Ia kembali menerjang Morgan dengan murka. Katon yang hendak membantu Morgan, dikejutkan oleh Warren yang tiba-tiba sudah bangkit dan mengayunkan pedang ke arah Katon yang hendak menyeberang ke lorong Morgan. “Ah! Shit!” Katon berteriak terkejut ketika kelebat pedang mengarah ke muka nyaris mengiris hidung mancungnya. Untung Katon menarik mundur tepat waktu. Warren tidak memberi Katon kesempatan. Pedangnya kembali berkelebat naik dan Katon menangkis dengan pedang yang dibawanya. Warren menyeret turun lalu kembali menyabet ke atas. Katon kembali menangkis. Dua pedang kembali beradu. Katon terus-menerus diserang secara membabi buta dan Katon bisa langsung menilai. Warren gila dan sadis tapi ia tidak memiliki ilmu bela diri. Semua gerakannya acak dan ngawur. Katon perlu menyelesaikan pertarungan lebih cepat dan membantu Morgan. Katon mundur dan membuang pedangnya jauh dari jangkauan siapapun. “Hahaha ... kau menyerah? Kau ingin aku mengiris-irismu? Sini bocah tampan, main sama om.” Ka
AKP Ahmad Soebani—Kasatreskrim Polres Cengkareng, turun langsung ke TKP untuk mengterogasi Katon perihal dua pembunuhan yang dilakukannya. “Kami butuh kehairan Anda berdua di Polres untuk melengkapi keterangan, Pak Katon dan Mister Morgan.” Teguh Putra yang mendengar kalimat polisi segera ikut bicara, “Pak Ahmad, tindakan yang dilakukan oleh Katon dan Morgan murni pembelaan diri dan untuk menyelamatkan saya, Pak.” “Benar sekali, kalau Katon tidak bertindak, entah apa yang terjadi pada kami, Pak.” Stella yang masih ada di sana dan setia mendampingi Katon, berani ikut bicara. “Saya selaku captain pesawat ini bersedia menjadi penjamin. Saya akan melengkapi sekaligus dengan surat resmi dari maskapai. Berkat Katon, penerbangan tetap berlangsung lancar dan tidak ada korban jiwa dari pihak penumpang.” David—pilot pesawat terbang juga menyampaikan pendapatnya. “Saya juga bersedia menjadi penjamin. Jika diperlukan, saya akan menyediakan pengacara untuk Katon. Hanya satu permintaan saya. I
Sekarang Satria mulai berdiri dan melakukan gerakan Kata sederhana. Katon tersenyum, gerakan papanya masih bagus dan bertenaga. Katon yakin, papanya masih bisa menjatuhkan dia jika benar-benar serius. “Sepertinya Katon perlu berlatih lebih keras kalau mau mengalahkan Papa,” kata Katon sambil berjalan menyeberangi halaman berumput untuk mencapai Satria. Pria di usia senja itu membeku dalam gerakan Kata-nya, kemudian ia berputar perlahan ke arah suara Katon. Seketika senyum terbit di wajah Satria. Wajahnya yang memiliki kerut tapi makin menambah kewibawaan dan aura yang kuat di sela-sela sinar keemasan matahari pagi. “Katon,” katanya dalam dan mengulurkan kedua tangannya. Katon berjalan sedikit lebih cepat dan memeluk Satria. Tinggi badan mereka sama persis. Satria menghentikan Katon yang akan memeluknya dengan menekan dada Katon. “Apa ini?” tanyanya sembari menatap heran ke wajah putera sulungnya. Untuk sesaat Katon bingung dengan pertanyaan papanya. Lalu ia segera sadar. Wajahnya
Morgan menyapa Arini terlebih dahulu. Wanita tua yang masih tampak cantik itu memeluk Morgan tanpa canggung karena Morgan yang mengalah dengan menurunkan dirinya serendah mungkin. Arini meraih wajah Morgan dengan hati-hati dan mencium kedua pipinya. “Apa kabar? Mama Papamu, sehat?” tanya Arini tanpa melepas tangannya di kedua pipi Morgan. “Saya luar biasa perkasa. Mama Papa juga sehat, mereka mengirimkan salam untuk tante dan om,” jawab Morgan yang betah membungkuk demi Arini bisa menyentuh pipinya. “Kami turut berduka cita atas meninggalnya kakekmu, Morgan. Andai saat itu Om Satria tidak sedang kunjungan ke Finlandia, kami pasti akan datang untuk berbelasungkawa,” kata Arini lagi, meminta maaf atas peristiwa beberapa bulan sebelumnya ketika Richard Mason Maxwell—kakek Morgan meninggal dunia. “Kami yakin, Richard telah melewati hidup yang luar biasa dan meninggalkan nilai-nilai terbaik untuk keluarganya.” Satria mendekati Arini dan Morgan, menepuk bahu sahabat Katon itu sekaligus
Katon berjalan sambil memeluk dua wanita, Mama dan adik bungsunya sementara di belakang mereka ada Morgan berjalan beriringan dengan Satria sambil membicarakan tentang kuda pacu. Andrew sedang duduk di taman bersama Maya. Lily melesat meninggalkan Katon untuk menghampiri kakek-neneknya. “Nana! Lihat siapa yang datang!” pekik Lily. Maya menoleh ke arah suara dan Andrew hanya ikutan menoleh karena dicolek Maya. “Katon?” Suara Maya pelan dan serak. Ia berusaha berdiri meski sedikit goyah, dalam upayanya untuk melihat Katon lebih jelas. Arini melepaskan Katon dan menyuruhnya mendekati Maya. “Halo Nana tercantik di dunia,” sapa Katon dan memeluk Maya tua yang bertubuh ringkih. Katon seperti memeluk wanita terbuat dari kertas. Kulitnya terasa kering dan berkeresak ketika bersentuhan dengan kulit sehat Katon. Maya tertawa dengan suara serak dan balas memeluk lalu menciumi pipi Katon. “Cucuku yang hilang sudah pulang. Kenapa kamu suka sekali pergi meninggalkan Nana?” tanya Maya antara bah
“Ngomong seperti itu di depan Bu Rose, berani?” tantang Icha yang sudah berdiri di depan pintu kantor Rosalind. “Tentu saja! Kenapa tidak?” tandas Katon. “Saya yang tidak berani, Mas. Silakan masuk, Ibu menunggu di dalam.” Icha membukakan pintu sambil tersenyum manis. Katon dan Morgan melewati Icha, Morgan menyempatkan mengangguk sopan ketika melewati Icha yang dibalas dengan senyum tak kalah sopan. “Kamu sudah pernah tidur dengannya, ya?” tuduh Morgan. Mereka masih berjalan melintasi lorong panjang yang kanan kirinya adalah taman sebelum memasuki kantor Rosalind. “Tuduhan atau tebakan?” “Analisa dari bahasa tubuh kalian berdua!” “Hanya sekali, Morg.” “Brengsek!” maki Morgan pelan karena Katon sudah membuka pintu ke ruangan kerja Rosalind. “Mawarku,” sapa Katon. Rosalind sedang berdiri di depan meja kerjanya sambil berbicara melalui telepon. Ia meluruskan lengan dan menaikkan jari telunjuknya pertanda ia mau Katon diam dan tidak menganggu. Sangat tegas dan mendominasi. Postur
Baik Katon maupun Morgan reaksinya sama. Rosalind bisa merasakan penolakan Katon. Ia duduk bersandar sambil melipat tangan. Sedari tadi Rosalind bicara sambil mencodongkan tubuhnya ke arah dua pria di depannya. Sangat mirip Andrew Wijaya Collins di masa muda jika tertarik atau serius akan sesuatu. “Yang aku minta supaya kamu habisi bukan orang baik, Mas. Sebagai ketua sindikat, ia tidak ragu melukai anak-anak dan wanita untuk mengintimidasi petani-petaniku.” Nada suara Rosalind penuh emosi. “Kenapa tidak menyuruh tentara bayaranmu?” tanya Katon. “Oooh, tidak bisa. Mereka harus terlihat baik dan melindungi petaniku maupun keluarga mereka. Tentara bayaranku juga harus memiliki alibi ketika ketua sindikat laknat tersebut ditemukan tewas!” tukas Rosalind. “Oke! Tentu saja ini adalah hal baik, Katon! Mengirim satu bajingan ke neraka dan membuat dunia yang lebih indah,” kata Morgan penuh semangat. Katon memincingkan mata ke arah Morgan. Ia mengenali sesuatu. Morgan kelihatan sekali menc
Katon mengikuti langkah wanita itu sambil membelenggu pencopetnya. Dan mereka menyerahkan ke pos polisi terdekat. Baik Katon maupun wanita itu, harus melalui prosedur pelaporan pencopetan berdua. Sebagai korban dan saksi. Keduanya diminta nomor ponsel utk penyelidikan lebih lanjut. Saat itulah Katon mengetahui nama wanita penolongnya. Ratih Ayu Putraningtyas. Tepat dugaan Katon, ia seorang wanita Jawa tulen. Setelah melalui pelaporan berdua, mereka keluar dari pos polisi secara bersama-sama. Katon mengeluarkan ponsel dari kantung dan bermaksud menghubungi Stella. Betapa terkejutnya Katon ketika ia baru menyadari kalau ponselnya mati dan kacanya retak. Memang selama proses pemeriksaan dan laporan kepolisian, Katon tidak perlu mengeluarkan ponsel karena ia menyerahkan kartu nama saja. "Crap!" Maki Katon pelan. Wanita di sebelahnya menatap datar. Katon kesal karena tidak bisa menghubungi Stella. “Maaf.” “Tidak apa, Pak” ujar wanita tersebut. Katon memasukkan ponsel rusaknya kembali ke
Hening sejenak. “Apa yang kau lakukan pada Lin Jianhong?” tanya Satria pada putera sulungnya. Nadanya dingin tak enak didengar. “Aku membunuhnya. Dia mengancam Ratih dan keluargaku. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi pada Papa. Tetapi aku tidak bisa menerima jika sesuatu yang buruk menimpa Mama, Rosie dan Lily. Aku akan mengirimkan laporanku melalui email. Selanjutnya Anda boleh kirimkan pekerjaanku kemari atau ganti saja aku dengan orang lain. Aku tidak peduli. Selamat siang, Pak Satria.” Katon mematikan ponselnya dengan dayanya sekalian lalu membuang barang itu ke atas tempat tidurnya. Wajahnya menyiratkan kemarahan. Ia tidak peduli sudah memantik api perpecahan dengan papanya sendiri. Untuk Katon, Arini jauh lebih penting dari Satria yang baru ia temui saat usia lima tahun. Rosie dan Lily bernilai sama dengan Arini. Satria benar-benar tidak masuk prioritas Katon sama sekali. Ia melakukan semua permintaan Satria hanya demi melihat senyum bangga Arini saja. Katon menarik napa
Saat transit di Shanghai, Ratih sudah kehabisan tenaga untuk berdebat dengan Katon. Selama menunggu connecting flight schedule berikutnya, ia memilih untuk tiduran di paha Katon dan memasrahkan suaminya yang waspada terhadap panggilan ke penerbangan berikutnya “Neng, bangun. Sudah waktunya berangkat.” Entah berapa lama Ratih tertidur di pangkuan Katon. Suaminya membangunkan dengan lembut, menunggunya dengan sabar sampai semua nyawa terkumpul, masih juga membantu merapikan rambut panjangnya yang awut-awutan. Keunggulan memiliki pasangan jauh lebih tua darinya. Ratih merasa diemong dan dikasihi sepenuh hati. Kini, saat ia masih setengah mengantuk, berjalan dalam gandengan tangan Katon yang sibuk sendiri. Satu tangan menggenggam tangan Ratih, tangan yang lain menyeret bagasi mereka. Untung cuma satu, itu sebabnya Katon memilih membawanya ke kabin. Ratih benar-benar tidak paham dengan sekitarnya. Ia berjalan mengikuti langkah Katon tanpa melihat dengan jelas atau memastikan tujuan me
Katon keluar dari kamar tidur sambil menggandeng tangan Ratih. Keduanya melangkah ke ruang tamu, di mana layar televisi menampilkan breaking news yang terus diulang-ulang di salah satu channel berita lokal. Semua tulisan di layar itu dalam huruf Mandarin, dan pembawa beritanya berbicara dalam bahasa yang sama. Meskipun tak mengerti bahasanya, Katon langsung mengenali rumah yang disorot di dalam berita tersebut. Lampu-lampu rotator dari mobil polisi berputar cepat, memancarkan warna merah, biru, dan kuning yang seolah berputar dalam irama tak teratur, membuat suasana semakin menegangkan. Sebuah ambulans tampak menunggu di depan rumah, sementara satu jenazah dibawa keluar dengan kantong mayat berwarna kuning. “Apa yang terjadi?” tanya Katon, sok polos, kepada Mei Lifen, yang berdiri di dekatnya. Ratih, yang menatap layar dengan dahi mengernyit, juga mengalihkan pandangannya ke arah Mei, tidak menyadari bahwa Liang Zhiyuen sedang mendengus sebal di dekat meja makan. “Perampokan yang g
Katon mengabaikan omelan Liang Zhiyuen saat mengetahui dari Zhang Wei kalau Katon mengeksekusi mati Lin Jianhong. “Cari masalah kau, Ton. Anak buah Lin mengetahui pertikaian kalian sebelumnya dan kini bos mereka mati?! Sudah pasti semua prasangka akan tertuju padamu, Ton!” Liang Zhiyuen mengomel sepanjang perahu mereka menyusuri Sungai Yangtze menjauhi area perumahan Lin Jianhong. “Zhang, hubungi Meu Lifen dan tanyakan kondisi istriku,” perintah Katon, membuang begitu saja revolvernya di tengah Sungai Yangtzw saat perahu mereka melaju dalam kemudi Liang Zhiyuen yang cemberut parah. “Nyonya aman,” lapor Zhang Wei “Bawa aku pulang, Liang.” “Muter dulu, kek! Buat alibi, Ton!” seru Liang Zhiyuen sebal. Tetapi gestur Katon akan merebut kemudi. “Oke! Oke! Dasar gila!” Liang Zhiyuen memutar kemudi dan bergerak lurus menuju International Raffles City hotel melalui jalur sungai. Katon boleh saja perkasa di luar sana. Tetapi Katon tetap saja suami yang takut istri. Sudah tiga hari, kelew
Chen Peng memastikan sekitar rumahnya aman saat ia pergi meninggalkan Katon dan Liang Zhiyuen di sana. Kurang dari satu jam kemudian, Zhang Wei yang datang menggantikan posisi Chen Peng. “Ratih bersama Mei Lifen dan Chen Peng. Di luar hotel, masih ada dua orang lagi anak buah Chen Peng yang ikut menjaga.” Zhang Wei menjelaskan pada Katon tanpa diminta. Katon mengangguk, setidaknya Ratih aman dan itu bisa membuatnya fokus. “Kita berangkat sekarang.” Katon yang enggan membuang waktu segera berdiri sambil memeriksa revolvernya. Di sisi lain, Liang Zhiyuen memenuhi saku mantelnya dengan amunisi simpanan Chen Peng. Zhang Wei yang sudah siap, segera mendahului langkah dan memimpin mereka. Pintu besi di belakang mereka mengeluarkan derit tajam saat Zhang Wei menutupnya perlahan, menutupi cahaya dari ruangan yang sekarang seakan menjadi satu-satunya perlindungan mereka tadi. Katon dan Liang Zhiyuen mengikuti langkah Zhang Wei yang mantap, masuk lebih dalam ke labirin bawah tanah yang penu
Di ujung dermaga, terdapat gang sempit yang terhubung dengan area perumahan kumuh Chongqing. Gang tersebut dikelilingi oleh tembok tinggi dengan lukisan mural yang memudar, tampak jauh dari kilauan pusat kota. Di tempat yang tak terduga inilah Liang Zhiyuen memimpin Katon menuju ke seseorang yang sudah lama ia percayai. Setelah berlari melewati beberapa lorong sempit, mereka tiba di depan sebuah pintu besi berkarat yang tertutup rapat. Liang Zhiyuen melirik sekeliling, merasa diawasi, sementara Katon menjaga tangan di balik jaketnya, dekat dengan gagang pistol kecil yang ia bawa. Liang Zhiyuen mengetuknya tiga kali, cepat dan teratur, dan dalam beberapa detik, pintu itu terbuka sedikit, memperlihatkan seorang pria bertubuh kekar dengan rambut yang super cepak. " Gē? Apa yang kau lakukan di sini?" Sesosok pria sebaya dengan Liang Zhiyuen membuka pintu dan menampakkan wajah terkejut. Meskipun begitu ia segera menarik Liang Zhiyuen masuk, dengan demikian Katon leluasa mengikutinya. Pn
Katon tidak menyadari bahaya yang mengintainya ketika ia meninggalkan restoran. Di dalam mobil hitam yang melaju melintasi jalan-jalan Chongqing yang padat, Katon dan Liang Zhiyuen yang mengemudikan mobil, berbicara tentang langkah selanjutnya. Katon mengendalikan tablet di tangannya, memnampakkan laporan-laporan yang dikirimkan Mei Lifen tentang proyek Lin. Tentu saja Satria tahu bahwa ada hal-hal ilegal di dalamnya, tetapi dia dan Growth Earth Company tidak menyangka bahwa Lin memiliki dampak seluas ini. Setiap bisnis memang memiliki area abu-abu seperti yang Lin katakan. Tak dipungkiri, Growth Earth Company pun sama. Bedanya, mereka masih memiliki sedikit moralitas dengan tidak terlibat pada penjualan manusia maupun wanita dan segala isinya. Senjata? Yea, Katon tidak memungkiri Grand-Mere mungkin melakukan itu. Tetap saja, menjalin bisnis terlalu dalam dengan Lin, bisa memantik resiko lebih besar. "Aku tidak yakin kita bisa keluar dari ini dengan mudah, Liang. Lin punya kekuata
Katon duduk di ruang pertemuan gedung pencakar langit milik Lin, menatap layar yang menampilkan rencana proyek infrastruktur raksasa. Sekretaris Lin Jianhong, seorang wanita kurus dan tinggi, menyanggul seluruh rambutnya ke atas kepala dan memakai kacamata runcing seperti mata kucing, sedang melakukan presentasi dengan tingkat kepercayaan diri tinggi. Ia berbicara dengan tenang, menjelaskan betapa besar peluang yang ada. Selama itu Lin Jianghong, terus menatap ke arah Katon dan tim-nya dengan pandangan tertarik. Saat sekretaris wanita Lin Jianhong selesai bicara, ia mengembalikan topik kepada bos-nya. "Katon, proyek ini akan menghubungkan Chongqing dengan dunia. Kita berbicara tentang jalur pengiriman yang bisa mengalahkan pelabuhan Shanghai. Dengan investasi Anda, kita bisa memulai dalam waktu enam bulan," ujar pria tua bersahaja itu dengan penuh percaya diri. Katon mendengarkan, tetapi pikirannya terus bergerak ke arah detail yang Lin sepertinya hindari. Angka-angka terlihat fant
Katon kembali menyeberangi lobi InterContinental Raffles City. Posturnya yang gagah dibalut setelan mahal bisa saja menarik perhatian wanita manapun. Tetapi, sejurus kemudian sepasang pria dan anita mendekat lalu berjalan bersama Katon, mengiringi seperti penjaga. Liang Zhiyuan berjalan dengan tegap, posturnya kokoh dan penuh otoritas, seolah setiap langkahnya memiliki tujuan. Otot-ototnya yang tegas menunjukkan kekuatan yang tak perlu dijelaskan. Di sisi lain, Mei Lifen, dengan tubuh ramping dan anggun, bergerak dengan kepercayaan diri yang halus namun memancarkan kecerdasan tajam, auranya tenang tapi berbahaya. “Jelaskan lagi padaku tentang Lin Jianghong,” perintah Katon pada Mei Lifen selama mereka berjalan. Selama mereka berjalan menuju mobil hingga berkendara, Mei Lifen tak henti bicara menjelaskan pada Katon. Lin Jianhong adalah sosok pebisnis yang berwibawa, tetapi di balik citra publiknya yang terhormat sebagai pengusaha sukses, dia sebenarnya adalah seorang tokoh krimina