Rasa perih sebab tatapan datar sang mertua ternyata tak sesakit jawaban yang diterima Ayara. Tangan Ayara yang tadi memegang lengan Bu Halima, terurai. Jawaban singkat itu serupa belati yang menghunjam ulu hati.
Ayara meneguk ludah dengan air mata luruh tak terbendung.
"Ja-jadi, Ibu sudah tahu?" Ayara melontar tanya dengan suara nyaris tak terdengar sebab parau.
"Kami yang mengatur semuanya, Ayara."
Ayara memindah pandangan pada wanita yang baru saja bersuara. Mega menumbuk tatapan kepada Ayara dengan mata memerah. Sementara Ayara yang tidak paham mengapa semua jadi serumit ini, hanya membeku dengan benak dijejali tanya. Pandangannya memindai wajah Mega dan Bu Halima bergantian.
"Ka-kalian tega ...." Isak tangis Ayara membuat suaranya mengecil.
"Tega?" Mega tertawa sumbang. "Kamu yang tega! Sejak awal aku memang sudah curiga sama kamu, Ayara. Kami semua tidak percaya keluarga kami dimasuki oleh seorang pelacur sepertimu!" Lengkingan suara Mega membuat seluruh pasang mata di restoran itu memandang kepada mereka.
"A-apa maksud kamu?" Emosi Ayara tersulut.
"Kurang jelas? Kamu pelacur!"
"Jaga ucapanmu!" seru Nadia yang tiba-tiba berada di belakang Ayara sambil mendekap Thalita yang siap menangis.
Ayara hanya mematung dengan air mata semakin deras. Tulang tungkai wanita itu seolah terlucut. Sementara Mega dan Bu Halima, keduanya seketika melempar pandangan pada wanita yang baru saja berucap.
Mega merogoh tas yang tersampir di bahunya, lalu mengeluarkan sehelai kertas. Perempuan itu melemparkan kertas tersebut mengenai wajah Ayara, setelah sebelumnya meremasnya.
Dengan tangan bergetar, Ayara menjongkok demi memungut kertas yang kini teronggok di lantai. Ayara terbelalak saat membaca isi kertas tersebut. Sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa Thalita bukanlah anak Adam.
Ayara tergeleng tidak percaya. Tanda tanya kembali berjubel di benaknya, tentang kebenaran isi kertas yang dipegangnya. Sebegitu bencikah Mega padanya hingga diam-diam melakukan tes DNA tersebut. Lalu, benarkah yang Ayara baca ini?
Thalita menangis, tetapi terdengar seperti dengingan di telinga Ayara.
"Bawa anak haram itu dari sini!" hardik Mega.
"Ay ...." Nadia menyentuh tangan Ayara demi mengajaknya pulang. Mata wanita itu berkaca-kaca. Sementara Ayara serupa memebeku serupa patung dengan mata menatap kosong entah ke mana.
Setelah membayar, Nadia kembali mengajak pulang Ayara yang masih mematung. Puluhan pasang mata di restoran tersebut menyaksikan Nadia dan Ayara hingga keluar dari restoran.
Mega, perempuan itu tersenyum puas setelah ketidaksukaannya pada Ayara kini beralasan kuat.
"Benar firasat Mega selama ini, kan, Ma?" Mega tersenyum lebar.
Wanita yang dipanggil mama di hadapannya hanya tersenyum tipis. Ia benar-benar kesal atas kebohongan yang dilakukan oleh Ayara hingga dirinya terkecoh.
"Adam benar-benar bego! Menikahi wanita tanpa melihat bibit dan bobot!"
"Sudah, ayo makan!" timpal Bu Halima, membuat Mega mengerucutkan bibir sebab kesal.
Detik setelahnya, Mega tersenyum dan meraih ponsel yang sejak awal duduk ia letakkan di atas meja. Ia mengirim pesan berisi ucapan terima kasih kepada seorang pria yang telah memberikan kertas itu pada Mega.
[Nanti malam gak sibuk, kan, Mas?]
[Lumayan]
Mega mendengkus. Janda tanpa anak itu harus menunda keinginannya untuk berjalan dengan sang pria yang sudah lama disukainya.
***
Thalita terus saja menangis. Ayara kewalahan untuk menenangkan bayi tersebut. Pikirannya keruh, sampai-sampai dirinya tidak ingat bahwa Thalita mungkin saja lapar.
"Ay, coba kamu susui Thalita." Wanita di balik kemudi memberi saran.
Ayara merasa lega sambil merutuk diri mengapa tidak sampai terpikirkan atas apa yang diusulkan Nadia. Segera, Ayara membuka resleting gamis dan menyusui bayinya.
Benar saja, anak itu terlihat sekali bahwa sangat lapar. Nadia menoleh dan tersenyum, begitu pun dengan Ayara. Meskipun di detik berikutnya, Ayara kembali murung. Fragmen kehidupan kelam sebelum kenal dengan Adam berkelindan di benaknya.
Air matanya kembali luruh. Ia mengutuk diri telah menempuh jalan salah untuk mendapatkan rupiah. Ia seharusnya tak kabur dari panti asuhan waktu itu, paling tidak, hidupnya tidak akan terlunta-lunta di jalanan jika tetap berada di sana.
Sebuah sentuhan lembut menyadarkan Ayara. Ia menoleh kepada wanita di sampingnya yang tengah tersenyum.
"Jangan terlalu dipikirkan, Ay."
Sudut bibir Ayara terarik ke samping. "Anak ini ... anak haram, Nad. Ini bukan anak Mas Adam ...." Perempuan itu kembali terisak.
"Belum tentu itu benar, Ay," timpal Nadia, menyemangati.
Ayara sudah tak lagi fokus dengan ucapan perempuan di sampingnya. Dia hanya fokus dengan masalah hidup yang bertumpu di pundaknya sedemikian berat. Hingga akhirnya, sebuah rencana terbetik di benaknya.
***
Azan Magrib baru saja berkumandang, disusul iqamah yang kemudian membuat senja menjadi sunyi. Nadia berencana menemui Ayara, tetapi rencana tersebut ia tunda sebab menunggu kira-kira Ayara selesai salat berikut zikir-zikirnya.Setelah dikira Ayara selesai dengan rutinitas wajibnya, Nadia berderap menuju kamar wanita malang tersebut. Namun, beberapa kali ia mengetuk pintu, tak ada sahutan dari dalam kamar Ayara. Hal itu memantik rasa penasaran di benak wanita yang rambutnya tergerai tersebut.
"Ayara." Untuk ke sekian kali, Nadia memanggil. Saat lagi-lagi tidak ada jawaban, rasa khawatir menyeruak di hati Nadia. Perempuan itu memutar knop, lalu pintu terbuka. Jantung Nadia berdentam ketika tidak mendapati Ayara maupun Thalita di kamar tersebut.
"Ayara?"
"Ayara!" Nadia berteriak sambil berlari ke luar rumah. Namun, dirinya tak menemukan sosok yang kini sedang membuat hatinya dikungkung khawatir.
Dengan tangan gemetar, Nadia menghubungi seseorang memalui ponsel yang sedang digenggamnya.
Sementara di tempat lain, seorang wanita paruh baya yang baru saja keluar dari masjid, berjalan dengan tasbih di tangan kanan. Bibirnya bergerak-gerak merapal zikir.
Tiba-tiba telinganya samar-samar mendengar tangis bayi. Ia menghentikan langkah kaki dan zikirnya seraya menajamkan pendengaran. Jantungnya berdegup kencang saat suara bayi itu semakin jelas terdengar.
Ia pun mencari di mana keberadaan bayi tersebut, hingga akhirnya ia membekap mulut sembari menyebut nama Allah ketika melihat sebuah kardus di depan pagar panti asuhan yang dikelolanya. Suara itu berasal dari sana.
Wanita itu berderap, lalu menjongkok dengan mata berkaca-kaca melihat bayi yang menangis di dalam kardus tersebut, sebelum akhirnya meraihnya. Ia menggendongnya sambil mengedarkan pandangan ke sekitar. Ini bukan kali pertama dirinya mendapat bayi dibuang seperti itu.
Wanita yang masih bermukena itu segera membawa bayi di dekapannya masuk.
Ayara yang sedari tadi mengamati bayinya dari balik pohon besar, mengutuk diri. Air matanya semakin deras berderai. Hati kecilnya memberontak atas apa yang dirinya lakukan, tetapi ia mensugesti diri bahwa itu adalah pilihan terbaik. Thalita akan hidup dengan masa depan terjamin di sana.
Langit yang sejak tadi gelap, perlahan mencurahkan bulir-bulir rahmat. Petir menjilat-jilat seiring hujan yang semakin deras. Ayara berlari tanpa arah, tujuannya adalah menyudahi segala perih yang merengkuhnya.
Setelah sekian jauh berjalan di bawah guyuran hujan, Ayara sampai di sebuah jembatan. Jembatan itu lengang, sementara ini tidak ada kendaraan melintas.
Ayara bersedekap kedinginan, tubuhnya gemetar. Ingatan betapa sakitnya takdir yang tersuguh, membuat bimbang yang semula menyeruak di hatinya lindap. Perempuan itu menaiki pembatas dan berdiri di atasnya.
Ia semakin tergugu, lalu memejam sebelum kemudian mengambil ancang-ancang terjun ke dalam sungai yang arusnya begitu deras.
Baru saja Ayara hendak menjatuhkan diri, tiba-tiba terasa sesuatu menumbuk dirinya. Ayara terjatuh. Namun, bukan ke dalam sungai di bawah jembatan. Ia baru menyadari jika dirinya terhempas di atas aspal jembatan setelah sikutnya terasa perih.
"Dasar gila! Apa yang kamu lakukan?!"
Bersambung
Ayara menatap pria yang kini berdiri di dekatnya. Meski pandangannya terkaburkan oleh guyuran hujan, ia dapat menangkap jejak kesal dari wajah pria yang mengenakan kemeja biru tersebut. Ayara mengusap wajah, lalu mencoba duduk.“Bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah,” ucap pria itu lagi, setengah berteriak walau tidak selantang ucapan sebelumnya.Ayara tidak begitu mendengarkan ucapan pria tersebut. Ia hanya terduduk sambil memeluk lutut. Tangisnya kembali pecah ketika pikirannya kembali mengulang betapa menyedihkannya takdir yang Tuhan suguhkan untuknya.Pria itu tersentuh melihat wanita di hadapannya. Ia mendekat dengan tangan terulur untuk menyentuh pundak Ayara. Namun, Ayara menepis tangan itu dengan kasar tanpa melihat. Perempuan itu merutuk, seharusnya rencananya berjalan mulus. Mengapa Tuhan mengirimkan lelaki tersebut? Masih kurangkah derita yang harus ditanggung olehnya?“Maafkan aku. Kamu tidak bisa terus-terusan di sini,
Dahi Adam berkerut setelah mendengar ucapan mamanya. Pria itu memindai wajah sang mama untuk mencari jejak dusta yang mungkin tersirat di sana."Mama jangan bohong!" seru Adam dengan menatap lurus wajah Halima."Dam, kamu tidak percaya sama Mama?" Halima mengadu tatapan dengan Adam. Hatinya kesal karena merasa dicurigai atas hal yang sama sekali tidak dilakukannya.Rasa ragu yang semula bersarang di hati Adam, perlahan meredam. Puluhan tanda tanya berkelindan di benak. Siapa yang telah menyebar undangan itu? Untuk apa? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang berdesakan memenuhi kepala."Ayara tahu Adam akan menikahi Fitriya gara-gara surat undangan. Kalau bukan Mama yang menyebarkan, siapa lagi? Mama yang mengurus semua persiapan." Pandangan lekat Adam pada sang mama mengendur tersebab rasa ragu. Otaknya terus saja berputar, hingga satu nama muncul."Dengerkan Mama. Mama bersumpah tidak memesan surat undangan, Adam. Kapan Mama bohong sama kamu?" Hali
Pandangan lekat wanita paruh baya itu terpotong oleh suara seorang pria. Derap langkah setengah berlari menyusul bariton tersebut, semakin dekat. Tiga pasang mata tertuju pada pria tampan dengan raut cemas yang menghampiri."Mama tidak apa-apa?" Pria itu bertanya setelah berada di dekat sang mama. Pandangannya sekilas beralih pada sosok dua wanita di dekat mamanya."Mama tidak apa-apa, Van. Tapi Mama hampir saja kehilangan dompet Mama kalau saja tidak ada mereka," papar wanita berhijab panjang tersebut. Dengan senyum merekah, wajahnya tertoleh kepada dua perempuan yang dimaksud di dekatnya.Pria itu mengarahkan pandangan kepada dua wanita di samping sang mama. Dengan wajah datar, dia memandang keduanya."Terima kasih," ucapnya cuek, lalu beralih kepada sanga mama dan berkata, "Ayo kita pulang, Ma.""Sebentar," ucap sang Mama, lalu membuka reseleting dompetnya dan mengeluarkan beberapa helai uang berwarna merah tanpa menghitungnya."Ini sebag
“Kamu ini aneh, Ay,” celetuk Nadia. Gurat heran jelas terpahat di wajahnya saat mengetahui ternyata Ayara membeli kitab tebal berjilid-jilid untuk hadiah ulang tahun Adam, suaminya. Ayara hanya tersenyum menanggapi Nadia yang masih menatap sahabatnya tersebut dengan lekat.“Mas Adam dari dulu pengen kitab itu, Nad, tapi gak pernah kesampaian,” ucap Ayara kemudian setelah memasang sabuk pengaman. Nadia hanya menoleh sekilas tanpa mengeluarkan suara, kemudian menyalakan mobil.“Emang itu kitab apa, sih, sampe berjilid-jilid gitu?” Nadia kembali bertanya setelah mobil melaju, menoleh ke arah wanita berhijab di sampingnya selintas lalu, kemudian pandangannya fokus kembali memandang ke depan.Ayara tidak segera menjawab pertanyaan sahabatnya itu, masih sibuk mengetik pesan guna memastikan Adam pulang malam ini. Akan ada surprise untuknya.[Nanti malam pulang kan, Mas?]Adam belakangan ini jarang sekali di rumah,
Mendengar teriakan Ayara, Thalita terkejut dan menangis. Ayara mencoba untuk menenangkan buah dari pernikahannya dengan Adam. Lalu, mengambil ancang-ancang untuk segera pergi meninggalkan sang suami. Namun, secepat kilat laki-laki itu mengunci pergerakan Ayara.“Kamu mau ke mana, Ayara?"“Terserah aku!” Ayara mencoba melepaskan cekalan tangannya, tetapi usahanya sia-sia.“Kamu harus dengar penjelasanku, Ay ....” Wajah Adam terlihat memelas.“Penejelasan?” Penjelasan apa?!” Air mata wanita itu lagi-lagi tumpah. Bagaimana tidak, kebahagiaan yang selama ini ia bangun dengan susah payah bersama sang Suami, kini hancur berantakan.Selama ini, Ayara merasa menjadi wanita yang paling beruntung karena dinikahi oleh laki-laki yang menutup mata pada masa lalunya yang kelam, masa lalu yang hampir semua orang akan merasa jijik padanya jika mengetahuinya. Namun, tidak dengan Adam, laki-laki yang berpengetahu
Ayara berkali-kali mencoba memejam, tetapi tak kunjung terlelap. Ingatan tentang betapa teganya sang suami berkecamuk, berbenturan dengan kepingan-kepingan kisah bahagia yang selama ini terjalin. Berkali-kali perempuan itu merasa ini hanyalah mimpi buruk belaka, bukan nyata. Namun, di detik berikutnya, kesadarannya kembali bahwa semuanya memang benar-benar terjadi.Hatinya sakit tak terperi. Ingin menangis agar kemelut di dadanya sedikit mengurai, tetapi air mata itu sepertinya sudah habis terkuras.Ayara bangkit dari pembaringan setelah membetulkan letak selimut yang menutupi tubuh mungil sang bayi. Pandangannya beralih pada ponsel di dekat bantal. Pada layar benda yang diaktifkan mode pesawat itu, Ayara melihat jam. Pukul sepuluh malam.Ia bosan dan ingin sedikit mengobrol dengan Nadia. Kamar wanita yang memberikan tumpangan itu tepat berada persis di sebelah kamar yang ditempati Ayara dan Thalita. Samar-samar terdengar Nadia berbicara, sepertinya sedang menel
Pandangan lekat wanita paruh baya itu terpotong oleh suara seorang pria. Derap langkah setengah berlari menyusul bariton tersebut, semakin dekat. Tiga pasang mata tertuju pada pria tampan dengan raut cemas yang menghampiri."Mama tidak apa-apa?" Pria itu bertanya setelah berada di dekat sang mama. Pandangannya sekilas beralih pada sosok dua wanita di dekat mamanya."Mama tidak apa-apa, Van. Tapi Mama hampir saja kehilangan dompet Mama kalau saja tidak ada mereka," papar wanita berhijab panjang tersebut. Dengan senyum merekah, wajahnya tertoleh kepada dua perempuan yang dimaksud di dekatnya.Pria itu mengarahkan pandangan kepada dua wanita di samping sang mama. Dengan wajah datar, dia memandang keduanya."Terima kasih," ucapnya cuek, lalu beralih kepada sanga mama dan berkata, "Ayo kita pulang, Ma.""Sebentar," ucap sang Mama, lalu membuka reseleting dompetnya dan mengeluarkan beberapa helai uang berwarna merah tanpa menghitungnya."Ini sebag
Dahi Adam berkerut setelah mendengar ucapan mamanya. Pria itu memindai wajah sang mama untuk mencari jejak dusta yang mungkin tersirat di sana."Mama jangan bohong!" seru Adam dengan menatap lurus wajah Halima."Dam, kamu tidak percaya sama Mama?" Halima mengadu tatapan dengan Adam. Hatinya kesal karena merasa dicurigai atas hal yang sama sekali tidak dilakukannya.Rasa ragu yang semula bersarang di hati Adam, perlahan meredam. Puluhan tanda tanya berkelindan di benak. Siapa yang telah menyebar undangan itu? Untuk apa? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang berdesakan memenuhi kepala."Ayara tahu Adam akan menikahi Fitriya gara-gara surat undangan. Kalau bukan Mama yang menyebarkan, siapa lagi? Mama yang mengurus semua persiapan." Pandangan lekat Adam pada sang mama mengendur tersebab rasa ragu. Otaknya terus saja berputar, hingga satu nama muncul."Dengerkan Mama. Mama bersumpah tidak memesan surat undangan, Adam. Kapan Mama bohong sama kamu?" Hali
Ayara menatap pria yang kini berdiri di dekatnya. Meski pandangannya terkaburkan oleh guyuran hujan, ia dapat menangkap jejak kesal dari wajah pria yang mengenakan kemeja biru tersebut. Ayara mengusap wajah, lalu mencoba duduk.“Bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah,” ucap pria itu lagi, setengah berteriak walau tidak selantang ucapan sebelumnya.Ayara tidak begitu mendengarkan ucapan pria tersebut. Ia hanya terduduk sambil memeluk lutut. Tangisnya kembali pecah ketika pikirannya kembali mengulang betapa menyedihkannya takdir yang Tuhan suguhkan untuknya.Pria itu tersentuh melihat wanita di hadapannya. Ia mendekat dengan tangan terulur untuk menyentuh pundak Ayara. Namun, Ayara menepis tangan itu dengan kasar tanpa melihat. Perempuan itu merutuk, seharusnya rencananya berjalan mulus. Mengapa Tuhan mengirimkan lelaki tersebut? Masih kurangkah derita yang harus ditanggung olehnya?“Maafkan aku. Kamu tidak bisa terus-terusan di sini,
Rasa perih sebab tatapan datar sang mertua ternyata tak sesakit jawaban yang diterima Ayara. Tangan Ayara yang tadi memegang lengan Bu Halima, terurai. Jawaban singkat itu serupa belati yang menghunjam ulu hati.Ayara meneguk ludah dengan air mata luruh tak terbendung."Ja-jadi, Ibu sudah tahu?" Ayara melontar tanya dengan suara nyaris tak terdengar sebab parau."Kami yang mengatur semuanya, Ayara."Ayara memindah pandangan pada wanita yang baru saja bersuara. Mega menumbuk tatapan kepada Ayara dengan mata memerah. Sementara Ayara yang tidak paham mengapa semua jadi serumit ini, hanya membeku dengan benak dijejali tanya. Pandangannya memindai wajah Mega dan Bu Halima bergantian."Ka-kalian tega ...." Isak tangis Ayara membuat suaranya mengecil."Tega?" Mega tertawa sumbang. "Kamu yang tega! Sejak awal aku memang sudah curiga sama kamu, Ayara. Kami semua tidak percaya keluarga kami dimasuki oleh seorang pelacur sepertimu!" Lengkingan suara Me
Ayara berkali-kali mencoba memejam, tetapi tak kunjung terlelap. Ingatan tentang betapa teganya sang suami berkecamuk, berbenturan dengan kepingan-kepingan kisah bahagia yang selama ini terjalin. Berkali-kali perempuan itu merasa ini hanyalah mimpi buruk belaka, bukan nyata. Namun, di detik berikutnya, kesadarannya kembali bahwa semuanya memang benar-benar terjadi.Hatinya sakit tak terperi. Ingin menangis agar kemelut di dadanya sedikit mengurai, tetapi air mata itu sepertinya sudah habis terkuras.Ayara bangkit dari pembaringan setelah membetulkan letak selimut yang menutupi tubuh mungil sang bayi. Pandangannya beralih pada ponsel di dekat bantal. Pada layar benda yang diaktifkan mode pesawat itu, Ayara melihat jam. Pukul sepuluh malam.Ia bosan dan ingin sedikit mengobrol dengan Nadia. Kamar wanita yang memberikan tumpangan itu tepat berada persis di sebelah kamar yang ditempati Ayara dan Thalita. Samar-samar terdengar Nadia berbicara, sepertinya sedang menel
Mendengar teriakan Ayara, Thalita terkejut dan menangis. Ayara mencoba untuk menenangkan buah dari pernikahannya dengan Adam. Lalu, mengambil ancang-ancang untuk segera pergi meninggalkan sang suami. Namun, secepat kilat laki-laki itu mengunci pergerakan Ayara.“Kamu mau ke mana, Ayara?"“Terserah aku!” Ayara mencoba melepaskan cekalan tangannya, tetapi usahanya sia-sia.“Kamu harus dengar penjelasanku, Ay ....” Wajah Adam terlihat memelas.“Penejelasan?” Penjelasan apa?!” Air mata wanita itu lagi-lagi tumpah. Bagaimana tidak, kebahagiaan yang selama ini ia bangun dengan susah payah bersama sang Suami, kini hancur berantakan.Selama ini, Ayara merasa menjadi wanita yang paling beruntung karena dinikahi oleh laki-laki yang menutup mata pada masa lalunya yang kelam, masa lalu yang hampir semua orang akan merasa jijik padanya jika mengetahuinya. Namun, tidak dengan Adam, laki-laki yang berpengetahu
“Kamu ini aneh, Ay,” celetuk Nadia. Gurat heran jelas terpahat di wajahnya saat mengetahui ternyata Ayara membeli kitab tebal berjilid-jilid untuk hadiah ulang tahun Adam, suaminya. Ayara hanya tersenyum menanggapi Nadia yang masih menatap sahabatnya tersebut dengan lekat.“Mas Adam dari dulu pengen kitab itu, Nad, tapi gak pernah kesampaian,” ucap Ayara kemudian setelah memasang sabuk pengaman. Nadia hanya menoleh sekilas tanpa mengeluarkan suara, kemudian menyalakan mobil.“Emang itu kitab apa, sih, sampe berjilid-jilid gitu?” Nadia kembali bertanya setelah mobil melaju, menoleh ke arah wanita berhijab di sampingnya selintas lalu, kemudian pandangannya fokus kembali memandang ke depan.Ayara tidak segera menjawab pertanyaan sahabatnya itu, masih sibuk mengetik pesan guna memastikan Adam pulang malam ini. Akan ada surprise untuknya.[Nanti malam pulang kan, Mas?]Adam belakangan ini jarang sekali di rumah,