Ayara berkali-kali mencoba memejam, tetapi tak kunjung terlelap. Ingatan tentang betapa teganya sang suami berkecamuk, berbenturan dengan kepingan-kepingan kisah bahagia yang selama ini terjalin. Berkali-kali perempuan itu merasa ini hanyalah mimpi buruk belaka, bukan nyata. Namun, di detik berikutnya, kesadarannya kembali bahwa semuanya memang benar-benar terjadi.
Hatinya sakit tak terperi. Ingin menangis agar kemelut di dadanya sedikit mengurai, tetapi air mata itu sepertinya sudah habis terkuras.
Ayara bangkit dari pembaringan setelah membetulkan letak selimut yang menutupi tubuh mungil sang bayi. Pandangannya beralih pada ponsel di dekat bantal. Pada layar benda yang diaktifkan mode pesawat itu, Ayara melihat jam. Pukul sepuluh malam.
Ia bosan dan ingin sedikit mengobrol dengan Nadia. Kamar wanita yang memberikan tumpangan itu tepat berada persis di sebelah kamar yang ditempati Ayara dan Thalita. Samar-samar terdengar Nadia berbicara, sepertinya sedang menelepon.
Ayara berderap hingga tiba di depan kamar sang sahabat baik. Daun pintu yang terbuka sekitar dua jengkal, membuat pandangan Ayara leluasa melihat Nadia yang berdiri menghadap tembok dengan ponsel di daun telinga.
Ayara mengetuk pintu, yang seketika membuat Nadia tergopoh mematikan ponsel. Perempuan itu berbalik seraya mengurut dada sebab terkejut. Sementara Ayara mengedutkan dahi, lalu masuk.
"Kamu kenapa?" Ayara bertanya, lalu duduk di tepian dipan.
"Kamu ngagetin, tau!" ucap Nadia dengan wajah jengkel. Lalu duduk di dekat Ayara. "Gak bisa tidur?"
Ayara menjawab pertanyaan Nadia dengan selarik senyum tipis. Nadia mengembuskan napas, sebagai orang terdekat, ia merasa harus membangkitkan semangat Ayara. Perempuan yang tengah dirundung pilu itu tidak boleh berlama-lama larut dalam kesedihan.
"Ah, aku ingin bertanya sesuatu." Ayara bersuara saat baru saja Nadia ingin mengeluarkan kalimat.
Nadia bertanya lewat mata apa yang hendak sahabatnya itu tanyakan.
"Aku penasaran kenapa undangan Mas Adam bisa sampai ke kamu. Atau kamu kenal dengan mempelai wanitanya?" Ayara melekatkan pandangan pada wanita di sampingnya. Sementara Nadia masih terdiam, dan baru saja ia akan menjawab, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu utama.
Nadia bangkit. Rasa penasaran Ayara yang sedari tadi bersarang di kepalanya kini lesap, berganti dengan rasa ingin tahu pada siapa yang bertamu malam-malam begini.
Tanpa berkata-kata, Nadia berderap untuk melihat siapa yang datang. Ayara juga bangkit, lalu menunggu di depan pintu kamar Nadia.
Nadia terkesiap begitu melihat siapa yang berada di depan pintu. Perempuan itu menoleh kepada Ayara dengan rasa cemas berjejak di wajah. Ia pun berjalan menuju Ayara dan memberitahu jika yang datang adalah Adam, suami Ayara.
"Bilang aku sudah tidur," ucap Ayara. Perempuan itu benar-benar tidak ingin bertemu dengan laki-laki tersebut.
Nadia terdiam. Kemudian kembali ke pintu utama saat merasa tidak punya pilihan lain selain mengikuti permintaan Ayara.
Wajah Adam tersenyum saat pintu terbuka.
"Aku ingin bertemu Ayara." Tanpa basa-basi, Adam langsung mengatakan maksud kedatangannya.
"Maaf, Mas, tapi Ayara sudah tidur. Tinggalkan pesan, nanti aku sampaikan."
"Kamu tidak berbohong, kan?" Sepasang netra Adam menelisik wajah Nadia.
"Apa aku tampak seperti pembohong?" Nadia yang merasa dongkol atas ucapan Adam, membalas tatapan pria itu dengan tajam.
Adam menunduk sebelum kemudian menyapu pandangan ke arah belakang Nadia.
"Tolong sampaikan pada Ayara, aku ingin berbicara. Sampaikan juga padanya, aktifkan HP." Adam berkata dengan gurat wajah memohon.
"Nanti aku sampaikan," ucap Nadia datar.
"Kamu percaya padaku kalau aku tidak akan melakukan itu jika tidak punya alasan kuat, bukan?" Adam menatap lekat wajah Nadia.
Nadia memang tidak begitu akrab dengan Adam, tetapi ia tahu banyak tentang pria di depannya dari Ayara. Ia tidak membalas ucapan Adam, ia bahkan turut merasakan perih yang merengkuh hati Ayara.
"Aku ... tidak percaya."
Jawaban Nadia membuat Adam terhenyak. Kelopak mata itu terbuka lebih lebar, ia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Adam merasakan hal aneh saat Nadia kemudian menyunggingkan senyum sinis. Pria itu menangkap jejak dendam di dua netra Nadia.
"Kamu memang pantas mendapatkan ini," ucap Nadia dengan nada ketus.
"A-apa maksudmu?"
"Aku yakin ini salah satu balasan atas apa yang kalian lakukan pada kami sepuluh tahun lalu."
Ragam tanya berkecamuk di kepala Adam. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang pernah dilakukan oleh dirinya dan keluarganya pada Nadia. Hingga akhirnya pria itu meneguk ludah saat samar-samar teringat sesuatu yang berkaitan dengan maksud ucapan perempuan di depannya.
Saat Adam hendak berkata, Nadia menutup pintu dengan cepat dan keras. Debumannya membuat Ayara yang sedang memeluk Thalita terkaget.
***
Ayara benar-benar merasa bosan berada di rumah Nadia tanpa melakukan apa-apa. Di rumah yang tidak terlalu besar itu, ia hanya berdua dengan sang bayi. Sementara Nadia pergi entah ke mana. Sebelum pergi, Nadia hanya mengatakan ada janji temu dengan teman.
Mengajak Thalita bermain dan menonton TV sebagai pengalih rasa suntuk, ternyata tidak banyak membantu. Hingga beberapa menit setelah matahari tergelincir, sebuah mobil memasuki pekarangan rumah Nadia.
"Kamu pasti bosan. Kita makan di luar, mau?" Saat baru saja masuk, Nadia memberikan tawaran kepada Ayara yang tengah berada di ranjang menemani sang anak.
"Kamu gak capek?"
Nadia menggeleng. "Kamu siap-siap, ya. Aku akan mandi sebentar."
Ayara merasa tidak enak kepada Nadia, tetapi ia benar-benar butuh pengalih saat ini.
Usai Nadia mandi, Ayara dan Thalita sudah siap. Perempuan itu memakai gamis berwarna merah maroon, senada dengan jilbab yang membingkai wajahnya yang ayu.
Setelah Nadia sudah bersiap, mereka berjalan munuju mobil Nadia. Ayara tidak bertanya ke mana Nadia akan membawa dirinya dan Thalita.
Mereka tiba di salah satu restoran mewah setelah menempuh kurang lebih dua puluh menit perjalanan. Selepas mobil terparkir sempurna, mereka memasuki ruangan ber-AC tersebut.Di tengah-tengah menyantap hidangan, Ayara melihat dua wanita masuk. Sang ibu mertua dengan kakar ipar. Ada sepercik harap mengingat betapa baiknya Bu Halima padanya selama ini. Ia ingin berbicara pada Bu Halima terkait rencana Adam, agar sang mertua menegur pria tersebut dan membatalkan rencana. Ayara sungguh masih mencintai Adam.
Saat keduanya duduk, Ayara bangkit dan menyerahkan Thalita pada Nadia.
"Mau ke mana?"
Ayara tidak menjawab pertanyaan Nadia, ia hanya melempar pandangan ke pojok ruangan d mana Bu Halima dan Mega duduk.
"Bu," sapa Ayara saat berada di dekat Bu Halima dan Mega.
Mega yang selama ini tidak begitu suka pada Ayara--meski tidak terang-terangan--menatap datar kepada Ayara. Hal serupa dilakukan oleh sang ibu mertua, membuat Ayara bertanya-tanya.
"Mas Adam ...."
"Memang kenapa?" Dengan nada sinis, Mega menyambar ucapan Ayara yang belum rampung.
Bu Halima menyesap minuman dingin yang baru saja terhidang di hadapannya. Perempuan setengah baya itu tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Perasaan Ayara mendadak tidak enak, harap yang semula ada perlahan lesap.
Ayara menyentuh lengan Bu Halima dengan mata mulai dirayapi basah. "Mas Adam ... Ibu sudah tahu kalau dia akan menikah lagi?"
"Ya."
Bersambung
Rasa perih sebab tatapan datar sang mertua ternyata tak sesakit jawaban yang diterima Ayara. Tangan Ayara yang tadi memegang lengan Bu Halima, terurai. Jawaban singkat itu serupa belati yang menghunjam ulu hati.Ayara meneguk ludah dengan air mata luruh tak terbendung."Ja-jadi, Ibu sudah tahu?" Ayara melontar tanya dengan suara nyaris tak terdengar sebab parau."Kami yang mengatur semuanya, Ayara."Ayara memindah pandangan pada wanita yang baru saja bersuara. Mega menumbuk tatapan kepada Ayara dengan mata memerah. Sementara Ayara yang tidak paham mengapa semua jadi serumit ini, hanya membeku dengan benak dijejali tanya. Pandangannya memindai wajah Mega dan Bu Halima bergantian."Ka-kalian tega ...." Isak tangis Ayara membuat suaranya mengecil."Tega?" Mega tertawa sumbang. "Kamu yang tega! Sejak awal aku memang sudah curiga sama kamu, Ayara. Kami semua tidak percaya keluarga kami dimasuki oleh seorang pelacur sepertimu!" Lengkingan suara Me
Ayara menatap pria yang kini berdiri di dekatnya. Meski pandangannya terkaburkan oleh guyuran hujan, ia dapat menangkap jejak kesal dari wajah pria yang mengenakan kemeja biru tersebut. Ayara mengusap wajah, lalu mencoba duduk.“Bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah,” ucap pria itu lagi, setengah berteriak walau tidak selantang ucapan sebelumnya.Ayara tidak begitu mendengarkan ucapan pria tersebut. Ia hanya terduduk sambil memeluk lutut. Tangisnya kembali pecah ketika pikirannya kembali mengulang betapa menyedihkannya takdir yang Tuhan suguhkan untuknya.Pria itu tersentuh melihat wanita di hadapannya. Ia mendekat dengan tangan terulur untuk menyentuh pundak Ayara. Namun, Ayara menepis tangan itu dengan kasar tanpa melihat. Perempuan itu merutuk, seharusnya rencananya berjalan mulus. Mengapa Tuhan mengirimkan lelaki tersebut? Masih kurangkah derita yang harus ditanggung olehnya?“Maafkan aku. Kamu tidak bisa terus-terusan di sini,
Dahi Adam berkerut setelah mendengar ucapan mamanya. Pria itu memindai wajah sang mama untuk mencari jejak dusta yang mungkin tersirat di sana."Mama jangan bohong!" seru Adam dengan menatap lurus wajah Halima."Dam, kamu tidak percaya sama Mama?" Halima mengadu tatapan dengan Adam. Hatinya kesal karena merasa dicurigai atas hal yang sama sekali tidak dilakukannya.Rasa ragu yang semula bersarang di hati Adam, perlahan meredam. Puluhan tanda tanya berkelindan di benak. Siapa yang telah menyebar undangan itu? Untuk apa? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang berdesakan memenuhi kepala."Ayara tahu Adam akan menikahi Fitriya gara-gara surat undangan. Kalau bukan Mama yang menyebarkan, siapa lagi? Mama yang mengurus semua persiapan." Pandangan lekat Adam pada sang mama mengendur tersebab rasa ragu. Otaknya terus saja berputar, hingga satu nama muncul."Dengerkan Mama. Mama bersumpah tidak memesan surat undangan, Adam. Kapan Mama bohong sama kamu?" Hali
Pandangan lekat wanita paruh baya itu terpotong oleh suara seorang pria. Derap langkah setengah berlari menyusul bariton tersebut, semakin dekat. Tiga pasang mata tertuju pada pria tampan dengan raut cemas yang menghampiri."Mama tidak apa-apa?" Pria itu bertanya setelah berada di dekat sang mama. Pandangannya sekilas beralih pada sosok dua wanita di dekat mamanya."Mama tidak apa-apa, Van. Tapi Mama hampir saja kehilangan dompet Mama kalau saja tidak ada mereka," papar wanita berhijab panjang tersebut. Dengan senyum merekah, wajahnya tertoleh kepada dua perempuan yang dimaksud di dekatnya.Pria itu mengarahkan pandangan kepada dua wanita di samping sang mama. Dengan wajah datar, dia memandang keduanya."Terima kasih," ucapnya cuek, lalu beralih kepada sanga mama dan berkata, "Ayo kita pulang, Ma.""Sebentar," ucap sang Mama, lalu membuka reseleting dompetnya dan mengeluarkan beberapa helai uang berwarna merah tanpa menghitungnya."Ini sebag
“Kamu ini aneh, Ay,” celetuk Nadia. Gurat heran jelas terpahat di wajahnya saat mengetahui ternyata Ayara membeli kitab tebal berjilid-jilid untuk hadiah ulang tahun Adam, suaminya. Ayara hanya tersenyum menanggapi Nadia yang masih menatap sahabatnya tersebut dengan lekat.“Mas Adam dari dulu pengen kitab itu, Nad, tapi gak pernah kesampaian,” ucap Ayara kemudian setelah memasang sabuk pengaman. Nadia hanya menoleh sekilas tanpa mengeluarkan suara, kemudian menyalakan mobil.“Emang itu kitab apa, sih, sampe berjilid-jilid gitu?” Nadia kembali bertanya setelah mobil melaju, menoleh ke arah wanita berhijab di sampingnya selintas lalu, kemudian pandangannya fokus kembali memandang ke depan.Ayara tidak segera menjawab pertanyaan sahabatnya itu, masih sibuk mengetik pesan guna memastikan Adam pulang malam ini. Akan ada surprise untuknya.[Nanti malam pulang kan, Mas?]Adam belakangan ini jarang sekali di rumah,
Mendengar teriakan Ayara, Thalita terkejut dan menangis. Ayara mencoba untuk menenangkan buah dari pernikahannya dengan Adam. Lalu, mengambil ancang-ancang untuk segera pergi meninggalkan sang suami. Namun, secepat kilat laki-laki itu mengunci pergerakan Ayara.“Kamu mau ke mana, Ayara?"“Terserah aku!” Ayara mencoba melepaskan cekalan tangannya, tetapi usahanya sia-sia.“Kamu harus dengar penjelasanku, Ay ....” Wajah Adam terlihat memelas.“Penejelasan?” Penjelasan apa?!” Air mata wanita itu lagi-lagi tumpah. Bagaimana tidak, kebahagiaan yang selama ini ia bangun dengan susah payah bersama sang Suami, kini hancur berantakan.Selama ini, Ayara merasa menjadi wanita yang paling beruntung karena dinikahi oleh laki-laki yang menutup mata pada masa lalunya yang kelam, masa lalu yang hampir semua orang akan merasa jijik padanya jika mengetahuinya. Namun, tidak dengan Adam, laki-laki yang berpengetahu