Sekarang Satria mulai berdiri dan melakukan gerakan Kata sederhana. Katon tersenyum, gerakan papanya masih bagus dan bertenaga. Katon yakin, papanya masih bisa menjatuhkan dia jika benar-benar serius. “Sepertinya Katon perlu berlatih lebih keras kalau mau mengalahkan Papa,” kata Katon sambil berjalan menyeberangi halaman berumput untuk mencapai Satria. Pria di usia senja itu membeku dalam gerakan Kata-nya, kemudian ia berputar perlahan ke arah suara Katon. Seketika senyum terbit di wajah Satria. Wajahnya yang memiliki kerut tapi makin menambah kewibawaan dan aura yang kuat di sela-sela sinar keemasan matahari pagi. “Katon,” katanya dalam dan mengulurkan kedua tangannya. Katon berjalan sedikit lebih cepat dan memeluk Satria. Tinggi badan mereka sama persis. Satria menghentikan Katon yang akan memeluknya dengan menekan dada Katon. “Apa ini?” tanyanya sembari menatap heran ke wajah putera sulungnya. Untuk sesaat Katon bingung dengan pertanyaan papanya. Lalu ia segera sadar. Wajahnya
Morgan menyapa Arini terlebih dahulu. Wanita tua yang masih tampak cantik itu memeluk Morgan tanpa canggung karena Morgan yang mengalah dengan menurunkan dirinya serendah mungkin. Arini meraih wajah Morgan dengan hati-hati dan mencium kedua pipinya. “Apa kabar? Mama Papamu, sehat?” tanya Arini tanpa melepas tangannya di kedua pipi Morgan. “Saya luar biasa perkasa. Mama Papa juga sehat, mereka mengirimkan salam untuk tante dan om,” jawab Morgan yang betah membungkuk demi Arini bisa menyentuh pipinya. “Kami turut berduka cita atas meninggalnya kakekmu, Morgan. Andai saat itu Om Satria tidak sedang kunjungan ke Finlandia, kami pasti akan datang untuk berbelasungkawa,” kata Arini lagi, meminta maaf atas peristiwa beberapa bulan sebelumnya ketika Richard Mason Maxwell—kakek Morgan meninggal dunia. “Kami yakin, Richard telah melewati hidup yang luar biasa dan meninggalkan nilai-nilai terbaik untuk keluarganya.” Satria mendekati Arini dan Morgan, menepuk bahu sahabat Katon itu sekaligus
Katon berjalan sambil memeluk dua wanita, Mama dan adik bungsunya sementara di belakang mereka ada Morgan berjalan beriringan dengan Satria sambil membicarakan tentang kuda pacu. Andrew sedang duduk di taman bersama Maya. Lily melesat meninggalkan Katon untuk menghampiri kakek-neneknya. “Nana! Lihat siapa yang datang!” pekik Lily. Maya menoleh ke arah suara dan Andrew hanya ikutan menoleh karena dicolek Maya. “Katon?” Suara Maya pelan dan serak. Ia berusaha berdiri meski sedikit goyah, dalam upayanya untuk melihat Katon lebih jelas. Arini melepaskan Katon dan menyuruhnya mendekati Maya. “Halo Nana tercantik di dunia,” sapa Katon dan memeluk Maya tua yang bertubuh ringkih. Katon seperti memeluk wanita terbuat dari kertas. Kulitnya terasa kering dan berkeresak ketika bersentuhan dengan kulit sehat Katon. Maya tertawa dengan suara serak dan balas memeluk lalu menciumi pipi Katon. “Cucuku yang hilang sudah pulang. Kenapa kamu suka sekali pergi meninggalkan Nana?” tanya Maya antara bah
“Ngomong seperti itu di depan Bu Rose, berani?” tantang Icha yang sudah berdiri di depan pintu kantor Rosalind. “Tentu saja! Kenapa tidak?” tandas Katon. “Saya yang tidak berani, Mas. Silakan masuk, Ibu menunggu di dalam.” Icha membukakan pintu sambil tersenyum manis. Katon dan Morgan melewati Icha, Morgan menyempatkan mengangguk sopan ketika melewati Icha yang dibalas dengan senyum tak kalah sopan. “Kamu sudah pernah tidur dengannya, ya?” tuduh Morgan. Mereka masih berjalan melintasi lorong panjang yang kanan kirinya adalah taman sebelum memasuki kantor Rosalind. “Tuduhan atau tebakan?” “Analisa dari bahasa tubuh kalian berdua!” “Hanya sekali, Morg.” “Brengsek!” maki Morgan pelan karena Katon sudah membuka pintu ke ruangan kerja Rosalind. “Mawarku,” sapa Katon. Rosalind sedang berdiri di depan meja kerjanya sambil berbicara melalui telepon. Ia meluruskan lengan dan menaikkan jari telunjuknya pertanda ia mau Katon diam dan tidak menganggu. Sangat tegas dan mendominasi. Postur
Baik Katon maupun Morgan reaksinya sama. Rosalind bisa merasakan penolakan Katon. Ia duduk bersandar sambil melipat tangan. Sedari tadi Rosalind bicara sambil mencodongkan tubuhnya ke arah dua pria di depannya. Sangat mirip Andrew Wijaya Collins di masa muda jika tertarik atau serius akan sesuatu. “Yang aku minta supaya kamu habisi bukan orang baik, Mas. Sebagai ketua sindikat, ia tidak ragu melukai anak-anak dan wanita untuk mengintimidasi petani-petaniku.” Nada suara Rosalind penuh emosi. “Kenapa tidak menyuruh tentara bayaranmu?” tanya Katon. “Oooh, tidak bisa. Mereka harus terlihat baik dan melindungi petaniku maupun keluarga mereka. Tentara bayaranku juga harus memiliki alibi ketika ketua sindikat laknat tersebut ditemukan tewas!” tukas Rosalind. “Oke! Tentu saja ini adalah hal baik, Katon! Mengirim satu bajingan ke neraka dan membuat dunia yang lebih indah,” kata Morgan penuh semangat. Katon memincingkan mata ke arah Morgan. Ia mengenali sesuatu. Morgan kelihatan sekali menc
Katon mengikuti langkah wanita itu sambil membelenggu pencopetnya. Dan mereka menyerahkan ke pos polisi terdekat. Baik Katon maupun wanita itu, harus melalui prosedur pelaporan pencopetan berdua. Sebagai korban dan saksi. Keduanya diminta nomor ponsel utk penyelidikan lebih lanjut. Saat itulah Katon mengetahui nama wanita penolongnya. Ratih Ayu Putraningtyas. Tepat dugaan Katon, ia seorang wanita Jawa tulen. Setelah melalui pelaporan berdua, mereka keluar dari pos polisi secara bersama-sama. Katon mengeluarkan ponsel dari kantung dan bermaksud menghubungi Stella. Betapa terkejutnya Katon ketika ia baru menyadari kalau ponselnya mati dan kacanya retak. Memang selama proses pemeriksaan dan laporan kepolisian, Katon tidak perlu mengeluarkan ponsel karena ia menyerahkan kartu nama saja. "Crap!" Maki Katon pelan. Wanita di sebelahnya menatap datar. Katon kesal karena tidak bisa menghubungi Stella. “Maaf.” “Tidak apa, Pak” ujar wanita tersebut. Katon memasukkan ponsel rusaknya kembali ke
Katon terbangun di pagi buta, seperti kebiasaannya. Ruangan sekitarnya remang-remang, hanya berdasarkan nyala lampu tidur yang redup di sisi tempat tidur. Stella masih tertidur di atas dada dan memeluknya. Rambut pirang gelap wanita itu bertebaran di bahunya. Katon menghela napas perlahan dan berusaha membebaskan diri sehalus mungkin. Stella ikut menarik napas seiring gerakan Katon dan berpindah. Tetapi tidak terbangun. Wanita itu bergeser dan berbalik membelakangi Katon untuk melanjutkan tidurnya.Katon duduk dan mengusap wajahnya. Bisa-bisanya ia bermalam dengan Stella malah memimpikan Ratih. Wanita itu terus-terusan tersenyum ke arahnya di dalam mimpi. Sesekali mengerling dengan sudut mata bikin jantung Katon ajrut-ajrutan tak karuan. Rambut Ratih yang ditemuinya semalam diikat dalam satu ikatan dibelakang leher, tetapi dalam mimpinya, Ratih menggerai rambutnya. Dan tipikal rambut Ratih adalah kesukaan Katon. Hitam legam, panjang dan tebal. Hanya Arini, satu-satunya wanita yan
Segitiga Emas adalah kawasan di bagian utara Asia Tenggara yang meliputi Myanmar, utara Laos dan bagian utara Thailand. Disebut ‘emas’ karena kekayaan kawasan ini berasal dari emas hitam atau opium. Kawasan ini merupakan pengeluar candu serta heroin yang paling utama di Asia Tenggara.Desa Loi Chyaram terletak di Utara Negara Bagian Shan, Myanmar dan berbatasan dengan China di utara, Laos di sebelah timur, dan Thailand di selatan. Negara Bagian Shan adalah rumah bagi beberapa kelompok etnis, termasuk Shan, Bamar, Han-Chinese, Wa, Lisu, Danu, Intha, Lahu, Ta’ang, Pa-O, Taungyo, India, dan Gurkha.Di sinilah Katon dan Morgan berada. Dikenal karena keindahan alam dan keanekaragaman hayatinya. Desa ini dikelilingi oleh hutan hijau subur dan perbukitan. Ada sebuah kuil terkenal di sini, Kuil Chyaram, yang merupakan kuil Buddha yang berasal dari abad ke-11.Mereka baru saja turun dari sebuah bus tua yang penuh sesak dan berjalan terseok sejak dari Yangon. Kini keduanya berdiri di tepi ja
Katon tidak tahu sama sekali jika Rosalind memiliki rumah dan kebun di sini. Para wanita di keluarganya memang menyukai anggrek. Katon tahu itu. Neneknya, mamanya karena terbawa Maya dan Rosalind karena terpengaruh Arini. Lily? Belum memperlihatkan kegilaannya pada anggrek. Tapi tentu saja karena gadis itu masih remaja dan masih mencari jati diri. Tetapi ia tidak tahu jika Rosalind akan menekuni hingga serius seperti sekarang. Dan menyembunyikannya di Yunani? Jauh sekali. “Terima kasih.” Karena Katon masih terpesona menatap adiknya dan Morgan, maka Ratih yang menggantikannya untuk mengucapkan terima kasih pada pelayan yang menjawab pertanyaan Katon. Pelayan itu mengangguk pada Ratih dan Katon lalu meninggalkan mereka. “Mas?” “Waaah ... aku merasa ditelikung,” desis Katon dengan nada tak percaya. “Oleh Rosalind? Dia pasti memiliki alasan tersendiri. Tentu saja,” kata Ratih sambil tersenyum penuh pengertian. “Apa maksudmu dengan tentu saja?” tanya Katon keheranan. “Aku memiliki b
Konitsa, yang terletak di Epirus, Yunani, adalah surga bagi para pecinta alam dan olahraga ekstrem. Sesuai dengan kesukaan Katon, di sini ia akan menemukan pemandangan yang menakjubkan, gunung-gunung megah, hutan lebat, lembah-lembah yang hijau, dan desa-desa yang memesona. Salah satu alasan membawa Ratih. Katon yang tiba lebih dulu sudah menunggu kedatangan Ratih di Ioannina National Airport. Ia sudah menyewa mobil Ferrari 458 Spider warna hitam yang sengaja ia buka bagian atap seluruhnya. Ia sengaja memilih mobil ini agar Ratih dan dirinya bisa menikmati sinar matahari Yunani. Katon bisa mengenali Ratih dari jauh dan segera menghampiri untuk menyambutnya. meminta satu-satunya duffel bag yang dibawa Ratih. “Konitsa? Kirain Mas mau tetap di Athena. Kenapa Konitsa?” tanya Ratih setelah mencium punggung tangan tunangannya yang dibalas dengan perlakuan sama. “Kenapa tidak? Di sini indah,” jawab Katon. Katon membawa Ratih ke Konitsa Mountain Hotel yang terletak di titik tertinggi di
Karena Katon sudah mendapatkan keinginannya untuk mempersunting Ratih, walau pernikahan belum ditetapkan karena menunggu Ratih wisuda. Tetap saja, Katon sudah mendapatkan keinginannya maka Satria akan memberikan tanggung jawab lebih besar untuk bekerja. Jadwal sudah ditetapkan dan Katon harus pergi ke Yunani untuk menemui perusahaan telekomunikasi terbesar di Yunani. Growth Earth Company mempunyai rencana kerjasama dengan Outentic Telecommunication Organization S.A salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar di Yunani yang bergerak di bidang layanan telepon fixed-line dan mobile, layanan internet broadband, layanan televisi berbayar. Mereka juga berkontribusi pada transformasi digital dengan memungkinkan infrastruktur dan menjadikan Yunani negara yang menarik untuk investasi dan bisnis. “Jam dan tempat pertemuan dengan Michael Tsamas Kaissariani sudah dikirimkan ke emailmu. Demikian juga dengan dokumen-dokumen yang kamu perlukan untuk berkonsiliasi dengannya. Pelajari dulu dokumen
Sesuai dengan rencana yang sudah disusun Katon. Mereka akan bertolak dari Kairo kembali ke Paris, Perancis terlebih dahulu untuk mengantarkan rombongan Katon, Ratih, Morgan dan Stuart, baru ke Barcelona, Spanyol untuk mengantarkan Lorna dan Cia. Ketika jet pesawat pribadi milik Satria telah dipakai untuk mengantarkan keluarga kembali ke Indonesia, pesawat tersebut mengubah jadwal dan mengurus perijinan terbang ke Kairo untuk menjemput putera sulung Satria dan Arini. Dengan memakai pesawat jet pribadi, pemeriksaan keimigrasian melalui jalur khusus tidak terlalu ketat. Mereka yang telah mensortir harta-harta karun dan menentukan ranking nilainya, lebih leluasa menyembunyikan di berbagai tempat pada bagasi pribadi mereka. Mereka melalui jalur pemeriksaan khusus dan bisa pulang ke Paris dengan mudah. Seperti biasa, ketika tiba di Charles de Gaulle International Airport. Katon mempersilakan Morgan dan Stuart untuk memakai rumah tapak miliknya sementara ia akan mengantar Ratih ke apart
Mereka kembali ke griya tawang yang mereka sewa dengan berjalan kaki. Stuart yang setengah mabuk berjalan sambil merangkul dua wanita. Morgan masih berusaha membebaskan diri dari satu wanita yang bandel menempel padanya. Cia dan Lorna yang saling bergandengan sambil sesekali berdansa di tengah jalan. Dan Katon yang berusaha mempertahankan Ratih di tangannya. Meski Ratih gigih melawan, tetapi Katon memaksa menggenggam tangannya dan menggandeng sepanjang perjalanan kembali. Sesekali ia akan membawa punggung tangan Ratih ke mulutnya dan mengecup ringan untuk meredakan kesal wanita itu. Saat ini mereka berjalan di Midan Tahrir, distrik tengah yang ingin menjadi “Paris di Sungai Nil,” tempat restoran-restoran dan kafe-kafe terkenal berada. Salah satunya yang baru saja mereka tinggalkan. Lampu-lampu jalan menghiasi tepian Sungai Nil, menciptakan jejak cahaya yang membelah gelapnya air. Bangunan-bangunan bersejarah seperti Menara Kairo dan Benteng Saladin berdiri megah. “Dan pemandangan s
"Halo Gamal,” sapa Lorna ceria. Di sisinya ada Cia yang sibuk memakaikan jas untuk Lorna yang sedikit terbuka malam ini, mendadak sembuh dari demam ketika dikatakan akan diajak clubbing. “Mari, saya antar ke meja Anda.” Gamal meluruskan lengan dan mempersilakan rombongan Stuart. “Tolong kendalikan pesanan alkohol, Gamal. Aku tidak mau ada yang mabuk malam ini,” kata Katon seraya menyelipkan segepok uang ke genggaman tangan Gamal ketika mereka berjalan bersama-sama, seolah bersalaman ringan. “Baik, Tuan Tenan.” Gamal mengangguk khidmat dan dengan luwes memasukkan uang dari genggaman tangannya ke saku celana. Mereka dibawa ke meja di samping jendela sehingga bisa menikmati pemandangan kota. Sesuai janji Gamal sebelumnya, dia mengendalikan pemesanan alkohol dan menjaga kesadaran tamu-tamunya. Yang menjadi masalah ketika mereka puas menikmati makan malam, ternyata Stuart meneruskan keinginannya. Yang tidak diduga Katon karena ia dan Morgan sudah menolaknya. Lagipula, ada Lorna dan C
“Crap!” Katon segera sadar sepenuhnya dari kondisi baru bangun tidur dan kelelahan. Ia bangkit dan memilih duduk di tepi tempat tidur, melanjutkan mendial nomor telepon lain. Bukan Ratih, kali ini ia menghubungi Lily. Perbedaan waktu tujuh jam antara Kairo dan Riquewihr membuat Katon merasa bebas saja menghubungi Lily meski sekarang masih pukul dua dini hari di Kairo. Karena di Riquewihr adalah pukul sembilan pagi. Keluarganya pasti sedang menikmati sarapan pagi. “Halo!” Suara Lily ceria. “Lily, Ratih masih di Riquewihr, ‘kan?” tanya Katon panik. “Masih. Kenapa gak telepon Mbak Ratih aja, Mas?” Lily balik bertanya dengan heran. Lily bicara dengan intonasi yang jelas, antara mereka belum mulai sarapan atau sudah selesai. “Mas butuh bantuanmu. Mbakmu ngambek karena Mas gak telepon dua hari ....” “Kapok!” potong Lily. “Lily!” “Iyaaa, Lily dengerin. Lanjut!” “Kamu coba bicara padanya. Mas akan meminta bantuan Maxime untuk mengantar Ratih ke Kairo,” ujar Katon. Maxime adalah salah
“Minggir!” teriak Stuart melepas talinya dan mendorong Cia agar lari mendekati Morgan. Katon melakukan hal yang sama bersama Lorna. Mereka berlima menjauhi sarkofagus yang terjatuh miring. Kelimanya menatap ke arah benda itu. Stuart bahkan berjongkok untuk mengetahui sudut yang menghantam lantai. Tidak ada asap. Tidak ada debu. Semua tampak baik-baik saja. Dan bagian sarkofagus yang menghantam lantai sedikit terbuka. Menumpahkan sekaligus menunjukkan isinya sedikit. Tanpa menunggu sahabat-sahabatnya, Stuart melangkah mendekati sarkofagus dengan berani. Katon hendak melarangnya. Namun, melihat keteguhan dan kerinduan di wajah Stuart, Katon memutuskan untuk melihat saja. “Setidaknyanya pake sarung tangan sama masker gas, kek,” celutuk Lorna. Katon berniat meneriakkan saran Lorna tetapi Stuart telah tiba di sisi sarkofagus dan membuka paksa tutupnya yang sudah rusak. Sesosok jenazah terbungkus kain kusam terjatuh dan kainnya robek menunjukkan isi yang ternyata hanya sisa-sisa residu t
Terdengar suara seperti semprotan saat sarkofagus terangkat. Mirip suara minuman berkarbonasi baru dibuka. Bedanya, yang ini suaranya lebih keras dan sekaligus menyemburkan debu-debu, saking banyaknya sampai mirip asap. Sedetik kemudian terdengar lolong kesakitan dari empat orang yang berada di sekitar sarkofagus. “Sekarang!” teriak Stuart dan Katon melompati peti didepannya lalu melesat untuk menyerang Hachim. Pria tambun itu yang semula terkejut melihat kawan-kawannnya sontak menoleh ke arah Katon dan siap melayangkan rungu. Katon merendah dan meluncur di lantai, menyapu kaki Hachim hingga pria tambun itu terjatuh . Hachim tergagap dan berusaha berdiri ketika Loran datang dan menendang kepalanya. Hachim terbatuk dan berguling. Lorna yang belum puas, mengejar. Ia rebut satu rungu Hachim dan memakai ujung yang bulat untuk menghajar kepala Hachim sampai dia pingsan. Di sekitar sarkofagus, empat orang berkelojotan dan berteriak kesakitan. Jamal dan Malik Albani adalah yang paling pa