Rhea mengusap pelan lengan Arla, berterima kasih karena usaha Arla, hari itu pembukaan cabang baru coffee shop mereka yang bekerja sama dengan AB Department Store terlaksana.Selama ini mana pernah Rhea membayangkan bekerja sama dengan anak perusahaan suaminya. Rasa takut kalau urusan bisnis bisa mempengaruhi keharmonisan rumah tangganya adalah salah satu penyebab."Makasih ya, La. Kalau habis ini kamu mau pulang atau liburan, saya izinin kok, kamu udah pontang-panting belakangan ini.""Kita harus persiapan opening cabang berikutnya, Ma."Rhea menoleh pada Ervin yang tiba-tiba saja muncul di sampingnya. "Santai dikit dong, Vin. Besok masih bisa kan. Kasihan Arla loh, udah ngurusin kerjaan, ngurusin acara pertunanganmu juga.""Justru aku nggak mau buang waktu karena udah deket hari pertunanganku, Ma."Rhea tidak ingat kapan tepatnya Ervin berubah menjadi dingin dan workaholic seperti itu. Sebelumnya Ervin selalu bertanggung jawab dengan pekerjaannya tapi tidak sekaku ini. Yang jelas, h
"Hai, La." Lily menatap bingung Arla yang pagi itu datang ke kantor Wijaya Candra. "Mau ketemu Ervin?"Arla mengernyitkan dahi. "Bukannya memang kita mau meeting?""Hah?" Lily menunduk, menatap layar komputernya, memastikan sekali lagi jadwal Ervin. "Kok di catetanku nggak ada ya? Aku tanya Ervin dulu ya."Lily lantas meninggalkan Arla menuju ruangan Ervin.Untuk ke sekian kalinya, Arla (agak) yakin kalau ini hanyalah akal-akalan Ervin.***"Vin, emang kita mau meeting? Ada Arla di luar. Atau ... kamu cuma mau ketemu sama dia?" Lily menaikturunkan alisnya dengan tengil, seakan lupa kalau dalam beberapa hari mereka akan bertunangan."Sekali lagi ya, Lil. Aku perlu bicara sama dia.""Ok, nggak masalah kok. Hmmm ... kalo kali ini kamu berhasil yakinin dia, bisa nggak sekalian bikin skenario kalian kabur? Sumpah, aku nggak masalah. Jangan kamu pikir aku bakal sakit hati. Ok?"Ervin hanya terkekeh, sebenarnya sama sekali tidak yakin dengan apa yang akan dilakukannya kali ini. "Suruh dia ma
“Are you ok, Nak?” Rhea yang menemukan Ervin terpekur sendirian di kamarnya meskipun saat itu sudah hampir jam dua belas siang, akhirnya tidak tahan lagi untuk menegurnya. Mereka berdua memang sengaja mengambil libur satu hari sebelum acara pertunangan Ervin-Lily. Ervin butuh menenangkan diri dan Rhea perlu menenangkan anaknya.Ada rasa tenang yang tidak bisa digambarkan Ervin saat mendengar mamanya memanggilnya dengan ‘Nak’. Belum tentu setahun sekali mamanya menggunakan panggilan itu. Mamanya pastilah tahu kalau dirinya sedang diserang berbagai macam rasa yang hampir tidak bisa di-handle-nya lagi.Ervin hanya tersenyum, berusaha menenangkan mamanya dengan senyuman walau sebenarnya bukan itu yang Rhea harapkan. Rhea hanya ingin mendengar apa yang bergejolak di dada anaknya.“Besok acara pertunangan kamu. Masih ada waktu kalau kamu mau mundur, walau untuk detik ini hubungan dua keluarga yang dipertaruhkan. Tapi Mama rasa, persahabatan papa kamu sama Om Pras nggak akan hancur begitu aj
Perubahan hembusan napas Arla dari yang semula teratur menjadi agak tersengal, membuat Nathan yang berada di ruangan itu langsung mengencangkan siaganya. Baru beberapa jam Arla dipindah ke ruang rawat setelah penanganan intensif di UGD.“Arla, udah bangun? Ada yang sakit?”Arla mengerjap bingung. Badannya terasa remuk, ia tidak bisa memiringkan badan karena kepalanya tiba-tiba saja berdentam tidak karuan saat ia mencoba bergerak.“Than … gue masih idup?” Suara Arla hampir tidak terdengar kalau Nathan tidak mendekatkan telinganya ke dekat mulut Arla.“Emangnya gue mau lo ajak mati bareng-bareng?” Sungguh, Nathan sebenarnya merasa miris dengan keadaan Arla, namun sebisa mungkin membuat candaan receh agar Arla tidak merasa kesakitan.“Than, abang ojeknya gimana?”“Lo memang minta disentil ya, La. Kondisi lo begini dan lo masih nanyain abang ojeknya?”“Than.” Sebenarnya Arla tidak ingin banyak bicara. Entah efek kecelakaan atau dokter menyuntikkan sesuatu ke dalam dirinya, yang jelas ia m
Berjalan tergesa, Arla memasuki Artco café yang siang itu tampak cukup ramai karena mendekati jam makan siang. Hampir semua meja telah terisi, tapi ia menemukan sebuah meja kosong yang berada di sudut café.Arla hanya bisa menghela napas pasrah ketika mendapati pesan dari calon rekanan tempatnya bekerja yang menyampaikan kalau mereka akan sedikit telat karena terjebak kemacetan.Setelah memesan minum, Arla mengedarkan pandangan ke sekitar. Menemukan hampir semua meja diisi oleh orang-orang kantoran yang menyempatkan diri untuk me-refresh otak dengan makan siang di café. Matanya kemudian tanpa sengaja bertatapan dengan seorang pria yang juga memandang ke arahnya.Beberapa detik kemudian ia mengalihkan pandangannya. Sudah biasa bukan dirinya ditatap penasaran oleh orang lain karena sepintas lewat ia terlihat berbeda dengan orang Indonesia pada umumnya. Darah Prancis yang masih ada di dalam dirinya adalah penyebab utama. Tanpa menggunakan soft lens, manik matanya sudah berwarna hazel ala
"Arla!"Arla menjauhkan ponsel dari telinganya akibat suara teriakan dari seberang telepon yang membuat telinganya berdengung."La. Makan di luar yuk.""Hmmm. Ok. Tapi aku yang milih tempat ya. Ada cafe yang mau kudatengin. Gimana?""Ok, see you at lobby. Aku lagi jalan ke kantormu."Risma—sahabat Arla itu bekerja di kantor notaris yang jaraknya hanya dua gedung dari tempat Arla bekerja. Sudah hampir dua tahun ini mereka menyewa apartemen berdua, hubungan mereka sudah lebih dari sekadar sahabat. Teman satu atap lebih tepatnya.Arla tergesa membereskan barangnya. Setelah itu, ia langsung menuju lobby, dan menemukan Risma yang sudah menunggunya di dekat pintu lobby."Yuk.""Cafe baru, La?""Nggak tau juga sih baru atau nggaknya. Aku udah ke sana tadi siang. Makanannya enak. Tapi karena aku kenyang, jadi nggak bisa nyobain semuanya. Makanya pengen balik lagi."Risma hanya mengangguk-angguk saja, mengekori Arla menuju ke mobilnya yang terparkir di barisan paling dekat dengan jalan raya.A
“Pak Ervin.”“Ck! Kok aku kesel ya setiap denger kamu manggil aku pake embel-embel ‘Pak’ padahal nggak ada orang lain di ruangan ini.”Lily terbahak mendengar gerutuan Ervin. Mereka tidak bersahabat, tidak sedekat itu. Tapi seringnya intensitas orang tua mereka berkumpul, membuat Lily kenal dengan semua anak di keluarga Candra. Hubungan mereka lebih seperti adik dan kakak.“Kata Om Naren, biar kamu inget umur dan tanggung jawab. Makanya titel ‘Pak’ layak disematkan di depan namamu.”“Nurut banget sama papaku? Yang nanti ngasih rekomendasi hasil magangmu aku loh, bukan Papa.”Lily mencibir ucapan Ervin. “Kalau kamu nggak mau ngeluarin, aku yakin Om Naren mau ngeluarin selembar sertifikat magang buat aku, dan sertifikat magang dari Candra Group lebih mentereng daripada sertifikat dari anak perusahaan Candra Group.”Sialan! Apa yang dikatakan Lily memang benar. Ervin hanya bekerja di salah satu anak perusahaan Candra Group. Tentu saja ia hanya remahan rempeyek dibanding papanya yang menj
“Do something, Lil!” bisik Ervin.Untung saja perhatian Priscilia sedang teralihkan ke etalasa sebuah toko jam tangan, hingga kasak-kusuk yang terjadi antara Ervin dan Lily luput dari perhatiannya.“Aku juga?” Lily mendelik kesal pada Ervin. Job desk sekretarisnya semakin melebar ke mana-mana. Selain kerjaan kantor, sekarang ia juga bertugas membelikan baju untuk bakal calon pacarnya, mengingatkan Ervin jadwal bertemu dengan mereka agar tidak bentrok, mencarikan hadiah kalau salah satu wanitanya itu berulang tahun, dan sekarang ia juga harus memutar otak untuk membuat Arla tidak bertemu dengan Priscilia?“Bastian—”“Sialan lo!” Lily tahu ke mana arah pembicaraan Ervin kalau sudah menyebutkan nama Bastian. Itu tanda ancaman untuknya.“Ajak Arla ke atas, makan apa kek. Aku sama Priscilia di lantai ini. Nanti aku ke atas juga buat nemuin Arla.”“Lah, ngapain sih? Ribet amat.”“Gue suka lihat matanya.”Lily memutar kedua bola matanya dengan malas.Ervin mengulum senyumnya saat melihat Lil