Sebagai sahabat Katon, Morgan belajar pada kehidupan sahabat semenjak SMP-nya ini, yang entah bagaimana bisa keras dan berbahaya. Ia tidak langsung membuka pintu tapi memeriksa melalui kamera pengawas. “Tentu saja!” gerutu Morgan secepat matanya selesai memindai kamera pengawas.
Pada kamera itu terpantul citra seorang wanita. Kulitnya sedikit kecoklatan, entah asli ataukah hasil dari berjemur di bawah matahari. Rambut panjangnya berwarna coklat keemasan. Wanita ini memiliki mata yang cantik yang saat ini memancarkan kekhawatiran.
“Siapa?” tanya Morgan setelah memencet tombol interkom.
“Uhm, ehm, apakah Katon ada? Dia baik-baik saja?” tanya wanita tersebut tanpa bisa menyembunyikan nada khawatir.
“Motherfucker!” maki Morgan dalam hati. “Yea, ada. Dia ada. Dan pria itu baik-baik saja. Boleh aku tahu siapa namamu, Miss?”
“Alice. Alice Wellington.”
Morgan memastikan wanita itu ‘bersih’ dan dia membuka pintu sambil mengomel keras dalam hati. “Silakan masuk, Miss. Tunggulah di sini sementara aku panggilkan Katon.” Morgan mengantar Alice melewati foyer dan menunggu di ruang tamu sementara dia berderap masuk kembali ke kamar tidur utama dan langsung menuju kamar mandi.
“What the hell! Fucking shit! Aku masih lelaki normal, Morg! Brengsek!” Katon terburu menutup tubuh perkasanya yang telanjang ketika Morgan menerjang masuk kamar mandi tanpa permisi.
“Kau! Meniduri pacar preman Brooklyn!”
“Jaga mulutmu!” tukas Katon.
“Jaga burungmu!” balas Morgan tak kalah keras.
Katon tertawa dengan suaranya yang berat. Ia keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk di seputar pinggang dan menggosok kepalanya dengan handuk yang lebih kecil. Morgan berdiri di depannya, tinggi mereka setara dengan postur tubuh luar biasa. Tangan kanan Morgan menempel di dada telanjang Katon.
“Singkirkan tanganmu atau kupatahkan!” desis Katon kejam.
“Pakai bajumu dan temui Alice Wellington, you motherfucker!”
“Alice di sini?” tanya Katon kaget dan Morgan memutar matanya. Nyaris saja Katon tidak bisa menahan diri dan menonjok Morgan. Dia tidak suka ada yang memutar mata di depannya. Terasa merendahkan!
Hanya karena ada Alice yang menunggunya di ruang tamu saja yang menghentikan Katon menghajar Morgan di tempat. Katon bergegas menampik tangan kanan Morgan dengan kasar lalu berjalan menuju ruang closet untuk memilih baju. “Boleh minta tolong, Morg? Tolong sediakan kami minum.”
“Brengsek, bacot busuk! Aku bukan kepala pelayanmu, Tuan Collins!” maki Morgan hanya untuk ditertawakan Katon. Morgan keluar kamar tetapi entah mengapa malah menuju dapur dan menyiapkan minuman untuk Alice. Tentunya sambil bersumpah serapah.
Morgan mendatangi ruang tamu sambil membawa baki yang diatasnya hanya tersedia satu minuman untuk Alice. Katon juga tiba di ruang tamu bersamaan dengan Morgan. Alice sontak berdiri dan menghambur ke pelukan Katon, lalu menangis di lehernya. Katon dengan luwes menangkap tubuh Alice lalu berputar sehingga Alice membelakangi Morgan dan dirinya yang menghadap ke arah Morgan. Tepat waktu! Karena di detik Alice menangis, detik itu juga Morgan memamerkan gestur akan muntah. Katon mengedipkan mata jahil.
“Tenanglah, Alice … tenang, Choco Girl,” Katon mengelus lembut punggung Alice. Selama Katon menenangkan Alice, Morgan mendekat sambil mulutnya terus mengomel tanpa suara. Katon mengkode dengan tangan yang lain agar Morgan meletakkan minuman di meja dekat dirinya dan Alice.
“Aku … aku mi-minta maaf, Katon,” isak Alice yang sudah mulai melepas pelukannya.
“Hei, It’s not your fault. Bukan salahmu, sayang,” ujar Katon dan ia melihat Morgan mencibir ke dinding. Katon meraih gelas minuman, gerakannya seolah akan melempar ke Morgan yang reflek menunduk. Ternyata Katon hanya mengambil gelas minum untuk dia berikan pada Alice. Tetapi tampang Katon luar biasa jahil ketika melihat ke arah Morgan yang keki.
“Minumlah, Dear …,” hibur Katon.
“Ka-kamu tidak apa-apa?” Alice masih mengisak dan Katon mempertontonkan wajah menderita, seolah ia telah kehilangan sesuatu yang berharga.
"Sebenarnya ada sesuatu yang serius , ingin aku bicarakan denganmu, Katon," ucap Alice gemetar.
Katon mengernyit. Dengan perasaan heran, dia bertanya, "Apa itu?"
“A-aku ingin minta maaf atas apa yang sudah diperbuat oleh Brad.” Alice tergugu di depan Katon. “It's okay, Alice. Jangan khawatirkan aku," jawab Katon menenangkan wanita yang sedang ada di hadapannya saat ini dan melanjutkan kalimatnya dalam hati, “Pacarmu yang babak belur.” “Katon nyaris terluka, untunglah patroli polisi lewat sehingga Katon selamat. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi padanya kalau tidak ada patroli polisi,” imbuh Morgan manipulatif, tidak jauh berbeda dengan Katon. Dari balik sikap dinginnya, Morgan sengaja tunjukkan ekspresi kesedihan, untuk menambah keyakinan dari drama yang sudah Morgan dan Katon skenariokan. Mendengar semua ini, Alice spontan menumpahkan derai air mata lagi, di balik katupan kedua tangan ke wajah cantiknya. Alice terlihat sekali, menyesali apa yang terjadi pada pria yang disukainya ini. Perasaan empati Alice muncul, ketika cinta juga memberikan simpati. Katon melemparkan tatapan tajam ke arah Morgan ketika Alice menutup wajah da
Lelaki dewasa yang paling dekat dengan Katon berteriak sambil mengayunkan tongkat bisbolnya dengan ganas dan terarah ke kepala. Katon sudah tidak bisa lagi memikirkan posisi Morgan, terpaksa membiarkan sahabatnya bertarung demi dirinya sendiri. Katon membanting tubuhnya kesamping untuk menghindari pukulan tongkat bisbol sekaligus menyabet kaki penyerangnya. Pria lawannya jatuh berdebam di lantai keras dan mengeluarkan sumpah serapah. Katon kembali berdiri dan melancarkan pukulan ke arah dua pria yang mengeroyoknya dari sisi yang berbeda. Sudah tidak ada waktu untuk menggunakan jurus karate, Katon spontan menggunakan gaya petarung jalanan seperti yang Morgan biasa lakukan. Jab dan hook Katon bergantian menghajar musuh-musuhnya hingga jatuh. Upper cut-nya menghajar dagu satu musuh dan melemparkan lawan itu menabrak konter dapur, menghamburkan gelas di atasnya menjadi kepingan. Ketika mendapat ruang lebih leluasa, barulah Katon secara reflek mengeluarkan jurus karatenya. Katon mula
“Lepaskan dia, Brad,” pinta Katon. Brad masih menyeringai kejam ke arah Katon, jelas dia tidak akan melepaskan Alice selama Katon masih menggenggam tongkat bisbol di tangannya. “Suruh pembantumu minggir atau aku tidak segan mengiris leher cantik ini supaya kamu tahu seberapa cerah warna darahnya?” ejek Brad kejam. Katon melambaikan tangannya kepada Morgan agar minggir yang langsung dituruti oleh pria besar itu. Brad kembali menyeret Alice yang ketakutan bersamanya, ia menuju ke pintu keluar sambil berjalan mundur, dengan sengaja mempertontonkan wajah putus asa dan ketakutan Alice ke arah Katon dan Morgan. Sesaat setelah ia berada di luar, Brad mendorong tubuh lemas Alice ke trotoar, membuat wanita itu jatuh tak berdaya. Katon membuang tongkat bisbolnya dan memburu keluar untuk menolong Alice. "Kamu baik-baik saja?" Katon meraih lengan gadis itu dan membawa ke pelukannya. Ia merasakan tubuh Alice menggigil ketakutan. Morgan yang ikut berlari keluar, menatap bergantian ke arah Katon
“Bagaimana kalau aku mengantarmu pulang malam ini?” ucap seorang lelaki di sebuah coffeshop kepada salah satu pelayan wanita yang cantik. Wanita itu tersenyum mendengar tawaran yang manis dan mengangguk. Pria itu bahkan bersikap gentleman dengan membantu sang wanita menutup coffeshop karena ini adalah shift terakhir. Mereka menyusuri pedestrian dan menyeberangi beberapa blok menuju apartemen sang wanita sambil mengobrol ringan. Beberapa kali sang wanita tertawa dan memukul bahu sang pria dengan mesra, pertanda obrolan mereka menyenangkan dan sangat intim. Pintu apartemen di lantai tiga, menjeblak terbuka saat didorong dengan paksa. Dua tubuh yang saling berpelukan berputar dan masuk ke dalam apartemen. Kedua manusia ini saling memagut dalam ciuman yang panas dan penuh gairah. Kepala sang wanita mendongak, mengikuti pria yang lebih tinggi darinya. Bibir saling mengecap, lidah melibat. Sang pria mendesak hingga sang wanita terdorong ke dinding tanpa melepas pagutan bibirnya. Meskipun
“Eer ... siapa kalian?” tanya Katon keheranan. "Dengar, kau pikir kau bisa mendekati kekasihku begitu saja?" teriak salah satu dari enam pria tersebut sambil menunjuk jari pada Katon yang terkepung. Katon tersadar, ia sedang berhadapan dengan tidak lain dan tidak bukan adalah kekasih Alice dan teman-temannya. Katon berdiri dengan sikap yang berani, menatap tajam ke arah keenam pria yang mengancamnya. Dia tahu betul bahwa situasi ini bisa berujung buruk jika dia tidak berhati-hati. Beruntung Katon memiliki keahlian karate yang luar biasa. Dia terlatih dengan baik, dan dia tidak akan menyerah begitu saja. "Easy, Man!" ujar Katon dengan suara datar tanpa gentar kepada satu pria yang berusaha mengintimidasinya. "Aku tidak berniat mengganggu kekasihmu. Dan aku hanya mampir sesaat di apartemennya." Keenam pria Amerika itu saling pandang, menatap heran pada satu pria keturunan Amerika-Asia yang mereka kepung. Ini aneh. Pria itu tak kelihatan takut walau dikepung, membuat mereka ragu unt
New York pagi hari. Katon membuka mata perlahan-lahan, ia bangun dari kasur empuk di apartemen mewahnya di Manhattan. Meskipun semalam ia baru saja berkelahi melawan enam orang, tidak ada tanda-tanda luka di tubuhnya. Dengan gerakan lincah, Katon bangkit dari tempat tidurnya dan bergegas menuju ruang olahraga pribadi. Baginya, latihan karate setiap pagi adalah kebutuhan. Latihan fisik dan mental ini menjadi sumber kekuatannya, memberikan ketenangan dan kesiapan untuk menghadapi segala tantangan yang akan datang. Setelah mengenakan pakaian olahraga yang nyaman, Katon mulai melakukan pemanasan dengan gerakan-gerakan yang lembut namun penuh konsentrasi. Tepat ketika Katon bersiap untuk memulai latihan karate yang intens, telepon genggamnya berdering. Dia mengambil ponsel dan melihat panggilan masuk dari Alice. Tanpa ragu, Katon menerima panggilan itu. "Pagi, Choco Girl! Apakah aku begitu mempesonamu sehingga sepagi ini kau sudah merindukanku?" sapa Katon dengan suara hangat. Alice t
“Lepaskan dia, Brad,” pinta Katon. Brad masih menyeringai kejam ke arah Katon, jelas dia tidak akan melepaskan Alice selama Katon masih menggenggam tongkat bisbol di tangannya. “Suruh pembantumu minggir atau aku tidak segan mengiris leher cantik ini supaya kamu tahu seberapa cerah warna darahnya?” ejek Brad kejam. Katon melambaikan tangannya kepada Morgan agar minggir yang langsung dituruti oleh pria besar itu. Brad kembali menyeret Alice yang ketakutan bersamanya, ia menuju ke pintu keluar sambil berjalan mundur, dengan sengaja mempertontonkan wajah putus asa dan ketakutan Alice ke arah Katon dan Morgan. Sesaat setelah ia berada di luar, Brad mendorong tubuh lemas Alice ke trotoar, membuat wanita itu jatuh tak berdaya. Katon membuang tongkat bisbolnya dan memburu keluar untuk menolong Alice. "Kamu baik-baik saja?" Katon meraih lengan gadis itu dan membawa ke pelukannya. Ia merasakan tubuh Alice menggigil ketakutan. Morgan yang ikut berlari keluar, menatap bergantian ke arah Katon
Lelaki dewasa yang paling dekat dengan Katon berteriak sambil mengayunkan tongkat bisbolnya dengan ganas dan terarah ke kepala. Katon sudah tidak bisa lagi memikirkan posisi Morgan, terpaksa membiarkan sahabatnya bertarung demi dirinya sendiri. Katon membanting tubuhnya kesamping untuk menghindari pukulan tongkat bisbol sekaligus menyabet kaki penyerangnya. Pria lawannya jatuh berdebam di lantai keras dan mengeluarkan sumpah serapah. Katon kembali berdiri dan melancarkan pukulan ke arah dua pria yang mengeroyoknya dari sisi yang berbeda. Sudah tidak ada waktu untuk menggunakan jurus karate, Katon spontan menggunakan gaya petarung jalanan seperti yang Morgan biasa lakukan. Jab dan hook Katon bergantian menghajar musuh-musuhnya hingga jatuh. Upper cut-nya menghajar dagu satu musuh dan melemparkan lawan itu menabrak konter dapur, menghamburkan gelas di atasnya menjadi kepingan. Ketika mendapat ruang lebih leluasa, barulah Katon secara reflek mengeluarkan jurus karatenya. Katon mula
“A-aku ingin minta maaf atas apa yang sudah diperbuat oleh Brad.” Alice tergugu di depan Katon. “It's okay, Alice. Jangan khawatirkan aku," jawab Katon menenangkan wanita yang sedang ada di hadapannya saat ini dan melanjutkan kalimatnya dalam hati, “Pacarmu yang babak belur.” “Katon nyaris terluka, untunglah patroli polisi lewat sehingga Katon selamat. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi padanya kalau tidak ada patroli polisi,” imbuh Morgan manipulatif, tidak jauh berbeda dengan Katon. Dari balik sikap dinginnya, Morgan sengaja tunjukkan ekspresi kesedihan, untuk menambah keyakinan dari drama yang sudah Morgan dan Katon skenariokan. Mendengar semua ini, Alice spontan menumpahkan derai air mata lagi, di balik katupan kedua tangan ke wajah cantiknya. Alice terlihat sekali, menyesali apa yang terjadi pada pria yang disukainya ini. Perasaan empati Alice muncul, ketika cinta juga memberikan simpati. Katon melemparkan tatapan tajam ke arah Morgan ketika Alice menutup wajah da
Sebagai sahabat Katon, Morgan belajar pada kehidupan sahabat semenjak SMP-nya ini, yang entah bagaimana bisa keras dan berbahaya. Ia tidak langsung membuka pintu tapi memeriksa melalui kamera pengawas. “Tentu saja!” gerutu Morgan secepat matanya selesai memindai kamera pengawas. Pada kamera itu terpantul citra seorang wanita. Kulitnya sedikit kecoklatan, entah asli ataukah hasil dari berjemur di bawah matahari. Rambut panjangnya berwarna coklat keemasan. Wanita ini memiliki mata yang cantik yang saat ini memancarkan kekhawatiran. “Siapa?” tanya Morgan setelah memencet tombol interkom. “Uhm, ehm, apakah Katon ada? Dia baik-baik saja?” tanya wanita tersebut tanpa bisa menyembunyikan nada khawatir. “Motherfucker!” maki Morgan dalam hati. “Yea, ada. Dia ada. Dan pria itu baik-baik saja. Boleh aku tahu siapa namamu, Miss?” “Alice. Alice Wellington.” Morgan memastikan wanita itu ‘bersih’ dan dia membuka pintu sambil mengomel keras dalam hati. “Silakan masuk, Miss. Tunggulah di sini se
New York pagi hari. Katon membuka mata perlahan-lahan, ia bangun dari kasur empuk di apartemen mewahnya di Manhattan. Meskipun semalam ia baru saja berkelahi melawan enam orang, tidak ada tanda-tanda luka di tubuhnya. Dengan gerakan lincah, Katon bangkit dari tempat tidurnya dan bergegas menuju ruang olahraga pribadi. Baginya, latihan karate setiap pagi adalah kebutuhan. Latihan fisik dan mental ini menjadi sumber kekuatannya, memberikan ketenangan dan kesiapan untuk menghadapi segala tantangan yang akan datang. Setelah mengenakan pakaian olahraga yang nyaman, Katon mulai melakukan pemanasan dengan gerakan-gerakan yang lembut namun penuh konsentrasi. Tepat ketika Katon bersiap untuk memulai latihan karate yang intens, telepon genggamnya berdering. Dia mengambil ponsel dan melihat panggilan masuk dari Alice. Tanpa ragu, Katon menerima panggilan itu. "Pagi, Choco Girl! Apakah aku begitu mempesonamu sehingga sepagi ini kau sudah merindukanku?" sapa Katon dengan suara hangat. Alice t
“Eer ... siapa kalian?” tanya Katon keheranan. "Dengar, kau pikir kau bisa mendekati kekasihku begitu saja?" teriak salah satu dari enam pria tersebut sambil menunjuk jari pada Katon yang terkepung. Katon tersadar, ia sedang berhadapan dengan tidak lain dan tidak bukan adalah kekasih Alice dan teman-temannya. Katon berdiri dengan sikap yang berani, menatap tajam ke arah keenam pria yang mengancamnya. Dia tahu betul bahwa situasi ini bisa berujung buruk jika dia tidak berhati-hati. Beruntung Katon memiliki keahlian karate yang luar biasa. Dia terlatih dengan baik, dan dia tidak akan menyerah begitu saja. "Easy, Man!" ujar Katon dengan suara datar tanpa gentar kepada satu pria yang berusaha mengintimidasinya. "Aku tidak berniat mengganggu kekasihmu. Dan aku hanya mampir sesaat di apartemennya." Keenam pria Amerika itu saling pandang, menatap heran pada satu pria keturunan Amerika-Asia yang mereka kepung. Ini aneh. Pria itu tak kelihatan takut walau dikepung, membuat mereka ragu unt
“Bagaimana kalau aku mengantarmu pulang malam ini?” ucap seorang lelaki di sebuah coffeshop kepada salah satu pelayan wanita yang cantik. Wanita itu tersenyum mendengar tawaran yang manis dan mengangguk. Pria itu bahkan bersikap gentleman dengan membantu sang wanita menutup coffeshop karena ini adalah shift terakhir. Mereka menyusuri pedestrian dan menyeberangi beberapa blok menuju apartemen sang wanita sambil mengobrol ringan. Beberapa kali sang wanita tertawa dan memukul bahu sang pria dengan mesra, pertanda obrolan mereka menyenangkan dan sangat intim. Pintu apartemen di lantai tiga, menjeblak terbuka saat didorong dengan paksa. Dua tubuh yang saling berpelukan berputar dan masuk ke dalam apartemen. Kedua manusia ini saling memagut dalam ciuman yang panas dan penuh gairah. Kepala sang wanita mendongak, mengikuti pria yang lebih tinggi darinya. Bibir saling mengecap, lidah melibat. Sang pria mendesak hingga sang wanita terdorong ke dinding tanpa melepas pagutan bibirnya. Meskipun