Share

Siapa yang Menyebar Undangan?

Ayara menatap pria yang kini berdiri di dekatnya. Meski pandangannya terkaburkan oleh guyuran hujan, ia dapat menangkap jejak kesal dari wajah pria yang mengenakan kemeja biru tersebut. Ayara mengusap wajah, lalu mencoba duduk.

“Bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah,” ucap pria itu lagi, setengah berteriak walau tidak selantang ucapan sebelumnya.

Ayara tidak begitu mendengarkan ucapan pria tersebut. Ia hanya terduduk sambil memeluk lutut. Tangisnya kembali pecah ketika pikirannya kembali mengulang betapa menyedihkannya takdir yang Tuhan suguhkan untuknya.

Pria itu tersentuh melihat wanita di hadapannya. Ia mendekat dengan tangan terulur untuk menyentuh pundak Ayara. Namun, Ayara menepis tangan itu dengan kasar tanpa melihat. Perempuan itu merutuk, seharusnya rencananya berjalan mulus. Mengapa Tuhan mengirimkan lelaki tersebut? Masih kurangkah derita yang harus ditanggung olehnya?

“Maafkan aku. Kamu tidak bisa terus-terusan di sini, kamu bisa sakit,” kata pria tersebut.

“Biarkan aku di sini. Biarkan aku mati!” Dengan suara putus asa, Ayara berteriak di tengah-tengah kecipak tetes hujan yang menghantam aspal.

“Dengar, bunuh diri adalah hal yang sangat dibenci Tuhan. Kamu akan menyakiti diri sendiri, menyakiti orang yang menyayangi kamu. Percayalah, tidak ada masalah yang tidak memiliki jalan keluar.”

Wajah Ayara tertunduk. Beberapa detik, pria itu hanya menyaksikan wanita dengan rambut basah tergerai di depannya menumpahkan segala kesah yang mendera. Hingga akhirnya, ia tak kuasa menahan dingin yang terasa menusuk-nusuk tulang. Lelaki tersebut kali ini mencoba untuk membantu Ayara berdiri.

Ayara tidak melakukan perlawanan atau protes. Beberapa saat lalu, ucapan pria yang menyelamatkannya telah sedikit menghadirkan kesadaran bagi Ayara. Ia pernah mendengar Adam berkata jika masalah yang menimpa manusia tidak akan melampaui batas kesanggupannya. 

Ah, Ayara frustasi saat nama itu berkelindan di pikirannya. Namun, bukankah sebab dirinya pula mengapa Adam tega berbuat demikian?

Ayara dibawa oleh pria itu menuju mobil yang lampunya masih menyala, tak jauh dari tempat Ayara hendak melakukan bunuh diri. Lelaki tersebut membukakan pintu kendaraan bercat merah itu, tetapi Ayara bergeming saat disuruh untuk masuk. Itu akan mengotori bangku, pikir Ayara.

“Apa lagi yang kamu tunggu? Cepatlah masuk.”

Ayara melempar pandangan tidak enak pada wajah pria di sampingnya.

“Tidak apa-apa, masuklah,” ucap pria itu, selarik senyum menghiasi wajahnya yang basah kuyup.

Ayara akhirnya menuruti keinginan pria tersebut. Saat duduk keduanya sempurna, pria dengan kumis dan jenggot tipis itu meraih handuk dari bangku belakang.

“Ini, pakailah untuk meneringkan tubuhmu.”

Ayara menatap pria di balik kemudi dengan sorot mata berterima kasih. Andai tidak ada pria tersebut, entah apa yang terjadi pada dirinya atas tindakan bodohnya.

“Jangan bengong saja,” tegur pria di sampingnya karena Ayara hanya melamun.

“Namaku Rendra. Siapa namamu?” Pria bernama Rendra itu bertanya setelah mobil melaju.

Ayara tidak segera menjawab. Rendra menghela napas panjang.

“Baiklah kalau kamu enggan memberitahu namamu, tapi setidaknya beritahu aku ke mana harus mengantar kamu pulang.”

Ayara ragu untuk pulang ke rumah Nadia, tetapi tidak mungkin juga jika harus ikut ke rumah Rendra. Mau tidak mau, perempuan itu mengatakan kepada Rendra ke mana pria tersebut harus mengantarnya.

Dua puluh menit kemudian, keduanya sampai di tempat tujuan. Nadia menyambut sahabatnya dengan air mata berderai. Berkali-kali Nadia memeluk Ayara.

"Terima kasih, Mas," ucap Nadia kepada Rendra.

"Sama-sama. Kalau begitu, aku pamit pulang."

"Tidak masuk dulu?" Nadia menunjuk pintu rumah yang terbuka lebar. Sepasang mata Ayara yang masih sembab, menatap Rendra dengan penuh rasa terima kasih.

"Tidak usah. Terima kasih." Rendra menatap Ayara dengan senyum manis terkulum.

Ayara ingin sekali mengucap terima kasih, tetapi lidahnya terasa kelu. Ia canggung. Ia terdiam hingga mobil Rendra berlalu dari pekarangan rumah Nadia.

***

Adam menyugar rambutnya dengan kasar. Rasa sesal berjejal di dadanya. Seharusnya ia tidak mengikuti kemauan sang mama untuk menikahi Fitriya. Pria itu berkali-kali merutuki diri atas tindakan bodohnya.

Bel berbunyi. Adam melepaskan napas dengan kasar. Akhirnya, yang ditunggunya datang juga. Gegas pria itu berderap untuk menyongsong sang mama di depan sana.

"Ma, Adam ingin bicara," ucap Adam begitu pintu terbuka.

"Mama capek, Dam. Besok aja, ya." Halima tersenyum kepada sang anak sambil melangkah masuk.

"Adam tidak ingin melanjutkan pernikahan dengan Fitriya."

Ucapan Adam membuat sang mama terhenyak. Langkahnya terhenti. Sepasang mata sayu Halima membulat, menumbuk Adam dengan lekat.

"Kamu ingin membuat Mama malu di depan Om Gunawan?"

"Pasti ada cara lain untuk membayar utang-utang Mama. Mama lihat, keluargaku berantakan. Ayara dan Thalita pergi!" Wajah Adam merah padam. Ia gagal mengontrol emosi yang meluap.

Sejak awal, Adam sudah gamang dengan rencana sang mama. Lagi pula, Fitriya benar-benar bodoh sampai menyerahkan kehormatan kepada pria iblis itu. Lalu ketika di dalam garbanya berisi janin, pria itu pergi begitu saja tanpa mau bertanggung jawab.

"Dengar Adam ... sepuluh milyar, dapat dari mana Mama uang sebanyak itu. Lagi pula, kasihan Om Gunawan jika sampai Fitriya melahirkan tanpa seorang suami. Nama baik keluarga mereka akan tercoreng," ucap Halima.

"Mama tidak kasihan pada Ayara dan Thalita?" Adam mendelik dengan mata memerah.

Halima berdecak. "Untuk apa kasihan pada pelacur itu?"

"Jaga omongan Mama!" Adam menelan ludah. Bagaimana mamanya bisa tahu tentang kehidupan masa lalu Ayara?

Halima mengeluarkan salinan hasil tes DNA dari dalam tasnya. Sama dengan Ayara yang terkesiap melihat isi kertas tersebut, Adam membeku. Meski sebelum menikahi Ayara ia tahu kemungkinan ini bisa saja terjadi mengingat banyak lelaki yang pernah seranjang dengan Ayara, tapi hatinya tetap saja merasakan nyeri. 

Rasa kecewa membuat Adam terduduk. Ia pernah berjanji akan menerima Ayara apa adanya. Namun, saat mengetahui bahwa Thalita bukan anak kandungnya, ada rasa benci menyeruak di dalam dadanya.

"Sekarang kamu masih mau membela Ayara?" Setelah sekian lama hening, Halima kembali bersuara.

"Dari mana Mama mendapatkan ini?" Adam bertanya dengan suara pelan.

"Kamu tidak perlu tahu. Yang jelas, Ayara telah mengkhianati kita semua. Ayara telah menipu kita!"

Adam menunduk dengan mata berkaca-kaca. Sementara Halima berderap menuju kamarnya untuk beristirahat.

Adam masih memiliki pertanyaan yang belum terjawab. Pria itu bangkit dan memanggil sang mama. Perempuan paruh baya tersebut berhenti tepat di depan pintu kamarnya, lalu menoleh kepada sang anak yang datang menghampiri.

"Bukannya kalian berjanji akan merahasiakan pernikahan ini, tapi kenapa kalian menyebarkan surat undangan?"

Halima memandang Adam dengan dahi berkedut. Ia benar-benar tidak mengerti kenapa Adam bertanya mengenai surat undangan yang sama sekali tidak ada dalam daftar rencananya.

"Apa maksudmu? Surat undangan apa? Tidak ada yang menyebarkan surat undangan, Adam."

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sri Minarni
kayaknya Nadin musuh dalam selimut
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status