New York pagi hari.
Katon membuka mata perlahan-lahan, ia bangun dari kasur empuk di apartemen mewahnya di Manhattan. Meskipun semalam ia baru saja berkelahi melawan enam orang, tidak ada tanda-tanda luka di tubuhnya.
Dengan gerakan lincah, Katon bangkit dari tempat tidurnya dan bergegas menuju ruang olahraga pribadi. Baginya, latihan karate setiap pagi adalah kebutuhan. Latihan fisik dan mental ini menjadi sumber kekuatannya, memberikan ketenangan dan kesiapan untuk menghadapi segala tantangan yang akan datang.
Setelah mengenakan pakaian olahraga yang nyaman, Katon mulai melakukan pemanasan dengan gerakan-gerakan yang lembut namun penuh konsentrasi. Tepat ketika Katon bersiap untuk memulai latihan karate yang intens, telepon genggamnya berdering. Dia mengambil ponsel dan melihat panggilan masuk dari Alice. Tanpa ragu, Katon menerima panggilan itu.
"Pagi, Choco Girl! Apakah aku begitu mempesonamu sehingga sepagi ini kau sudah merindukanku?" sapa Katon dengan suara hangat. Alice tidak langsung menjawab. Ia tidak merespon candaan Katon.
"Katon, apakah kau baik-baik saja?" jawab Alice dengan nada khawatir.
Katon mengenali nada tidak tenang itu. Ia mengira Alice mengetahui peristiwa pengeroyokan semalam. Brad, kekasih Alice tentu melampiaskan marahnya pada Alice juga. Terbersit rasa khawatir di hati Katon.
"Aku baik-baik saja, Alice. Bagaimana denganmu? Ada sesuatu yang ingin kau bicarakan?" tanya Katon sambil melanjutkan gerakan pemanasan.
"A-aku akan menemuimu di apartemen. Apakah tidak apa-apa?" tanya Alice dengan serius.
Katon menghentikan gerakannya sejenak, menyadari mendesaknya nada Alice. Mungkin wanita ini butuh perlindungan. Katon segera fokus kepada Alice.
"Please, Alice. Datanglah. Pintu apartemenku terbuka untukmu," jawab Katon dengan tegas. Alice mendesah pelan, terdengar sedikit lega.
“Aku akan ke sana,” ujar Alice cepat dan memutuskan sambungan
Katon mematikan sambungan ponselnya. Dia jadi berubah pikiran setelah berbicara dengan Alice. Mungkin lebih baik kalau latihan hari ini diganti jogging saja. Katon bersiap-siap dalam apartemennya di Manhattan. Udara segar dan semangatnya membara ketika dia memutuskan untuk pergi jogging ke Central Park. Dengan sepatu olahraga yang terikat erat di kaki dan pakaian yang nyaman, dia melangkah keluar dari gedung apartemen. Ada tiga pilihan rute lari ke Central Park dan Katon memutuskan untuk memilih rute terpanjang. Rute Central Park West.
Katon mulai berlari di sepanjang sisi barat Central Park, melewati gedung-gedung bersejarah Museum Sejarah Alam Amerika. Ia menuju ke arah barat menuju Jalan 8th Avenue, lalu belok ke utara menuju jalan-jalan kota dan melintasi Columbus Circle menuju Central Park West. Setelah tiba di Central Park, Katon memilih berlari mengitari taman hijau luas dan pepohonan yang rimbun.
Tak lama setelah memulai joggingnya, Katon melihat sahabatnya, Morgan Maxwell, sedang duduk di sebuah bangku di dekat jalur lari. Katon mendekatinya dengan wajah heran.
“Bro!” sapa Morgan, ia mendekati Katon untuk bersalaman dengan penuh semangat. Morgan mengingatkan Katon tentang rencana mereka mendaki Gunung Everest, sebuah petualangan yang telah mereka impikan sejak lama.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Katon dengan tatapan curiga.
“Jogging, bro. Menurutmu?!”
“Entahlah. Sesuatu terselubung? Hoboken, Central Park? Yeah, right!” Katon meragukan jawaban Morgan dan terbukti sekarang Morgan terbahak dengan kalimat pedas Katon yang mempertanyakan mengapa Morgan yang tinggal di Hoboken harus pergi sejauh 4,1 mil untuk jogging di Cental Park?
Katon memutuskan mengabaikan keberadaan sahabatnya di sekitar apartemen miliknya. "Kemarin Rose menghubungiku, dia ingin aku pulang ke Indonesia di akhir bulan ini," kata Katon sambil mengatur napasnya. "Dia ingin aku hadir di peresmian perusahaan miliknya dan keluargaku pun sudah merindukanku."
“Kamu yakin? Mungkin mereka memancingmu datang supaya papamu bisa menendang pantatmu!” tukas Morgan kasar, membalas kalimat pedas sahabatnya. Katon mendengus dan meninju bahu Morgan yang kemudian terkekeh.
“Kita harus batalkan kembali rencana untuk naik ke Everest, Morg.” ujar Katon sambil membetulkan tali sepatunya.
Morgan mengangguk. "Toh, kita tidak akan sampai di puncak Everest, kita hanya bersenang-senang dan mencari wanita. So, kalau kamu mau membatalkan, no problem."
Katon dan Morgan melanjutkan jogging mereka di Central Park. Keduanya tampak luar biasa dengan postur nyaris setara. Morgan memiliki tinggi badan yang sama dengan Katon, 187 sentimeter. Namun, perawakan Morgan sedikit lebih besar. Morgan bisa saja dikira US Navy, hanya saja ia memiliki rambut sedikit gondrong yang membuatnya tampak urakan.
Selepas jogging, Morgan mengikuti Katon pulang ke apartemennya. Katon sudah bisa langsung menduga, kalau semalam Morgan menghabiskan waktu dengan wanita di sekitar Manhattan dan sekarang terlalu malas untuk pulang. Lebih memilih ikut ke apartemen Katon.
“Pria brengsek!” desis Katon sambil menyeberangi ruang tamu.
“Siapa? Kau?” ujar Morgan yang mengikutinya. Katon mendengus tertawa, ia mengabaikan sahabatnya dan enteng saja menarik kaus yang ia kenakan melalui leher dan menarik lepas melewati kepala, memamerkan punggung kekarnya.
“Woohoo! Apa ini?? Ada yang berpesta semalam?” Morgan yang mengejar Katon dan mendorong tinjunya ke bahu belakang Katon.
“Akh!”
“Pria brengsek yang manja?” ejek Morgan dengan satu alis terangkat. Katon yang merasa nyeri di bagian belakang bahunya yang ditekan Morgan, berusaha melongok bahu belakang tetapi tidak berhasil. Akhirnya Katon menggunakan pantulan bayangannya di kaca dan mendapati bahu belakangnya memar.
“Darn it!” makinya pelan. Morgan terkekeh mendengar Katon emosi. Ia mendorong bahu memar Katon sekali lagi membuat pria itu mengerang kasar. “Aku mendapat hadiah dari pria-pria Brooklyn.”
“Perlu bantuan menampar mereka?” goda Morgan.
“Shut up, Morg!” bentak Katon sambil masuk ke kamar mandi meninggalkan ruang tengah yang sekarang menggemakan tawa Morgan.
Selama Katon mandi, Morgan bergerak bebas di dalam apartemen Katon. Mereka memang sudah bersahabat lama dan saling mengandalkan satu sama lain. Morgan mengangkat bahu ketika menyalakan digital MP4 player canggih milik Katon. Segera saja suara John Legend mengalun lembut dalam All of Me-nya. Dan Morgan mengangkat alis. Lagu romantis? Yeah, right!
“Hoi, moron! Wanita mana lagi yang kau rayu kemarin!” teriak Morgan ke arah kamar mandi. Tentu saja teriakannya sia-sia karena Katon walaupun mendengar tentu saja akan mengabaikan. Morgan baru saja hendak meneriaki Katon lagi ketika suara bel pintu apartemen berbunyi. Ia menoleh ke arah pintu kemudian menuju ke foyer sambil menggerutu.
Sebagai sahabat Katon, Morgan belajar pada kehidupan sahabat semenjak SMP-nya ini, yang entah bagaimana bisa keras dan berbahaya. Ia tidak langsung membuka pintu tapi memeriksa melalui kamera pengawas. “Tentu saja!” gerutu Morgan secepat matanya selesai memindai kamera pengawas. Pada kamera itu terpantul citra seorang wanita. Kulitnya sedikit kecoklatan, entah asli ataukah hasil dari berjemur di bawah matahari. Rambut panjangnya berwarna coklat keemasan. Wanita ini memiliki mata yang cantik yang saat ini memancarkan kekhawatiran. “Siapa?” tanya Morgan setelah memencet tombol interkom. “Uhm, ehm, apakah Katon ada? Dia baik-baik saja?” tanya wanita tersebut tanpa bisa menyembunyikan nada khawatir. “Motherfucker!” maki Morgan dalam hati. “Yea, ada. Dia ada. Dan pria itu baik-baik saja. Boleh aku tahu siapa namamu, Miss?” “Alice. Alice Wellington.” Morgan memastikan wanita itu ‘bersih’ dan dia membuka pintu sambil mengomel keras dalam hati. “Silakan masuk, Miss. Tunggulah di sini se
“A-aku ingin minta maaf atas apa yang sudah diperbuat oleh Brad.” Alice tergugu di depan Katon. “It's okay, Alice. Jangan khawatirkan aku," jawab Katon menenangkan wanita yang sedang ada di hadapannya saat ini dan melanjutkan kalimatnya dalam hati, “Pacarmu yang babak belur.” “Katon nyaris terluka, untunglah patroli polisi lewat sehingga Katon selamat. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi padanya kalau tidak ada patroli polisi,” imbuh Morgan manipulatif, tidak jauh berbeda dengan Katon. Dari balik sikap dinginnya, Morgan sengaja tunjukkan ekspresi kesedihan, untuk menambah keyakinan dari drama yang sudah Morgan dan Katon skenariokan. Mendengar semua ini, Alice spontan menumpahkan derai air mata lagi, di balik katupan kedua tangan ke wajah cantiknya. Alice terlihat sekali, menyesali apa yang terjadi pada pria yang disukainya ini. Perasaan empati Alice muncul, ketika cinta juga memberikan simpati. Katon melemparkan tatapan tajam ke arah Morgan ketika Alice menutup wajah da
Lelaki dewasa yang paling dekat dengan Katon berteriak sambil mengayunkan tongkat bisbolnya dengan ganas dan terarah ke kepala. Katon sudah tidak bisa lagi memikirkan posisi Morgan, terpaksa membiarkan sahabatnya bertarung demi dirinya sendiri. Katon membanting tubuhnya kesamping untuk menghindari pukulan tongkat bisbol sekaligus menyabet kaki penyerangnya. Pria lawannya jatuh berdebam di lantai keras dan mengeluarkan sumpah serapah. Katon kembali berdiri dan melancarkan pukulan ke arah dua pria yang mengeroyoknya dari sisi yang berbeda. Sudah tidak ada waktu untuk menggunakan jurus karate, Katon spontan menggunakan gaya petarung jalanan seperti yang Morgan biasa lakukan. Jab dan hook Katon bergantian menghajar musuh-musuhnya hingga jatuh. Upper cut-nya menghajar dagu satu musuh dan melemparkan lawan itu menabrak konter dapur, menghamburkan gelas di atasnya menjadi kepingan. Ketika mendapat ruang lebih leluasa, barulah Katon secara reflek mengeluarkan jurus karatenya. Katon mula
“Lepaskan dia, Brad,” pinta Katon. Brad masih menyeringai kejam ke arah Katon, jelas dia tidak akan melepaskan Alice selama Katon masih menggenggam tongkat bisbol di tangannya. “Suruh pembantumu minggir atau aku tidak segan mengiris leher cantik ini supaya kamu tahu seberapa cerah warna darahnya?” ejek Brad kejam. Katon melambaikan tangannya kepada Morgan agar minggir yang langsung dituruti oleh pria besar itu. Brad kembali menyeret Alice yang ketakutan bersamanya, ia menuju ke pintu keluar sambil berjalan mundur, dengan sengaja mempertontonkan wajah putus asa dan ketakutan Alice ke arah Katon dan Morgan. Sesaat setelah ia berada di luar, Brad mendorong tubuh lemas Alice ke trotoar, membuat wanita itu jatuh tak berdaya. Katon membuang tongkat bisbolnya dan memburu keluar untuk menolong Alice. "Kamu baik-baik saja?" Katon meraih lengan gadis itu dan membawa ke pelukannya. Ia merasakan tubuh Alice menggigil ketakutan. Morgan yang ikut berlari keluar, menatap bergantian ke arah Katon
“Bagaimana kalau aku mengantarmu pulang malam ini?” ucap seorang lelaki di sebuah coffeshop kepada salah satu pelayan wanita yang cantik. Wanita itu tersenyum mendengar tawaran yang manis dan mengangguk. Pria itu bahkan bersikap gentleman dengan membantu sang wanita menutup coffeshop karena ini adalah shift terakhir. Mereka menyusuri pedestrian dan menyeberangi beberapa blok menuju apartemen sang wanita sambil mengobrol ringan. Beberapa kali sang wanita tertawa dan memukul bahu sang pria dengan mesra, pertanda obrolan mereka menyenangkan dan sangat intim. Pintu apartemen di lantai tiga, menjeblak terbuka saat didorong dengan paksa. Dua tubuh yang saling berpelukan berputar dan masuk ke dalam apartemen. Kedua manusia ini saling memagut dalam ciuman yang panas dan penuh gairah. Kepala sang wanita mendongak, mengikuti pria yang lebih tinggi darinya. Bibir saling mengecap, lidah melibat. Sang pria mendesak hingga sang wanita terdorong ke dinding tanpa melepas pagutan bibirnya. Meskipun
“Eer ... siapa kalian?” tanya Katon keheranan. "Dengar, kau pikir kau bisa mendekati kekasihku begitu saja?" teriak salah satu dari enam pria tersebut sambil menunjuk jari pada Katon yang terkepung. Katon tersadar, ia sedang berhadapan dengan tidak lain dan tidak bukan adalah kekasih Alice dan teman-temannya. Katon berdiri dengan sikap yang berani, menatap tajam ke arah keenam pria yang mengancamnya. Dia tahu betul bahwa situasi ini bisa berujung buruk jika dia tidak berhati-hati. Beruntung Katon memiliki keahlian karate yang luar biasa. Dia terlatih dengan baik, dan dia tidak akan menyerah begitu saja. "Easy, Man!" ujar Katon dengan suara datar tanpa gentar kepada satu pria yang berusaha mengintimidasinya. "Aku tidak berniat mengganggu kekasihmu. Dan aku hanya mampir sesaat di apartemennya." Keenam pria Amerika itu saling pandang, menatap heran pada satu pria keturunan Amerika-Asia yang mereka kepung. Ini aneh. Pria itu tak kelihatan takut walau dikepung, membuat mereka ragu unt
“Lepaskan dia, Brad,” pinta Katon. Brad masih menyeringai kejam ke arah Katon, jelas dia tidak akan melepaskan Alice selama Katon masih menggenggam tongkat bisbol di tangannya. “Suruh pembantumu minggir atau aku tidak segan mengiris leher cantik ini supaya kamu tahu seberapa cerah warna darahnya?” ejek Brad kejam. Katon melambaikan tangannya kepada Morgan agar minggir yang langsung dituruti oleh pria besar itu. Brad kembali menyeret Alice yang ketakutan bersamanya, ia menuju ke pintu keluar sambil berjalan mundur, dengan sengaja mempertontonkan wajah putus asa dan ketakutan Alice ke arah Katon dan Morgan. Sesaat setelah ia berada di luar, Brad mendorong tubuh lemas Alice ke trotoar, membuat wanita itu jatuh tak berdaya. Katon membuang tongkat bisbolnya dan memburu keluar untuk menolong Alice. "Kamu baik-baik saja?" Katon meraih lengan gadis itu dan membawa ke pelukannya. Ia merasakan tubuh Alice menggigil ketakutan. Morgan yang ikut berlari keluar, menatap bergantian ke arah Katon
Lelaki dewasa yang paling dekat dengan Katon berteriak sambil mengayunkan tongkat bisbolnya dengan ganas dan terarah ke kepala. Katon sudah tidak bisa lagi memikirkan posisi Morgan, terpaksa membiarkan sahabatnya bertarung demi dirinya sendiri. Katon membanting tubuhnya kesamping untuk menghindari pukulan tongkat bisbol sekaligus menyabet kaki penyerangnya. Pria lawannya jatuh berdebam di lantai keras dan mengeluarkan sumpah serapah. Katon kembali berdiri dan melancarkan pukulan ke arah dua pria yang mengeroyoknya dari sisi yang berbeda. Sudah tidak ada waktu untuk menggunakan jurus karate, Katon spontan menggunakan gaya petarung jalanan seperti yang Morgan biasa lakukan. Jab dan hook Katon bergantian menghajar musuh-musuhnya hingga jatuh. Upper cut-nya menghajar dagu satu musuh dan melemparkan lawan itu menabrak konter dapur, menghamburkan gelas di atasnya menjadi kepingan. Ketika mendapat ruang lebih leluasa, barulah Katon secara reflek mengeluarkan jurus karatenya. Katon mula
“A-aku ingin minta maaf atas apa yang sudah diperbuat oleh Brad.” Alice tergugu di depan Katon. “It's okay, Alice. Jangan khawatirkan aku," jawab Katon menenangkan wanita yang sedang ada di hadapannya saat ini dan melanjutkan kalimatnya dalam hati, “Pacarmu yang babak belur.” “Katon nyaris terluka, untunglah patroli polisi lewat sehingga Katon selamat. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi padanya kalau tidak ada patroli polisi,” imbuh Morgan manipulatif, tidak jauh berbeda dengan Katon. Dari balik sikap dinginnya, Morgan sengaja tunjukkan ekspresi kesedihan, untuk menambah keyakinan dari drama yang sudah Morgan dan Katon skenariokan. Mendengar semua ini, Alice spontan menumpahkan derai air mata lagi, di balik katupan kedua tangan ke wajah cantiknya. Alice terlihat sekali, menyesali apa yang terjadi pada pria yang disukainya ini. Perasaan empati Alice muncul, ketika cinta juga memberikan simpati. Katon melemparkan tatapan tajam ke arah Morgan ketika Alice menutup wajah da
Sebagai sahabat Katon, Morgan belajar pada kehidupan sahabat semenjak SMP-nya ini, yang entah bagaimana bisa keras dan berbahaya. Ia tidak langsung membuka pintu tapi memeriksa melalui kamera pengawas. “Tentu saja!” gerutu Morgan secepat matanya selesai memindai kamera pengawas. Pada kamera itu terpantul citra seorang wanita. Kulitnya sedikit kecoklatan, entah asli ataukah hasil dari berjemur di bawah matahari. Rambut panjangnya berwarna coklat keemasan. Wanita ini memiliki mata yang cantik yang saat ini memancarkan kekhawatiran. “Siapa?” tanya Morgan setelah memencet tombol interkom. “Uhm, ehm, apakah Katon ada? Dia baik-baik saja?” tanya wanita tersebut tanpa bisa menyembunyikan nada khawatir. “Motherfucker!” maki Morgan dalam hati. “Yea, ada. Dia ada. Dan pria itu baik-baik saja. Boleh aku tahu siapa namamu, Miss?” “Alice. Alice Wellington.” Morgan memastikan wanita itu ‘bersih’ dan dia membuka pintu sambil mengomel keras dalam hati. “Silakan masuk, Miss. Tunggulah di sini se
New York pagi hari. Katon membuka mata perlahan-lahan, ia bangun dari kasur empuk di apartemen mewahnya di Manhattan. Meskipun semalam ia baru saja berkelahi melawan enam orang, tidak ada tanda-tanda luka di tubuhnya. Dengan gerakan lincah, Katon bangkit dari tempat tidurnya dan bergegas menuju ruang olahraga pribadi. Baginya, latihan karate setiap pagi adalah kebutuhan. Latihan fisik dan mental ini menjadi sumber kekuatannya, memberikan ketenangan dan kesiapan untuk menghadapi segala tantangan yang akan datang. Setelah mengenakan pakaian olahraga yang nyaman, Katon mulai melakukan pemanasan dengan gerakan-gerakan yang lembut namun penuh konsentrasi. Tepat ketika Katon bersiap untuk memulai latihan karate yang intens, telepon genggamnya berdering. Dia mengambil ponsel dan melihat panggilan masuk dari Alice. Tanpa ragu, Katon menerima panggilan itu. "Pagi, Choco Girl! Apakah aku begitu mempesonamu sehingga sepagi ini kau sudah merindukanku?" sapa Katon dengan suara hangat. Alice t
“Eer ... siapa kalian?” tanya Katon keheranan. "Dengar, kau pikir kau bisa mendekati kekasihku begitu saja?" teriak salah satu dari enam pria tersebut sambil menunjuk jari pada Katon yang terkepung. Katon tersadar, ia sedang berhadapan dengan tidak lain dan tidak bukan adalah kekasih Alice dan teman-temannya. Katon berdiri dengan sikap yang berani, menatap tajam ke arah keenam pria yang mengancamnya. Dia tahu betul bahwa situasi ini bisa berujung buruk jika dia tidak berhati-hati. Beruntung Katon memiliki keahlian karate yang luar biasa. Dia terlatih dengan baik, dan dia tidak akan menyerah begitu saja. "Easy, Man!" ujar Katon dengan suara datar tanpa gentar kepada satu pria yang berusaha mengintimidasinya. "Aku tidak berniat mengganggu kekasihmu. Dan aku hanya mampir sesaat di apartemennya." Keenam pria Amerika itu saling pandang, menatap heran pada satu pria keturunan Amerika-Asia yang mereka kepung. Ini aneh. Pria itu tak kelihatan takut walau dikepung, membuat mereka ragu unt
“Bagaimana kalau aku mengantarmu pulang malam ini?” ucap seorang lelaki di sebuah coffeshop kepada salah satu pelayan wanita yang cantik. Wanita itu tersenyum mendengar tawaran yang manis dan mengangguk. Pria itu bahkan bersikap gentleman dengan membantu sang wanita menutup coffeshop karena ini adalah shift terakhir. Mereka menyusuri pedestrian dan menyeberangi beberapa blok menuju apartemen sang wanita sambil mengobrol ringan. Beberapa kali sang wanita tertawa dan memukul bahu sang pria dengan mesra, pertanda obrolan mereka menyenangkan dan sangat intim. Pintu apartemen di lantai tiga, menjeblak terbuka saat didorong dengan paksa. Dua tubuh yang saling berpelukan berputar dan masuk ke dalam apartemen. Kedua manusia ini saling memagut dalam ciuman yang panas dan penuh gairah. Kepala sang wanita mendongak, mengikuti pria yang lebih tinggi darinya. Bibir saling mengecap, lidah melibat. Sang pria mendesak hingga sang wanita terdorong ke dinding tanpa melepas pagutan bibirnya. Meskipun