Ervin berdiri diam, memperhatikan Arla dari jauh. Beberapa pegawai coffee shop melihatnya dengan bingung, namun ia abaikan. Ia tidak bisa mendekati Arla yang tetap pada pendiriannya bahwa hubungan mereka sudah berakhir.“Nggak bawa mobil, La?” tanya Yusi yang melihat Arla masih berdiri di depan coffee shop.“Nggak bawa hari ini, hampir telat tadi pagi, jadi naik ojek.”“Mau bareng?” tawar Yusi.“Nggak usah, ada yang jemput kok.”Yusi mengangguk singkat kemudian berpamitan.Arla masih terlihat beberapa kali mengecek ponselnya, sampai sebuah sedan berhenti di depannya. Seorang pria turun dari kemudi dan mendekat pada Arla.“Arla?”Arla menangguk. “Mas Prayoga?”Lelaki itu tersenyum, mengulurkan tangan sambil memperkenalkan diri. “Panggil aja Yoga.”Ervin mengernyit bingung. ‘Driver taksi online? Kenapa harus kenalan dulu?’ Beberapa detik kemudian Ervin baru sadar, kalau sedan itu terlalu mentereng untuk digunakan seseorang sebagai taksi online.Bergegas Ervin memanggil taksi dan membunt
Ervin hanya mengaduk makanan di atas piringnya dengan malas. Kalau saja ia tidak sampai dijemput supir untuk pulang, pastilah ia tidak akan ada di meja makan bersama orang tuanya saat ini.“Jangan cuma diaduk-aduk! Dimakan! Di luar banyak orang nggak bisa makan.”Ervin melirik papanya. Kekesalannya masih bertumpuk tapi ia memang hampir tidak pernah melawan orang tuanya kecuali masalah kelakuannya yang sering berganti pacar dan sekarang bertambah dengan masalah perjodohan itu.“Kamu kepengan apa? Mau Mama bikinin yang lain?” tanya Rhea yang resah dengan keadaan Ervin belakangan ini.“Nggak, Ma. Ini aja.” Ervin mulai menyendok makanannya meski terasa hambar di lidah.“Kamu udah mulai harus ngomongin konsep engagement party kamu nantinya ke Lily. Siapa tau Lily punya mimpi selama ini mau kayak apa acaranya,” ucap Naren santai. Istrinya yang mendelik kesal ke arahnya pun sudah ia abaikan, demi masa depan Ervin yang menurutnya gelap jika tidak segera diarahkan ke jalan yang benar.“Mimpiny
“Hari ini harus keluar kantor, Vin.” Lily agak takut-takut mengucapkannya melihat mood Ervin belakangan yang agak sering naik turun, mirip perempuan sedang PMS.“Ke mana?”Kan, Ervin sudah memicing ke arah Lily, membuat Lily kesal sekaligus sedikit takut.“Kamu nggak inget, kita belum dapet supplier tetap buat gantiin supplier yang bermasalah waktu itu.”“Aku juga yang harus ngurus? Itu kan harusnya urusan Direktur Operasional. Waktu itu aku cuma turun tangan karena keadaannya urgent dan Papa nyuruh aku handle.”“Hmmm … semalem keluar surat keputusan Dewan Komisaris. Isinya Direktur Utama, Direktur Finance, Direktur Operasional, dinonaktifkan sementara sampai keputusan Dewan Komisaris berikutnya. Dan kamu, sebagai Direktur Pemasaran, yang ambil keputusan untuk sementara.”“Hah?” Kepala Ervin rasanya hampir meledak. Ia memang berniat mengurus orang-orang itu, tapi kenapa harus di saat seperti ini—saat ia bahkan tidak berminat melakukan apa-apa.“Cek email, Vin. Tapi pagi kantor induk u
“Lil, ikut aku.”“Ke mana?” Lily bahkan tidak repot-repot mendongak meskipun yang sedang bicara padanya adalah atasannya.“Ke kantor Mama.”Barulah sekarang Lily mendongak karena bingung mendengar ajakan Ervin. “Ngapain?”“Udah ikut aja. Makan siang sama Mama.”Lily mengernyitkan dahi. Sejak kapan Ervin mengajaknya makan siang bersama mamanya? Meskipun mereka saling mengenal, tapi hampir tidak pernah mereka makan siang bersama, kecuali ada Yara dan Aileen yang menyertai.“Bakal ada pembicaraan masalah perjodohan, pertunangan, atau yang semacamnya? Karena kalo iya, mending aku nggak ikut deh. Males. Capek aku diuber-uber mamaku masalah konsep pertunangan.”“Nggak. Kayaknya. Udah deh ikut aja.”Mau tidak mau, Lily terpaksa bangkit dan mengekori Ervin.***Ervin dan Lily sudah saling mengenal sejak kecil. Keduanya tidak akan kehabisan bahan obrolan meskipun berdua selama berjam-jam. Ada saja yang mereka bicarakan, apalagi ketika mereka sudah membicarakan sesuatu yang menurut mereka seru,
Arla mengangkat pandangannya dari layar ponsel. Matanya menatap Ervin dengan tajam dan Ervin balas menatapnya seperti menantang.“Sembarangan kamu! Arla asisten Mama di kantor, enak aja kamu suruh-suruh buat ngurus acara pribadi kamu.” Rhea ingin memukul Ervin detik itu juga tapi sayangnya jarak mereka cukup jauh. Apa anaknya itu tidak waras? Meminta wanita yang pernah diciumnya untuk mengurus pertunangannya? Mau menciptakan adegan seperti apa sebenarnya Ervin ini?“Saya nggak keberatan kok, Bu. Kehormatan buat saya kalau bisa bantuin acara pertunangan anak Bu Rhea. Cuma masalahnya saya belum pernah ngurus acara seperti itu, takut hasilnya kurang memuaskan.”Ok. It’s a war!Rhea dan Lily hanya bisa diam mendengar jawaban Arla, tidak tahu bagaimana harus bersikap, sementara kedua orang itu seperti sedang mengibarkan bendera perang.“Kita pake EO aja—”“No, Ma. Arla kan udah bersedia. Kerjaannya selama ini selalu rapi kan, Ma. Dua kakaknya juga udah menikah, pasti punyalah sedikit penga
Arla: Bloem FloristArla: Fleur FloristArla: Fiore FloristTidak lupa Arla mengirimkan sederet link media sosial dan review dari para pelanggan florist yang namanya baru saja dikirimkan Arla melalui pesan singkat.Arla tidak peduli meskipun jarum jam dinding di kamarnya sudah menunjuk ke angka satu. Daripada ia mendapat teror lanjutan dari Ervin.Notifikasi pesan singkat di ponselnya membuat Arla terkejut, padahal ia hampir memejamkan mata.Ervin: Mana yang paling kamu suka?Arla memang sempat membacanya, tapi jarinya sudah tidak mampu lagi bergerak sekadar untuk mengetik pesan. Ia hanya sanggup menekan satu simbol di sudut kanan bawah. “Fleur,” ucapnya kemudian. Dan begitu ia melepaskan jarinya, rekaman suaranya terkirim ke Ervin.Ia tak sadarkan diri setelahnya. Kelelahan menghadapi hari itu, kelelahan harus mencari florist untuk acara pertunangan mantan pacarnya. Pokoknya ia lelah.Sementara Ervin—yang matanya masih belum mau terpejam—terkekeh geli begitu mendapatkan pesan suara d
“Ris, mobilku tolong kamu yang bawa pulang ya, aku nggak langsung pulang, ada yang mesti kukerjain.” Arla menghubungi Risma dengan cepat saat melihat seorang laki-laki bermotor dengan jaket hijau celingukan seperti sedang mencari pelanggannya.“Kamu lagi sakit, La.”“I’m fine. Udah ya, Ris.” Segera setelah menutup telepon, Arla berlari menuju bapak-bapak paruh baya yang menantinya dengan senyum terkembang.“Hotel yang di Rasuna Said kan, Mbak?” tanya laki-laki itu memastikan.“Iya, Pak. J.S. Luwansa.” Arla mengenakan helm yang baru diangsurkan kepadanya, saat itu juga kepalanya terasa seperti berdentam, tapi ia berusaha menahannya, seakan itu memang efek karena menggunakan helm yang terlalu sempit.Arla menahan umpatannya sepanjang jalan. Untuk pernikahan kedua kakaknya saja ia tidak serepot ini, kenapa untuk pertunangan mantan pacar harus dirinya yang terseok-seok memenuhi keinginan mereka. Bukankah adegan mencari gedung akan lebih indah jika dilakukan berdua?“Mbak, udah sampe.” Teg
“Dari mana, La? Kamu kan lagi sakit.” Risma yang baru keluar dari kamar heran mendapati Arla yang duduk di sofa ruang tamu, sendirian, menatap datar ke arah televisi yang sedang tidak menyala. “Ada apa, La?”Arla menggeleng, kemudian bangkit untuk masuk ke kamarnya.“Udah makan belum? Minum obat?”“Udah, udah ke dokter juga tadi.”Risma mengangguk puas dengan jawaban Arla, meskipun raut wajah Arla tidak bisa dibilang baik-baik saja.Arla menutup pintu kamarnya, meletakkan tasnya di atas meja tulis, lalu menghempaskan diri ke atas kasur. Menarik bantal dan menyembunyikan wajahnya di sana.‘Bilang kalau kamu nggak mau aku ngelanjutin perjodohan itu. Aku pasti mati-matian berusaha nyari cara untuk ngebatalin perjodohan itu.’ Apa yang diucapkan Ervin itu masih berputar-putar di dalam otaknya.‘No, Vin. Sama aku, hubungan kita nggak akan ada ujungnya.’ Jawaban itu yang akhirnya terlontar dari mulutnya sendiri—mulutnya yang sungguh bertolak belakang dengan hatinya.‘Udah bener, La. Udah ben
"Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat
“Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang
“Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge
Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut
“Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r
“Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah
“Dirga rewel?” tanya Abiel yang baru menjemput Dirga sore hari. Ternyata ia benar-benar butuh ‘me time’. Jadi setelah pertemuannya dengan Pramono dan selingkuhannya itu, Abiel pergi ke salon langganannya untuk creambath. Meskipun pijatan dari pegawai salon itu tidak juga menghilangkan pusingnya, setidaknya ia punya waktu untuk melatih senyuman palsunya di depan Dirga—anak sematawayangnya.“Nggak. Sejak kapan Dirga rewel. Kalo udah ketemu sama Lashira tuh, baru saling ganggu, saling bikin nangis.” Arla mengajak Abiel untuk duduk di ruang makan. Ia mengambil satu pitcher es jeruk yang sudah disiapkannya di dalam kulkas.“Sekarang Dirga mana?”“Lagi ke minimarket bawah sama Mas Ervin.” Arla tahu kalau Abiel sedang ingin cepat angkat kaki dari apartemennya demi menghindari pembicaraan tentang Pramono dan perselingkuhannya. “Jadi, kamu apain dia? Udah beres masalahnya?”Abiel memilih diam.“Hubungan kita memang kayak Tom and Jerry, Biel. Tapi … kita tetep saudara. Aku juga akan tetep bela
"Maaas, Abiel mau ke sini. Mau nitipin Dirga." Arla terburu menyusul Ervin yang berada di dapur untuk membuatkannya puding. Arla tersenyum melihat suaminya sedang video call dengan Bi Ijah demi mendapatkan tutorial yang meyakinkan. "Bisa? Sini aku aja.""No, no, udah tinggal nunggu mendidih kok. Tadi apa kata kamu? Abiel mau nitipin Dirga di sini?""Iya. Abiel mau ketemu sama Mas Pram dan dia nggak mau Dirga denger apa yang mereka omongin.""Ok, mumpung weekend, dan pas banget aku lagi bikin puding. Nanti kita ke bawah beli snack ya buat Dirga.""Nunggu Dirga dateng aja, biar dia yang milih snack-nya.""Ok. Done. Bi Ijah makasih ya, Bi. Ini tinggal kupindah ke wadah trus nunggu uap panasnya ilang, baru masukin ke kulkas kan. Sip." Ervin mengakhiri sambungan video call, lalu sibuk menuang puding buatannya ke wadah kaca. "Sabar ya, Sayang. Tunggu pudingnya dingin," ucap Ervin sambil mengusap perut istrinya yang kini mulai terlihat membuncit di dua puluh minggu kehamilannya.Entah siapa
“Dek, jujur ya. Aku kelihatan gendut banget ya? Perutku kelihatan buncit kan?” Berulang kali Arla berkaca dan sudah lebih dari lima orang yang mengatakan kalau ia tidak terlihat sedang hamil, tapi masih saja Arla gelisah. ‘Ini terakhir kalinya,’ batin Arla. Ia berjanji Yara—adik iparnya—adalah orang terakhir yang ia tanya.“Nggak kok, Kak. Masih lurus, lempeng. Nggak pake stagen, korset, atau semacamnya kan, Kak? Kasihan ponakan aku kegencet.”Arla terkekeh geli melihat raut wajah Yara yang benar-benar terlihat memelas. “Nggak, mana dibolehin sama kakakmu.”“Lagian begini aja masih kelihatan langsing kok. Kak Arla ngatur makan ya?”“Nggak juga, ini aja udah naik tiga kilo. Sempet diomelin kemaren karena bajunya mesti dirombak lagi.”“Ah iya, aku jadi keinget, karena Kak Arla lagi ngomongin baju. Mama udah tau apa yang dilakukan Anya. Mama mau ngamuk, untung ada Kak Aileen yang nenangin. Jadi Mama udah nggak make jasa butik dia lagi mulai sekarang.”Arla menghela napas. “Sebenernya kal