“Lepaskan dia, Brad,” pinta Katon. Brad masih menyeringai kejam ke arah Katon, jelas dia tidak akan melepaskan Alice selama Katon masih menggenggam tongkat bisbol di tangannya.
“Suruh pembantumu minggir atau aku tidak segan mengiris leher cantik ini supaya kamu tahu seberapa cerah warna darahnya?” ejek Brad kejam. Katon melambaikan tangannya kepada Morgan agar minggir yang langsung dituruti oleh pria besar itu.
Brad kembali menyeret Alice yang ketakutan bersamanya, ia menuju ke pintu keluar sambil berjalan mundur, dengan sengaja mempertontonkan wajah putus asa dan ketakutan Alice ke arah Katon dan Morgan. Sesaat setelah ia berada di luar, Brad mendorong tubuh lemas Alice ke trotoar, membuat wanita itu jatuh tak berdaya. Katon membuang tongkat bisbolnya dan memburu keluar untuk menolong Alice.
"Kamu baik-baik saja?" Katon meraih lengan gadis itu dan membawa ke pelukannya. Ia merasakan tubuh Alice menggigil ketakutan. Morgan yang ikut berlari keluar, menatap bergantian ke arah Katon yang memeluk Alice dan siluet Brad yang kabur. Ia menunggu perintah Katon untuk mengejar Brad.
“Morgan, masuklah. Selesaikan urusan dengan pemilik Brooklyn Blend agar dia tidak menghubungi polisi,” kata Katon. Wajah Morgan mengernyit. Dia sungguh terkejut ketika Katon malah menyuruhnya masuk alih-alih mengejar dan menghabisi Brad.
“Ton, aku masih bisa mengejar Brad ….”
“Masuk. Selesaikan urusan dengan pemilik Brooklyn Blend!” perintah Katon dingin.
Katon membantu Alice untuk berdiri dan membawanya kembali masuk ke dalam Brooklyn Blend yang separuh hancur. Katon menarik satu kursi terbalik dan membetulkan posisinya agar Alice bisa duduk di situ. Di saat seperti ini, barulah pemiliki Brooklyn Blend atau atasan Alice, keluar dari dalam dapur dengan wajah ketakutan, sesaat kemudian wajahnya berubah menjadi sedih bercampur marah melihat coffeshopnya setengah hancur.
“Alice … tidaaak …,” keluhnya hanya kepada Alice yang juga menatap ketakutan ke arahnya.
“Apa ini? Bagaimana aku ….” Pemilik Brooklyn Blend terbata-bata berusaha meraih benda yang masih utuh. Morgan yang sedari tadi mengikutinya dari belakang kembali mendekati pria separuh baya itu.
“Seperti kataku tadi, Sir. Jangan khawatirkan perihal kerugian finansialmu. Mister Pradipta akan mengganti semuanya, asalkan Anda tidak melapor ke polisi atas kejadian ini.” Morgan mengeluarkan kalimat dengan tenang, berbanding terbalik dengan wajahnya yang berdarah-darah. Membuat pria pemilik Brooklyn Blend menatap takut-takut dan sulit mempercayai kata-kata Morgan.
Morgan menarik napas saat menyadari kalau wajahnya terlihat mengerikan. Lengan besarnya naik ke muka dan menyeka darah di sana, lalu menggosokkan lengannya ke kaus biru navy yang ia kenakan. Katon mengeryit tidak setuju, karena Morgan mengenakan kausnya. Morgan merogoh ke dalam saku celana dan mengeluarkan dompetnya. Sesaat kemudian ia mengulurkan tangan yang membawa kartu nama ke pria paruh baya pemilik coffeshop.
“Kartu nama tuan itu. Hubungi ketika Anda selesai menghitung kerugian. Satu syarat. Tidak ada polisi turut campur dalam masalah ini. Oke, Sir?”
Pria paruh baya pemilik Brooklyn Blend menerima kartu nama dan membaca tulisan di atasnya. Ia menoleh ke arah Katon yang langsung tersenyum menenangkan.
“Okey … a-aku akan mempertimbangkan ini,” ucapnya sambil melambaikan kartu di tangannya.
“Bagus! Sekarang kami pamit. Mohon maaf atas kerusuhan ini dan maaf kami tidak bisa membantu membersihkan. Kami tunggu tagihan Anda, Tuan.” Morgan menepuk bahu pria paruh baya itu dan berlalu meninggalkan coffeshop mengikuti Katon yang sudah membawa Alice duluan.
Katon membiarkan Morgan yang menyetir menuju ke apartemen Alice, sementara ia duduk di belakang untuk menenangkan Alice yang ada di pelukannya. Beberapa kali Morgan perlu arahan untuk tiba di apartemen Alice. Walau tidak seberapa jauh dari Brooklyn Blend, tetap saja, hanya Katon yang pernah ke sana.
Morgan memarkirkan mobil Katon di depan apartemen Alice. Ia masih melihat ke sekitar dengan mata curiga ketika Katon sudah membimbing Alice turun.
“Katon!” Desisan Morgan tidak berguna karena sahabatnya sudah berjalan sambil membimbing Alice menyeberangi jalan menuju ke apartemen. Morgan perlu mengenali lingkungan sekitar dan menilai keamanannya karena mobil mahal Katon harus parkir di area ini.
“Shit!” Morgan tidak punya pilihan selain mengikuti mereka. Ia keluar dan membanting pintu mobil agak terlalu keras lalu berlari menyeberangi jalan dan naik tangga pintu masuk sebelum Katon dan Alice menghilang dari pintu.
Mereka bertiga masuk ke apartemen Alice, tempat yang sama telah dimasuki oleh Katon semalam. Ketika tiba di apartemennya, Alice sedikit lebih tenang. Dia membebaskan dirinya dari pelukan Katon, dan meskipun masih berwajah sedih, ia mempersilakan Katon dan Morgan untuk duduk sementara ia menyingkir ke ruangan lain dan kembali dengan membawa handuk kecil, sebaskom air dingin untuk Katon membersihkan lukanya. Alih-alih ia pakai, Katon malah menyerahkan dan membiarkan Morgan yang memakainya.
“Bersihkan dirimu, Choco Girl. Kami akan menunggu di sini,” ujarnya kepada Alice yang mengangguk dan kembali meninggalkan Katon dan Morgan.
“Jadi, semalam kau di sini?” tanya Morgan sambil memeras handuk yang baru saja ia celupkan dalam baskom air dan menggunakan handuk itu untuk membasuh mukanya yang memiliki luka. “Di mana kau tidur? Kamarnya?” lanjut Morgan ketika Katon tidak menjawab.
Katon hanya melirik ke arahnya lalu menatap datar. Morgan yang melap mukanya balas menatap Katon, matanya tampak berpikir, sejurus kemudian dia berdiri seolah pantatnya menduduki besi panas.
“Holyshit! Di sini!!” raungnya sambil menatap sofa Alice dengan jijik. Katon terkekeh pelan dan berdiri untuk menuju ke lemari es yang ada di sudut dapur. Katon membuka lemari es dan masih mendengar Morgan yang memaki-maki pelan di belakangnya dan pindah duduk ke kursi kayu di seberang sofa.
“Bir, Morg?” tawar Katon ketika melongok ke dalam lemari es Alice.
“Ambilkan satu untukku” Geram Morgan yang teredam handuk. Katon mengambil dua kaleng bir dan membawanya kembali ke ruang tamu. Mereka berdua sedang menikmati bir ketika Alice keluar dari kamarnya, sudah lebih baik dan segar sehabis mandi. Katon tersenyum dan menepuk sofa di sisinya, tanda meminta Alice agar duduk di situ. Alice melirik ke arah Morgan yang tampak cuek, dan wanita itu menyeberangi ruangan untuk duduk di sebelah Katon.
“Aku mengambil bir di lemari esmu, Choco Girl. Kuharap tidak apa-apa?” Ijin Katon. Alice menggeleng dan tersenyum lemah.
“Tidak apa, kamu boleh menikmatinya. Aku … sungguh berterimakasih karena kamu dan Morgan sudah menyelamatkan aku malam ini,” kata Alice pelan.
“Apapun akan aku lakukan untuk membantumu, Sweet darling,” sahut Katon terdengar sambil lalu. Alice tersenyum samar. Ia merasakan perhatian Katon sekaligus sikap dingin lelaki itu. Hal itu membuat Alice sedikit bingung.
Katon memang beberapa minggu ini menjadi pelanggan tetap coffeshopnya. Ia sering berdiam di sudut dan mengerjakan sesuatu melalui laptop. Alice sering memperhatikan dan lama kelamaan interaksi mereka menjadi dekat. Hal tersebut yang membuat Alice menerima tawaran Katon untuk menemaninya pulang kemarin dan berakhir bercinta di apartemennya.
Selama Alice sibuk dengan pikirannya sendiri, Katon tampak menyesap bir dan membuang pandangannya ke jendela. Alice menangkap sesuatu yang terasa agak berbeda dari wajah Katon. Dengan agak ragu ia bertanya, "Adakah sesuatu yang kamu pikirkan?"
Katon memandang wajah Alice, ia meminum birnya lalu meletakkan kaleng kosong itu di atas meja. "Sebenarnya ... ada sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu.”
“Oh.” Wajah Alice tampak berbinar. Namun, sesaat kemudian berubah murung. Ia kesulitan menangkap arah pembicaraan Katon. Apa yang ingin dibagi pria ini, sesuatu yang membahagiakan atau malah menyedihkan?
“Bagaimana kalau aku mengantarmu pulang malam ini?” ucap seorang lelaki di sebuah coffeshop kepada salah satu pelayan wanita yang cantik. Wanita itu tersenyum mendengar tawaran yang manis dan mengangguk. Pria itu bahkan bersikap gentleman dengan membantu sang wanita menutup coffeshop karena ini adalah shift terakhir. Mereka menyusuri pedestrian dan menyeberangi beberapa blok menuju apartemen sang wanita sambil mengobrol ringan. Beberapa kali sang wanita tertawa dan memukul bahu sang pria dengan mesra, pertanda obrolan mereka menyenangkan dan sangat intim. Pintu apartemen di lantai tiga, menjeblak terbuka saat didorong dengan paksa. Dua tubuh yang saling berpelukan berputar dan masuk ke dalam apartemen. Kedua manusia ini saling memagut dalam ciuman yang panas dan penuh gairah. Kepala sang wanita mendongak, mengikuti pria yang lebih tinggi darinya. Bibir saling mengecap, lidah melibat. Sang pria mendesak hingga sang wanita terdorong ke dinding tanpa melepas pagutan bibirnya. Meskipun
“Eer ... siapa kalian?” tanya Katon keheranan. "Dengar, kau pikir kau bisa mendekati kekasihku begitu saja?" teriak salah satu dari enam pria tersebut sambil menunjuk jari pada Katon yang terkepung. Katon tersadar, ia sedang berhadapan dengan tidak lain dan tidak bukan adalah kekasih Alice dan teman-temannya. Katon berdiri dengan sikap yang berani, menatap tajam ke arah keenam pria yang mengancamnya. Dia tahu betul bahwa situasi ini bisa berujung buruk jika dia tidak berhati-hati. Beruntung Katon memiliki keahlian karate yang luar biasa. Dia terlatih dengan baik, dan dia tidak akan menyerah begitu saja. "Easy, Man!" ujar Katon dengan suara datar tanpa gentar kepada satu pria yang berusaha mengintimidasinya. "Aku tidak berniat mengganggu kekasihmu. Dan aku hanya mampir sesaat di apartemennya." Keenam pria Amerika itu saling pandang, menatap heran pada satu pria keturunan Amerika-Asia yang mereka kepung. Ini aneh. Pria itu tak kelihatan takut walau dikepung, membuat mereka ragu unt
New York pagi hari. Katon membuka mata perlahan-lahan, ia bangun dari kasur empuk di apartemen mewahnya di Manhattan. Meskipun semalam ia baru saja berkelahi melawan enam orang, tidak ada tanda-tanda luka di tubuhnya. Dengan gerakan lincah, Katon bangkit dari tempat tidurnya dan bergegas menuju ruang olahraga pribadi. Baginya, latihan karate setiap pagi adalah kebutuhan. Latihan fisik dan mental ini menjadi sumber kekuatannya, memberikan ketenangan dan kesiapan untuk menghadapi segala tantangan yang akan datang. Setelah mengenakan pakaian olahraga yang nyaman, Katon mulai melakukan pemanasan dengan gerakan-gerakan yang lembut namun penuh konsentrasi. Tepat ketika Katon bersiap untuk memulai latihan karate yang intens, telepon genggamnya berdering. Dia mengambil ponsel dan melihat panggilan masuk dari Alice. Tanpa ragu, Katon menerima panggilan itu. "Pagi, Choco Girl! Apakah aku begitu mempesonamu sehingga sepagi ini kau sudah merindukanku?" sapa Katon dengan suara hangat. Alice t
Sebagai sahabat Katon, Morgan belajar pada kehidupan sahabat semenjak SMP-nya ini, yang entah bagaimana bisa keras dan berbahaya. Ia tidak langsung membuka pintu tapi memeriksa melalui kamera pengawas. “Tentu saja!” gerutu Morgan secepat matanya selesai memindai kamera pengawas. Pada kamera itu terpantul citra seorang wanita. Kulitnya sedikit kecoklatan, entah asli ataukah hasil dari berjemur di bawah matahari. Rambut panjangnya berwarna coklat keemasan. Wanita ini memiliki mata yang cantik yang saat ini memancarkan kekhawatiran. “Siapa?” tanya Morgan setelah memencet tombol interkom. “Uhm, ehm, apakah Katon ada? Dia baik-baik saja?” tanya wanita tersebut tanpa bisa menyembunyikan nada khawatir. “Motherfucker!” maki Morgan dalam hati. “Yea, ada. Dia ada. Dan pria itu baik-baik saja. Boleh aku tahu siapa namamu, Miss?” “Alice. Alice Wellington.” Morgan memastikan wanita itu ‘bersih’ dan dia membuka pintu sambil mengomel keras dalam hati. “Silakan masuk, Miss. Tunggulah di sini se
“A-aku ingin minta maaf atas apa yang sudah diperbuat oleh Brad.” Alice tergugu di depan Katon. “It's okay, Alice. Jangan khawatirkan aku," jawab Katon menenangkan wanita yang sedang ada di hadapannya saat ini dan melanjutkan kalimatnya dalam hati, “Pacarmu yang babak belur.” “Katon nyaris terluka, untunglah patroli polisi lewat sehingga Katon selamat. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi padanya kalau tidak ada patroli polisi,” imbuh Morgan manipulatif, tidak jauh berbeda dengan Katon. Dari balik sikap dinginnya, Morgan sengaja tunjukkan ekspresi kesedihan, untuk menambah keyakinan dari drama yang sudah Morgan dan Katon skenariokan. Mendengar semua ini, Alice spontan menumpahkan derai air mata lagi, di balik katupan kedua tangan ke wajah cantiknya. Alice terlihat sekali, menyesali apa yang terjadi pada pria yang disukainya ini. Perasaan empati Alice muncul, ketika cinta juga memberikan simpati. Katon melemparkan tatapan tajam ke arah Morgan ketika Alice menutup wajah da
Lelaki dewasa yang paling dekat dengan Katon berteriak sambil mengayunkan tongkat bisbolnya dengan ganas dan terarah ke kepala. Katon sudah tidak bisa lagi memikirkan posisi Morgan, terpaksa membiarkan sahabatnya bertarung demi dirinya sendiri. Katon membanting tubuhnya kesamping untuk menghindari pukulan tongkat bisbol sekaligus menyabet kaki penyerangnya. Pria lawannya jatuh berdebam di lantai keras dan mengeluarkan sumpah serapah. Katon kembali berdiri dan melancarkan pukulan ke arah dua pria yang mengeroyoknya dari sisi yang berbeda. Sudah tidak ada waktu untuk menggunakan jurus karate, Katon spontan menggunakan gaya petarung jalanan seperti yang Morgan biasa lakukan. Jab dan hook Katon bergantian menghajar musuh-musuhnya hingga jatuh. Upper cut-nya menghajar dagu satu musuh dan melemparkan lawan itu menabrak konter dapur, menghamburkan gelas di atasnya menjadi kepingan. Ketika mendapat ruang lebih leluasa, barulah Katon secara reflek mengeluarkan jurus karatenya. Katon mula
“Lepaskan dia, Brad,” pinta Katon. Brad masih menyeringai kejam ke arah Katon, jelas dia tidak akan melepaskan Alice selama Katon masih menggenggam tongkat bisbol di tangannya. “Suruh pembantumu minggir atau aku tidak segan mengiris leher cantik ini supaya kamu tahu seberapa cerah warna darahnya?” ejek Brad kejam. Katon melambaikan tangannya kepada Morgan agar minggir yang langsung dituruti oleh pria besar itu. Brad kembali menyeret Alice yang ketakutan bersamanya, ia menuju ke pintu keluar sambil berjalan mundur, dengan sengaja mempertontonkan wajah putus asa dan ketakutan Alice ke arah Katon dan Morgan. Sesaat setelah ia berada di luar, Brad mendorong tubuh lemas Alice ke trotoar, membuat wanita itu jatuh tak berdaya. Katon membuang tongkat bisbolnya dan memburu keluar untuk menolong Alice. "Kamu baik-baik saja?" Katon meraih lengan gadis itu dan membawa ke pelukannya. Ia merasakan tubuh Alice menggigil ketakutan. Morgan yang ikut berlari keluar, menatap bergantian ke arah Katon
Lelaki dewasa yang paling dekat dengan Katon berteriak sambil mengayunkan tongkat bisbolnya dengan ganas dan terarah ke kepala. Katon sudah tidak bisa lagi memikirkan posisi Morgan, terpaksa membiarkan sahabatnya bertarung demi dirinya sendiri. Katon membanting tubuhnya kesamping untuk menghindari pukulan tongkat bisbol sekaligus menyabet kaki penyerangnya. Pria lawannya jatuh berdebam di lantai keras dan mengeluarkan sumpah serapah. Katon kembali berdiri dan melancarkan pukulan ke arah dua pria yang mengeroyoknya dari sisi yang berbeda. Sudah tidak ada waktu untuk menggunakan jurus karate, Katon spontan menggunakan gaya petarung jalanan seperti yang Morgan biasa lakukan. Jab dan hook Katon bergantian menghajar musuh-musuhnya hingga jatuh. Upper cut-nya menghajar dagu satu musuh dan melemparkan lawan itu menabrak konter dapur, menghamburkan gelas di atasnya menjadi kepingan. Ketika mendapat ruang lebih leluasa, barulah Katon secara reflek mengeluarkan jurus karatenya. Katon mula
“A-aku ingin minta maaf atas apa yang sudah diperbuat oleh Brad.” Alice tergugu di depan Katon. “It's okay, Alice. Jangan khawatirkan aku," jawab Katon menenangkan wanita yang sedang ada di hadapannya saat ini dan melanjutkan kalimatnya dalam hati, “Pacarmu yang babak belur.” “Katon nyaris terluka, untunglah patroli polisi lewat sehingga Katon selamat. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi padanya kalau tidak ada patroli polisi,” imbuh Morgan manipulatif, tidak jauh berbeda dengan Katon. Dari balik sikap dinginnya, Morgan sengaja tunjukkan ekspresi kesedihan, untuk menambah keyakinan dari drama yang sudah Morgan dan Katon skenariokan. Mendengar semua ini, Alice spontan menumpahkan derai air mata lagi, di balik katupan kedua tangan ke wajah cantiknya. Alice terlihat sekali, menyesali apa yang terjadi pada pria yang disukainya ini. Perasaan empati Alice muncul, ketika cinta juga memberikan simpati. Katon melemparkan tatapan tajam ke arah Morgan ketika Alice menutup wajah da
Sebagai sahabat Katon, Morgan belajar pada kehidupan sahabat semenjak SMP-nya ini, yang entah bagaimana bisa keras dan berbahaya. Ia tidak langsung membuka pintu tapi memeriksa melalui kamera pengawas. “Tentu saja!” gerutu Morgan secepat matanya selesai memindai kamera pengawas. Pada kamera itu terpantul citra seorang wanita. Kulitnya sedikit kecoklatan, entah asli ataukah hasil dari berjemur di bawah matahari. Rambut panjangnya berwarna coklat keemasan. Wanita ini memiliki mata yang cantik yang saat ini memancarkan kekhawatiran. “Siapa?” tanya Morgan setelah memencet tombol interkom. “Uhm, ehm, apakah Katon ada? Dia baik-baik saja?” tanya wanita tersebut tanpa bisa menyembunyikan nada khawatir. “Motherfucker!” maki Morgan dalam hati. “Yea, ada. Dia ada. Dan pria itu baik-baik saja. Boleh aku tahu siapa namamu, Miss?” “Alice. Alice Wellington.” Morgan memastikan wanita itu ‘bersih’ dan dia membuka pintu sambil mengomel keras dalam hati. “Silakan masuk, Miss. Tunggulah di sini se
New York pagi hari. Katon membuka mata perlahan-lahan, ia bangun dari kasur empuk di apartemen mewahnya di Manhattan. Meskipun semalam ia baru saja berkelahi melawan enam orang, tidak ada tanda-tanda luka di tubuhnya. Dengan gerakan lincah, Katon bangkit dari tempat tidurnya dan bergegas menuju ruang olahraga pribadi. Baginya, latihan karate setiap pagi adalah kebutuhan. Latihan fisik dan mental ini menjadi sumber kekuatannya, memberikan ketenangan dan kesiapan untuk menghadapi segala tantangan yang akan datang. Setelah mengenakan pakaian olahraga yang nyaman, Katon mulai melakukan pemanasan dengan gerakan-gerakan yang lembut namun penuh konsentrasi. Tepat ketika Katon bersiap untuk memulai latihan karate yang intens, telepon genggamnya berdering. Dia mengambil ponsel dan melihat panggilan masuk dari Alice. Tanpa ragu, Katon menerima panggilan itu. "Pagi, Choco Girl! Apakah aku begitu mempesonamu sehingga sepagi ini kau sudah merindukanku?" sapa Katon dengan suara hangat. Alice t
“Eer ... siapa kalian?” tanya Katon keheranan. "Dengar, kau pikir kau bisa mendekati kekasihku begitu saja?" teriak salah satu dari enam pria tersebut sambil menunjuk jari pada Katon yang terkepung. Katon tersadar, ia sedang berhadapan dengan tidak lain dan tidak bukan adalah kekasih Alice dan teman-temannya. Katon berdiri dengan sikap yang berani, menatap tajam ke arah keenam pria yang mengancamnya. Dia tahu betul bahwa situasi ini bisa berujung buruk jika dia tidak berhati-hati. Beruntung Katon memiliki keahlian karate yang luar biasa. Dia terlatih dengan baik, dan dia tidak akan menyerah begitu saja. "Easy, Man!" ujar Katon dengan suara datar tanpa gentar kepada satu pria yang berusaha mengintimidasinya. "Aku tidak berniat mengganggu kekasihmu. Dan aku hanya mampir sesaat di apartemennya." Keenam pria Amerika itu saling pandang, menatap heran pada satu pria keturunan Amerika-Asia yang mereka kepung. Ini aneh. Pria itu tak kelihatan takut walau dikepung, membuat mereka ragu unt
“Bagaimana kalau aku mengantarmu pulang malam ini?” ucap seorang lelaki di sebuah coffeshop kepada salah satu pelayan wanita yang cantik. Wanita itu tersenyum mendengar tawaran yang manis dan mengangguk. Pria itu bahkan bersikap gentleman dengan membantu sang wanita menutup coffeshop karena ini adalah shift terakhir. Mereka menyusuri pedestrian dan menyeberangi beberapa blok menuju apartemen sang wanita sambil mengobrol ringan. Beberapa kali sang wanita tertawa dan memukul bahu sang pria dengan mesra, pertanda obrolan mereka menyenangkan dan sangat intim. Pintu apartemen di lantai tiga, menjeblak terbuka saat didorong dengan paksa. Dua tubuh yang saling berpelukan berputar dan masuk ke dalam apartemen. Kedua manusia ini saling memagut dalam ciuman yang panas dan penuh gairah. Kepala sang wanita mendongak, mengikuti pria yang lebih tinggi darinya. Bibir saling mengecap, lidah melibat. Sang pria mendesak hingga sang wanita terdorong ke dinding tanpa melepas pagutan bibirnya. Meskipun