"Pa, Ma." Ervin menatap kedua orang tuanya yang berdiri di depan pintu.Bukannya Ervin tidak menghendaki keberadaan orang tuanya di sana, tapi ... apa tidak berlebihan kalau orang tuanya masih mengenakan pakaian untuk acara pertunangan yang urung dilaksanakan? Ditambah lagi, Arla yang menyiapkan semuanya."Mama mau nengok Arla," ucap Rhea sambil melongokkan kepala dari celah yang terbuka antara pintu dan Ervin."Kenapa nggak ganti baju dulu, Ma? Arla kan bisa makin tertekan kalau ngelihat Mama pakai baju ini."Rhea menepuk keningnya. "Ya ampun. Maaf, Mama nggak kepikiran. Mama terlalu khawatir, pengen tau keadaan Arla. Mama balik dulu deh, nanti malem atau besok ke sini—""Siapa, Vin?" Suara Esther dengan logat yang khas membuat mereka bertiga menoleh ke asal suara.Ervin terpaksa menyingkir dari depan pintu. Diliriknya Arla yang masih tertidur, mungkin tidak masalah kalau ia membiarkan kedua orang tuanya masuk selama Arla masih terlelap."Orang tua saya, Tante," jawab Ervin.Naren da
“Nggak usah bangun, La!” larang Rhea yang mendapati Arla berusaha bangkit dari posisinya.Arla hanya berani menatap atasannya itu sebentar, kemudian kembali mengalihkan pandangan karena rasa bersalahnya.“Saya permisi sebentar, mau angkat telepon dari anak saya,” pamit Esther saat melihat Abiel menghubunginya. “Mom tinggal dulu ya, La.”Rhea dan Naren mengangguk. Tak lama setelah Esther pergi dari ruangan itu, Rhea memberi kode kepada suaminya untuk keluar karena ia ingin bicara berdua dengan Arla.Mengerti kode yang disampaikan istrinya, walaupun merasa sedikit berat, Naren akhirnya menuruti keinginan sang istri.Rhea beranjak, mengitari ranjang agar membuat Arla tidak perlu berusaha menoleh ke arah kanan karena luka bekas jahitannya pasti akan terkena gesekan kalau Arla terus berusaha miring ke kanan.“Bu Rhea, maaf.”“Maaf buat apa? Nggak perlu, Arla.”“Tapi … acara Ervin—”“Udah, nggak usah diinget-inget. Justru kalo acara tadi jadi diadakan, Ervin yang bakal menderita ke depannya
"Mau ditemenin siapa?""Ervin," jawab Arla lirih sambil menahan rona wajahnya agar tak memerah. Biarlah, ia lagi sakit kan, harusnya bebas meminta apa pun.Esther menahan tawanya melihat Arla kembali memejamkan mata."Satunya?"Arla mengedikkan bahu sebagai jawabannya."Arla cuma mau ditemenin Ervin!" teriak Esther, masih dari posisinya di samping Arla."Mom! Aku nggak ngomong gitu,” sangkal Arla.Esther balas mengedikkan bahu, lantas kembali ke tempatnya tadi duduk."Wah! Parah lo, La. Jangan jadi kacang lupa kulit!""Udah nggak dianggep persahabatan kita dari kecil.""Nanti kalo ada apa-apa, nangisnya ke kita juga."Dan sederet umpatan, makian, keluh kesah, keluar dari mulut Angga, Putra, dan Nathan.Mengabaikan semua itu, Ervin tersenyum pongah menghampiri Arla."Beneran kamu milih aku?" tanyanya masih tak percaya. Apa ini salah satu efek gegar otak ringan yang dialami Arla?Arla mengangguk pelan.“Why?” Ervin masih tidak menyangka namanya akan disebut Arla.“Mereka berisik.”Oh, o
Ervin berdoa semoga saat ini wajahnya tidak bersemu merah seperti anak gadis yang digoda lawan jenis. Itu bahkan hanya telunjuk Arla yang menyentuhnya, kenapa rasanya semendebarkan itu. Padahal wanita lain melemparkan diri dengan tidak tahu malu, tapi ia tidak terpengaruh.“Jangan beraninya cuma godain kalo lagi ada mama kamu ya!” desis Ervin sambil melirik ke arah ranjang lain di mana mama Arla sudah tertidur pulas.“Siapa yang godain?”“Seharian ini kamu ngetes aku banget, La.”“Oh ya?”“Yang tadi siang bilang cinta terus langsung tidur siapa?”Arla membelalakkan mata. Apa maksud ucapan Ervin? Bilang cinta trus tidur?Melihat raut kebingungan di wajah Arla, kini Ervin yakin kalau Arla tadi belum benar-benar sadar saat mengatakan cinta.“Nggak tau ah.” Ervin mengedikkan bahu. Kalau saja Arla tidak sedang terluka, mungkin ia memilih keluar dari kamar itu untuk mengurangi kesalnya. Tapi karena rasa kantuk masih memberatinya, Ervin merebahkan kepalanya di pinggir kasur Arla yang kosong.
“Kamu nggak kerja?” tanya Arla yang mulai bingung karena Ervin masih mangkal di kamar rawatnya meskipun hari sudah berganti menjadi Senin. Kalau weekend, Arla masih bisa mengerti, tapi di hari kerja, Ervin tidak mungkin mengabaikan pekerjaannya begitu saja kan? Bagaimana pun juga tanggung jawab Ervin di perusahaan sangat besar.“Aku bisa kerja di sini. Lagian kamu nggak ada yang nungguin kan. Kamu mau sendirian di sini?”“Nggak masalah sih. Aku udah enakan kok.”“Aku yang masalah. Udah kamu istirahat aja. Aku kerja kok dari sini, semua bisa kukerjakan dari sini. Nanti kalau ada yang urgent, pasti orangku bakal nelepon.”“Aku … boleh ngerjain sesuatu nggak?”“Boleh, tidur, makan, nonton.”Arla melirik kesal pada Ervin. Ia juga ingin melakukan sesuatu, selain kegiatan yang dilakukannya tiga hari belakangan ini. Dia masih bisa kok mengoreksi proposal kerja sama, dia masih bisa juga mengatur jadwal atasannya meskipun ia berada di kamar rawat, masih banyak hal-hal ringan yang bisa dilakuka
Suara Arla bergetar saat melemparkan pertanyaan itu. Raut wajah Ervin yang tadi berubah menjadi cemas sudah cukup membuat Arla bisa menilai apa yang sedang terjadi.Sekarang Ervin menyesal mengapa mengangkat telepon di samping Arla kalau akhirnya hanya membuat Arla khawatir. “Kamu tenang ya. Orangku lagi ngeberesin semuanya.” Setelah satu tarikan napas panjang, baru Ervin menceritakan apa yang baru saja didengar dari anak buahnya. “Ada yang ngelemparin toko roti Mom pake batu. Mereka udah meriksa ke dalam toko, tapi Mom sama pegawainya nggak ada di dalam toko. Aku pinjem hpmu buat telepon Mom.”“Aku aja yang telepon.” Arla berusaha mengontrol emosinya, dalam keadaan seperti ini ia harus bisa menenangkan diri. Apalagi ia tidak dalam kondisi bisa langsung menyambangi lokasi mamanya berada.Setelah beberapa kali mencoba menghubungi mamanya, Arla menurunkan ponselnya dengan khawatir. “Aktif tapi nggak diangkat.”Ervin memijat pelipisnya. Kalau ia menghubungi anak buahnya lagi, keadaan tid
Ervin sedang menyuapi Arla makan siang saat seseorang merangsek masuk ke dalam kamar rawat Arla, membuat Ervin dengan refleks berdiri dan bersiap melakukan apa pun untuk melumpuhkan orang itu.Arla juga tampak sama terkejutnya, ditambah dengan kesiagaan Ervin yang membuat Arla langsung menelan makanannya demi ikut siaga.“Ups! Hai.” Lily melambaikan tangan kepada mereka berdua. “Kenapa pada tegang banget sih?”Ervin menghela napas lega melihat seseorang yang dikenalnya, bukan seperti bayangannya kalau kamar itu akan diserbu sekelompok preman bayaran. Meskipun ia yakin bisa menghadapi setidaknya lima orang secara bersamaan, tetapi tetap saja ia tidak menginginkan hal itu terjadi.“Itu daun pintu, salah satu gunanya untuk diketuk, Lil,” geram Ervin kesal.Lily tersenyum salah tingkah. Ia memang terlalu bersemangat untuk memberikan setumpuk berkas yang harus ditandatangani Ervin. Rencananya ia akan menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan Arla selagi Ervin mengecek berkas. “Tapi nggak l
“Oh, jadi cewek ini yang bikin kamu kabur dari pertunangan, terus nyuruh Lily ikut kabur? Cewek gatel gini kok dibela-belain, pura-pura bantuin ngurus acara pertunangan Lily sama Ervin, nggak taunya cuma mau ngerusak acara mereka!”“Tante Alya.” Ervin bergegas mendekat ke arah wanita itu. Tujuannya adalah untuk menjauhkan wanita itu dari Arla. Entah apa yang akan dilakukan seorang wanita yang sedang emosi, Ervin tidak sanggup membayangkannya.Cacian verbal yang baru saja Arla terima saja sudah membuat telinga dan hati Ervin panas. Jadi ia harus segera mengatasi keadaan ini atau Arla akan kembali ke titik nol—overthingking dan meragukan semuanya termasuk dirinya.“Kamu bener-bener nggak mikirin hubungan keluarga kita ya, Vin?”“Tante, kita ngomong di luar yuk,” ajak Ervin baik-baik. Bagaimana pun juga Ervin masih menghormati Tante Alya sebagai istri dari sahabat papanya dan mama dari Lily. ‘Tante Alya cuma lagi emosi,’ pikir Ervin yang berusaha mengerti kondisi psikis wanita paruh baya
"Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat
“Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang
“Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge
Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut
“Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r
“Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah
“Dirga rewel?” tanya Abiel yang baru menjemput Dirga sore hari. Ternyata ia benar-benar butuh ‘me time’. Jadi setelah pertemuannya dengan Pramono dan selingkuhannya itu, Abiel pergi ke salon langganannya untuk creambath. Meskipun pijatan dari pegawai salon itu tidak juga menghilangkan pusingnya, setidaknya ia punya waktu untuk melatih senyuman palsunya di depan Dirga—anak sematawayangnya.“Nggak. Sejak kapan Dirga rewel. Kalo udah ketemu sama Lashira tuh, baru saling ganggu, saling bikin nangis.” Arla mengajak Abiel untuk duduk di ruang makan. Ia mengambil satu pitcher es jeruk yang sudah disiapkannya di dalam kulkas.“Sekarang Dirga mana?”“Lagi ke minimarket bawah sama Mas Ervin.” Arla tahu kalau Abiel sedang ingin cepat angkat kaki dari apartemennya demi menghindari pembicaraan tentang Pramono dan perselingkuhannya. “Jadi, kamu apain dia? Udah beres masalahnya?”Abiel memilih diam.“Hubungan kita memang kayak Tom and Jerry, Biel. Tapi … kita tetep saudara. Aku juga akan tetep bela
"Maaas, Abiel mau ke sini. Mau nitipin Dirga." Arla terburu menyusul Ervin yang berada di dapur untuk membuatkannya puding. Arla tersenyum melihat suaminya sedang video call dengan Bi Ijah demi mendapatkan tutorial yang meyakinkan. "Bisa? Sini aku aja.""No, no, udah tinggal nunggu mendidih kok. Tadi apa kata kamu? Abiel mau nitipin Dirga di sini?""Iya. Abiel mau ketemu sama Mas Pram dan dia nggak mau Dirga denger apa yang mereka omongin.""Ok, mumpung weekend, dan pas banget aku lagi bikin puding. Nanti kita ke bawah beli snack ya buat Dirga.""Nunggu Dirga dateng aja, biar dia yang milih snack-nya.""Ok. Done. Bi Ijah makasih ya, Bi. Ini tinggal kupindah ke wadah trus nunggu uap panasnya ilang, baru masukin ke kulkas kan. Sip." Ervin mengakhiri sambungan video call, lalu sibuk menuang puding buatannya ke wadah kaca. "Sabar ya, Sayang. Tunggu pudingnya dingin," ucap Ervin sambil mengusap perut istrinya yang kini mulai terlihat membuncit di dua puluh minggu kehamilannya.Entah siapa
“Dek, jujur ya. Aku kelihatan gendut banget ya? Perutku kelihatan buncit kan?” Berulang kali Arla berkaca dan sudah lebih dari lima orang yang mengatakan kalau ia tidak terlihat sedang hamil, tapi masih saja Arla gelisah. ‘Ini terakhir kalinya,’ batin Arla. Ia berjanji Yara—adik iparnya—adalah orang terakhir yang ia tanya.“Nggak kok, Kak. Masih lurus, lempeng. Nggak pake stagen, korset, atau semacamnya kan, Kak? Kasihan ponakan aku kegencet.”Arla terkekeh geli melihat raut wajah Yara yang benar-benar terlihat memelas. “Nggak, mana dibolehin sama kakakmu.”“Lagian begini aja masih kelihatan langsing kok. Kak Arla ngatur makan ya?”“Nggak juga, ini aja udah naik tiga kilo. Sempet diomelin kemaren karena bajunya mesti dirombak lagi.”“Ah iya, aku jadi keinget, karena Kak Arla lagi ngomongin baju. Mama udah tau apa yang dilakukan Anya. Mama mau ngamuk, untung ada Kak Aileen yang nenangin. Jadi Mama udah nggak make jasa butik dia lagi mulai sekarang.”Arla menghela napas. “Sebenernya kal