Arla: Bloem FloristArla: Fleur FloristArla: Fiore FloristTidak lupa Arla mengirimkan sederet link media sosial dan review dari para pelanggan florist yang namanya baru saja dikirimkan Arla melalui pesan singkat.Arla tidak peduli meskipun jarum jam dinding di kamarnya sudah menunjuk ke angka satu. Daripada ia mendapat teror lanjutan dari Ervin.Notifikasi pesan singkat di ponselnya membuat Arla terkejut, padahal ia hampir memejamkan mata.Ervin: Mana yang paling kamu suka?Arla memang sempat membacanya, tapi jarinya sudah tidak mampu lagi bergerak sekadar untuk mengetik pesan. Ia hanya sanggup menekan satu simbol di sudut kanan bawah. “Fleur,” ucapnya kemudian. Dan begitu ia melepaskan jarinya, rekaman suaranya terkirim ke Ervin.Ia tak sadarkan diri setelahnya. Kelelahan menghadapi hari itu, kelelahan harus mencari florist untuk acara pertunangan mantan pacarnya. Pokoknya ia lelah.Sementara Ervin—yang matanya masih belum mau terpejam—terkekeh geli begitu mendapatkan pesan suara d
“Ris, mobilku tolong kamu yang bawa pulang ya, aku nggak langsung pulang, ada yang mesti kukerjain.” Arla menghubungi Risma dengan cepat saat melihat seorang laki-laki bermotor dengan jaket hijau celingukan seperti sedang mencari pelanggannya.“Kamu lagi sakit, La.”“I’m fine. Udah ya, Ris.” Segera setelah menutup telepon, Arla berlari menuju bapak-bapak paruh baya yang menantinya dengan senyum terkembang.“Hotel yang di Rasuna Said kan, Mbak?” tanya laki-laki itu memastikan.“Iya, Pak. J.S. Luwansa.” Arla mengenakan helm yang baru diangsurkan kepadanya, saat itu juga kepalanya terasa seperti berdentam, tapi ia berusaha menahannya, seakan itu memang efek karena menggunakan helm yang terlalu sempit.Arla menahan umpatannya sepanjang jalan. Untuk pernikahan kedua kakaknya saja ia tidak serepot ini, kenapa untuk pertunangan mantan pacar harus dirinya yang terseok-seok memenuhi keinginan mereka. Bukankah adegan mencari gedung akan lebih indah jika dilakukan berdua?“Mbak, udah sampe.” Teg
“Dari mana, La? Kamu kan lagi sakit.” Risma yang baru keluar dari kamar heran mendapati Arla yang duduk di sofa ruang tamu, sendirian, menatap datar ke arah televisi yang sedang tidak menyala. “Ada apa, La?”Arla menggeleng, kemudian bangkit untuk masuk ke kamarnya.“Udah makan belum? Minum obat?”“Udah, udah ke dokter juga tadi.”Risma mengangguk puas dengan jawaban Arla, meskipun raut wajah Arla tidak bisa dibilang baik-baik saja.Arla menutup pintu kamarnya, meletakkan tasnya di atas meja tulis, lalu menghempaskan diri ke atas kasur. Menarik bantal dan menyembunyikan wajahnya di sana.‘Bilang kalau kamu nggak mau aku ngelanjutin perjodohan itu. Aku pasti mati-matian berusaha nyari cara untuk ngebatalin perjodohan itu.’ Apa yang diucapkan Ervin itu masih berputar-putar di dalam otaknya.‘No, Vin. Sama aku, hubungan kita nggak akan ada ujungnya.’ Jawaban itu yang akhirnya terlontar dari mulutnya sendiri—mulutnya yang sungguh bertolak belakang dengan hatinya.‘Udah bener, La. Udah ben
Arla yang sudah terbangun sejak dini hari, terpaksa menyeret langkahnya kala mendengar ketukan di pintu depan.“Ervin?”Ervin mengangsurkan satu plastik berisi makanan. “Sarapan. Tadi aku ketemu Risma di bawah, katanya kamu belum sarapan.”“Aku bisa ngurus sarapanku sendiri.”‘Arla dan keras kepalanya!’ Ervin harus memasang muka tembok, menebalkan tekadnya, dan memasang pengendalian diri terbaiknya jika ingin berhadapan dengan wanita ini.“Tapi Risma nitipin kamu ke aku.”Arla menghela napas, seketika teringat kalau ia memang belum memberi tahu Risma tentang hubungannya dan Ervin yang telah berakhir. Posisi berdirinya masih ada di balik pintu dengan membuka pintu tidak terlalu lebar, seolah ingin menahan agar tidak ada orang lain yang masuk.Sialnya, badannya yang lemas, ditambah dengan tangan Ervin yang tiba-tiba terulur ke keningnya untuk mengecek suhu tubuh, membuat Arla menurunkan kewaspadaan dan membiarkan daun pintu itu terbuka lebih lebar.“Masih agak demam. Udah izin nggak mas
Rhea mengusap pelan lengan Arla, berterima kasih karena usaha Arla, hari itu pembukaan cabang baru coffee shop mereka yang bekerja sama dengan AB Department Store terlaksana.Selama ini mana pernah Rhea membayangkan bekerja sama dengan anak perusahaan suaminya. Rasa takut kalau urusan bisnis bisa mempengaruhi keharmonisan rumah tangganya adalah salah satu penyebab."Makasih ya, La. Kalau habis ini kamu mau pulang atau liburan, saya izinin kok, kamu udah pontang-panting belakangan ini.""Kita harus persiapan opening cabang berikutnya, Ma."Rhea menoleh pada Ervin yang tiba-tiba saja muncul di sampingnya. "Santai dikit dong, Vin. Besok masih bisa kan. Kasihan Arla loh, udah ngurusin kerjaan, ngurusin acara pertunanganmu juga.""Justru aku nggak mau buang waktu karena udah deket hari pertunanganku, Ma."Rhea tidak ingat kapan tepatnya Ervin berubah menjadi dingin dan workaholic seperti itu. Sebelumnya Ervin selalu bertanggung jawab dengan pekerjaannya tapi tidak sekaku ini. Yang jelas, h
"Hai, La." Lily menatap bingung Arla yang pagi itu datang ke kantor Wijaya Candra. "Mau ketemu Ervin?"Arla mengernyitkan dahi. "Bukannya memang kita mau meeting?""Hah?" Lily menunduk, menatap layar komputernya, memastikan sekali lagi jadwal Ervin. "Kok di catetanku nggak ada ya? Aku tanya Ervin dulu ya."Lily lantas meninggalkan Arla menuju ruangan Ervin.Untuk ke sekian kalinya, Arla (agak) yakin kalau ini hanyalah akal-akalan Ervin.***"Vin, emang kita mau meeting? Ada Arla di luar. Atau ... kamu cuma mau ketemu sama dia?" Lily menaikturunkan alisnya dengan tengil, seakan lupa kalau dalam beberapa hari mereka akan bertunangan."Sekali lagi ya, Lil. Aku perlu bicara sama dia.""Ok, nggak masalah kok. Hmmm ... kalo kali ini kamu berhasil yakinin dia, bisa nggak sekalian bikin skenario kalian kabur? Sumpah, aku nggak masalah. Jangan kamu pikir aku bakal sakit hati. Ok?"Ervin hanya terkekeh, sebenarnya sama sekali tidak yakin dengan apa yang akan dilakukannya kali ini. "Suruh dia ma
“Are you ok, Nak?” Rhea yang menemukan Ervin terpekur sendirian di kamarnya meskipun saat itu sudah hampir jam dua belas siang, akhirnya tidak tahan lagi untuk menegurnya. Mereka berdua memang sengaja mengambil libur satu hari sebelum acara pertunangan Ervin-Lily. Ervin butuh menenangkan diri dan Rhea perlu menenangkan anaknya.Ada rasa tenang yang tidak bisa digambarkan Ervin saat mendengar mamanya memanggilnya dengan ‘Nak’. Belum tentu setahun sekali mamanya menggunakan panggilan itu. Mamanya pastilah tahu kalau dirinya sedang diserang berbagai macam rasa yang hampir tidak bisa di-handle-nya lagi.Ervin hanya tersenyum, berusaha menenangkan mamanya dengan senyuman walau sebenarnya bukan itu yang Rhea harapkan. Rhea hanya ingin mendengar apa yang bergejolak di dada anaknya.“Besok acara pertunangan kamu. Masih ada waktu kalau kamu mau mundur, walau untuk detik ini hubungan dua keluarga yang dipertaruhkan. Tapi Mama rasa, persahabatan papa kamu sama Om Pras nggak akan hancur begitu aj
Perubahan hembusan napas Arla dari yang semula teratur menjadi agak tersengal, membuat Nathan yang berada di ruangan itu langsung mengencangkan siaganya. Baru beberapa jam Arla dipindah ke ruang rawat setelah penanganan intensif di UGD.“Arla, udah bangun? Ada yang sakit?”Arla mengerjap bingung. Badannya terasa remuk, ia tidak bisa memiringkan badan karena kepalanya tiba-tiba saja berdentam tidak karuan saat ia mencoba bergerak.“Than … gue masih idup?” Suara Arla hampir tidak terdengar kalau Nathan tidak mendekatkan telinganya ke dekat mulut Arla.“Emangnya gue mau lo ajak mati bareng-bareng?” Sungguh, Nathan sebenarnya merasa miris dengan keadaan Arla, namun sebisa mungkin membuat candaan receh agar Arla tidak merasa kesakitan.“Than, abang ojeknya gimana?”“Lo memang minta disentil ya, La. Kondisi lo begini dan lo masih nanyain abang ojeknya?”“Than.” Sebenarnya Arla tidak ingin banyak bicara. Entah efek kecelakaan atau dokter menyuntikkan sesuatu ke dalam dirinya, yang jelas ia m
"Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat
“Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang
“Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge
Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut
“Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r
“Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah
“Dirga rewel?” tanya Abiel yang baru menjemput Dirga sore hari. Ternyata ia benar-benar butuh ‘me time’. Jadi setelah pertemuannya dengan Pramono dan selingkuhannya itu, Abiel pergi ke salon langganannya untuk creambath. Meskipun pijatan dari pegawai salon itu tidak juga menghilangkan pusingnya, setidaknya ia punya waktu untuk melatih senyuman palsunya di depan Dirga—anak sematawayangnya.“Nggak. Sejak kapan Dirga rewel. Kalo udah ketemu sama Lashira tuh, baru saling ganggu, saling bikin nangis.” Arla mengajak Abiel untuk duduk di ruang makan. Ia mengambil satu pitcher es jeruk yang sudah disiapkannya di dalam kulkas.“Sekarang Dirga mana?”“Lagi ke minimarket bawah sama Mas Ervin.” Arla tahu kalau Abiel sedang ingin cepat angkat kaki dari apartemennya demi menghindari pembicaraan tentang Pramono dan perselingkuhannya. “Jadi, kamu apain dia? Udah beres masalahnya?”Abiel memilih diam.“Hubungan kita memang kayak Tom and Jerry, Biel. Tapi … kita tetep saudara. Aku juga akan tetep bela
"Maaas, Abiel mau ke sini. Mau nitipin Dirga." Arla terburu menyusul Ervin yang berada di dapur untuk membuatkannya puding. Arla tersenyum melihat suaminya sedang video call dengan Bi Ijah demi mendapatkan tutorial yang meyakinkan. "Bisa? Sini aku aja.""No, no, udah tinggal nunggu mendidih kok. Tadi apa kata kamu? Abiel mau nitipin Dirga di sini?""Iya. Abiel mau ketemu sama Mas Pram dan dia nggak mau Dirga denger apa yang mereka omongin.""Ok, mumpung weekend, dan pas banget aku lagi bikin puding. Nanti kita ke bawah beli snack ya buat Dirga.""Nunggu Dirga dateng aja, biar dia yang milih snack-nya.""Ok. Done. Bi Ijah makasih ya, Bi. Ini tinggal kupindah ke wadah trus nunggu uap panasnya ilang, baru masukin ke kulkas kan. Sip." Ervin mengakhiri sambungan video call, lalu sibuk menuang puding buatannya ke wadah kaca. "Sabar ya, Sayang. Tunggu pudingnya dingin," ucap Ervin sambil mengusap perut istrinya yang kini mulai terlihat membuncit di dua puluh minggu kehamilannya.Entah siapa
“Dek, jujur ya. Aku kelihatan gendut banget ya? Perutku kelihatan buncit kan?” Berulang kali Arla berkaca dan sudah lebih dari lima orang yang mengatakan kalau ia tidak terlihat sedang hamil, tapi masih saja Arla gelisah. ‘Ini terakhir kalinya,’ batin Arla. Ia berjanji Yara—adik iparnya—adalah orang terakhir yang ia tanya.“Nggak kok, Kak. Masih lurus, lempeng. Nggak pake stagen, korset, atau semacamnya kan, Kak? Kasihan ponakan aku kegencet.”Arla terkekeh geli melihat raut wajah Yara yang benar-benar terlihat memelas. “Nggak, mana dibolehin sama kakakmu.”“Lagian begini aja masih kelihatan langsing kok. Kak Arla ngatur makan ya?”“Nggak juga, ini aja udah naik tiga kilo. Sempet diomelin kemaren karena bajunya mesti dirombak lagi.”“Ah iya, aku jadi keinget, karena Kak Arla lagi ngomongin baju. Mama udah tau apa yang dilakukan Anya. Mama mau ngamuk, untung ada Kak Aileen yang nenangin. Jadi Mama udah nggak make jasa butik dia lagi mulai sekarang.”Arla menghela napas. “Sebenernya kal