“Tuan putri kita kayaknya lagi ada masalah nih,” ledek Nathan yang sedari tadi memperhatikan Arla.Pandangan Arla kosong, sama sekali tidak menimpali gurauan mereka, sama sekali tidak menyentuh makanan yang dipesannya. Apa lagi namanya kalau tidak sedang dalam masalah.Arla hanya mencomot irisan timun yang ada di atas piringnya. Hatinya masih belum tergerak sama sekali untuk menikmati sepiring nasi dan ayam penyet dengan level paling pedas di rumah makan itu.“Ada apa sih, La? Cerita dong! Buat apa lo ngumpulin kita kalo cuma mau ngasih silent tratment?” Putra mendekatkan gelas berisi ice lemonide yang dipesan Arla dan juga belum tersentuh.“Kita ada salah?” Angga justru khawatir kalau Arla benar-benar serius memberikan silent treatment karena kesalahan mereka.“Je tombe déjà amoureux de lui et maintenant il écrase mon cœur.” (I already falling for him and now he crush my heart)Nathan dan Putra memutar kedua bola matanya dengan malas. Sementara Angga terdiam dan mencoba mengingat apa
“Ngapain sih lo ke sini malem-malem?” Bastian mengucek matanya. Ia baru pulang dari café-nya dan menemukan mobil Ervin yang terparkir di luar rumahnya. “Untung nggak diusir satpam komplek lo.”“Gue perlu ngomong sama lo, Bas.”Melihat raut wajah Ervin yang serius, Bastian tidak membalas apa pun, hanya bergegas membuka pintu rumahnya.“Ada apaan sih?” tanya Bastian yang langsung mengajak Ervin menuju mini bar yang ada di dekat dapur.Ervin mengusap wajahnya dengan kalut. “Gue to the point aja. Gimana hubungan lo sama Lily?”Bastian terkesiap, sama sekali tidak menyangka kalau Ervin bisa mengendus kedekatannya dengan Lily. Sebenarnya, antara dirinya dan Lily belum ada hubungan apa-apa. Ia masih belum berani terang-terangan mendekati Lily karena tahu kalau Lily dekat dengan Ervin—bahkan sudah dianggap adik oleh Ervin.“Emang Lily bilang apa?” tanya Bastian memastikan. Setidaknya kalau Lily menjawab mereka sedang dekat, Bastian bisa melakukan hal yang sama. Tapi mengakui kedekatan yang mu
Ervin merebahkan diri di sofa ruang kerja mamanya. Sebenarnya pagi tadi ia sudah berniat bulat untuk membongkar hubungannya dengan Arla di depan mamanya.Tapi ancaman Arla sebelum keluar ruang rapat beberapa menit sebelumnya terus terngiang di benaknya.‘Aku bakal resign dan pergi sejauh-jauhnya kalau kamu buka hubungan kita kemarin ke orang-orang terutama keluargamu.’Bagaimana mungkin Ervin bisa mengatakannya setelah mendapat ancaman seperti itu? Bagaimana kalau Arla benar-benar pergi dan tidak bisa ia temui lagi?“Kamu nggak enak badan, Vin?” tanya mamanya yang kini ikut duduk di single arm chair di dekat sofa sambil meletakkan tangannya di atas kening Ervin, mengukur suhu tubuh anaknya dengan cara yang paling tradisional.“Nggak enak ati, Ma.”Rhea menghela napas. Memang Ervin tidak demam, tapi ia bisa melihat raut wajah ‘tidak baik-baik saja’ pada Ervin.“Periksa ke Om Pras coba, mungkin ada masalah sama livermu. Om Pras pasti nggak mau kan punya calon menantu yang sakit liver.”
Ervin berdiri diam, memperhatikan Arla dari jauh. Beberapa pegawai coffee shop melihatnya dengan bingung, namun ia abaikan. Ia tidak bisa mendekati Arla yang tetap pada pendiriannya bahwa hubungan mereka sudah berakhir.“Nggak bawa mobil, La?” tanya Yusi yang melihat Arla masih berdiri di depan coffee shop.“Nggak bawa hari ini, hampir telat tadi pagi, jadi naik ojek.”“Mau bareng?” tawar Yusi.“Nggak usah, ada yang jemput kok.”Yusi mengangguk singkat kemudian berpamitan.Arla masih terlihat beberapa kali mengecek ponselnya, sampai sebuah sedan berhenti di depannya. Seorang pria turun dari kemudi dan mendekat pada Arla.“Arla?”Arla menangguk. “Mas Prayoga?”Lelaki itu tersenyum, mengulurkan tangan sambil memperkenalkan diri. “Panggil aja Yoga.”Ervin mengernyit bingung. ‘Driver taksi online? Kenapa harus kenalan dulu?’ Beberapa detik kemudian Ervin baru sadar, kalau sedan itu terlalu mentereng untuk digunakan seseorang sebagai taksi online.Bergegas Ervin memanggil taksi dan membunt
Ervin hanya mengaduk makanan di atas piringnya dengan malas. Kalau saja ia tidak sampai dijemput supir untuk pulang, pastilah ia tidak akan ada di meja makan bersama orang tuanya saat ini.“Jangan cuma diaduk-aduk! Dimakan! Di luar banyak orang nggak bisa makan.”Ervin melirik papanya. Kekesalannya masih bertumpuk tapi ia memang hampir tidak pernah melawan orang tuanya kecuali masalah kelakuannya yang sering berganti pacar dan sekarang bertambah dengan masalah perjodohan itu.“Kamu kepengan apa? Mau Mama bikinin yang lain?” tanya Rhea yang resah dengan keadaan Ervin belakangan ini.“Nggak, Ma. Ini aja.” Ervin mulai menyendok makanannya meski terasa hambar di lidah.“Kamu udah mulai harus ngomongin konsep engagement party kamu nantinya ke Lily. Siapa tau Lily punya mimpi selama ini mau kayak apa acaranya,” ucap Naren santai. Istrinya yang mendelik kesal ke arahnya pun sudah ia abaikan, demi masa depan Ervin yang menurutnya gelap jika tidak segera diarahkan ke jalan yang benar.“Mimpiny
“Hari ini harus keluar kantor, Vin.” Lily agak takut-takut mengucapkannya melihat mood Ervin belakangan yang agak sering naik turun, mirip perempuan sedang PMS.“Ke mana?”Kan, Ervin sudah memicing ke arah Lily, membuat Lily kesal sekaligus sedikit takut.“Kamu nggak inget, kita belum dapet supplier tetap buat gantiin supplier yang bermasalah waktu itu.”“Aku juga yang harus ngurus? Itu kan harusnya urusan Direktur Operasional. Waktu itu aku cuma turun tangan karena keadaannya urgent dan Papa nyuruh aku handle.”“Hmmm … semalem keluar surat keputusan Dewan Komisaris. Isinya Direktur Utama, Direktur Finance, Direktur Operasional, dinonaktifkan sementara sampai keputusan Dewan Komisaris berikutnya. Dan kamu, sebagai Direktur Pemasaran, yang ambil keputusan untuk sementara.”“Hah?” Kepala Ervin rasanya hampir meledak. Ia memang berniat mengurus orang-orang itu, tapi kenapa harus di saat seperti ini—saat ia bahkan tidak berminat melakukan apa-apa.“Cek email, Vin. Tapi pagi kantor induk u
“Lil, ikut aku.”“Ke mana?” Lily bahkan tidak repot-repot mendongak meskipun yang sedang bicara padanya adalah atasannya.“Ke kantor Mama.”Barulah sekarang Lily mendongak karena bingung mendengar ajakan Ervin. “Ngapain?”“Udah ikut aja. Makan siang sama Mama.”Lily mengernyitkan dahi. Sejak kapan Ervin mengajaknya makan siang bersama mamanya? Meskipun mereka saling mengenal, tapi hampir tidak pernah mereka makan siang bersama, kecuali ada Yara dan Aileen yang menyertai.“Bakal ada pembicaraan masalah perjodohan, pertunangan, atau yang semacamnya? Karena kalo iya, mending aku nggak ikut deh. Males. Capek aku diuber-uber mamaku masalah konsep pertunangan.”“Nggak. Kayaknya. Udah deh ikut aja.”Mau tidak mau, Lily terpaksa bangkit dan mengekori Ervin.***Ervin dan Lily sudah saling mengenal sejak kecil. Keduanya tidak akan kehabisan bahan obrolan meskipun berdua selama berjam-jam. Ada saja yang mereka bicarakan, apalagi ketika mereka sudah membicarakan sesuatu yang menurut mereka seru,
Arla mengangkat pandangannya dari layar ponsel. Matanya menatap Ervin dengan tajam dan Ervin balas menatapnya seperti menantang.“Sembarangan kamu! Arla asisten Mama di kantor, enak aja kamu suruh-suruh buat ngurus acara pribadi kamu.” Rhea ingin memukul Ervin detik itu juga tapi sayangnya jarak mereka cukup jauh. Apa anaknya itu tidak waras? Meminta wanita yang pernah diciumnya untuk mengurus pertunangannya? Mau menciptakan adegan seperti apa sebenarnya Ervin ini?“Saya nggak keberatan kok, Bu. Kehormatan buat saya kalau bisa bantuin acara pertunangan anak Bu Rhea. Cuma masalahnya saya belum pernah ngurus acara seperti itu, takut hasilnya kurang memuaskan.”Ok. It’s a war!Rhea dan Lily hanya bisa diam mendengar jawaban Arla, tidak tahu bagaimana harus bersikap, sementara kedua orang itu seperti sedang mengibarkan bendera perang.“Kita pake EO aja—”“No, Ma. Arla kan udah bersedia. Kerjaannya selama ini selalu rapi kan, Ma. Dua kakaknya juga udah menikah, pasti punyalah sedikit penga