Lelaki dewasa yang paling dekat dengan Katon berteriak sambil mengayunkan tongkat bisbolnya dengan ganas dan terarah ke kepala. Katon sudah tidak bisa lagi memikirkan posisi Morgan, terpaksa membiarkan sahabatnya bertarung demi dirinya sendiri. Katon membanting tubuhnya kesamping untuk menghindari pukulan tongkat bisbol sekaligus menyabet kaki penyerangnya.
Pria lawannya jatuh berdebam di lantai keras dan mengeluarkan sumpah serapah. Katon kembali berdiri dan melancarkan pukulan ke arah dua pria yang mengeroyoknya dari sisi yang berbeda. Sudah tidak ada waktu untuk menggunakan jurus karate, Katon spontan menggunakan gaya petarung jalanan seperti yang Morgan biasa lakukan.
Jab dan hook Katon bergantian menghajar musuh-musuhnya hingga jatuh. Upper cut-nya menghajar dagu satu musuh dan melemparkan lawan itu menabrak konter dapur, menghamburkan gelas di atasnya menjadi kepingan. Ketika mendapat ruang lebih leluasa, barulah Katon secara reflek mengeluarkan jurus karatenya.
Katon mulai meluncurkan Oi-Zuki-Chudan dan mentargetkan pukulan ke ulu hati dan perut lawan. Lebih efektif untuk mematikan musuh secara spontan, saat jantung lawan berdebar, karena sibuk menyerang Katon. Pukulan Oi-Zuki-Chudan Katon membuat lawannya terpental dalam sekali pukul. Tubuhnya melayang dan menabrak dua kursi terbalik hingga hancur. Pria itu mengerang kesakitan dan tidak sanggup bangkit lagi.
Katon tidak sempat melihat Morgan, hanya mendengar saja bahwa sahabatnya melawan dengan tak kalah beringas. Beberapa korbannya bahkan menabrak perabot Brooklyn Blend dan merusaknya. Satu orang terlempar ke dinding dan membuat lemari kaca hiasan pecah berhamburan.
Salah seorang pria berkulit hitam menerjang Katon dengan menghunus pisau. Katon segera melayangkan Kakato Geri. Kakinya lurus ke atas, tendangan yang juga dikenal sebagai “axe kick” karena pengaplikasiannya tampak seperti kapak yang meluncur dari atas ke bawah, saat ini diluncurkan Katon ke arah kepala pria itu dan menyasar hidungnya bahkan sebelum pisau sampai ke tubuh Katon karena kaki Katon yang lebih panjang menghajar hidungnya hingga si pria tersentak ke belakang dan langsung jatuh pingsan.
Dari Kakato Geri, kaki Katon tidak turun. Namun, langsung berputar dan menyerang lawan di belakangnya dengan Mawashi Geri. Tendangan ini berputar menggunakan punggung kaki yang diangkat setinggi pinggang dan diluncurkan ke arah kepala lawannya hingga pria di belakang Katon terjengkang dan menimpa kawan yang ada di belakangnya. Mereka berteriak panik sekaligus kesakitan.
Saat itulah Katon merasakan punggungnya ditendang dan dia jatuh tersungkur. Muka Katon menghajar sudut meja yang telah miring dan ia bisa merasakan darah di dalam mulutnya. Tepat sebelum diinjak, Katon berguling, sekalian menjatuhkan diri ke lantai lalu meluruskan kaki ke arah dagu musuh yang hendak menginjaknya. Tubuh Katon kembali berputar terbalik dengan punggung kaki menghajar dagu lawannya sampai kepalanya terdongak.
Katon berdiri tegak bersamaan dengan musuhnya tergeletak dengan mulut berdarah karena menggigit lidahnya sendiri. Punggung Katon menabrak sesuatu yang keras. Punggung Morgan.
Mereka berdiri dan saling melekatkan punggung masing-masing. Tatapan waspada ke lawan yang tersisa. Tinju mengepal siap di depan muka. Ruangan tengah Brooklyn Blend telah kosong. Menyisakan kursi dan meja yang tersebar tidak keruan, sebagian terbalik. Sebagian bahkan patah. Di sela-sela kekacauan itu, berdiri Katon dan Morgan saling mengadu punggung dan dikepung sepuluh orang gangster dengan masing-masing senjata di tangan. Beberapa luka di wajah mereka semakin membuat beringas para gangster.
“Kau tidak apa?” tanya Morgan yang bersiaga di punggung Katon.
“Oh, ayolah Morg. Ini baru pemanasan, buddy!” ejek Katon melempar pandangan menghina ke lawan di depannya. Ia meludahkan darah dari mulutnya seolah itu hanya hal yang biasa.
“HHEEAAAAA!!!!” Gerombolan gangster yang tersisa menyerbu bersama-sama ke arah Katon dan Morgan yang ada dalam kepungan mereka. Alice menjerit adalah hal terakhir yang didengar Katon sebelum akhirnya adrenalin mengambil alih dan menderu di telinganya.
Dia mulai melawan dengan melancarkan jab keras ke muka siapapun yang mendekati dan dipadu dengan Oi-Zuki-Jodan dan Tetsui-Uchi. Katon bagai angin topan yang mengamuk di tengah pertempuran.
Oi-Zuki-Jodan Katon dilesakkan ke arah kepala. Katon juga memukul hidung supaya pernapasan lawan terganggu. Lalu menambahkan satu pukulan ke arah rahang menggunakan siku untuk membuat lawan tambah kesakitan. Satu lawan tumbang dan Katon maju menyerang berikutnya dengan hook yang ia padukan dengan Tetsui-Uchi yang sudah terkepal dengan keras.
Tinju Katon menyerupai “tangan palu,” dan ia gunakan bawah dari kepalan tangan untuk memukul rahang musuhnya.
Di samping Katon, Morgan bergerak tak kalah mengerikan. Tubuhnya laksana bayangan gelap berkelebat menyarangkan setiap tinjunya ke muka lawannya yang berada di kanan kiri nyaris tanpa henti dan bergantian dengan kecepatan konstan.
Kanan, kiri, kanan, kiri sehingga lawan yang mengeliling Morgan kocar kacir antara kesakitan sambil memegangi hidung, wajah, mata atau terjengkang dan tongkat bisbol mereka terlempar sebelum mencapai tubuh Morgan.
“Katon!” Teriak Morgan yang di antara kesibukannya meninju lawan-lawannya, melihat seorang pria di belakang Katon meluruk maju dengan pisau mengarah ke punggung Katon. Morgan menaikkan sikunya ke muka musuh yang terdekat lalu meraih kursi rusak dan melempar ke musuh di belakang Katon. Kursi melayang dan menghantam targetnya. Lawan yang mengancam Katon jatuh ke lantai bersama kursi rusak, tetapi efek berbeda terjadi pada Morgan. Akibat membantu Katon, Morgan yang sesaat lengah terhantam tongkat bisbol di bahunya, nyaris mengenai kepala.
“Akh! Fuck!” Morgan meraung marah dan menangkap tongkat bisbol yang akan dilayangkan untuk kali kedua. Morgan menarik tongkat itu sekalian dengan pemegangnya lalu menyambut leher lawan dengan tangan besarnya. Morgan mencengkeram leher pria itu, menutup jalan napasnya lalu dengan kejam, Morgan menghantamkan kepalanya ke kepala pria yang ia cengkeram. Pria itu jatuh ke lantai, pingsan dan melepas tongkat bisbolnya.
“KATON!” Morgan kembali berteriak dan melempar tongkat bisbol ke arah Katon yang langsung ditangkap dengan gesit dan Katon melayangkan tongkat itu untuk memukul mundur tiga orang yang mengeroyoknya. Atas, bawah, kanan, kiri. Ketiga orang pengeroyok Katon terhajar di kepala dan dada bergantian dan ketiganya berjatuhan seperti daun musim gugur.
Katon tidak berhenti dan berbalik lalu menyerbu pengeroyok Morgan. Ia melompati meja yang terbalik dan memutar tongkat di tangannya dengan ahli lalu menghajar kepala lawannya. Satu, dua, tiga, pria di sekitar Morgan ambruk. Tidak ada yang bisa menghentikan Katon. Sekarang dia melesat dengan tongkat rampasan menuju ke Brad yang masih mencengkeram Alice.
Namun, mata Brad tak terlihat gentar melihat Katon meluruk ke arahnya dengan wajah mengerikan dan tongkat bisbol di tangan. Brad menggerakkan satu tangan tanpa melepas Alice. "Jangan mendekat, atau gadis ini akan mati!" bentak Brad sambil menarik tubuh Alice ke belakang, ia menjejalkan sebuah belati di leher gadis itu dengan wajah penuh ancaman.
Katon yang telah terbang melewati konter dan mendarat di depan Brad, kini berdiri dengan badan menegang. Ia melihat wajah Alice yang memucat dan tidak berani menggerakkan tubuhnya karena sisi tajam belati yang menempel di kulit lehernya.
Di sisi lain, Morgan yang baru saja menjatuhkan lawan terakhirnya juga ikut membeku melihat penyanderaan Alice. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran hal ini tidak akan berakhir dengan baik. Melihat dua pria di depannya tidak bergerak, Brad melihat kesempatan untuk memindai sekitarnya, jelas untuk mencari jalan keluar. Brad melihat celah di belakangnya dan ia menyeret Alice bersamanya, membuat belati menempel makin dalam dan wanita itu mengisak ketakutan.
“Lepaskan dia, Brad,” pinta Katon. Brad masih menyeringai kejam ke arah Katon, jelas dia tidak akan melepaskan Alice selama Katon masih menggenggam tongkat bisbol di tangannya. “Suruh pembantumu minggir atau aku tidak segan mengiris leher cantik ini supaya kamu tahu seberapa cerah warna darahnya?” ejek Brad kejam. Katon melambaikan tangannya kepada Morgan agar minggir yang langsung dituruti oleh pria besar itu. Brad kembali menyeret Alice yang ketakutan bersamanya, ia menuju ke pintu keluar sambil berjalan mundur, dengan sengaja mempertontonkan wajah putus asa dan ketakutan Alice ke arah Katon dan Morgan. Sesaat setelah ia berada di luar, Brad mendorong tubuh lemas Alice ke trotoar, membuat wanita itu jatuh tak berdaya. Katon membuang tongkat bisbolnya dan memburu keluar untuk menolong Alice. "Kamu baik-baik saja?" Katon meraih lengan gadis itu dan membawa ke pelukannya. Ia merasakan tubuh Alice menggigil ketakutan. Morgan yang ikut berlari keluar, menatap bergantian ke arah Katon
“Bagaimana kalau aku mengantarmu pulang malam ini?” ucap seorang lelaki di sebuah coffeshop kepada salah satu pelayan wanita yang cantik. Wanita itu tersenyum mendengar tawaran yang manis dan mengangguk. Pria itu bahkan bersikap gentleman dengan membantu sang wanita menutup coffeshop karena ini adalah shift terakhir. Mereka menyusuri pedestrian dan menyeberangi beberapa blok menuju apartemen sang wanita sambil mengobrol ringan. Beberapa kali sang wanita tertawa dan memukul bahu sang pria dengan mesra, pertanda obrolan mereka menyenangkan dan sangat intim. Pintu apartemen di lantai tiga, menjeblak terbuka saat didorong dengan paksa. Dua tubuh yang saling berpelukan berputar dan masuk ke dalam apartemen. Kedua manusia ini saling memagut dalam ciuman yang panas dan penuh gairah. Kepala sang wanita mendongak, mengikuti pria yang lebih tinggi darinya. Bibir saling mengecap, lidah melibat. Sang pria mendesak hingga sang wanita terdorong ke dinding tanpa melepas pagutan bibirnya. Meskipun
“Eer ... siapa kalian?” tanya Katon keheranan. "Dengar, kau pikir kau bisa mendekati kekasihku begitu saja?" teriak salah satu dari enam pria tersebut sambil menunjuk jari pada Katon yang terkepung. Katon tersadar, ia sedang berhadapan dengan tidak lain dan tidak bukan adalah kekasih Alice dan teman-temannya. Katon berdiri dengan sikap yang berani, menatap tajam ke arah keenam pria yang mengancamnya. Dia tahu betul bahwa situasi ini bisa berujung buruk jika dia tidak berhati-hati. Beruntung Katon memiliki keahlian karate yang luar biasa. Dia terlatih dengan baik, dan dia tidak akan menyerah begitu saja. "Easy, Man!" ujar Katon dengan suara datar tanpa gentar kepada satu pria yang berusaha mengintimidasinya. "Aku tidak berniat mengganggu kekasihmu. Dan aku hanya mampir sesaat di apartemennya." Keenam pria Amerika itu saling pandang, menatap heran pada satu pria keturunan Amerika-Asia yang mereka kepung. Ini aneh. Pria itu tak kelihatan takut walau dikepung, membuat mereka ragu unt
New York pagi hari. Katon membuka mata perlahan-lahan, ia bangun dari kasur empuk di apartemen mewahnya di Manhattan. Meskipun semalam ia baru saja berkelahi melawan enam orang, tidak ada tanda-tanda luka di tubuhnya. Dengan gerakan lincah, Katon bangkit dari tempat tidurnya dan bergegas menuju ruang olahraga pribadi. Baginya, latihan karate setiap pagi adalah kebutuhan. Latihan fisik dan mental ini menjadi sumber kekuatannya, memberikan ketenangan dan kesiapan untuk menghadapi segala tantangan yang akan datang. Setelah mengenakan pakaian olahraga yang nyaman, Katon mulai melakukan pemanasan dengan gerakan-gerakan yang lembut namun penuh konsentrasi. Tepat ketika Katon bersiap untuk memulai latihan karate yang intens, telepon genggamnya berdering. Dia mengambil ponsel dan melihat panggilan masuk dari Alice. Tanpa ragu, Katon menerima panggilan itu. "Pagi, Choco Girl! Apakah aku begitu mempesonamu sehingga sepagi ini kau sudah merindukanku?" sapa Katon dengan suara hangat. Alice t
Sebagai sahabat Katon, Morgan belajar pada kehidupan sahabat semenjak SMP-nya ini, yang entah bagaimana bisa keras dan berbahaya. Ia tidak langsung membuka pintu tapi memeriksa melalui kamera pengawas. “Tentu saja!” gerutu Morgan secepat matanya selesai memindai kamera pengawas. Pada kamera itu terpantul citra seorang wanita. Kulitnya sedikit kecoklatan, entah asli ataukah hasil dari berjemur di bawah matahari. Rambut panjangnya berwarna coklat keemasan. Wanita ini memiliki mata yang cantik yang saat ini memancarkan kekhawatiran. “Siapa?” tanya Morgan setelah memencet tombol interkom. “Uhm, ehm, apakah Katon ada? Dia baik-baik saja?” tanya wanita tersebut tanpa bisa menyembunyikan nada khawatir. “Motherfucker!” maki Morgan dalam hati. “Yea, ada. Dia ada. Dan pria itu baik-baik saja. Boleh aku tahu siapa namamu, Miss?” “Alice. Alice Wellington.” Morgan memastikan wanita itu ‘bersih’ dan dia membuka pintu sambil mengomel keras dalam hati. “Silakan masuk, Miss. Tunggulah di sini se
“A-aku ingin minta maaf atas apa yang sudah diperbuat oleh Brad.” Alice tergugu di depan Katon. “It's okay, Alice. Jangan khawatirkan aku," jawab Katon menenangkan wanita yang sedang ada di hadapannya saat ini dan melanjutkan kalimatnya dalam hati, “Pacarmu yang babak belur.” “Katon nyaris terluka, untunglah patroli polisi lewat sehingga Katon selamat. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi padanya kalau tidak ada patroli polisi,” imbuh Morgan manipulatif, tidak jauh berbeda dengan Katon. Dari balik sikap dinginnya, Morgan sengaja tunjukkan ekspresi kesedihan, untuk menambah keyakinan dari drama yang sudah Morgan dan Katon skenariokan. Mendengar semua ini, Alice spontan menumpahkan derai air mata lagi, di balik katupan kedua tangan ke wajah cantiknya. Alice terlihat sekali, menyesali apa yang terjadi pada pria yang disukainya ini. Perasaan empati Alice muncul, ketika cinta juga memberikan simpati. Katon melemparkan tatapan tajam ke arah Morgan ketika Alice menutup wajah da
“Lepaskan dia, Brad,” pinta Katon. Brad masih menyeringai kejam ke arah Katon, jelas dia tidak akan melepaskan Alice selama Katon masih menggenggam tongkat bisbol di tangannya. “Suruh pembantumu minggir atau aku tidak segan mengiris leher cantik ini supaya kamu tahu seberapa cerah warna darahnya?” ejek Brad kejam. Katon melambaikan tangannya kepada Morgan agar minggir yang langsung dituruti oleh pria besar itu. Brad kembali menyeret Alice yang ketakutan bersamanya, ia menuju ke pintu keluar sambil berjalan mundur, dengan sengaja mempertontonkan wajah putus asa dan ketakutan Alice ke arah Katon dan Morgan. Sesaat setelah ia berada di luar, Brad mendorong tubuh lemas Alice ke trotoar, membuat wanita itu jatuh tak berdaya. Katon membuang tongkat bisbolnya dan memburu keluar untuk menolong Alice. "Kamu baik-baik saja?" Katon meraih lengan gadis itu dan membawa ke pelukannya. Ia merasakan tubuh Alice menggigil ketakutan. Morgan yang ikut berlari keluar, menatap bergantian ke arah Katon
Lelaki dewasa yang paling dekat dengan Katon berteriak sambil mengayunkan tongkat bisbolnya dengan ganas dan terarah ke kepala. Katon sudah tidak bisa lagi memikirkan posisi Morgan, terpaksa membiarkan sahabatnya bertarung demi dirinya sendiri. Katon membanting tubuhnya kesamping untuk menghindari pukulan tongkat bisbol sekaligus menyabet kaki penyerangnya. Pria lawannya jatuh berdebam di lantai keras dan mengeluarkan sumpah serapah. Katon kembali berdiri dan melancarkan pukulan ke arah dua pria yang mengeroyoknya dari sisi yang berbeda. Sudah tidak ada waktu untuk menggunakan jurus karate, Katon spontan menggunakan gaya petarung jalanan seperti yang Morgan biasa lakukan. Jab dan hook Katon bergantian menghajar musuh-musuhnya hingga jatuh. Upper cut-nya menghajar dagu satu musuh dan melemparkan lawan itu menabrak konter dapur, menghamburkan gelas di atasnya menjadi kepingan. Ketika mendapat ruang lebih leluasa, barulah Katon secara reflek mengeluarkan jurus karatenya. Katon mula
“A-aku ingin minta maaf atas apa yang sudah diperbuat oleh Brad.” Alice tergugu di depan Katon. “It's okay, Alice. Jangan khawatirkan aku," jawab Katon menenangkan wanita yang sedang ada di hadapannya saat ini dan melanjutkan kalimatnya dalam hati, “Pacarmu yang babak belur.” “Katon nyaris terluka, untunglah patroli polisi lewat sehingga Katon selamat. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi padanya kalau tidak ada patroli polisi,” imbuh Morgan manipulatif, tidak jauh berbeda dengan Katon. Dari balik sikap dinginnya, Morgan sengaja tunjukkan ekspresi kesedihan, untuk menambah keyakinan dari drama yang sudah Morgan dan Katon skenariokan. Mendengar semua ini, Alice spontan menumpahkan derai air mata lagi, di balik katupan kedua tangan ke wajah cantiknya. Alice terlihat sekali, menyesali apa yang terjadi pada pria yang disukainya ini. Perasaan empati Alice muncul, ketika cinta juga memberikan simpati. Katon melemparkan tatapan tajam ke arah Morgan ketika Alice menutup wajah da
Sebagai sahabat Katon, Morgan belajar pada kehidupan sahabat semenjak SMP-nya ini, yang entah bagaimana bisa keras dan berbahaya. Ia tidak langsung membuka pintu tapi memeriksa melalui kamera pengawas. “Tentu saja!” gerutu Morgan secepat matanya selesai memindai kamera pengawas. Pada kamera itu terpantul citra seorang wanita. Kulitnya sedikit kecoklatan, entah asli ataukah hasil dari berjemur di bawah matahari. Rambut panjangnya berwarna coklat keemasan. Wanita ini memiliki mata yang cantik yang saat ini memancarkan kekhawatiran. “Siapa?” tanya Morgan setelah memencet tombol interkom. “Uhm, ehm, apakah Katon ada? Dia baik-baik saja?” tanya wanita tersebut tanpa bisa menyembunyikan nada khawatir. “Motherfucker!” maki Morgan dalam hati. “Yea, ada. Dia ada. Dan pria itu baik-baik saja. Boleh aku tahu siapa namamu, Miss?” “Alice. Alice Wellington.” Morgan memastikan wanita itu ‘bersih’ dan dia membuka pintu sambil mengomel keras dalam hati. “Silakan masuk, Miss. Tunggulah di sini se
New York pagi hari. Katon membuka mata perlahan-lahan, ia bangun dari kasur empuk di apartemen mewahnya di Manhattan. Meskipun semalam ia baru saja berkelahi melawan enam orang, tidak ada tanda-tanda luka di tubuhnya. Dengan gerakan lincah, Katon bangkit dari tempat tidurnya dan bergegas menuju ruang olahraga pribadi. Baginya, latihan karate setiap pagi adalah kebutuhan. Latihan fisik dan mental ini menjadi sumber kekuatannya, memberikan ketenangan dan kesiapan untuk menghadapi segala tantangan yang akan datang. Setelah mengenakan pakaian olahraga yang nyaman, Katon mulai melakukan pemanasan dengan gerakan-gerakan yang lembut namun penuh konsentrasi. Tepat ketika Katon bersiap untuk memulai latihan karate yang intens, telepon genggamnya berdering. Dia mengambil ponsel dan melihat panggilan masuk dari Alice. Tanpa ragu, Katon menerima panggilan itu. "Pagi, Choco Girl! Apakah aku begitu mempesonamu sehingga sepagi ini kau sudah merindukanku?" sapa Katon dengan suara hangat. Alice t
“Eer ... siapa kalian?” tanya Katon keheranan. "Dengar, kau pikir kau bisa mendekati kekasihku begitu saja?" teriak salah satu dari enam pria tersebut sambil menunjuk jari pada Katon yang terkepung. Katon tersadar, ia sedang berhadapan dengan tidak lain dan tidak bukan adalah kekasih Alice dan teman-temannya. Katon berdiri dengan sikap yang berani, menatap tajam ke arah keenam pria yang mengancamnya. Dia tahu betul bahwa situasi ini bisa berujung buruk jika dia tidak berhati-hati. Beruntung Katon memiliki keahlian karate yang luar biasa. Dia terlatih dengan baik, dan dia tidak akan menyerah begitu saja. "Easy, Man!" ujar Katon dengan suara datar tanpa gentar kepada satu pria yang berusaha mengintimidasinya. "Aku tidak berniat mengganggu kekasihmu. Dan aku hanya mampir sesaat di apartemennya." Keenam pria Amerika itu saling pandang, menatap heran pada satu pria keturunan Amerika-Asia yang mereka kepung. Ini aneh. Pria itu tak kelihatan takut walau dikepung, membuat mereka ragu unt
“Bagaimana kalau aku mengantarmu pulang malam ini?” ucap seorang lelaki di sebuah coffeshop kepada salah satu pelayan wanita yang cantik. Wanita itu tersenyum mendengar tawaran yang manis dan mengangguk. Pria itu bahkan bersikap gentleman dengan membantu sang wanita menutup coffeshop karena ini adalah shift terakhir. Mereka menyusuri pedestrian dan menyeberangi beberapa blok menuju apartemen sang wanita sambil mengobrol ringan. Beberapa kali sang wanita tertawa dan memukul bahu sang pria dengan mesra, pertanda obrolan mereka menyenangkan dan sangat intim. Pintu apartemen di lantai tiga, menjeblak terbuka saat didorong dengan paksa. Dua tubuh yang saling berpelukan berputar dan masuk ke dalam apartemen. Kedua manusia ini saling memagut dalam ciuman yang panas dan penuh gairah. Kepala sang wanita mendongak, mengikuti pria yang lebih tinggi darinya. Bibir saling mengecap, lidah melibat. Sang pria mendesak hingga sang wanita terdorong ke dinding tanpa melepas pagutan bibirnya. Meskipun