannya barusan, mulai mengepalkan tangan.
"Pasti kau tak pernah merasakan sakit, saat dirimu ditinggal sendiri," katanya lagi.
Gadis itu tersenyum miris.
'Kau tidak tahu kehidupanku seperti apa, tapi seenaknya mengataiku seperti itu. Jelas saja aku pernah merasa sendiri, benar-benar tak ada seorangpun disisiku yang mengerti keadaanku pada waktu itu maupun sekarang, aku hanya mempunyai bibi Jessica yang mau memamahiku, tapi ada satu hal siapapun tak tahu rahasiaku. Hanya aku seorang diri yang menyimpan rasa sakit itu. Aku tahu betul, apa arti kata sendiri.'
"Ya, kau benar. Aku tak pernah merasa sendiri. Semua orang memahamiku. Jadi, tidak ada kesempatan kesendirian itu akan datang dihidupku. Lagi pun, aku sangat bahagia, dari lahir sampai sekarang aku tak perlu merasa khawatir jika suatu hari diriku menderita, karena orang-orang selalu memperhatikanku."
Amelyce menjawab dengan nada riang. Berbeda jauh dari lubuk hatinya yang terdalam, rasa sesak dan menyakitkan saat mengatakan kalimat bohong itu. Jelas saja kebalikannya. Dari dulu Amelyce berprinsip. 'Teruslah jadi gadis kuat, jangan lemah. Karena itu hanya membuatmu terlihat menderita di depan oranglain.'
"Mungkin ... kau benar, tapi kalimatmu sungguh—"
Lagi, dia menggantungkan kalimat dan kembali berjalan.
"Sungguh?"
"Lupakan. Lihatlah rumahmu sudah hampir sampai."
Amelyce menghembuskan nafas pelan. Biarlah apa maunya, yang penting dirinya selamat dan pria itu berbaik hati membawa dia sampai rumah.
Di sepanjang koridor kampus Amelyce terus memikirkan kejadian semalam. Arshaka membawanya sampai ke rumah, menyelamatkan dia dari dalam danau, dan menggendongnya. Padahal dia tahu, pria itu ingin membunuhnya waktu lalu dari atas gedung. Tapi, mengapa dia tiba-tiba berbaik hati? "Elyce!" Rangkulan tangan seseorang tiba-tiba berada di pundak gadis itu, rupanya si pelaku adalah William. Pria itu tersenyum manis sambil mencubit pipi Amelyce gemas. "Syukurlah kau masih hidup." "Kau baik-baik saja, 'kan? Tidak ada lecet sedikitpun?" tanya William cemas. Sepertinya dia masih mengingat jelas tragedi waktu lalu di kantin. "Aku baik-baik saja, Will. Apa punggungmu sudah baikan? Maaf karena tidak bisa menemanimu." "Untunglah orang brengsek itu tidak terlihat lagi! Jika iya akan kupastikan seluruh badannya remuk!" Amelyce tersenyu
"Terserah!" Amelyce menutup loker keras dan melenggang pergi dengan segala kekesalan di hati. Baru pagi saja darahnya terasa sudah naik ke ubun-ubun. Terlebih lagi lirikan tajam dan sinis dia dapatkan di sepanjang koridor, rasanya punggung Amelyce panas mendapat tatapan dari mereka. "Lihatlah! Gadis jalang itu! Bahkan dia sudah menggoda pria tampan itu, cih," desis salah satu dari mereka. "Ya, dia memang sangat ahli soal pria!" "Gadis tak tahu diri!" Telinga Amelyce terasa panas mendengar mulut mereka yang suka men-judge oranglain tanpa tau fakta sebenarnya. Dia menghentikan langkah, menatap dingin pada dua gadis yang barusan mengatainya. Mereka ... sudah keliatan cemas. "A ... apa, memang be ... nar, 'kan!" tantang dari salah satu mereka. Dari nadanya saja sudah tersendat. Amelyce menyilangkan tangannya di depan dada sambil
Sudah hampir seminggu semenjak Amelyce bertemu dengan Arshaka dan dia menyebutkan namanya, gadis itu tak pernah lagi melihat wujudnya. Beberapa hari lalu Amelyce sempat bertanya pada mahasiswa yang melihat pria itu juga waktu di kampus dan anehnya mereka menjawab tidak tahu sama sekali. "Arshaka ... apa ini nyata? Benarkah dia memang ke dunia ini? Tapi, bagaimana bisa itu terjadi?" gumam Amelyce. Kepalanya sakit jika terus memikirkan hal di luar nalar itu. Cerita Dark Side memang sudah selesai. Namun, rasa khawatir, cemas, dan takut terus menghantui Amelyce. Buktinya saja dua hari yang lalu dia melihat lagi sebuah cahaya merah berbentuk akar menyerupai petir berada di halaman belakang rumahnya. Dia membaca ulang alur seluruh cerita. Entah mengapa, hatinya merasakan sedikit sesak saat tahu, di cerita itu pria yang beberapa hari ini selalu terlintas di otaknya adalah pangeran Arshaka akan jatuh cinta pada seorang put
Amelyce bergegas turun dan memastikan apakah benar, dia pria itu. Matanya membulat sempurna melihat seseorang yang terus hinggap di pikiran Amelyce muncul dengan keadaan tidak baik-baik saja. Dia langsung berlari ke arah Arshaka dengan perasaan cemas. "Arshaka! Apa yang terjadi padamu?" tanya Amelyce, terdengar khawatir. Bukannya menjawab, Arshaka terjatuh tepat di bawah kaki gadis itu. Tangannya terus memegang perut seolah menutupi sesuatu. Saat Amelyce sentuh, dia terkejut, dari sana darah merah pekat merembes menodai seluruh baju pria itu. Arshaka mengerang tertahan, sebenarnya apa yang terjadi padanya. "Aku tahu keadaanmu sekarang sedang tak baik." "Tapi, bisakah kau berjalan sedikit lagi? Aku akan membawamu ke rumahku. Udara disini sangat dingin, itu akan membuatmu semakin jatuh sakit," lanjutnya. "Sshhhhh––" ringisnya tertahan, mata Arshaka terpejam erat dan selur
Bunga cosmos terhampar begitu luas sejauh mata memandang. Desiran angin perlahan menyapu beberapa helai daun kering yang mulai berguguran. Pria dengan surai perak itu sedang menatap seorang gadis di sampingnya begitu lembut dan tulus, lalu tangannya terulur merapikan beberapa helai rambut gadis itu dan menyelipkan ke belakang telinga. "Bolehkah aku egois untuk memilikimu seutuhnya?" Gadis itu tersenyum lebar sampai matanya menyipit. Dia mengusap pipi pria di depannya lembut. "Tentu saja, Yang Mulia Pangeran," jawabnya yakin. Dengan gerakan cepat pria yang rupanya seorang pangeran itu langsung memeluk erat gadis di hadapannya. Semenit kemudian, gadis dengan gaun biru langit selutut itu melepas perlahan pelukan mereka. Hal yang paling mengejutkan, tanpa aba-aba, dia secepat kilat mengecup bibir pria di depannya, dan berkata, "Aku mencintaimu, Arshak
"Bilang saja kau peduli padaku, 'kan?" jawab Amelyce percaya diri. Arshaka terkekeh garing, melirik sinis gadis itu dari sudut matanya. "Harus ku katakan berapa kali, aku sama sekali tak peduli denganmu." "Entahlah, aku merasa ada banyak rahasia dalam dirimu yang tak ku ketahui." "Ehmm...." "Aku heran, setiap hujan dan ada petir tubuhku selalu bereaksi? Apa ini ada hubungannya dengan––" "Lebih baik kau tak usah membicarakan hal itu!" Nada bicara Arshaka berubah ketus dan dingin. Dia seolah menghindari kalimat itu. Memang sebenarnya ada apa? "Kenapa?" "Telingamu sudah tak berfungsi lagi, ya?" "Aku hanya bertanya, apakah salah?" "Sudahlah, berbicara pada gadis bodoh sepertimu tak akan selesai, ada hal yang jauh lebih penting dari menjawab pertanyaanmu itu!" "
Hangat dan nyaman. Itulah yang Amelyce rasakan saat ini, dia enggan untuk membuka mata apalagi sekadar bergerak dari posisinya sekarang. Ada sesuatu yang hangat membuatnya merasa aman. "Elyce, apa kau sudah bangun?" Bahkan suara bibi Jessica terdengar sampai ke alam mimpi gadis itu, Amelyce bergerak pelan dan menguap lebar dengan mata masih terpejam. "Amelyce! Apa kau ada di dalam, Sayang?" suara Bibi Jessica terdengar khawatir dan mulai menggedor pintu. 'Tunggu dulu! Itu memang benar suara Aunty memanggilku dari luar.' Mata Amelyce terbuka cepat dan–– Deg! "Mengapa aku tidur di sebelahmu!" Gadis itu terpekik langsung mendorong kuat tubuh Arshaka agar menjauh, tapi nihil, pergerakannya tertahan oleh pria itu. Dia memegang kedua tangan Amelyce erat tanpa membuka matanya. Dia berbisik pelan, "Bukankah ak
Lilitan kain kasa terhenti saat mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Arshaka. Amelyce tak ingin menatap mata pria itu, yang dia bisa hanya menunduk dengan mata mulai memerah, seketika hatinya berdenyut nyeri, jika mendengar hal sensitif itu. "Hei? Apakah aku salah berbicara?" Amelyce tersenyum getir, dia menarik nafas dalam lalu melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda tanpa memedulikan pertanyaan Arshaka padanya. "Sudah selesai, habiskanlah makananmu. Aku pergi dulu," pamit gadis itu tanpa melihat wajah Arshaka dan langsung pergi meninggalkannya. Amelyce turun ke bawah dan menemui William, dia merasa kasian dengan pria itu karena sudah menunggunya sangat lama. "Hampir saja aku lumutan karena menunggu tuan putri," celetuk William disertai cengiran lebar. "Huh, kau menyebalkan, Will." Gadis itu memukul pelan bahu pria itu dan ikut du
Rembulan tampak indah menghiasi langit malam dengan banyaknya bintang yang ikut serta menemaninya. Angin malam terus berhembus menerbangkan beberapa helai daun kering dan juga layu. Sayup-sayup suara hewan nokturnal mulai terdengar, memecah keheningan malam.Keduanya, tidak pulang dahulu dan memilih mendudukan diri di bangku taman bermain--tidak, sebenarnya hanya gadis itu yang duduk. Arshaka--dia berdiri tak jauh dari sana memandangi bulan yang mulai terbelah tertutup awan.Kantung mata Amelyce sudah sembap oleh air mata. Menangis hampir satu jam penuh membuatnya malu tak tahu menaruh wajah dimana, dia ... menangis di depan Arshaka. Rasanya dia ingin menghilang saat ini juga.Baru saja dipikirkan, pria itu ternyata sudah berdiri di depan Amelyce dengan ekspresi sulit ditebak.Gadis itu menetralkan raut keterkejutannya. Dia meneguk ludah kasar, dan berucap parau, "Terimakasih."A
"Apa yang kau lakukan disini!?" suara wanita itu terdengar sarkas dan menusuk. Namanya–Rose. Dia hampir terkena serangan jantung melihat gadis itu ada di rumahnya, minuman dan camilan di nampan jatuh begitu saja ke lantai meninggalkan hamburan serpihan gelas kaca.Kedua anaknya yang Amelyce tahu bernama Joy dan Jay juga berlari melihat kejadian itu tanpa berani mendekat, hanya mengintip dibalik tirai.Amelyce mencoba tersenyum walau hatinya sudah sangat sakit di dalam sana."Ibu....""Kau siapa!? Beraninya memanggilku dengan sebutan itu!"Tatapan Amelyce hancur, tak menyangka wanita yang sudah mengandungnya berbicara kasar padanya dan terlebih menolak dia menyebut Ibu.Andai memang bukan, mengapa Rose harus semarah itu?"Aku sudah lama mencarimu, Ibu," jawab gadis itu bergetar."Pergi! Kau salah orang, aku
Arshaka hanya bisa mengeratkan pegangan pada gagang pedang di sampingnya, dia mencengkramnya kuat dengan kilatan mata kebencian. Apa yang pria itu lihat sungguh membuat dia geram ingin menghabisi wanita tua yang sedang berbicara pada Amelyce saat itu juga. "Ini tak bisa dibiarkan!" desisnya. Baru saja ingin masuk ke dalam gudang, langkah Arshaka terhenti di ambang pintu setelah mendengar kalimat yang terlontar dari wanita tua itu. "Apa kau seyakin itu untuk mempercayainya? Dia hanya menipumu." "Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan!" "Hahaha ... dia hanya memanfaatkanmu." "Sebenarnya siapa kau!?" "Kau tak perlu tahu siapa diriku, aku hanya memperingatimu." Ada perasaan menohok ke hatinya ketika mendengar kalimat itu. Arshaka ingin segera memberi pelajaran pada wanita tua itu, tapi kakinya enggan untu
Setelah kelas di Harvard selesai Amelyce duduk di bangku taman seorang diri, menikmati desiran angin di bawah pohon. Kotak itu. Ada hal yang ingin dia cari tahu di gudang. Masalahnya bibi Jessica selalu melarang dia untuk pergi ke sana, jika gadis itu bertanya kenapa, jawabannya sederhana.Kotor, berdebu, dan bau.Ya, masuk di akal. Karena tempat itu memang jauh dari rumah bibi Jessica dan tak pernah dibersihkan. Amelyce menyusun rencana ingin mendatangi tempat itu, namun masih memikirkan waktu yang tepat."Elyce!"Dia terkejut sampai buku di tangannya terjatuh, siapa lagi pelakunya jika bukan William. Pria itu selalu saja mencari perkara."Kau sedang melamunkan apa, El?""Dasar tak tahu diri! Bisakah kau tak usah mengejutkanku setiap kali datang?" rutuknya."I'm sorry, El." William menangkupkan kedua tangannya di depan wajah, matanya ber
"Bukan itu, semalam ... aku melihat di dada-" Bugh! "Akhhh...." Arshaka meringis saat sudut bibirnya terluka mengeluarkan darah segar. Dia mendorong Amelyce menyudutkan gadis itu ke dinding. Tatapan kelam dan tajamnya menusuk seperti sebilah pedang yang siap menancap di kedua bola mata Amelyce. "Memang apa yang kau pikirkan perihal semalam!" desis Arshaka tak terima. Nada serak dan menuntut penjelasan, membuktikan amarahnya kali ini terpancing. "Jawab!" desaknya lagi. "Kau berkata semalam lalu di dada. Sekarang apa maksud dari ucapanmu!?" tantang gadis itu kembali. Dia menatap sengit netra perak milik Arshaka sesekali menggertakkan giginya geram. "Aku belum selesai bicara, kau sudah memotong kalimatku!" "Lalu?" "Haish!" Tanpa di duga Arshaka langsung merobek satu kancing baju bag
Lilitan kain kasa terhenti saat mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Arshaka. Amelyce tak ingin menatap mata pria itu, yang dia bisa hanya menunduk dengan mata mulai memerah, seketika hatinya berdenyut nyeri, jika mendengar hal sensitif itu. "Hei? Apakah aku salah berbicara?" Amelyce tersenyum getir, dia menarik nafas dalam lalu melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda tanpa memedulikan pertanyaan Arshaka padanya. "Sudah selesai, habiskanlah makananmu. Aku pergi dulu," pamit gadis itu tanpa melihat wajah Arshaka dan langsung pergi meninggalkannya. Amelyce turun ke bawah dan menemui William, dia merasa kasian dengan pria itu karena sudah menunggunya sangat lama. "Hampir saja aku lumutan karena menunggu tuan putri," celetuk William disertai cengiran lebar. "Huh, kau menyebalkan, Will." Gadis itu memukul pelan bahu pria itu dan ikut du
Hangat dan nyaman. Itulah yang Amelyce rasakan saat ini, dia enggan untuk membuka mata apalagi sekadar bergerak dari posisinya sekarang. Ada sesuatu yang hangat membuatnya merasa aman. "Elyce, apa kau sudah bangun?" Bahkan suara bibi Jessica terdengar sampai ke alam mimpi gadis itu, Amelyce bergerak pelan dan menguap lebar dengan mata masih terpejam. "Amelyce! Apa kau ada di dalam, Sayang?" suara Bibi Jessica terdengar khawatir dan mulai menggedor pintu. 'Tunggu dulu! Itu memang benar suara Aunty memanggilku dari luar.' Mata Amelyce terbuka cepat dan–– Deg! "Mengapa aku tidur di sebelahmu!" Gadis itu terpekik langsung mendorong kuat tubuh Arshaka agar menjauh, tapi nihil, pergerakannya tertahan oleh pria itu. Dia memegang kedua tangan Amelyce erat tanpa membuka matanya. Dia berbisik pelan, "Bukankah ak
"Bilang saja kau peduli padaku, 'kan?" jawab Amelyce percaya diri. Arshaka terkekeh garing, melirik sinis gadis itu dari sudut matanya. "Harus ku katakan berapa kali, aku sama sekali tak peduli denganmu." "Entahlah, aku merasa ada banyak rahasia dalam dirimu yang tak ku ketahui." "Ehmm...." "Aku heran, setiap hujan dan ada petir tubuhku selalu bereaksi? Apa ini ada hubungannya dengan––" "Lebih baik kau tak usah membicarakan hal itu!" Nada bicara Arshaka berubah ketus dan dingin. Dia seolah menghindari kalimat itu. Memang sebenarnya ada apa? "Kenapa?" "Telingamu sudah tak berfungsi lagi, ya?" "Aku hanya bertanya, apakah salah?" "Sudahlah, berbicara pada gadis bodoh sepertimu tak akan selesai, ada hal yang jauh lebih penting dari menjawab pertanyaanmu itu!" "
Bunga cosmos terhampar begitu luas sejauh mata memandang. Desiran angin perlahan menyapu beberapa helai daun kering yang mulai berguguran. Pria dengan surai perak itu sedang menatap seorang gadis di sampingnya begitu lembut dan tulus, lalu tangannya terulur merapikan beberapa helai rambut gadis itu dan menyelipkan ke belakang telinga. "Bolehkah aku egois untuk memilikimu seutuhnya?" Gadis itu tersenyum lebar sampai matanya menyipit. Dia mengusap pipi pria di depannya lembut. "Tentu saja, Yang Mulia Pangeran," jawabnya yakin. Dengan gerakan cepat pria yang rupanya seorang pangeran itu langsung memeluk erat gadis di hadapannya. Semenit kemudian, gadis dengan gaun biru langit selutut itu melepas perlahan pelukan mereka. Hal yang paling mengejutkan, tanpa aba-aba, dia secepat kilat mengecup bibir pria di depannya, dan berkata, "Aku mencintaimu, Arshak