310. Kedatangan keluarga Lisa (Bagian B)"Maksud kamu apa, Mbak? Kok, sebegitunya menuduh kami? Kami juga tidak akan pernah mau menyuruh Mas Aji untuk menceraikan Mbak Lisa, Mas Aji itu melakukan itu semua atas dasar keinginannya sendiri. Mbak kira dia itu orang bodoh yang bisa diatur-atur seenaknya?!" tanyaku dengan nada kesal."Halah, sudahlah, An. Kamu itu nggak usah kebanyakan ngomong! Aku tahu yang ada di dalam otakmu itu apa. Kamu pasti berpikir, kan untuk menyingkirkan aku segera, supaya kamu bisa menjadi menantu satu-satunya di keluarga ini. Iya, kan? Kamu iri, kan, sama aku yang selalu lebih disayang oleh Ibu, apapun keinginanku selalu dikabulkan oleh Ibu dan juga Bapak. Iya, kan? Kamu iri. Iya, kan?!" katanya lagi dengan nada, dan juga kata-kata yang berulang-ulang."Aku nggak iri, buat apa iri sama orang kayak Mbak? Nggak ada gunanya sama sekali," ketusku sambil membuang muka."Orang kayak aku? Maksud kamu itu apa? Ngomong yang jelas! Jangan bersikap seolah-olah kamu itu ad
311. Kedatangan keluarga Lisa (Bagian C)"Yah, sebagai ibunya seharusnya situ lebih mengerti, anak situ itu barang atau binatang?!" Bi Ramlah tersenyum mengejek."Sudah, sudah! Pokoknya aku itu nggak mau bercerai dari Mas Aji. Apapun yang Mas bilang aku itu tetap istri Mas dan aku nggak mau bercerai!" kata Lisa dengan tidak tahu malunya. "Tapi, maaf. Aku tetap mau bercerai denganmu, karena aku sudah tidak mau lagi menjalin hubungan rumah tangga yang toxic dan juga menyakitkan!" kata Mas Aji dengan ketus."Aku ini masih istrimu, Mas. Pokoknya aku tidak mau bercerai, dan aku anggap yang tadi malam adalah salah satu mimpi buruk. Dan kamu itu ngelindur!" kata Lisa dengan ngawur."Mana bisa begitu, Mbak. Yang namanya ikrar talak yang sudah diucapkan oleh seorang suami yaitu sah secara agama, apalagi mas Aji saja sudah mau mendaftarkan perceraian kalian ke pengadilan agama. Jadi tidak ada lagi yang bisa Mbak lakukan!" kataku dengan sewot. "Dan kalau memang kalian itu mau rujuk, harus ada p
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)312. Ancaman Juragan Karta (Bagian A)Aku tidak duduk di ruang tamu, karena sofa mewah milik Ibu tidak bisa menampung kami semua. Aku dan Bi Ramlah duduk di bawah, bersama Rosa yang menyandarkan tubuhnya ke dinding dan memainkan ponselnya, ada juga Marwan yang duduk di depan pintu sambil menyalakan rokoknya dan mulai menghisapnya dengan nikmat. Sehingga di sofa hanya ada Bapak yang duduk di sofa tunggal, Mas Aji dan Ibu yang duduk bersebelahan, sedangkan di sofa depan mereka ada Lisa yang duduk bersama Bu Maryam, Juragan Karta mengambil tempat duduk di sofa tunggal lainnya. Dari bawah sini, aku bisa melihat mereka semua dengan sangat leluasa, tanpa harus kelihatan kalau aku memperhatikan.“Kita ini sudah tua, Bu. Apa ndak bisa kalau bertamu itu yang sopan? Ndak perlu bengok-bengok seperti itu, kami belom tuli, indra pendengaran kami masih sangat bagus dan berfungsi dengan sangat baik!” Bapak memulai pembicaraan.Wajahnya kuyu d
313. Ancaman Juragan Karta (Bagian B)"Tahu apa, Pak Amran? Jangan sampai kalian ini menutup-nutupi sesuatu, bisa saja sebenarnya tidak terjadi apa-apa. Karena saya bisa melihat kalau anak saya juga saat ini dalam keadaan bingung, dia tidak tahu menahu mengenai kesalahannya sedikitpun!" ujar Bu Maryam dengan cepat."Loh, menutup-nutupi sesuatu bagaimana, Bu? Kami tahu mengenai kesalahan Lisa, tapi sengaja tidak kami katakan, karena itu adalah aib, dan di sini ada orang luar," sahut Bapak sambil menatap juragan Karta dengan tajam.Apalagi memang sofa tunggal yang Bapak duduki, dan juga sofa tunggal yang diduduki oleh juragan Karta berhadapan. Mereka bisa saling memandang dengan leluasa.Juragan Karta langsung terkekeh kecil saat melihat tatapan Bapak yang tajam seperti silet, seolah-olah Bapak mertuaku itu memang menunjukkan secara terang-terangan, kalau dia tidak menyukai keberadaan juragan Karta disini."Abaikan saja aku, Am! Aku hanya ingin mendengar apa alasan Mbak Lisa tidak menge
314. Ancaman Juragan Karta (Bagian C)"Duh, maaf ini, Juragan. Tapi Juragan itu nggak berhak loh marah-marah sama anak saya seperti ini! Bagaimanapun juga, anak saya itu sedang berusaha untuk membayar uang tabungan anak-anak yang dia pakai, dan juragan juga nggak berhak untuk menghakimi anak saya seperti ini. Kok, malah mau mengadukan ke atasannya. Itu kan nggak etis namanya," ujar Bu Maryam sambil menatap Juragan Karta dengan pandangan tajam."Nggak etis dari mana? Heh, Bu, jangan main-main sama saya, ya! Saya ini bisa melaporkan Lisa ke kantor dinas langsung, kalau kalian itu memang tidak bisa bersikap kooperatif!" Juragan Karta mendelik lebar."Ya, nggak etis, lah, Juragan. Begini, loh, maksud saya ini—" Bu Maryam menegakkan duduknya dan bersiap-siap untuk berbicara panjang lebar. "Lisa ini itu punya suami, suaminya itu si Aji. kalau Lisa menggunakan uang tabungan anak-anak, berarti itu artinya bukan dia sendiri yang menghabiskan uang tersebut, Aji juga termasuk, lah. Sekarang kena
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)315. Terbongkar kenyataan (Bagian A)“Mas, kamu jangan macam-macam, ya! Bercandaan kamu ini udah nggak lucu, tahu nggak, sih” Lisa berujar dengan lumayan ketus.Namun tetap saja, raut paniknya tidak bisa ditutupi oleh dirinya. Wajahnya yang memang cantik dan juga glowing itu, terlihat panik dan juga was-was.Sama seperti anak tengahnya, Bu Maryam juga terlihat gusar. Dia berkali-kali melihat Mas Aji dan juga Bapak secara bergantian, mungkin untuk memastikan kalau ucapan Mas Aji tadi bukanlah suatu bercandaan saja.“Astagfirullahaladzim, Aji. Nggak boleh kamu ngomong begitu, Marwan itu adik kamu. Kok, bisa-bisanya kamu berbicara seperti itu dengan sangat entengnya? Kamu itu udah nggak ngeliat Ibu? nggak ngeliat Bapak? Nggak menghargai kami lagi?” tanya Bu Maryam dengan sinis.“Kebetulan saya tidak bercanda, Bu. Karena saya memang berencana untuk melaporkan Marwan ke polisi, jika sampai uang saya investasikan sebanyak enam ratus j
316. Terbongkar kenyataan (Bagian B)"Tentu banyak pertimbangan sebelum melakukan hal tersebut, kalian mempunyai anak, sudah hidup beberapa tahun bersama? Lalu dengan satu kesalahan saja, kamu mau menceraikan adikku? Begitu? Wah, itu sudah tidak waras namanya!" kata Rosa lagi.Mas Aji masih diam, hanya mendengarkan kata-kata Rossa dengan raut wajah yang terlihat amat tenang. Begitu juga dengan Bapak dan kami semua, kami sama sekali tidak memotong ucapan dari anak sulung Bu Maryam dan juga Pak Parto itu. Membiarkan dia mengeluarkan semua unek-uneknya.Sedangkan wajah Lisa dan juga keluarganya terlihat pongah, mereka sepertinya merasa bangga karena Rosa bisa membela keluarga mereka di hadapan kami semua."Benar apa yang dikatakan mbakmu, seharusnya kamu itu banyak berpikir, Ji. Berulang kali memikirkan hal ini, perceraian itu bukan hal yang mudah, malah sangat dibenci oleh gusti Allah. Kok, bisa-bisanya kamu mengucapkan kata cerai dengan sangat enteng seperti itu? Tidak masuk akal, jika
317. Terbongkar kenyataan (Bagian C)"Lagi pula, uangnya itu tidak digunakan oleh Marwan. Uangnya itu diberikan kepada temannya untuk investasi batubara di Kalimantan sana, lah, kok bisa kalian ini menuduh Marwan yang menilep uang kalian itu? Kalian ini waras atau tidak, sih? Seharusnya kalian itu bersyukur, karena Marwan itu mau melipatgandakan uang yang Aji miliki, agar tidak habis begitu saja!" kata Bu Maryam Lagi."Melipatgandakan yang anak saya miliki? Maksudnya itu bagaimana ya, Bu? Asal Bu Maryam tahu saja, Aji dan juga Lisa itu mendapatkan uang enam ratus juta yang dititipkan kepada Marwan itu, dengan cara meminjam uang kepada rentenir! Itu orangnya!" kata Ibu sambil menunjuk juragan Karta, yang duduk di sofa tunggal sebelah sana.Juragan Karta sendiri tidak terlihat terkejut, dia malah menaikkan tangannya dan melambai dengan santai ke arah Bu Maryam dan juga Lisa.“Nah, sekarang Bu Maryam tahu, kan? Aji harus merelakan kebun sawit miliknya digadai kepada Karta, untuk mendapat