280. Biang Masalah! (Bagian B)"Tapi mau bagaimanapun juga, aku hanya berharap Aji bisa segera melalui hal ini, Bu," kata Amran tiba-tiba. "Ide menjual kebunnya itu memang bagus, terpikirkan begitu saja tadi. Tetapi pertanyaannya adalah, siapa yang mau membeli kebun seluas itu? Dan benar yang Ibu bilang menjual kebun tidaklah sama seperti menjual kacang goreng, tentu saja sulit dan susah!" kata Amran lagi."Carikan saja orang yang mau membeli kebun itu, daripada pusing-pusing, Pak. Infokan sama saudara-saudara, atau tetangga, atau kenalan kita. Aku sudah tidak mau lagi pusing-pusing untuk memikirkan hal itu!" kata Sri menyahuti. "Toh, jika untuk Naufal dan juga Salsa, kebun kita masih banyak. Untuk stok cucu-cucu kita nanti, kita tidak kekurangan, Pak!" kata Sri lagi."Iya, aku juga mikir begitu, Bu. Bukannya aku tidak mau menebus hutang Aji pada Karta, tapi aku hanya mau dia jera dan tidak berbuat seenaknya lagi. Aku mau dia berubah, dan menghargai uang!" sahut Amran dengan mantap."
281. Biang Masalah! (Bagian C)"Sebenarnya kalau pakai sosis juga enak lho, An. Kita bisa bakar sosis buat cemilan," ujar Mas Aji, sambil ikut mengacungkan jempolnya juga.Aku memutar bola mataku, dan langsung bergegas pergi. Sama sekali tidak mau mendengarkan kata-kata Mas Aji tadi, enak sekali dia. Sudah numpang makan, malah request untuk dibuatkan sosis bakar pula."Ana! Jangan lupa beli sosis!" Mas Aji sempat memekik, namun aku menghiraukan pekikannya dan melajukan motorku secepat kilat.Saat melewati rumah Ibu, aku bisa melihat motor Bapak masih ada di depan, dan itu artinya Bapak belum pergi ke sawah. Apa aku mengajak Ibu saja untuk ke pasar ?Mana tahu Ibu ingin membeli sesuatu, kan?Ah, tetapi aku mengurungkan niatku setelah berpikir sejenak, karena mungkin saja saat ini Ibu sedang beristirahat. Dia terbiasa tidur siang, dan tidak menutup kemungkinan kalau saat ini Ibu sedang tertidur, dan jika aku ke sana maka aku akan mengganggu waktu istirahatnya.Aku langsung mengegas motor
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)282. Fitnah Lisa! (Bagian A)Aku terpaku, bagaimana bisa Lisa melakukan hal ini? Itu artinya, dia pergi dari rumah demi menghindari semua masalah dan melimpahkan segalanya pada pundak Mas Aji. Kenapa dia sejahat ini, sih?Astagfirullahaladzim! Aku benar-benar tidak menyangka kalau dia sepicik itu, padahal dia adalah istri Mas Aji, tetapi dia bersikap seolah-olah mereka adalah musuh, karena dia melemparkan tanggung jawab yang seharusnya ada pada dirinya kepada Mas Aji.“Nah! Bener, kan? Dia pergi dari rumah! Kamu ngapain bohong sama Mbak, An? Mbak ini tidak suka bergosip, kok!” kata Mbak Rini tiba-tiba.“Bukan seperti itu, Mbak. Aku hanya tidak mau mengumbar urusan keluarga kepada orang banyak,” kataku dengan lesu.Aku lalu mengembalikan ponsel Mbak Rini kepada pemiliknya, dia lalu mengutak-atik ponselnya tersebut tanpa melihat ke arahku sama sekali. Sedangkan aku saat ini hanya terdiam lesu, berdiri menatap kosong ke arah tumpuka
283. Fitnah Lisa! (Bagian B)“Kirimi aku screenshot status Mbak Ruli, dan juga screenshot percakapan Mbak dan juga Mbak Lisa tadi,” kataku sambil menangkupkan kedua tanganku di depan dada.“Oh, kalau itu nggak masalah. Bisa Mbak kirimkan, Mbak pikir tadi kamu mau pinjam uang, kalau pinjam uang … Mbak angkat tangan. Uang Mbak tidak ada, soalnya dagangan hari ini belum terlalu laku padahal sudah menjelang sore,” kata Mbak Rini sambil kembali membuka tutup toples Khong Guan miliknya.“Nggak Mbak, aku nggak mau pinjam uang, kok. Tenang aja! Aku cuman mau minta screenshot-an punya Mbak tadi,” kataku sambil terkekeh kecil, aku lalu mengambil ponselku di dalam saku tunik yang aku pakai. Tak lama kemudian aku bisa mendengar ada pesan masuk dari nomor Mbak Rini.Dia mengirim dua buah foto, yang pertama screenshot dari status Mbak Ruli dan yang kedua adalah screenshot dari percakapan Mbak Rini dan juga Lisa.“Kamu mau ngelaporin ini sama Aji dan juga mertuamu, An?" tanya Mbak Rini ingin tahu.
284. Fitnah Lisa! (Bagian C)"Oh, kami mau ketemu sama Bu Sri dan juga Pak Amran. Tapi dari tadi, kami panggil-panggil belum ada sahutan sama sekali, Mbak," kata Mbak Suci sambil tersenyum."Oh, mungkin Bapak dan juga Ibu sedang tidur siang. Soalnya ini kan, memang masih jam tidur siang. Nggak apa-apa, Mbak. Duduk dulu, biar saya yang manggil Bapak sama Ibu," kataku sambil mempersilahkan mereka duduk di kursi teras."Wah, terima kasih banyak ya Mbak Ana, kalau tidak ada Mbak Ana kami pasti bingung karena Bu Sri dan juga Pak Amran tidak bisa dipanggil dari tadi," kata Mbak Suci sambil tersenyum kecil. "Ayo Bude, kita duduk dulu," kata Mbak Suci sambil duduk terlebih dahulu, dan diikuti oleh Ibu yang lebih tua.Aku langsung mengangguk dan berjalan ke arah samping, mengelilingi rumah Ibu yang besar dan sampai ke pintu dapur. Di sana aku langsung mendorong pintu yang memang jarang terkunci itu, lalu masuk ke dalam dengan leluasa."Assalamualaikum, Bu! Ibu!" Aku mengetuk pintu kamar Ibu ya
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)BAB 105Kredit Emas!Aku mengikuti langkah kaki Mbak Suci untuk masuk ke dalam rumah Ibu, di sana sudah ada Ibu dan juga kedua orang paruh baya yang dipanggil oleh Ibu, dengan sebutan ‘Mbak Yu, dan juga Mbak Jum’ itu.Jemariku bergetar pelan, dan bahkan bulu kudukku meremang dan berdiri. Aku sangat takut dengan respon yang akan Ibu berikan, saat mendengar ucapan Kak Suci tadi, entah kenapa walaupun bukan aku yang berbuat tetapi aku yang merasa ketakutan.Saat Mbak Suci sudah mendudukkan dirinya di sofa, aku langsung bergegas ke arah dapur untuk membuatkan mereka minum. Namun ternyata Ibu malah ikut bangkit, dan berpamitan kepada dua orang tamunya itu."Tunggu sebentar ya, Yuk Jum, Suci, kalau memang mau bertemu sama bapaknya Aji juga, biar aku bangunkan dulu. Soalnya suamiku lagi tidur, Yuk," kata Ibu sambil berjalan untuk kembali masuk ke kamar.Saat kami berjalan berdampingan di lorong, aku bisa mendengar Ibu yang berbisik, "me
286. Kredit Emas! (Bagian B)“Bingung? Bingung kenapa, Yuk? Ya sudah bilang saja, kalau aku dan bapaknya Aji bisa membantu ya pasti kami bantu,” kata Ibu dengan lembut.“Begini loh, Sri, Am. Aku ini sebenarnya tidak enak mau ngomong sama kalian, karena kalian sama sekali tidak bersangkutan dengan hal ini,” kata Bude Jum lagi, dia menatap Mbak Suci.“Memangnya ngomong opo toh, Yuk? Jangan buat kami penasaran seperti ini, aku jadi deg-degan loh,” sahut Ibu sambil tertawa kecil.“Begini, Sri. Lima bulan yang lalu, menantumu— si Lisa mengambil kreditan emas kepadaku,” kata Bude Jum dengan penuh kehati-hatian.Dan aku langsung bisa melihat Ibu dan juga Bapak yang langsung melotot, dan saling berpandangan. Sepertinya mereka sudah bisa menarik kesimpulan, tentang apa maksud kedatangan Bude Jum ke sini, tidak lain dan tidak bukan pasti tentang Lisa.“Maaf, Yuk. Maksudnya bagaimana, ya?” tanya Bapak, dengan raut bingung yang terlihat jelas di wajah tuanya.“Lima bulan yang lalu, Lisa mengambil
287. Kredit Emas! (Bagian C)“Iya, Yuk. Yayuk tenang saja, kami mengerti kok,” balas Ibu sambil menghela nafas panjang.“Apakah benar, dia memang pergi ke rumah orang tuanya dan tinggal di sana, Sri?” tanya Bude Jum sambil menatap Ibu dengan penuh pertanyaan. “Soalnya tadi, dia juga bilang kalau dia akan tinggal di rumah orang tuanya dan tidak akan kembali lagi ke desa ini,” lanjut Bude Jum lagi.“Entahlah, Yuk. Aku juga belum jelas bagaimana permasalahan mereka, tapi aku yakin kalau Aji dan juga Lisa pasti bisa menyelesaikannya dengan kepala dingin, karena mereka sudah dewasa, dan sudah mempunyai anak dua,” kata Ibu sambil tersenyum kecil.Bude Jum sepertinya sudah mengerti, kalau Ibu tidak ingin membahas hal ini lagi. Makanya dia langsung berpamitan bersama Mbak Suci, mereka pulang setelah berbahasa-basi sebentar kepada Ibu dan juga Bapak.Bapak dan Ibu kemudian menghela nafas dengan kompak, mereka menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa, dan menatap langit-langit ruangan, lagi-lagi