Satu minggu jelang kepulangannya ke Indonesia, Katon sudah mulai mempersiapkan diri. Saat akan membeli tiket, Morgan mendesakkan sesuatu padanya. Sebuah ide cemerlang, menurut Morgan. Bahwa ia harus ikut Katon ke Indonesia untuk mengawal sahabatnya.
Saat itu mereka berdua sedang berada di pusat perbelanjaan terbesar di New York. Di sebuah toko khusus peralatan olahraga. Keduanya berdiri di depan layanan pembayaran untuk membeli drysuit, masker diving dan regulator diving yang baru pesanan Katon. Pria ini baru saja berbelanja keperluan scuba diving yang terbaru setelah drysuit lamanya terkoyak karena tertusuk terumbu karang ketika ia menyelam di Great Barrier Reef, di pesisir timur laut Australia beberapa bulan lalu.
“Kau. Mengawalku?” tanya Katon dengan wajah heran dan menunjuk dada Morgan maupun dadanya secara bergantian. Morgan mengangguk dengan mantap. Kedua tangannya yang berkacak pinggang makin menguatkan aura marinir atau bodyguard. Mereka berbicara seolah hanya berdua di ruangan tersebut, mengabaikan petugas kasir yang memindai barang belanjaan Katon sambil mengulum senyumnya.
“Biar kukatakan sekali lagi. Kau. Mengawalku??” ulang Katon sinis.
“Ya!” tukas Morgan tegas. Katon mengerutkan kedua alisnya. Lalu ia mulai membuka mulut.
“Saint Louis, Missouri. Aku yang menyelamatkan kepalamu dari Malcom. Detroit, Michigan. Semenit saja aku terlambat datang, kau tidak akan punya keturunan, Morg ….”
“Oh, shut up Katon! Lupakan Amerika ….”
“Lupakan Amerika katamu? Oke. Tokyo, dua tahun lalu, siapa yang membebaskan pantatmu dari Katana Kenji Kazuo? Saat terjadi pertempuran antar geng narkoba Amigos dos Amigos di Rio de Janeiro, tidak ada siapa-siapa di sisimu. Hanya aku ….”
“Maksudku, ajak aku ke Jakarta, kau belum pernah menyelamatkan aku di kota itu, sialan!” maki Morgan sebal.
Katon terbahak melihat wajah memberengut Morgan yang imut, tidak sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar. Ditambah lagi sedemikian cepat ia merubah alasan makin membuat Katon geli.
“Oh, tutup mulut, Katon! Mana Buoyancy Compensation Device-mu? Kau tidak membelinya?” Morgan berusaha mengalihkan pembicaraan agar Katon tidak terus mentertawakannya.
“Sudah di sini, Sir. Saya akan masukkan dalam tagihan sekalian,” kata petugas kasir sambil menunjukkan BCD jaket Katon yang baru.
“Oke, jujur sekarang. Kenapa ingin ikut ke Jakarta? Bagaimana dengan pekerjaanmu?” tanya Katon setelah menyelesaikan tawanya yang panjang.
“Menurutmu, apa yang terjadi dengan pekerjaanku selagi aku menguntitmu terus beberapa hari belakangan ini? Lagi pula, aku ingin bertemu Rosie. Sudah lama aku tidak melihatnya,” jawab Morgan malu-malu. Katon ternganga, pikirannya berputar berusaha mencerna kalimat jawaban Morgan. Pekerjaan Morgan tidak perlu dikhawatirkan, paling memungkinkan pria itu kehilangan pekerjaan lagi untuk kali sekian. Katon lebih fokus pada kalimat kedua, sedetik kemudian ia meraung.
“Ooh, tidak, tidak, tidak. Kamu TIDAK BOLEH!” kata Katon garang, mengenali kalau sahabatnya mungkin menyukai Rose. Membayangkan saja sudah membuat perut Katon mulas.
“Kau pikir aku akan melakukan apa?” tanya Morgan sambil mengangkat satu alis seperti kebiasaannya jika berdebat dengan Katon.
“Malas aku membayangkannya! Pedekate, nembak? Ough! Pokoknya tidak!” seru Katon sambil bergidik. Morgan tergelak.
“C’mon! Little Rose bagaikan adik untukku.”
“Yeah, yang benar saja!” cibir Katon.
“Ayolah Katon, kau pikir aku berani macam-macam dengan wanita-wanita Anindito Collins? Sebelum kau maju, aku mungkin tinggal nama di tangan Uncle Satria,” kata Morgan pelan. Katon tertawa keras. Terpaksa mengakui kalau kalimat Morgan benar. Dan, mendadak Katon sangat merindukan Papanya.
Tapi pada akhirnya Katon meluluskan dan membeli dua tiket untuknya dan Morgan yang begitu bahagia, akhirnya bisa mengunjungi Indonesia yang terkenal indah.
Namun, masalah justru timbul hanya beberapa hari menjelang keberangkatan mereka ke Indonesia. Katon mendapat surat panggilan kepolisian untuk kerusuhan gangster yang terjadi di Brooklyn, beberapa hari sebelumnya.
“Sangat tidak masuk akal!” desis Morgan yang sudah tiba di apartemen Katon dan membaca surat panggilan itu.
“Apakah kau sudah mengurus atasan Alice dengan benar, Morg?” tanya Katon tanpa nada menghakimi. Ia duduk di sofa ruang tamu dan menatap ke arah Morgan yang berdiri sambil membaca surat panggilan kepolisian itu.
“Tentu saja! Kau lihat sendiri, bukan? Aku berikan kartu namamu, aku pastikan dia paham bahwa kau bersedia mengganti semua kerusakan yang timbul!” jawab Morgan nyaris tidak bisa menyembunyikan emosinya. Tangannya melambai-lambai selama ia berbicara.
“Kartu nama yang mana?” tanya Katon pelan, kedua tangannya bertaut di atas kedua kaki yang terbuka. Morgan diam sesaat. Katon tentu saja memiliki dua kartu nama. Salah satunya menunjukkan bahwa dia adalah salah satu pemegang saham di Growth Enterprise Company, perusahaan papanya.
“Kartu nama pribadimu, Ton. Yang tidak ada jejak Anindito maupun Collins!” desis Morgan memastikan.
Katon memang memiliki nama Katon Lanang Tenan dari lahir hingga ia berusia lima tahun. Nama itu adalah nama pemberian mamanya yang membawa lari Katon semenjak ia masih janin dalam kandungan karena Arini—mama Katon, khawatir dengan gaya hidup Satria—papa Katon, akan membahayakan janin yang dikandungnya. Setelah usia lima tahun, barulah Katon mendapat tambahan “Anindito” di belakang namanya. Dan baru saat usia dewasa, atau 17 tahun. Katon memutuskan membawa nama marga keluarga “Collins” di belakang namanya.
“Ok, then.” respon Katon biasa saja. Morgan kembali meneruskan membaca surat panggilan kepolisian tersebut termasuk alasannya.
Departemen Kepolisian New York telah menangkap 10 anggota geng terkenal di Queens, yang dianggap sebagai kota "paling berbahaya". Penangkapan dilakukan sehubungan dengan pengrusakan dan kerusuhan yang terjadi di Brooklyn Blend, beberapa malam sebelumnya. Diduga akibat perseteruan antara dua geng Crips di Woodside dan Queens lah yang menimbulkan perpecahan ketegangan di Brooklyn, yang justru berada di luar area kedua gangster. Anehnya, hanya Katon yang menerima panggilan. Sedangkan Morgan yang berkelahi bersama Katon, tidak mendapatkannya.
“Kurasa kau perlu bantuan Stuart,” kata Morgan sambil meletakkan surat panggilan itu di atas meja. Katon mendengus dan memalingkan wajah.
“Yeah, lalu dia akan tahu kalau kita berencana ke Indonesia, dan dia akan meminta ikut. Aku harus membawa dua moron. Bagus sekali, Morg,” omel Katon. Kali ini Morgan yang mendengus tertawa.
“Hei, pesta yang baik hanya bisa diwujudkan jika banyak orang di dalamnya, bukan?” ujarnya geli.
“Tidak, terima kasih. Aku pulang untuk bekerja, bukan berpesta!” tukas Katon. Ia berdiri dan berjalan meninggalkan ruang tamu.
“Kau pulang untuk berlibur. Kerjamu justru di luar Indonesia, Katon.” Morgan menyandarkan tubuhnya ke sofa dan berkata arogan. “Mau aku panggilkan Stuart?”
“Tidak. Dia pulang ke Yorkshire beberapa hari lalu dan mungkin akan tetap di sana untuk beberapa minggu.” Katon berkata sedikit keras karena dia mulai meninggalkan Morgan dan masuk ke kamar tidurnya.
Meskipun Morgan bisa saja mengikuti masuk, tapi pria besar itu memberikan ruang yang cukup untuk Katon memikirkan sarannya. Morgan memilih untuk bertahan di kamar yang memang disediakan Katon di dalam apartemennya sebagai kamar hiburan. Di sana ada satu dinding yang dipenuhi buku, karena Katon suka membaca. Di tengah ruangan ada meja bilyard, tempat Katon menghabiskan waktu bersama teman-temannya jika berkumpul. Di sisi yang berbeda dari jajaran buku, ada televisi layar datar cukup besar dan ditemani dengan home theatre lengkap yang siap menyajikan film ala bioskop mini.
Morgan memilih di sini dan membaca salah satu buku koleksi Katon sampai dia ketiduran di atas sofa model Chesterfield berlapis kulit berwarna gelap.
Di luar apartemen Katon.
Dalam kegelapan malam yang mendalam, sebuah keheningan menyebar di sekitar apartemen yang terletak di jantung kota. Cahaya gemerlap kota mulai memudar saat langit tertutup awan gelap, menciptakan atmosfer yang terasa mencekam. Tersembunyi di balik bayangan gedung-gedung pencakar langit, gerombolan gangster yang berasimilasi dengan geng Brad, bertekad menyerang apartemen Katon, membalaskan dendam kawan-kawannya.
Dengan hati-hati, para gangster merangsek masuk melalui pintu belakang yang terkunci rapat. Jelas mereka bekerjasama dengan staff keamanan apartemen, karena salah satu gangster dengan mudah membuka pintu terkunci itu menggunakan kartu akses.
Mereka melintasi lorong gelap, langkah mereka terdengar samar-samar di antara suara gemericik air dari sebuah kolam renang pribadi yang berada di tengah-tengah kompleks apartemen. Sejenak, mereka terhenti, merasakan ketegangan di udara yang semakin menebal.
Seketika, pintu gerbang apartemen meluncur terbuka dengan cepat, memperlihatkan seorang pria misterius yang berdiri di baliknya. Dalam kegelapan, wajahnya tak terlihat, hanya bayangan yang menakutkan. Benar saja, salah seorang staff keamanan apartemen keluar dari dalam gedung dan menghampiri gerombolan itu. Ia membukakan pintu akses masuk ke gedung bahkan menunjukkan jalur-jalur alternatif selain lift. Ada dua tangga darurat di masing-masing sisi gedung dan sekarang kelompok gangster terpecah menjadi dua lalu menyebar mulai menuju ke lantai lebih tinggi, tempat unit apartemen Katon Lanang Tenan berada.
Satu persatu bayangan gelap bersenjata tongkat besi tiba di lantai unit apartemen Katon berada. Mereka bergerak secara sistematis melalui pintu darurat dan dengan ahli berusaha menghindari sorotan kamera CCTV yang letaknya sudah mereka ketahui berdasar informasi sekuriti apartemen yang bekerja sama dengan gangster. Satu orang berjongkok di depan pintu unit apartemen Katon dan mencongkel kunci pintu dari luar. Ia berhasil merusak nyaris tanpa suara dan pintu apartemen berhasil dibobol. Sekelompok orang ini, mengenakan pakaian hitam dari kepala hingga kaki, dengan gestur yang menunjukkan mereka sudah terbiasa melakukan kejahatan. Satu persatu mulai memasuki apartemen. Gerakan mereka lakukan dengan hati-hati dan sistematis. Langkah-langkah mereka hampir tidak bersuara, seolah-olah mereka telah berlatih berkali-kali untuk situasi ini. berpencar, mereka menyusuri koridor menuju berbagai ruangan dalam apartemen, dengan tujuan yang hanya mereka yang tahu. Di dalam apartemen tersebut, suasa
Mendadak sambungan diangkat dan Katon mendengar dari telinganya, suara Alice yang terdengar mengantuk. “Choco Girl, are you okay?” tanya Katon khawatir. “Yea. I’m fine. Kenapa …?” “Choco Girl, amankan rumahmu. Pastikan keluargamu mengunci dengan baik dan bawa handphone dekat denganmu, hm? Hubungi polisi jika ada hal yang mencurigakan,” kata Katon. “Ada apa sebenarnya, Katon?” “Kurasa Brad masih belum selesai marah padaku, dia mengirim anggota genk lain ke apartemen.” “Apa?! Katon, kamu oke?” “Please Choco Girl. Aku sekuat Superman. Teman Brad yang jadi bubur. Aku matikan teleponnya, sweet baby. Aku perlu menghubungi polisi.” Tanpa menunggu jawaban Alice, Katon langsung mematikan sambungan untuk menghubungi pihak berwajib. Setelah penyerangan di apartemen Katon, polisi dan petugas medis berdatangan sesuai laporan kepolisian. Mereka berkumpul di lantai unit Katon hingga menyebar masuk ke seluruh ruangan milik pria itu. Katon dan Morgan yang hanya mengalami luka tidak serius, men
Untungnya permasalahan tidak berlarut-larut sehingga membuat jadwal Katon untuk pulang ke Indonesia menjadi mundur. Brian Thomas Davis, pemilik Brooklyn Blend, bersedia menarik laporan setelah menerima ganti rugi dari Katon. Kelihatan jelas bahwa tindakannya melapor ke polisi hanya didasari ketidakpercayaan pada penampilan Katon dan Morgan kala itu. Sementara untuk kasus pengrusakan di apartemennya, Katon sudah menyerahkan segala urusan kepada Sersan Terence Monahan selama ia pulang kembali ke Indonesia. “Ponsel Anda harus bisa dihubungi selama 24 jam penuh ketika Anda berada di Indonesia, Sir,” kata Sersan Terence ketika Katon dan Morgan terakhir berkunjung ke NYPD untuk menyelesaikan laporan mereka. “Tentu saja, Sersan Monahan. Saya siap dihubungi 24 jam,” jawab Katon tegas seraya mengulurkan tangan kanan dan mengajak berjabatan. Pertanda dia tidak mau lebih lama lagi menghabiskan waktu di kantor NYPD. Katon dan Morgan meninggalkan NYPD untuk bergegas pergi ke Bandara Internasio
Pria berwajah psikopat itu bernama Michael Warren, ia bergerak secepat kilat menyandera pramugari dan kelihatan sengaja melukainya. Cairan merah pekat mengalir dari luka di lengannya, membuat awak pesawat yang lain terkesiap ngeri dan sebagian penumpang menjerit ketakutan. “Diam kalian orang-orang tolol!” desis Warren dengan wajah mengerikan. Tiba-tiba, tiga orang misterius muncul dari sudut kabin pesawat. Mereka berbadan tegap dengan wajah datar dan dingin. Salah seorang di antaranya berjalan sambil melepas ikat pinggang. Semua mata menatap mereka dengan bingung. Satu di pikiran Katon, apakah tiga orang ini akan menjatuhkan si pria psikopat atau justru mereka adalah komplotannya. Pria yang melepas ikat pinggang dengan santai meraih botol minuman salah satu penumpang dan menumpahkan isinya membasahi ikat pinggang yang telah lepas dan terulur di tangannya. Mendadak, ikat pinggang silver itu mengencang dan berubah menjadi pedang. “Apa yang ...?” Katon menyentak dalam hati bersamaan d
Bos pembajak mendenguskan kepuasan melihat perubahan wajah Teguh Putra. “Tentu saja kami paham. Kita punya waktu seharian di atas pesawat ini, bukan begitu Tuan Teguh? Nona! Tolong ambilkan sampanye untuk kami,” bos pembajak duduk di depan Teguh Putra dengan sikap arogan dan melambai pada Stella untuk melayaninya. Stella yang sedari tadi membeku di ujung kabin, berjengit ketakutan ketika bos pembajak meneriakinya. Suasana di kelas ekonomi yang memiliki lebih banyak penumpang, lebih tegang. Dua orang pembajak bersenjata pedang, berdiri di lorong terpisah untuk menjaga mereka dengan tatapan tajam dan kejam. Dua awak pesawat telah dilukai dan sekarang terduduk tak berdaya di bagian tengah kabin pesawat. Area khusus awak pesawat. Stella melirik ke kedua rekan kerjanya yang menahan luka dan berwajah pucat, “Pilot dan kopilot harus tahu kondisi di sini.” Stella memberanikan diri berhenti untuk menyampaikan pendapatnya dalam bisikan. “Tidak sekarang, Stella. Aku akan mencari kesempatan n
Katon dibantu Morgan meminggirkan mayat kedua dan menumpuk di atas mayat pertama. Untung Morgan sigap menangkap tangan pembajak yang membawa pedang yang membahayakan Katon. Pria itu juga dengan cepat menarik mayat ke belakang sebelum darah pembajak mengotori kabin. “Kau, oke?” tanya Morgan kepada Katon. Morgan paham, Katon menjadi sedemikian kejam karena terprovokasi kalimat pembajak yang menghina Katon yang memiliki gen China dari neneknya. “Aku, oke,” jawab Katon setelah memeriksa tubuhnya. Ia tidak memeriksa luka, ia memeriksa jejak darah pembajak yang mungkin mengotori pakaiannya. “Ayo!” Morgan mengajaknya memburu si psikopat. Dengan bersenjata pedang rampasan. Mereka meminta penumpang yang lain untuk menutup mulut. Katon dan Morgan berjalan pelan menuju sang psikopat berada. Ternyata di ruang crew pesawat hanya ada pramugara yang membantu menutup luka pramugari senior. Tidak ada jejak psikopat. “Di mana orang gila itu?” tanya Morgan pada Edward—Pramugara. “Dia masuk ke ke
Ia kembali menerjang Morgan dengan murka. Katon yang hendak membantu Morgan, dikejutkan oleh Warren yang tiba-tiba sudah bangkit dan mengayunkan pedang ke arah Katon yang hendak menyeberang ke lorong Morgan. “Ah! Shit!” Katon berteriak terkejut ketika kelebat pedang mengarah ke muka nyaris mengiris hidung mancungnya. Untung Katon menarik mundur tepat waktu. Warren tidak memberi Katon kesempatan. Pedangnya kembali berkelebat naik dan Katon menangkis dengan pedang yang dibawanya. Warren menyeret turun lalu kembali menyabet ke atas. Katon kembali menangkis. Dua pedang kembali beradu. Katon terus-menerus diserang secara membabi buta dan Katon bisa langsung menilai. Warren gila dan sadis tapi ia tidak memiliki ilmu bela diri. Semua gerakannya acak dan ngawur. Katon perlu menyelesaikan pertarungan lebih cepat dan membantu Morgan. Katon mundur dan membuang pedangnya jauh dari jangkauan siapapun. “Hahaha ... kau menyerah? Kau ingin aku mengiris-irismu? Sini bocah tampan, main sama om.” Ka
AKP Ahmad Soebani—Kasatreskrim Polres Cengkareng, turun langsung ke TKP untuk mengterogasi Katon perihal dua pembunuhan yang dilakukannya. “Kami butuh kehairan Anda berdua di Polres untuk melengkapi keterangan, Pak Katon dan Mister Morgan.” Teguh Putra yang mendengar kalimat polisi segera ikut bicara, “Pak Ahmad, tindakan yang dilakukan oleh Katon dan Morgan murni pembelaan diri dan untuk menyelamatkan saya, Pak.” “Benar sekali, kalau Katon tidak bertindak, entah apa yang terjadi pada kami, Pak.” Stella yang masih ada di sana dan setia mendampingi Katon, berani ikut bicara. “Saya selaku captain pesawat ini bersedia menjadi penjamin. Saya akan melengkapi sekaligus dengan surat resmi dari maskapai. Berkat Katon, penerbangan tetap berlangsung lancar dan tidak ada korban jiwa dari pihak penumpang.” David—pilot pesawat terbang juga menyampaikan pendapatnya. “Saya juga bersedia menjadi penjamin. Jika diperlukan, saya akan menyediakan pengacara untuk Katon. Hanya satu permintaan saya. I
Sesuai dengan rencana yang sudah disusun Katon. Mereka akan bertolak dari Kairo kembali ke Paris, Perancis terlebih dahulu untuk mengantarkan rombongan Katon, Ratih, Morgan dan Stuart, baru ke Barcelona, Spanyol untuk mengantarkan Lorna dan Cia. Ketika jet pesawat pribadi milik Satria telah dipakai untuk mengantarkan keluarga kembali ke Indonesia, pesawat tersebut mengubah jadwal dan mengurus perijinan terbang ke Kairo untuk menjemput putera sulung Satria dan Arini. Dengan memakai pesawat jet pribadi, pemeriksaan keimigrasian melalui jalur khusus tidak terlalu ketat. Mereka yang telah mensortir harta-harta karun dan menentukan ranking nilainya, lebih leluasa menyembunyikan di berbagai tempat pada bagasi pribadi mereka. Mereka melalui jalur pemeriksaan khusus dan bisa pulang ke Paris dengan mudah. Seperti biasa, ketika tiba di Charles de Gaulle International Airport. Katon mempersilakan Morgan dan Stuart untuk memakai rumah tapak miliknya sementara ia akan mengantar Ratih ke apart
Mereka kembali ke griya tawang yang mereka sewa dengan berjalan kaki. Stuart yang setengah mabuk berjalan sambil merangkul dua wanita. Morgan masih berusaha membebaskan diri dari satu wanita yang bandel menempel padanya. Cia dan Lorna yang saling bergandengan sambil sesekali berdansa di tengah jalan. Dan Katon yang berusaha mempertahankan Ratih di tangannya. Meski Ratih gigih melawan, tetapi Katon memaksa menggenggam tangannya dan menggandeng sepanjang perjalanan kembali. Sesekali ia akan membawa punggung tangan Ratih ke mulutnya dan mengecup ringan untuk meredakan kesal wanita itu. Saat ini mereka berjalan di Midan Tahrir, distrik tengah yang ingin menjadi “Paris di Sungai Nil,” tempat restoran-restoran dan kafe-kafe terkenal berada. Salah satunya yang baru saja mereka tinggalkan. Lampu-lampu jalan menghiasi tepian Sungai Nil, menciptakan jejak cahaya yang membelah gelapnya air. Bangunan-bangunan bersejarah seperti Menara Kairo dan Benteng Saladin berdiri megah. “Dan pemandangan s
"Halo Gamal,” sapa Lorna ceria. Di sisinya ada Cia yang sibuk memakaikan jas untuk Lorna yang sedikit terbuka malam ini, mendadak sembuh dari demam ketika dikatakan akan diajak clubbing. “Mari, saya antar ke meja Anda.” Gamal meluruskan lengan dan mempersilakan rombongan Stuart. “Tolong kendalikan pesanan alkohol, Gamal. Aku tidak mau ada yang mabuk malam ini,” kata Katon seraya menyelipkan segepok uang ke genggaman tangan Gamal ketika mereka berjalan bersama-sama, seolah bersalaman ringan. “Baik, Tuan Tenan.” Gamal mengangguk khidmat dan dengan luwes memasukkan uang dari genggaman tangannya ke saku celana. Mereka dibawa ke meja di samping jendela sehingga bisa menikmati pemandangan kota. Sesuai janji Gamal sebelumnya, dia mengendalikan pemesanan alkohol dan menjaga kesadaran tamu-tamunya. Yang menjadi masalah ketika mereka puas menikmati makan malam, ternyata Stuart meneruskan keinginannya. Yang tidak diduga Katon karena ia dan Morgan sudah menolaknya. Lagipula, ada Lorna dan C
“Crap!” Katon segera sadar sepenuhnya dari kondisi baru bangun tidur dan kelelahan. Ia bangkit dan memilih duduk di tepi tempat tidur, melanjutkan mendial nomor telepon lain. Bukan Ratih, kali ini ia menghubungi Lily. Perbedaan waktu tujuh jam antara Kairo dan Riquewihr membuat Katon merasa bebas saja menghubungi Lily meski sekarang masih pukul dua dini hari di Kairo. Karena di Riquewihr adalah pukul sembilan pagi. Keluarganya pasti sedang menikmati sarapan pagi. “Halo!” Suara Lily ceria. “Lily, Ratih masih di Riquewihr, ‘kan?” tanya Katon panik. “Masih. Kenapa gak telepon Mbak Ratih aja, Mas?” Lily balik bertanya dengan heran. Lily bicara dengan intonasi yang jelas, antara mereka belum mulai sarapan atau sudah selesai. “Mas butuh bantuanmu. Mbakmu ngambek karena Mas gak telepon dua hari ....” “Kapok!” potong Lily. “Lily!” “Iyaaa, Lily dengerin. Lanjut!” “Kamu coba bicara padanya. Mas akan meminta bantuan Maxime untuk mengantar Ratih ke Kairo,” ujar Katon. Maxime adalah salah
“Minggir!” teriak Stuart melepas talinya dan mendorong Cia agar lari mendekati Morgan. Katon melakukan hal yang sama bersama Lorna. Mereka berlima menjauhi sarkofagus yang terjatuh miring. Kelimanya menatap ke arah benda itu. Stuart bahkan berjongkok untuk mengetahui sudut yang menghantam lantai. Tidak ada asap. Tidak ada debu. Semua tampak baik-baik saja. Dan bagian sarkofagus yang menghantam lantai sedikit terbuka. Menumpahkan sekaligus menunjukkan isinya sedikit. Tanpa menunggu sahabat-sahabatnya, Stuart melangkah mendekati sarkofagus dengan berani. Katon hendak melarangnya. Namun, melihat keteguhan dan kerinduan di wajah Stuart, Katon memutuskan untuk melihat saja. “Setidaknyanya pake sarung tangan sama masker gas, kek,” celutuk Lorna. Katon berniat meneriakkan saran Lorna tetapi Stuart telah tiba di sisi sarkofagus dan membuka paksa tutupnya yang sudah rusak. Sesosok jenazah terbungkus kain kusam terjatuh dan kainnya robek menunjukkan isi yang ternyata hanya sisa-sisa residu t
Terdengar suara seperti semprotan saat sarkofagus terangkat. Mirip suara minuman berkarbonasi baru dibuka. Bedanya, yang ini suaranya lebih keras dan sekaligus menyemburkan debu-debu, saking banyaknya sampai mirip asap. Sedetik kemudian terdengar lolong kesakitan dari empat orang yang berada di sekitar sarkofagus. “Sekarang!” teriak Stuart dan Katon melompati peti didepannya lalu melesat untuk menyerang Hachim. Pria tambun itu yang semula terkejut melihat kawan-kawannnya sontak menoleh ke arah Katon dan siap melayangkan rungu. Katon merendah dan meluncur di lantai, menyapu kaki Hachim hingga pria tambun itu terjatuh . Hachim tergagap dan berusaha berdiri ketika Loran datang dan menendang kepalanya. Hachim terbatuk dan berguling. Lorna yang belum puas, mengejar. Ia rebut satu rungu Hachim dan memakai ujung yang bulat untuk menghajar kepala Hachim sampai dia pingsan. Di sekitar sarkofagus, empat orang berkelojotan dan berteriak kesakitan. Jamal dan Malik Albani adalah yang paling pa
“Malik Albani,” desis Stuart penuh kebencian. Ia menatap wajah yang meringis geli tetapi juga menunjukkan kekejaman yang mengerikan. Seketika Katon paham, tidak ada gunanya Stuart memilih lewat laut ke Kairo karena pada akhirnya, Malik Albani tetap bisa mengejarnya hingga kemari. “Yeah, bagus sekali Stu,” geram Katon perlahan. “Wah, lihat harta-harta ini, Malik!” “Kita kaya! Hahahahaha ....” “Dan biarkan bangsat-bangsat putih ini jadi anjing pelacak kita. Puas sekali aku, hahahahaha ....” “Kau luar biasa, Malik!” Seruan teman-teman Malik Albani hanya membuat Stuart, Katon, Morgan dan Cia merah padam. Hanya Lorna yang menatap dengan tertarik ke arah Malik Albani. “Bagaimana caranya kalian melewati lubang besar di lorong pertama?” tanya Lorna tertarik. “Dengan cara yang tidak perlu kau ketahui, perempuan. Kau tidak akan membutuhkannya!” jawab salah seorang kawan Malik dengan nada kejam. “Di situkah tempatnya?” tanya Malik, berjalan mendekati Stuart dan Katon sambil menggoyang-g
“Apa saranmu. Lorna?” tanya Katon dengan nada malas. Makin lama pembicaraan ini menjengkelkan karena hasilnya membawa mereka pada kesulitan lain atau resiko kematian. “Apa lagi? Lakukan sesuai yang diharapkan pembuat lorong ini. Nyalakan Asphaltnya.” “Yeah, dan kita akan merasakan neraka lebih awal,” kata Cia terdengar super sebal. Lorna tertawa kecil dan membungkuk ke arah kekasihnya, untuk menggoda dan menaikkan mood Cia lagi. “Apakah ada kemungkinan Asphalt itu mengering dan tidak berguna lagi. Kalian lihat dua jebakan sebelumnya kan sudah kurang efektif. Iya, ‘kan Ton? Jebakan pertama, seharusnya ada sungai bawah tanah. Tetapi tidak, ‘kan?” kata Morgan. “Yang membuatnya makin berbahaya. Tanpa ada sungai, kita malah menghempas ke dasar tak terhitung dalamnya, Morg. Jika ada air mungkin kita hanya hanyut. Tanpa air, kita remuk,” jelas Katon makin membuat Morgan merasa ngeri. “Lagipula, Asphalt murni itu tahan lama. Apalagi ketika diletakkan di tempat nyaris tertutup seperti ini
Ruangan ini berbentuk kotak sempurna, berbeda dengan ruang sebelumnya yang bulat. Ruangan ini juga menampilkan aula persembahan dengan altar granit, dihiasi dengan penggambaran perwakilan dari berbagai provinsi yang membawa persembahan kepada firaun. Stuart terpana menatap salah satu dinding ruangan utama ini. Ada sebuah patung manusia sangat besar. Patung laki-laki yang mengenakan pakaian kebesaran khas Mesir. Kepalanya yang memiliki wajah berwarna hijau, menoleh ke kanan. Kedua tangan patung itu bersilangan di depan dada, masing-masing membawa alat yang sudah tidak jelas lagi bentuknya. “Ruang persembahan Dewa Osiris. Kita ada di jalur yang benar,” bisik Stuart sambil menatap ke patung itu dengan wajah terpesona. “Bagus! Jangan sampai pengorbanan kemejaku sia-sia,” Lorna tiba-tiba sudah ada di sisi Stuart dan ikut berdesis di sebelahnya. Pria Inggris itu seperti ditampar sesuatu dan menoleh ke arah Lorna. “Eh, kampret! Tadi kenapa pake diem pas nancep ke langit-langit?! Teriak