“Kamu ini aneh, Ay,” celetuk Nadia. Gurat heran jelas terpahat di wajahnya saat mengetahui ternyata Ayara membeli kitab tebal berjilid-jilid untuk hadiah ulang tahun Adam, suaminya. Ayara hanya tersenyum menanggapi Nadia yang masih menatap sahabatnya tersebut dengan lekat.
“Mas Adam dari dulu pengen kitab itu, Nad, tapi gak pernah kesampaian,” ucap Ayara kemudian setelah memasang sabuk pengaman. Nadia hanya menoleh sekilas tanpa mengeluarkan suara, kemudian menyalakan mobil.
“Emang itu kitab apa, sih, sampe berjilid-jilid gitu?” Nadia kembali bertanya setelah mobil melaju, menoleh ke arah wanita berhijab di sampingnya selintas lalu, kemudian pandangannya fokus kembali memandang ke depan.
Ayara tidak segera menjawab pertanyaan sahabatnya itu, masih sibuk mengetik pesan guna memastikan Adam pulang malam ini. Akan ada surprise untuknya.
[Nanti malam pulang kan, Mas?]
Adam belakangan ini jarang sekali di rumah, katanya menginap di pesantren karena harus mengisi kursus bahasa Arab hingga larut. Ayara sama sekali tidak keberatan, bahkan senang karena Adam dapat membantu pesantren yang telah menjadikannya orang seperti saat ini.
Lagipula, kasihan juga jika harus pulang tengah malam, lalu besok paginya akan kembali mengajar. Malam ini, malam Jumat, di pesantren tidak ada kegiatan. Momennya sangat pas dengan ulang tahun pria yang sudah bersama Ayara tiga tahun itu.
Satu lagi, masa haid Ayara berakhir tadi pagi. Jadi, malam ini akan menambah manisnya kejutan wanita itu untuk sang suami. Senyum Ayara terus saja terkulum bila mengingat betapa pendiamnya lelaki berbadan tegap tersebut, tapi di balik sifatnya, Adam sangatlah romantis.
“Tafsir Ibnu Katsir.” Ayara menjawab singkat, sepintas melirik Nadia memutar mata, mungkin kesal karena lama Ayara tidak menggubrisnya.
Adam tidak membaca pesan Ayara, padahal status W******p-nya online. Pasti pria itu sedang sibuk, pikir Ayara.
Pikiran Ayara tidak pernah sekelebat pun bernegatif pada pria saleh itu. Bagaimana mungkin dia berprasangka buruk pada laki-laki yang telah memberikan kebahagiaan untuknya setiap waktu? Kebahagiaan Ayara bersama sang suami semakin lengkap dengan kehadiran Thalita, meskipun harus dengan jalan operasi.
[Insya Allah, Sayang. Mas sudah kangen]
Akhirnya senyum Ayara menyungging membaca pesan Adam. Wanita itu menaruh ponsel di atas dashboard, tepat berada di atas selembar kertas undangan dengan dominasi warna kuning keemasan.
“Undangan dari siapa ini, Nad?” Sepasang netra Ayara memicing membaca nama pasangan bahagia di muka undangan, Fitriya & Tirmidzi. Tiba-tiba darahnya berdesir, jantungnya berdegup kencang, serta otaknya tidak dapat terkontrol digerogoti kekhawatiran. Nama lelaki itu persis dengan nama depan sang suami.
“Ooh ... itu dari temen,” jawab Nadia.
Ayara hanya melirik sebentar pada perempuan dengan rambut tergerai di samping. Lekas dirinya mengambil kertas undangan itu dengan tangan sedikit gemetar, memastikan kalau nama itu hanya kebetulan sama. Tidak ada foto kedua pasangan pada muka undangan, membuat Ayara membuka plastik pembungkusnya, lalu mengeluarkan kertas tersebut.
Ayara bagai tersambar petir saat membaca nama lengkap pengantin pria, Adam Tirmidzi bin H. Mahmud Hasan. Nama yang sama dengan laki-laki yang sejak tiga tahun lalu menjadi imamnya. Laki-laki saleh yang setiap hari mengayomi, mengecup keningnya sebelum tidur, serta tidak pernah sekali pun berkata kasar.
Mata Ayara kembali memindai nama yang tertulis, antara percaya atau tidak. Akan tetapi, nama itu tetap tidak berubah.
Jiwa Ayara menolak menerima. Tidak. Tidak mungkin, Adam tidak akan berlaku sekejam itu pada Ayara. Adam tidak akan menduakannya. Tidak mungkin!
Dadanya bergemuruh hebat. Kepalanya tergeleng, tidak percaya dengan takdir yang begitu cepatnya merubah hari-hari bahagianya selama ini. Ia berharap ini mimpi, tetapi saat meraba hangat pipi yang bersimbah air mata, menyadarkan Ayara bahwa ini benar-benar nyata.
“Kamu kenapa, Ay?”
Ayara menyeka air mata yang membanjiri pipi. Dengan cepat bulir-bulir bening itu kembali merayap.
“Mas Adam ....” Suara Ayara tercekat.
Nadia terlihat bingung, tangannya segera mengambil surat undangan yang sedang Ayara pegang, lalu membaca nama pengantin laki-laki. Perempuan itu terhenyak lalu menatap Ayara lekat, meminta konfirmasi bahwa nama laki-laki itu adalah memang suaminya.
***
Bi Sumi kebingungan saat melihat Ayara berjalan cepat dengan mata sembab. Bayi mungil yang sedang digendongnya berceloteh dengan senyum mengembang. Segera Ayara mengambil anak itu, menghujaninya dengan kecupan yang seketika membuat air matanya kembali luruh.
“Mbak, ada apa?” Bi Sumi bertanya cemas.
Ayara hanya menatapnya, lidahnya terasa kelu, tidak mampu menjelaskan apa-apa. Bergegas perempuan itu melangkah menuju kamar.
Bi Sumi memandang bingung dari ambang pintu ketika melihat Ayara menaruh Thalita di atas kasur dan tergopoh meraih koper dari bawah ranjang.
Beberapa potong pakaian ia masukkan sembarang, serta tidak lupa perlengkapan-perlengkapan Thalita juga ia pastikan tidak ada yang tertinggal. Perempuan akan melangkahkan kaki untuk meninggalkan rumah itu setelah menutup koper rapat-rapat.
Tidak ada yang bisa diharapkan dari Adam, laki-laki yang dulu pernah mengatakan bahwa poligami seringkali dipelintir sebagai anjuran agama, dan sesungguhnya, Islam sangat menjunjung konsep monogami. Begitu tuturnya dulu ketika Ayara menjadikan dadanya sebagai bantal saat akan tidur.
“Bi ... saya pamit,” ucap Ayara serak. Ia menyeka sisa-sisa air mata yang membasahi pipi.
Bi Sumi masih terlihat bingung. Mematung tidak mengerti. Barulah ia paham jika sedang terjadi goncangan dalam keluarga majikannya saat Ayara meninggalkannya begitu saja dengan langkah cepat.
Terlihat mobil Adam memasuki pekarangan saat Ayara membuka pintu rumah. Pria itu keluar dari dalam mobil dengan senyum mengembang seperti biasanya. Namun, tidak dengan Ayara. Rasa bahagia tatkala melihat senyumnya, kini berubah menjadi kebencian luar biasa yang menggerogoti hati.
Senyum pria itu memudar saat melihat sang istri menyeret koper dengan mata sembab. Kembali air mata Ayara tumpah tanpa bisa ditahan.
“Sayang ....” Adam melangkah cepat menghampiri sang istri. Menatapnya lekat dengan wajah kebingungan. Tangannya mencekal pergelangan tangan Ayara saat hendak melangkah.
“Kamu kenapa, Ayara?”
Lihatlah, pria itu masih bermaksud mengelabuhi Ayara dengan sifat lugunya. Ayara menatap lelaki di depannya dengan mata menjegil.
“Lepas!”
Ayara mengibaskan tangan agar terlepas dari cekalan Adam. Surat undangan yang sejak tadi diremasnya terjatuh bersamaan dengan terlepasnya tangan wanita itu.
Pandangan Adam kini beralih pada kertas undangan itu. Ia terkesiap saat tersadar bahwa sang istri telah mengetahui rahasia besar yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
BersambungMendengar teriakan Ayara, Thalita terkejut dan menangis. Ayara mencoba untuk menenangkan buah dari pernikahannya dengan Adam. Lalu, mengambil ancang-ancang untuk segera pergi meninggalkan sang suami. Namun, secepat kilat laki-laki itu mengunci pergerakan Ayara.“Kamu mau ke mana, Ayara?"“Terserah aku!” Ayara mencoba melepaskan cekalan tangannya, tetapi usahanya sia-sia.“Kamu harus dengar penjelasanku, Ay ....” Wajah Adam terlihat memelas.“Penejelasan?” Penjelasan apa?!” Air mata wanita itu lagi-lagi tumpah. Bagaimana tidak, kebahagiaan yang selama ini ia bangun dengan susah payah bersama sang Suami, kini hancur berantakan.Selama ini, Ayara merasa menjadi wanita yang paling beruntung karena dinikahi oleh laki-laki yang menutup mata pada masa lalunya yang kelam, masa lalu yang hampir semua orang akan merasa jijik padanya jika mengetahuinya. Namun, tidak dengan Adam, laki-laki yang berpengetahu
Ayara berkali-kali mencoba memejam, tetapi tak kunjung terlelap. Ingatan tentang betapa teganya sang suami berkecamuk, berbenturan dengan kepingan-kepingan kisah bahagia yang selama ini terjalin. Berkali-kali perempuan itu merasa ini hanyalah mimpi buruk belaka, bukan nyata. Namun, di detik berikutnya, kesadarannya kembali bahwa semuanya memang benar-benar terjadi.Hatinya sakit tak terperi. Ingin menangis agar kemelut di dadanya sedikit mengurai, tetapi air mata itu sepertinya sudah habis terkuras.Ayara bangkit dari pembaringan setelah membetulkan letak selimut yang menutupi tubuh mungil sang bayi. Pandangannya beralih pada ponsel di dekat bantal. Pada layar benda yang diaktifkan mode pesawat itu, Ayara melihat jam. Pukul sepuluh malam.Ia bosan dan ingin sedikit mengobrol dengan Nadia. Kamar wanita yang memberikan tumpangan itu tepat berada persis di sebelah kamar yang ditempati Ayara dan Thalita. Samar-samar terdengar Nadia berbicara, sepertinya sedang menel
Rasa perih sebab tatapan datar sang mertua ternyata tak sesakit jawaban yang diterima Ayara. Tangan Ayara yang tadi memegang lengan Bu Halima, terurai. Jawaban singkat itu serupa belati yang menghunjam ulu hati.Ayara meneguk ludah dengan air mata luruh tak terbendung."Ja-jadi, Ibu sudah tahu?" Ayara melontar tanya dengan suara nyaris tak terdengar sebab parau."Kami yang mengatur semuanya, Ayara."Ayara memindah pandangan pada wanita yang baru saja bersuara. Mega menumbuk tatapan kepada Ayara dengan mata memerah. Sementara Ayara yang tidak paham mengapa semua jadi serumit ini, hanya membeku dengan benak dijejali tanya. Pandangannya memindai wajah Mega dan Bu Halima bergantian."Ka-kalian tega ...." Isak tangis Ayara membuat suaranya mengecil."Tega?" Mega tertawa sumbang. "Kamu yang tega! Sejak awal aku memang sudah curiga sama kamu, Ayara. Kami semua tidak percaya keluarga kami dimasuki oleh seorang pelacur sepertimu!" Lengkingan suara Me
Ayara menatap pria yang kini berdiri di dekatnya. Meski pandangannya terkaburkan oleh guyuran hujan, ia dapat menangkap jejak kesal dari wajah pria yang mengenakan kemeja biru tersebut. Ayara mengusap wajah, lalu mencoba duduk.“Bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah,” ucap pria itu lagi, setengah berteriak walau tidak selantang ucapan sebelumnya.Ayara tidak begitu mendengarkan ucapan pria tersebut. Ia hanya terduduk sambil memeluk lutut. Tangisnya kembali pecah ketika pikirannya kembali mengulang betapa menyedihkannya takdir yang Tuhan suguhkan untuknya.Pria itu tersentuh melihat wanita di hadapannya. Ia mendekat dengan tangan terulur untuk menyentuh pundak Ayara. Namun, Ayara menepis tangan itu dengan kasar tanpa melihat. Perempuan itu merutuk, seharusnya rencananya berjalan mulus. Mengapa Tuhan mengirimkan lelaki tersebut? Masih kurangkah derita yang harus ditanggung olehnya?“Maafkan aku. Kamu tidak bisa terus-terusan di sini,
Dahi Adam berkerut setelah mendengar ucapan mamanya. Pria itu memindai wajah sang mama untuk mencari jejak dusta yang mungkin tersirat di sana."Mama jangan bohong!" seru Adam dengan menatap lurus wajah Halima."Dam, kamu tidak percaya sama Mama?" Halima mengadu tatapan dengan Adam. Hatinya kesal karena merasa dicurigai atas hal yang sama sekali tidak dilakukannya.Rasa ragu yang semula bersarang di hati Adam, perlahan meredam. Puluhan tanda tanya berkelindan di benak. Siapa yang telah menyebar undangan itu? Untuk apa? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang berdesakan memenuhi kepala."Ayara tahu Adam akan menikahi Fitriya gara-gara surat undangan. Kalau bukan Mama yang menyebarkan, siapa lagi? Mama yang mengurus semua persiapan." Pandangan lekat Adam pada sang mama mengendur tersebab rasa ragu. Otaknya terus saja berputar, hingga satu nama muncul."Dengerkan Mama. Mama bersumpah tidak memesan surat undangan, Adam. Kapan Mama bohong sama kamu?" Hali
Pandangan lekat wanita paruh baya itu terpotong oleh suara seorang pria. Derap langkah setengah berlari menyusul bariton tersebut, semakin dekat. Tiga pasang mata tertuju pada pria tampan dengan raut cemas yang menghampiri."Mama tidak apa-apa?" Pria itu bertanya setelah berada di dekat sang mama. Pandangannya sekilas beralih pada sosok dua wanita di dekat mamanya."Mama tidak apa-apa, Van. Tapi Mama hampir saja kehilangan dompet Mama kalau saja tidak ada mereka," papar wanita berhijab panjang tersebut. Dengan senyum merekah, wajahnya tertoleh kepada dua perempuan yang dimaksud di dekatnya.Pria itu mengarahkan pandangan kepada dua wanita di samping sang mama. Dengan wajah datar, dia memandang keduanya."Terima kasih," ucapnya cuek, lalu beralih kepada sanga mama dan berkata, "Ayo kita pulang, Ma.""Sebentar," ucap sang Mama, lalu membuka reseleting dompetnya dan mengeluarkan beberapa helai uang berwarna merah tanpa menghitungnya."Ini sebag