Beranda / Romansa / PLAYER / 69 Pelik

Share

69 Pelik

Penulis: Ans18
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Ervin menatap Arla yang kini terdiam. Mamanya telah masuk kembali ke dalam ruangannya, tapi … bagaimana ia bisa menjelaskan kepada Arla kalau pegawai mamanya yang lain ada di sekitar Arla.

Mungkin ia bisa menngajak Arla menjauh sebentar dengan alasan membicarakan proyek mereka. Tapi baru saja kakinya akan melangkah, getaran ponsel di saku celananya membuat Ervin harus mengangkat telepon.

Aris—tangan kanannya yang ia selundupkan untuk mengawasi gerak-gerik Direktur Utama. Dulu, Ervin mengira kalau hanya kinerja Direktur Utama di Wijaya Candra saja yang sedikit lambat, tapi semakin lama, Ervin tahu ada yang tidak beres. Sudah hampir satu tahun Ervin berhasil menyelundupkan Aris ke dalam kendang emas sang Direktur Utama dan kini sepertinya upayanya mulai membuahkan hasil.

“Iya, Ris?”

“Bagian belakang gudang Jakarta Barat kebakaran, Pak.”

Satu sudut bibir Ervin terangkat. ‘Licik!’

“Seperti yang kita perkirakan, Pak.”

“Sudah bisa di-handle?”

“Sudah, Pak. Sedang proses pencarian barang bukt
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • PLAYER   70 Amoureux de Lui

    “Tuan putri kita kayaknya lagi ada masalah nih,” ledek Nathan yang sedari tadi memperhatikan Arla.Pandangan Arla kosong, sama sekali tidak menimpali gurauan mereka, sama sekali tidak menyentuh makanan yang dipesannya. Apa lagi namanya kalau tidak sedang dalam masalah.Arla hanya mencomot irisan timun yang ada di atas piringnya. Hatinya masih belum tergerak sama sekali untuk menikmati sepiring nasi dan ayam penyet dengan level paling pedas di rumah makan itu.“Ada apa sih, La? Cerita dong! Buat apa lo ngumpulin kita kalo cuma mau ngasih silent tratment?” Putra mendekatkan gelas berisi ice lemonide yang dipesan Arla dan juga belum tersentuh.“Kita ada salah?” Angga justru khawatir kalau Arla benar-benar serius memberikan silent treatment karena kesalahan mereka.“Je tombe déjà amoureux de lui et maintenant il écrase mon cœur.” (I already falling for him and now he crush my heart)Nathan dan Putra memutar kedua bola matanya dengan malas. Sementara Angga terdiam dan mencoba mengingat apa

  • PLAYER   71 Tidak Ada yang Siap untuk Berkomitmen

    “Ngapain sih lo ke sini malem-malem?” Bastian mengucek matanya. Ia baru pulang dari café-nya dan menemukan mobil Ervin yang terparkir di luar rumahnya. “Untung nggak diusir satpam komplek lo.”“Gue perlu ngomong sama lo, Bas.”Melihat raut wajah Ervin yang serius, Bastian tidak membalas apa pun, hanya bergegas membuka pintu rumahnya.“Ada apaan sih?” tanya Bastian yang langsung mengajak Ervin menuju mini bar yang ada di dekat dapur.Ervin mengusap wajahnya dengan kalut. “Gue to the point aja. Gimana hubungan lo sama Lily?”Bastian terkesiap, sama sekali tidak menyangka kalau Ervin bisa mengendus kedekatannya dengan Lily. Sebenarnya, antara dirinya dan Lily belum ada hubungan apa-apa. Ia masih belum berani terang-terangan mendekati Lily karena tahu kalau Lily dekat dengan Ervin—bahkan sudah dianggap adik oleh Ervin.“Emang Lily bilang apa?” tanya Bastian memastikan. Setidaknya kalau Lily menjawab mereka sedang dekat, Bastian bisa melakukan hal yang sama. Tapi mengakui kedekatan yang mu

  • PLAYER   72 Sendiri tapi Tidak Sendirian

    Ervin merebahkan diri di sofa ruang kerja mamanya. Sebenarnya pagi tadi ia sudah berniat bulat untuk membongkar hubungannya dengan Arla di depan mamanya.Tapi ancaman Arla sebelum keluar ruang rapat beberapa menit sebelumnya terus terngiang di benaknya.‘Aku bakal resign dan pergi sejauh-jauhnya kalau kamu buka hubungan kita kemarin ke orang-orang terutama keluargamu.’Bagaimana mungkin Ervin bisa mengatakannya setelah mendapat ancaman seperti itu? Bagaimana kalau Arla benar-benar pergi dan tidak bisa ia temui lagi?“Kamu nggak enak badan, Vin?” tanya mamanya yang kini ikut duduk di single arm chair di dekat sofa sambil meletakkan tangannya di atas kening Ervin, mengukur suhu tubuh anaknya dengan cara yang paling tradisional.“Nggak enak ati, Ma.”Rhea menghela napas. Memang Ervin tidak demam, tapi ia bisa melihat raut wajah ‘tidak baik-baik saja’ pada Ervin.“Periksa ke Om Pras coba, mungkin ada masalah sama livermu. Om Pras pasti nggak mau kan punya calon menantu yang sakit liver.”

  • PLAYER   73 Single or in a Relationship?

    Ervin berdiri diam, memperhatikan Arla dari jauh. Beberapa pegawai coffee shop melihatnya dengan bingung, namun ia abaikan. Ia tidak bisa mendekati Arla yang tetap pada pendiriannya bahwa hubungan mereka sudah berakhir.“Nggak bawa mobil, La?” tanya Yusi yang melihat Arla masih berdiri di depan coffee shop.“Nggak bawa hari ini, hampir telat tadi pagi, jadi naik ojek.”“Mau bareng?” tawar Yusi.“Nggak usah, ada yang jemput kok.”Yusi mengangguk singkat kemudian berpamitan.Arla masih terlihat beberapa kali mengecek ponselnya, sampai sebuah sedan berhenti di depannya. Seorang pria turun dari kemudi dan mendekat pada Arla.“Arla?”Arla menangguk. “Mas Prayoga?”Lelaki itu tersenyum, mengulurkan tangan sambil memperkenalkan diri. “Panggil aja Yoga.”Ervin mengernyit bingung. ‘Driver taksi online? Kenapa harus kenalan dulu?’ Beberapa detik kemudian Ervin baru sadar, kalau sedan itu terlalu mentereng untuk digunakan seseorang sebagai taksi online.Bergegas Ervin memanggil taksi dan membunt

  • PLAYER   74 Cuma Suka atau Jatuh Cinta?

    Ervin hanya mengaduk makanan di atas piringnya dengan malas. Kalau saja ia tidak sampai dijemput supir untuk pulang, pastilah ia tidak akan ada di meja makan bersama orang tuanya saat ini.“Jangan cuma diaduk-aduk! Dimakan! Di luar banyak orang nggak bisa makan.”Ervin melirik papanya. Kekesalannya masih bertumpuk tapi ia memang hampir tidak pernah melawan orang tuanya kecuali masalah kelakuannya yang sering berganti pacar dan sekarang bertambah dengan masalah perjodohan itu.“Kamu kepengan apa? Mau Mama bikinin yang lain?” tanya Rhea yang resah dengan keadaan Ervin belakangan ini.“Nggak, Ma. Ini aja.” Ervin mulai menyendok makanannya meski terasa hambar di lidah.“Kamu udah mulai harus ngomongin konsep engagement party kamu nantinya ke Lily. Siapa tau Lily punya mimpi selama ini mau kayak apa acaranya,” ucap Naren santai. Istrinya yang mendelik kesal ke arahnya pun sudah ia abaikan, demi masa depan Ervin yang menurutnya gelap jika tidak segera diarahkan ke jalan yang benar.“Mimpiny

  • PLAYER   75 It's Weird! It's Hurt!

    “Hari ini harus keluar kantor, Vin.” Lily agak takut-takut mengucapkannya melihat mood Ervin belakangan yang agak sering naik turun, mirip perempuan sedang PMS.“Ke mana?”Kan, Ervin sudah memicing ke arah Lily, membuat Lily kesal sekaligus sedikit takut.“Kamu nggak inget, kita belum dapet supplier tetap buat gantiin supplier yang bermasalah waktu itu.”“Aku juga yang harus ngurus? Itu kan harusnya urusan Direktur Operasional. Waktu itu aku cuma turun tangan karena keadaannya urgent dan Papa nyuruh aku handle.”“Hmmm … semalem keluar surat keputusan Dewan Komisaris. Isinya Direktur Utama, Direktur Finance, Direktur Operasional, dinonaktifkan sementara sampai keputusan Dewan Komisaris berikutnya. Dan kamu, sebagai Direktur Pemasaran, yang ambil keputusan untuk sementara.”“Hah?” Kepala Ervin rasanya hampir meledak. Ia memang berniat mengurus orang-orang itu, tapi kenapa harus di saat seperti ini—saat ia bahkan tidak berminat melakukan apa-apa.“Cek email, Vin. Tapi pagi kantor induk u

  • PLAYER   76 Hangat dan Khidmat

    “Lil, ikut aku.”“Ke mana?” Lily bahkan tidak repot-repot mendongak meskipun yang sedang bicara padanya adalah atasannya.“Ke kantor Mama.”Barulah sekarang Lily mendongak karena bingung mendengar ajakan Ervin. “Ngapain?”“Udah ikut aja. Makan siang sama Mama.”Lily mengernyitkan dahi. Sejak kapan Ervin mengajaknya makan siang bersama mamanya? Meskipun mereka saling mengenal, tapi hampir tidak pernah mereka makan siang bersama, kecuali ada Yara dan Aileen yang menyertai.“Bakal ada pembicaraan masalah perjodohan, pertunangan, atau yang semacamnya? Karena kalo iya, mending aku nggak ikut deh. Males. Capek aku diuber-uber mamaku masalah konsep pertunangan.”“Nggak. Kayaknya. Udah deh ikut aja.”Mau tidak mau, Lily terpaksa bangkit dan mengekori Ervin.***Ervin dan Lily sudah saling mengenal sejak kecil. Keduanya tidak akan kehabisan bahan obrolan meskipun berdua selama berjam-jam. Ada saja yang mereka bicarakan, apalagi ketika mereka sudah membicarakan sesuatu yang menurut mereka seru,

  • PLAYER   77 Espèce De Bâtard Fou!

    Arla mengangkat pandangannya dari layar ponsel. Matanya menatap Ervin dengan tajam dan Ervin balas menatapnya seperti menantang.“Sembarangan kamu! Arla asisten Mama di kantor, enak aja kamu suruh-suruh buat ngurus acara pribadi kamu.” Rhea ingin memukul Ervin detik itu juga tapi sayangnya jarak mereka cukup jauh. Apa anaknya itu tidak waras? Meminta wanita yang pernah diciumnya untuk mengurus pertunangannya? Mau menciptakan adegan seperti apa sebenarnya Ervin ini?“Saya nggak keberatan kok, Bu. Kehormatan buat saya kalau bisa bantuin acara pertunangan anak Bu Rhea. Cuma masalahnya saya belum pernah ngurus acara seperti itu, takut hasilnya kurang memuaskan.”Ok. It’s a war!Rhea dan Lily hanya bisa diam mendengar jawaban Arla, tidak tahu bagaimana harus bersikap, sementara kedua orang itu seperti sedang mengibarkan bendera perang.“Kita pake EO aja—”“No, Ma. Arla kan udah bersedia. Kerjaannya selama ini selalu rapi kan, Ma. Dua kakaknya juga udah menikah, pasti punyalah sedikit penga

Bab terbaru

  • PLAYER   200 Extra Part 2 ( Je T'aime Chaque Jour Davantage)

    "Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat

  • PLAYER   199 Extra Part 1 (Bagaimana Kalau Jiwa Player Mendarah Daging?)

    “Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang

  • PLAYER   198 Ancel Adhiputra Candra

    “Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge

  • PLAYER   197 Tinggal di Rumah Mertua

    Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut

  • PLAYER   196 Kita ke Rumah Sakit!

    “Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r

  • PLAYER   195 Bargain

    “Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah

  • PLAYER   194 The True Face of Pramono

    “Dirga rewel?” tanya Abiel yang baru menjemput Dirga sore hari. Ternyata ia benar-benar butuh ‘me time’. Jadi setelah pertemuannya dengan Pramono dan selingkuhannya itu, Abiel pergi ke salon langganannya untuk creambath. Meskipun pijatan dari pegawai salon itu tidak juga menghilangkan pusingnya, setidaknya ia punya waktu untuk melatih senyuman palsunya di depan Dirga—anak sematawayangnya.“Nggak. Sejak kapan Dirga rewel. Kalo udah ketemu sama Lashira tuh, baru saling ganggu, saling bikin nangis.” Arla mengajak Abiel untuk duduk di ruang makan. Ia mengambil satu pitcher es jeruk yang sudah disiapkannya di dalam kulkas.“Sekarang Dirga mana?”“Lagi ke minimarket bawah sama Mas Ervin.” Arla tahu kalau Abiel sedang ingin cepat angkat kaki dari apartemennya demi menghindari pembicaraan tentang Pramono dan perselingkuhannya. “Jadi, kamu apain dia? Udah beres masalahnya?”Abiel memilih diam.“Hubungan kita memang kayak Tom and Jerry, Biel. Tapi … kita tetep saudara. Aku juga akan tetep bela

  • PLAYER   193 Satu Aja Nggak Abis-Abis

    "Maaas, Abiel mau ke sini. Mau nitipin Dirga." Arla terburu menyusul Ervin yang berada di dapur untuk membuatkannya puding. Arla tersenyum melihat suaminya sedang video call dengan Bi Ijah demi mendapatkan tutorial yang meyakinkan. "Bisa? Sini aku aja.""No, no, udah tinggal nunggu mendidih kok. Tadi apa kata kamu? Abiel mau nitipin Dirga di sini?""Iya. Abiel mau ketemu sama Mas Pram dan dia nggak mau Dirga denger apa yang mereka omongin.""Ok, mumpung weekend, dan pas banget aku lagi bikin puding. Nanti kita ke bawah beli snack ya buat Dirga.""Nunggu Dirga dateng aja, biar dia yang milih snack-nya.""Ok. Done. Bi Ijah makasih ya, Bi. Ini tinggal kupindah ke wadah trus nunggu uap panasnya ilang, baru masukin ke kulkas kan. Sip." Ervin mengakhiri sambungan video call, lalu sibuk menuang puding buatannya ke wadah kaca. "Sabar ya, Sayang. Tunggu pudingnya dingin," ucap Ervin sambil mengusap perut istrinya yang kini mulai terlihat membuncit di dua puluh minggu kehamilannya.Entah siapa

  • PLAYER   192 Kamu yang Menang

    “Dek, jujur ya. Aku kelihatan gendut banget ya? Perutku kelihatan buncit kan?” Berulang kali Arla berkaca dan sudah lebih dari lima orang yang mengatakan kalau ia tidak terlihat sedang hamil, tapi masih saja Arla gelisah. ‘Ini terakhir kalinya,’ batin Arla. Ia berjanji Yara—adik iparnya—adalah orang terakhir yang ia tanya.“Nggak kok, Kak. Masih lurus, lempeng. Nggak pake stagen, korset, atau semacamnya kan, Kak? Kasihan ponakan aku kegencet.”Arla terkekeh geli melihat raut wajah Yara yang benar-benar terlihat memelas. “Nggak, mana dibolehin sama kakakmu.”“Lagian begini aja masih kelihatan langsing kok. Kak Arla ngatur makan ya?”“Nggak juga, ini aja udah naik tiga kilo. Sempet diomelin kemaren karena bajunya mesti dirombak lagi.”“Ah iya, aku jadi keinget, karena Kak Arla lagi ngomongin baju. Mama udah tau apa yang dilakukan Anya. Mama mau ngamuk, untung ada Kak Aileen yang nenangin. Jadi Mama udah nggak make jasa butik dia lagi mulai sekarang.”Arla menghela napas. “Sebenernya kal

DMCA.com Protection Status