“A-aku ingin minta maaf atas apa yang sudah diperbuat oleh Brad.” Alice tergugu di depan Katon.
“It's okay, Alice. Jangan khawatirkan aku," jawab Katon menenangkan wanita yang sedang ada di hadapannya saat ini dan melanjutkan kalimatnya dalam hati, “Pacarmu yang babak belur.”
“Katon nyaris terluka, untunglah patroli polisi lewat sehingga Katon selamat. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi padanya kalau tidak ada patroli polisi,” imbuh Morgan manipulatif, tidak jauh berbeda dengan Katon.
Dari balik sikap dinginnya, Morgan sengaja tunjukkan ekspresi kesedihan, untuk menambah keyakinan dari drama yang sudah Morgan dan Katon skenariokan. Mendengar semua ini, Alice spontan menumpahkan derai air mata lagi, di balik katupan kedua tangan ke wajah cantiknya.
Alice terlihat sekali, menyesali apa yang terjadi pada pria yang disukainya ini. Perasaan empati Alice muncul, ketika cinta juga memberikan simpati.
Katon melemparkan tatapan tajam ke arah Morgan ketika Alice menutup wajah dan Morgan mengangkat bahu sambil menyeringai jelek. Bisa-bisanya Morgan bilang Katon bakal kalah. Hah!! Dua pria yang bersahabat itu saling memaki tanpa suara selama Alice menangis sambil menutup wajahnya. Katon mengacungkan jari tengah ke arah Morgan lalu memasang wajah sedih tapi tabah ke arah Alice.
“Apa yang ingin kau bicarakan, Choco Girl?” tanya Katon lembut. Alice menggeleng sedih sambil menundukkan kepala. Katon merengkuh kepala Alice dan memintanya mendongak hanya untuk menemukan mata wanita itu basah oleh air mata.
“Jangan khawatirkan Morgan. Apa yang ada di sini tidak akan pernah bocor keluar,” ujar Katon dengan nada datar. Namun, tatapannya melembut ke arah Alice. Morgan yang mendengar suara Katon tersenyum miring, ia bisa melihat punggung Alice lebih relaks saat Katon berkata seperti itu.
“Br-Brad mungkin akan memukulku jika ia datang ke apartemenku malam ini. Mu-mungkin ia akan menemuiku di coffeshop. A-aku takut, Katon,” isak Alice.
Katon menatap datar ke arah Alice. Tentu saja dia tahu tabiat Brad. Memangnya bagaimana bisa Alice sedemikian mudah jatuh ke pelukannya jika Brad adalah kekasih yang baik?
Karena Katon tahu Brad suka memukuli Alice makanya Katon memutuskan untuk mendekati wanita ini. Agar Alice tahu, dunia tidak hanya berputar di sekitar Brad. Ada lelaki lain yang lebih baik dari pria brengsek itu.
“Alice, Dengar. Aku baik-baik saja. Dan, sejujurnya … aku tahu tabiat buruk Brad. Aku minta maaf karena membawamu ke situasi yang tidak menguntungkan begini.” Katon bicara dengan lembut ke arah Alice. Kedua tangannya masih merengkuh wajah Alice dan memaksa wanita itu untuk terus menatapnya.
“Aku akan melindungimu. Hm? Kami akan mengantarmu dan menjagamu selama kamu bekerja di coffeshop. Kami akan berada di tempat yang Brad tidak bisa melihat, bahkan kamupun tidak akan menyadari kehadiranku dan Morgan,” kata Katon cukup jelas dan tegas.
Di belakang wanita itu, Morgan berdiri tegap laksana tentara yang menjaga perbatasan dan wajahnya serius meski memutar mata lagi ke arah Katon. Walaupun pria berbadan kekar itu tampak keberatan dengan kalimat Katon tetapi ia tidak mendebatnya.
“Mak-maksudmu?” Alice bertanya bingung.
"Aku dan Morgan akan menjagamu dari jauh. Berlakulah biasa. Jangan takut, Brad tidak akan bisa mendekatimu. Kamu tidak perlu terlalu takut, manisku. Sekarang, ayo kita sarapan sebelum mengantarmu bekerja,” ujar Katon dengan nada manis.
“Katon … aku—aku ….” Dan Alice tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena Katon meraih kepala Alice dan melekatkan bibirnya ke bibir Alice. Katon melumat bibir Alice dengan ganas, seolah akan menyedot habis seluruh pasokan udara di paru-paru wanita itu. Alice menyambar lengan atas Katon dan mengelus tendon kekarnya. Mereka berciuman makin intens. Morgan melotot membuat bola matanya seakan meloncat keluar. Dan dia mengacungkan tinju ketika Katon tidak kunjung menyudahi ciumannya. Morgan bersiap menendang vas bunga ketika Katon mendadak berdiri dan menarik Alice yang oleng karena mendadak diajak berciuman sedemikian panas. Katon memeluk tubuh langsing Alice dan memutarnya seolah berdansa, tapi langkahnya jelas. Ia menuju ke ruang makan.
“Bajingan!” Bisikan Morgan hanya untuk Katon setelah yakin Alice tidak bisa mendengarnya. Katon yang mendengar bisikan itu bersikap cuek dan meninggalkan Alice di ruang makan sementara dirinya memutari konter dapur dan mulai bekerja di balik konter sambil dipandangi Alice dengan mata terpesona.
“Sarapan, bro?”
“Menurutmu? Hanya kau yang butuh makan di sini?” geram Morgan dan sepenuhnya diabaikan Katon karena pria itu sudah mulai menyiapkan menu makan pagi.
Seperti biasa, sarapan pagi Katon adalah makanan full protein. Karena Katon harus menjaga massa otot dan kekekaran tubuhnya. Ia perlu tubuh yang kuat. Berjaga dan siaga kalau keluarganya membutuhkan bantuan Katon untuk menyelesaikan masalah mereka. Maka ia menyiapkan sarapan full protein untuk dirinya dan Morgan. Sementara untuk Alice, dia menyiapkan menu yang berbeda. Omelet dan pancake.
Katon mengeluarkan telur dan dada ayam tanpa kulit dari dalam lemari es dan mulai memasak daging ayam dalam airfrye berteknologi tinggi miliknya. Sementara menunggu, ia mengocok telur untuk membuat omelet dan menyiapkan adonan pancake. Katon sedang membuat jus brokoli dan menyediakan air putih ketika melihat ke arah Morgan yang berpangku tangan di sebelah Alice. Mata Katon bersinar tidak suka. “Tidak mandi?” tanya Katon sambil menaikkan alisnya. Morgan menatap malas padanya. Katon yang tidak suka ia duduk di sebelah Alice berupaya mengusirnya.
“Kenapa? Tuan Collins terganggu dengan bauku? Alice bahkan tidak terganggu. Oh, apakah Tuan Collins akan bercinta denganku?” goda Morgan dengan berani. Alice mengikik di dekatnya.
Sebuah piring melayang dan Morgan dengan tangkas menangkapnya sebelum piring itu menyambar kepalanya atau jatuh ke lantai dan hancur berkeping. “Nice shot, Mister Collins!”
“Mau coba sekali lagi?” tanya Katon, nadanya seperti madu tapi mengancam. Bahkan, tangan kanan pria itu sudah meraih pisau panjang dan mengabaikan Alice yang terkesiap.
“Tidak, terima kasih, Tuan,” jawab Morgan tenang dan meletakkan piring itu di atas meja makan dengan kesopanan yang luar biasa lalu menggebah dirinya menuju kamar mandi tamu. Katon tersenyum menenangkan ke arah Alice.
“Jangan takut, manisku. Kami hanya bercanda,” hibur Katon seraya menghidangkan menu yang sudah siap ke meja makan.
Morgan menyelesaikan ritual mandinya dengan cepat. Setelahnya pun ia mengarahkan langkah kaki ke kamar lemari pakaian Katon dan tanpa canggung mencari pakaian Katon untuk ia kenakan. Kaus polo biru navy dan celana kain warna khaki menjadi pilihannya. Morgan mematut di depan cermin, puas dengan penampilannya, ia memburu langkah kembali ke ruang makan. Alice dan Katon tampak mesra berdua, saling menyuapkan makanan.
“Kurasa, pakaian yang kau kenakan adalah milikku, Tuan Maxwell!” gerutu Katon ketika menoleh ke arah Morgan dan mendapati pria itu memakai pakaiannya. Morgan terkekeh.
“Dan tampak luar biasa padaku, Tuan Collins.”
“Aku berharap pakaian itu kembali ke lemariku dalam kondisi bersih, 24 jam dari sekarang!”
Morgan tidak menanggapi itu, ia terus memotong daging dada ayam dengan seringai konyol, dan mengunyah dengan kecapan dengan suara yang menjijikkan. Katon menggelengkan kepalanya, mengambil garpu yang sudah selesai ia gunakan dan melemparkannya ke arah Morgan. Namun, tidak disangkanya lemparan itu hanya mengenai ruang kosong saat pria menjengkelkan itu memiringkan kepalanya dan terkekeh dengan cibiran.
Morgan dan Katon memang sering bercanda tanpa bermaksud serius untuk melukai. Saking dekatnya mereka, dia juga sudah terbiasa memenuhi perintah Katon. Dan perintah pagi ini jelas. Ia harus mengikuti Katon, mengintai dan menjaga Alice di coffe shopnya. Dan Katon tidak suka jika perintahnya terlalu lama diluluskan.
Katon membawa Alice, bergandengan tangan menuju ke lantai basement-nya dan menuju ke satu mobil berwarna hitam. Morgan mengikuti dengan malas-malasan di belakang Katon. Sebuah Mercedess Benz The W223 S-Class berwarna hitam terparkir di sana dan kuncinya terbuka dengan suara ceklikan pelan dan kilap lampu kekuningan, bersamaan dengan Katon memencet remote di tangannya.
Katon membuka pintu penumpang untuk Alice, membuat wanita itu tersipu senang dan Morgan mencibir di belakang. Sebal dengan perlakuan sok gentleman Katon yang ia tahu hanya dikeluarkan oleh sahabatnya saat pria tersebut berharap lebih dari seorang wanita incarannya.
“Manisku, aku akan mengantarmu dan menunggui selama kau bekerja, apakah tidak mengapa?” tanya Katon selama mereka berkendara menuju ke tempat kerja Alice, sebuah coffershop bernama Brooklyn Blend.
“Kamu akan menungguiku selama aku bekerja?” tanya Alice takjub.
“Tentu, Sweetheart. Apa yang tidak aku lakukan untuk wanita semanis dirimu?” ujar Katon bak perayu ulung. Morgan yang duduk di jok belakang, menatap keluar dengan pandangan bosan.
“Morgan bersamaku, Choco Girl. Jangan khawatir.”
“Yeah. Dan akan berakhir Morgan yang mengawasimu, Choco Girl. Paling banter dia molor,” desis Morgan ke arah kaca hingga tak seorangpun yang mendengar kalimatnya.
Tentu saja, pada akhirnya Morgan berjaga di dalam Mercedes Benz yang diparkir di dekat Brooklyn Blend, tempat Alice bekerja. Sedangkan Katon, yang semula online melalui ponsel pintarnya, berakhir dengan tidur setelah menurunkan sandaran jok. Ia membiarkan Morgan berjaga sendiri, mengawasi bagian depan Brooklyn Blend dan memperhatikan setiap orang yang masuk.
Bahkan selama menunggu, jika Katon membutuhkan makanan atau minuman, Morgan pula yang keluar dari mobil untuk membelinya.
Menjelang jam kepulangan Alice, Morgan mendadak menegakkan punggung dan mengarahkan pandangan tajam ke pintu masuk Brooklyn Blend. “Oho! Kau tidak akan suka ini, Tuan Collins.”
Katon tidak bergerak, dan tetap rebah di sandaran jok yang rendah. Morgan menoleh ke arahnya dan berwajah ceria lalu berkata, ”Baiklah. Selesai sampai di sini kisah Alice dan Katon, rupanya. Great! Ayo pulang.”
“Apa maksudmu, Morg,” ucap Katon santai tanpa merubah posisinya. Matanya bahkan masih terpejam dengan nyaman.
“Aku barusan melihat sekelompok gangster masuk ke Brookyn Blend. Aku tidak tahu bagaimana rupa Brad. Tapi, tidak seorangpun di sana ada yang mirip Brad Pitt,” kata Morgan santai. Katon membuka mata dan bangkit dari posisinya. Ia memindai area depan Brooklyn Blend.
“Aku tidak suka ini, Morg,” ujarnya.
“Oya? Kukira kau hobi terperangkap di dalam mobil selama lebih dari enam jam hanya untuk memelototi kaca depan coffeshop. Oh, tunggu! Aku yang melakukan itu. Sebagian besar waktumu di sini kau pakai tidur, asshole!” omel Morgan. Katon mengabaikan omelan itu karena di dalam Brooklyn Blend telah terjadi kericuhan dan Katon membuka pintu mobil untuk memburu ke coffeshop. Morgan mengikuti di belakangnya.
Gerombolan gangster yang disebutkan oleh Morgan sedang mengamuk di dalam coffeshop. Salah satu pria paling besar di sana bahkan sedang berusaha menyeret Alice keluar dari konter. Katon merangsek masuk ke dalam coffe shop dan Morgan dengan setia mengikuti meskipun mulutnya mengomel tanpa suara.
“Cari lawan yang sepadan denganmu, Brad!” seru Katon mengejutkan separuh Brooklyn Blend. Pria besar yang sedang mencengkeram leher Alice menoleh dan matanya menatap galak ke arah Katon.
“Itu dia bajingan yang meniduri pacarku! Bunuh dia!” geramnya tanpa melepas leher Alice.
Gerombolan dengan jumlah dua kali lebih banyak daripada gangster yang mengeroyok Katon sekarang menoleh ke arah Katon dan Morgan dengan tatapan buas. Sebagian besar dari mereka membawa tongkat bisbol dan sebagian lain mengeluarkan pisau lipat.
“O … o … saatnya berpesta, Katon,” desis Morgan di samping Katon dengan senyum miring yang menjadi khas-nya.
Lelaki dewasa yang paling dekat dengan Katon berteriak sambil mengayunkan tongkat bisbolnya dengan ganas dan terarah ke kepala. Katon sudah tidak bisa lagi memikirkan posisi Morgan, terpaksa membiarkan sahabatnya bertarung demi dirinya sendiri. Katon membanting tubuhnya kesamping untuk menghindari pukulan tongkat bisbol sekaligus menyabet kaki penyerangnya. Pria lawannya jatuh berdebam di lantai keras dan mengeluarkan sumpah serapah. Katon kembali berdiri dan melancarkan pukulan ke arah dua pria yang mengeroyoknya dari sisi yang berbeda. Sudah tidak ada waktu untuk menggunakan jurus karate, Katon spontan menggunakan gaya petarung jalanan seperti yang Morgan biasa lakukan. Jab dan hook Katon bergantian menghajar musuh-musuhnya hingga jatuh. Upper cut-nya menghajar dagu satu musuh dan melemparkan lawan itu menabrak konter dapur, menghamburkan gelas di atasnya menjadi kepingan. Ketika mendapat ruang lebih leluasa, barulah Katon secara reflek mengeluarkan jurus karatenya. Katon mula
“Lepaskan dia, Brad,” pinta Katon. Brad masih menyeringai kejam ke arah Katon, jelas dia tidak akan melepaskan Alice selama Katon masih menggenggam tongkat bisbol di tangannya. “Suruh pembantumu minggir atau aku tidak segan mengiris leher cantik ini supaya kamu tahu seberapa cerah warna darahnya?” ejek Brad kejam. Katon melambaikan tangannya kepada Morgan agar minggir yang langsung dituruti oleh pria besar itu. Brad kembali menyeret Alice yang ketakutan bersamanya, ia menuju ke pintu keluar sambil berjalan mundur, dengan sengaja mempertontonkan wajah putus asa dan ketakutan Alice ke arah Katon dan Morgan. Sesaat setelah ia berada di luar, Brad mendorong tubuh lemas Alice ke trotoar, membuat wanita itu jatuh tak berdaya. Katon membuang tongkat bisbolnya dan memburu keluar untuk menolong Alice. "Kamu baik-baik saja?" Katon meraih lengan gadis itu dan membawa ke pelukannya. Ia merasakan tubuh Alice menggigil ketakutan. Morgan yang ikut berlari keluar, menatap bergantian ke arah Katon
“Bagaimana kalau aku mengantarmu pulang malam ini?” ucap seorang lelaki di sebuah coffeshop kepada salah satu pelayan wanita yang cantik. Wanita itu tersenyum mendengar tawaran yang manis dan mengangguk. Pria itu bahkan bersikap gentleman dengan membantu sang wanita menutup coffeshop karena ini adalah shift terakhir. Mereka menyusuri pedestrian dan menyeberangi beberapa blok menuju apartemen sang wanita sambil mengobrol ringan. Beberapa kali sang wanita tertawa dan memukul bahu sang pria dengan mesra, pertanda obrolan mereka menyenangkan dan sangat intim. Pintu apartemen di lantai tiga, menjeblak terbuka saat didorong dengan paksa. Dua tubuh yang saling berpelukan berputar dan masuk ke dalam apartemen. Kedua manusia ini saling memagut dalam ciuman yang panas dan penuh gairah. Kepala sang wanita mendongak, mengikuti pria yang lebih tinggi darinya. Bibir saling mengecap, lidah melibat. Sang pria mendesak hingga sang wanita terdorong ke dinding tanpa melepas pagutan bibirnya. Meskipun
“Eer ... siapa kalian?” tanya Katon keheranan. "Dengar, kau pikir kau bisa mendekati kekasihku begitu saja?" teriak salah satu dari enam pria tersebut sambil menunjuk jari pada Katon yang terkepung. Katon tersadar, ia sedang berhadapan dengan tidak lain dan tidak bukan adalah kekasih Alice dan teman-temannya. Katon berdiri dengan sikap yang berani, menatap tajam ke arah keenam pria yang mengancamnya. Dia tahu betul bahwa situasi ini bisa berujung buruk jika dia tidak berhati-hati. Beruntung Katon memiliki keahlian karate yang luar biasa. Dia terlatih dengan baik, dan dia tidak akan menyerah begitu saja. "Easy, Man!" ujar Katon dengan suara datar tanpa gentar kepada satu pria yang berusaha mengintimidasinya. "Aku tidak berniat mengganggu kekasihmu. Dan aku hanya mampir sesaat di apartemennya." Keenam pria Amerika itu saling pandang, menatap heran pada satu pria keturunan Amerika-Asia yang mereka kepung. Ini aneh. Pria itu tak kelihatan takut walau dikepung, membuat mereka ragu unt
New York pagi hari. Katon membuka mata perlahan-lahan, ia bangun dari kasur empuk di apartemen mewahnya di Manhattan. Meskipun semalam ia baru saja berkelahi melawan enam orang, tidak ada tanda-tanda luka di tubuhnya. Dengan gerakan lincah, Katon bangkit dari tempat tidurnya dan bergegas menuju ruang olahraga pribadi. Baginya, latihan karate setiap pagi adalah kebutuhan. Latihan fisik dan mental ini menjadi sumber kekuatannya, memberikan ketenangan dan kesiapan untuk menghadapi segala tantangan yang akan datang. Setelah mengenakan pakaian olahraga yang nyaman, Katon mulai melakukan pemanasan dengan gerakan-gerakan yang lembut namun penuh konsentrasi. Tepat ketika Katon bersiap untuk memulai latihan karate yang intens, telepon genggamnya berdering. Dia mengambil ponsel dan melihat panggilan masuk dari Alice. Tanpa ragu, Katon menerima panggilan itu. "Pagi, Choco Girl! Apakah aku begitu mempesonamu sehingga sepagi ini kau sudah merindukanku?" sapa Katon dengan suara hangat. Alice t
Sebagai sahabat Katon, Morgan belajar pada kehidupan sahabat semenjak SMP-nya ini, yang entah bagaimana bisa keras dan berbahaya. Ia tidak langsung membuka pintu tapi memeriksa melalui kamera pengawas. “Tentu saja!” gerutu Morgan secepat matanya selesai memindai kamera pengawas. Pada kamera itu terpantul citra seorang wanita. Kulitnya sedikit kecoklatan, entah asli ataukah hasil dari berjemur di bawah matahari. Rambut panjangnya berwarna coklat keemasan. Wanita ini memiliki mata yang cantik yang saat ini memancarkan kekhawatiran. “Siapa?” tanya Morgan setelah memencet tombol interkom. “Uhm, ehm, apakah Katon ada? Dia baik-baik saja?” tanya wanita tersebut tanpa bisa menyembunyikan nada khawatir. “Motherfucker!” maki Morgan dalam hati. “Yea, ada. Dia ada. Dan pria itu baik-baik saja. Boleh aku tahu siapa namamu, Miss?” “Alice. Alice Wellington.” Morgan memastikan wanita itu ‘bersih’ dan dia membuka pintu sambil mengomel keras dalam hati. “Silakan masuk, Miss. Tunggulah di sini se
“Lepaskan dia, Brad,” pinta Katon. Brad masih menyeringai kejam ke arah Katon, jelas dia tidak akan melepaskan Alice selama Katon masih menggenggam tongkat bisbol di tangannya. “Suruh pembantumu minggir atau aku tidak segan mengiris leher cantik ini supaya kamu tahu seberapa cerah warna darahnya?” ejek Brad kejam. Katon melambaikan tangannya kepada Morgan agar minggir yang langsung dituruti oleh pria besar itu. Brad kembali menyeret Alice yang ketakutan bersamanya, ia menuju ke pintu keluar sambil berjalan mundur, dengan sengaja mempertontonkan wajah putus asa dan ketakutan Alice ke arah Katon dan Morgan. Sesaat setelah ia berada di luar, Brad mendorong tubuh lemas Alice ke trotoar, membuat wanita itu jatuh tak berdaya. Katon membuang tongkat bisbolnya dan memburu keluar untuk menolong Alice. "Kamu baik-baik saja?" Katon meraih lengan gadis itu dan membawa ke pelukannya. Ia merasakan tubuh Alice menggigil ketakutan. Morgan yang ikut berlari keluar, menatap bergantian ke arah Katon
Lelaki dewasa yang paling dekat dengan Katon berteriak sambil mengayunkan tongkat bisbolnya dengan ganas dan terarah ke kepala. Katon sudah tidak bisa lagi memikirkan posisi Morgan, terpaksa membiarkan sahabatnya bertarung demi dirinya sendiri. Katon membanting tubuhnya kesamping untuk menghindari pukulan tongkat bisbol sekaligus menyabet kaki penyerangnya. Pria lawannya jatuh berdebam di lantai keras dan mengeluarkan sumpah serapah. Katon kembali berdiri dan melancarkan pukulan ke arah dua pria yang mengeroyoknya dari sisi yang berbeda. Sudah tidak ada waktu untuk menggunakan jurus karate, Katon spontan menggunakan gaya petarung jalanan seperti yang Morgan biasa lakukan. Jab dan hook Katon bergantian menghajar musuh-musuhnya hingga jatuh. Upper cut-nya menghajar dagu satu musuh dan melemparkan lawan itu menabrak konter dapur, menghamburkan gelas di atasnya menjadi kepingan. Ketika mendapat ruang lebih leluasa, barulah Katon secara reflek mengeluarkan jurus karatenya. Katon mula
“A-aku ingin minta maaf atas apa yang sudah diperbuat oleh Brad.” Alice tergugu di depan Katon. “It's okay, Alice. Jangan khawatirkan aku," jawab Katon menenangkan wanita yang sedang ada di hadapannya saat ini dan melanjutkan kalimatnya dalam hati, “Pacarmu yang babak belur.” “Katon nyaris terluka, untunglah patroli polisi lewat sehingga Katon selamat. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi padanya kalau tidak ada patroli polisi,” imbuh Morgan manipulatif, tidak jauh berbeda dengan Katon. Dari balik sikap dinginnya, Morgan sengaja tunjukkan ekspresi kesedihan, untuk menambah keyakinan dari drama yang sudah Morgan dan Katon skenariokan. Mendengar semua ini, Alice spontan menumpahkan derai air mata lagi, di balik katupan kedua tangan ke wajah cantiknya. Alice terlihat sekali, menyesali apa yang terjadi pada pria yang disukainya ini. Perasaan empati Alice muncul, ketika cinta juga memberikan simpati. Katon melemparkan tatapan tajam ke arah Morgan ketika Alice menutup wajah da
Sebagai sahabat Katon, Morgan belajar pada kehidupan sahabat semenjak SMP-nya ini, yang entah bagaimana bisa keras dan berbahaya. Ia tidak langsung membuka pintu tapi memeriksa melalui kamera pengawas. “Tentu saja!” gerutu Morgan secepat matanya selesai memindai kamera pengawas. Pada kamera itu terpantul citra seorang wanita. Kulitnya sedikit kecoklatan, entah asli ataukah hasil dari berjemur di bawah matahari. Rambut panjangnya berwarna coklat keemasan. Wanita ini memiliki mata yang cantik yang saat ini memancarkan kekhawatiran. “Siapa?” tanya Morgan setelah memencet tombol interkom. “Uhm, ehm, apakah Katon ada? Dia baik-baik saja?” tanya wanita tersebut tanpa bisa menyembunyikan nada khawatir. “Motherfucker!” maki Morgan dalam hati. “Yea, ada. Dia ada. Dan pria itu baik-baik saja. Boleh aku tahu siapa namamu, Miss?” “Alice. Alice Wellington.” Morgan memastikan wanita itu ‘bersih’ dan dia membuka pintu sambil mengomel keras dalam hati. “Silakan masuk, Miss. Tunggulah di sini se
New York pagi hari. Katon membuka mata perlahan-lahan, ia bangun dari kasur empuk di apartemen mewahnya di Manhattan. Meskipun semalam ia baru saja berkelahi melawan enam orang, tidak ada tanda-tanda luka di tubuhnya. Dengan gerakan lincah, Katon bangkit dari tempat tidurnya dan bergegas menuju ruang olahraga pribadi. Baginya, latihan karate setiap pagi adalah kebutuhan. Latihan fisik dan mental ini menjadi sumber kekuatannya, memberikan ketenangan dan kesiapan untuk menghadapi segala tantangan yang akan datang. Setelah mengenakan pakaian olahraga yang nyaman, Katon mulai melakukan pemanasan dengan gerakan-gerakan yang lembut namun penuh konsentrasi. Tepat ketika Katon bersiap untuk memulai latihan karate yang intens, telepon genggamnya berdering. Dia mengambil ponsel dan melihat panggilan masuk dari Alice. Tanpa ragu, Katon menerima panggilan itu. "Pagi, Choco Girl! Apakah aku begitu mempesonamu sehingga sepagi ini kau sudah merindukanku?" sapa Katon dengan suara hangat. Alice t
“Eer ... siapa kalian?” tanya Katon keheranan. "Dengar, kau pikir kau bisa mendekati kekasihku begitu saja?" teriak salah satu dari enam pria tersebut sambil menunjuk jari pada Katon yang terkepung. Katon tersadar, ia sedang berhadapan dengan tidak lain dan tidak bukan adalah kekasih Alice dan teman-temannya. Katon berdiri dengan sikap yang berani, menatap tajam ke arah keenam pria yang mengancamnya. Dia tahu betul bahwa situasi ini bisa berujung buruk jika dia tidak berhati-hati. Beruntung Katon memiliki keahlian karate yang luar biasa. Dia terlatih dengan baik, dan dia tidak akan menyerah begitu saja. "Easy, Man!" ujar Katon dengan suara datar tanpa gentar kepada satu pria yang berusaha mengintimidasinya. "Aku tidak berniat mengganggu kekasihmu. Dan aku hanya mampir sesaat di apartemennya." Keenam pria Amerika itu saling pandang, menatap heran pada satu pria keturunan Amerika-Asia yang mereka kepung. Ini aneh. Pria itu tak kelihatan takut walau dikepung, membuat mereka ragu unt
“Bagaimana kalau aku mengantarmu pulang malam ini?” ucap seorang lelaki di sebuah coffeshop kepada salah satu pelayan wanita yang cantik. Wanita itu tersenyum mendengar tawaran yang manis dan mengangguk. Pria itu bahkan bersikap gentleman dengan membantu sang wanita menutup coffeshop karena ini adalah shift terakhir. Mereka menyusuri pedestrian dan menyeberangi beberapa blok menuju apartemen sang wanita sambil mengobrol ringan. Beberapa kali sang wanita tertawa dan memukul bahu sang pria dengan mesra, pertanda obrolan mereka menyenangkan dan sangat intim. Pintu apartemen di lantai tiga, menjeblak terbuka saat didorong dengan paksa. Dua tubuh yang saling berpelukan berputar dan masuk ke dalam apartemen. Kedua manusia ini saling memagut dalam ciuman yang panas dan penuh gairah. Kepala sang wanita mendongak, mengikuti pria yang lebih tinggi darinya. Bibir saling mengecap, lidah melibat. Sang pria mendesak hingga sang wanita terdorong ke dinding tanpa melepas pagutan bibirnya. Meskipun