193. Persidangan yang alot! (Bagian B)"Dia siapa, Bi?" tanyaku berbisik ke arah Bi Ramlah."Oh, si Runa? Anak Pak Kades yang dulu itu," sahut Bi Ramlah lagi."Hemmm? Yang mana?" tanyaku ingin tahu."Dulu, mantan kades yang kemarin. Itu anaknya, kerja di desa setelah selesai dengan pendidikannya di kota," kata Bi Ramlah lagi."Ohhh, aku kok nggak tahu ya, Bi?" tanyaku dengan bingung."Ya nggak tahu, padahal si Runa udah dua tahun kerja di kantor desa," sahut Bi Ramlah lagi. "Makanya jangan cuma di rumah aja, An," cibirnya padaku.Aku hanya menatapnya dengan pandangan datar, benar-benar kesal dengan ejekan yang Bi Ramlah lontarkan. Namun, sepertinya Bi Rlah tidak ambil pusing dan malah mendekatkan dirinya ke arahku dan berbisik kecil yang sukses membuat aku menganga. "Runa itu mantan pacarnya si Aji, putus gara-gara Aji selingkuh dengan Lisa. Soalnya si Runa masih SMA dan Aji sudah bekerja dulu, dan ketemu sama Lisa!"Wah, pantas saja Lisa ketus sekali, ada kaitannya dengan masa lalu
194. Persidangan yang alot! (Bagian C)"Ya harus tahu aja kami itu kan kalau di rumah harus punya pembicaraan. Entah itu mengenai pekerjaan, ataupun mengenai orang-orang di desa ini. Lah kalau berita sebesar ini, dia harus tahulah," kata Bi Ramlah lagi.Aku hampir menepuk jidatku karena mendengar kata-kata Bi ramlah barusan, ternyata dia dan juga Pak Lek sama sama tukang gosip. Pantas saja mereka ini dijuluki pasangan yang sangat klop, walaupun kehidupannya yang kurang beruntung.Masih mengontrak, dan juga bekerja sebagai kuli bangunan, sama seperti kehidupanku yang dulu. Tapi Bi Ramlah dan juga Pak Lek, memang sangat jarang bertengkar, bahkan bisa dibilang tidak pernah bertengkar.Ternyata rahasianya ini, mereka mempunyai hobi yang sama, makanya menjadi pasangan yang sangat klop. Aku kembali menetap ke arah depan, saat mendengar Mbak Ruli yang terkekeh dan juga menatap Lisa dengan pandangan tajam."Jawab dong, gimana itu nasib tabungan anak-anak kami? Ingat ya Lisa, kalau kamu tidak
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)195. Amarah Bapak! (Bagian A)Semuanya kembali hening, setelah tadi Pak Kades yang berteriak, kini Bapak yang melakukan hal itu. Dia menatap Mas Aji dengan pandangan tajam, dan juga tatapan memperingatkan."Kami akan bertanggung jawab tentunya, tapi mohon untuk di selesaikan sampai di sini. Kita bisa berbicara secara kekeluargaan di rumah," lanjut Bapak lagi.Setelah sebelumnya dia sedikit berteriak, agar menarik atensi orang-orang yang sudah sangat tertarik dengan Mas Aji dan juga Mas Badra yang sepertinya akan ikut bergelut melanjutkan perkelahian istri-istri mereka tadi."Bagaimana, Badra? Ruli? Bisa kita bicarakan di rumah saja? Tentunya dengan cara kekeluargaan!" kata Bapak lagi.Mas Badra langsung menatap Mbak Ruli, lelaki itu langsung menatap keluarganya yang lain. Dan orang tua Mbak Ruli hanya mengangguk menyetujui, hingga membuat kedua mertuaku langsung tersenyum lega."Kalau Pakde yang bicara begitu, maka saya ikut saja
196. Amarah Bapak! (Bagian B)Aku hanya bergidik ngeri, kemudian menatap ke arah depan dengan pasti. Namun diam-diam mataku tetap memantau Ibu dan juga pasangan Mas Aji serta Lisa di belakang, menggunakan kaca spion.Aku bisa melihat wajah Ibu yang memerah, terlihat sekali kalau beliau sedang menahan amarah."Ibu tidak mau tahu kalian itu punya janji dengan siapa, mau itu presiden kek, gubernur kek, yang penting kalian harus ke rumah sekarang! Karena Ibu dan Bapak mau berbicara dengan kalian, dengar?!" kata Ibu dengan ketus.Dia lalu naik ke boncengan, namun matanya tetap menoleh ke belakang. "Cepat! Kalian berjalan duluan, dan kami yang di belakang. Karena kalau tidak begitu, Ibu tidak yakin kalau kalian akan mengikuti kami. Bisa saja kalian kabur!" kata Ibu lagi.Aku bisa melihat wajah Mas Aji dan juga Lisa yang terlihat ogah-ogahan, tapi melihat amarah Ibu mereka sepertinya ciut juga. Karena Mas Aji langsung naik ke motor, begitu juga dengan Lisa dan mereka melaju di depan kami den
197. Amarah Bapak! (Bagian C)"Iya, bisa mencapai puluhan juta. Bayangin aja, soalnya si Jessi itu kan sampai lima juta sendiri, si Alif enam ratus ribu, belum lagi yang lain-lainnya. Bisa jadi ada yang satu jutaan, ada yang lima ratus ribuan, ada yang tiga ratus ribuan, kan kita nggak tahu," kata Bi Ramlah sambil mengangkat bahunya."Wah, banyak banget ya, Bi," kataku sambil menggeleng kecil, merasa takjub juga mendengarnya."Ya banyak, cuman kita nggak tahu uangnya itu untuk apa. Nggak kelihatan uangnya, kan? Buktinya motor mereka sampai ditarik loh sama pihak leasing, kan itu artinya mereka tidak mengalokasikan uang tabungan itu untuk membayar motor mereka. Jadi pertanyaannya sekarang adalah, uang tabungan itu ke mana?" tanya Bi Ramlah dengan nada bijak.Aku mengangguk membenarkan, memang pertanyaan ini masih sering bercokol di pikiranku ke mana sebenarnya uang mereka yang banyak itu? Tetapi aku juga tidak punya hak untuk mempertanyakannya, jadi aku hanya menatap Bi Ramlah sambil t
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)198. Lisa dan Aji mati kutu! (Bagian A)"A—apa?" Lisa memekik kecil.Dia langsung menatap Mas Aji dengan pandangan gamang, dia kelihatannya sedang gugup dan juga panik saat ini matanya bergerak liar, ke kiri dan ke kanan. Sedangkan tubuhnya terlihat bereaksi, hal yang sama dengan mimik wajahnya. Dia bergerak gelisah, seolah dia tengah menduduki duri-duri tajam. Padahal yang dia duduki adalah sofa empuk dan mahal milik Ibu."Iya, silahkan sekarang kalian ke bank dan ambil uang itu. Lalu tunjukkan kepada Bapak, jika memang uang tabungan anak muridmu masih utuh!" kata Bapak lagi.Lisa dan juga Mas Aji langsung bertatapan, namun setelahnya aku bisa melihat Lisa yang memberi kode kepada Mas Aji sehingga membuat Kakak sulung suamiku itu menggeleng. Entah apa yang mereka pikirkan, tapi aku yakin mereka saat ini pasti sedang merencanakan sesuatu."Pak, sepertinya ini bukan ide yang bagus kalau sekarang kami ke bank. Karena aku dan juga L
199. Lisa dan Aji mati kutu! (Bagian B)Dan sekarang inilah, aku bisa melihat Ibu dan juga Bapak yang menghela nafas bersamaan. Lalu menyandarkan tubuh mereka di sandaran sofa, sambil menatap Mas Aji dan juga Lisa dengan pandangan lelah."Kamu itu nggak kasihan sama Ibu, Ji? Ibu itu udah capek banget, ngeliatin tingkah laku kalian yang selalu membuat onar, yang selalu membuat ulah. Ibu ini udah tua, Ji. Bapak udah tua! Apa kalian itu nggak bisa membuat kami ini tenang? Jangan ada masalah, gitu loh!" kata Ibu dengan nada putus asa. "Belum masalah motor kalian yang ditarik pihak leasing, belum lagi masalah kalian yang tidak mempunyai uang, eh … sekarang malah kasus memakan uang tabungan anak sekolah. Ibu pusing, Ji! Ibu pusing, Sa! Kalian ini kenapa tidak pernah memberikan ketenangan dan kebahagiaan kepada Ibu? Selalu saja membuat masalah, selalu saja membuat orang menjadi gelisah!" lanjut Ibu lagi.Lisa memutar bola matanya dengan malas, dan di titik ini aku benar-benar merasa geram me
200. Lisa dan Aji mati kutu! (Bagian C)"Apa maksud Bibi? Bibi bermaksud, kalau kami ini berbohong? Iya begitu?" tanya Lisa tidak terima."Loh, aku nggak ada bilang kalian itu berbohong, tapi logikanya saja … kalau memang uang itu ada di tabungan kalian, jelas saja kalian tuh gampang mengambilnya dan membagikannya kepada siswa yang sudah menabung pada Lisa. Tapi nyatanya apa? Sampai satu minggu pembagian raport, kalian itu belum bisa mengembalikan uang tersebut. Aku jadi penasaran, sebenarnya uang itu berada di mana? Apa mungkin uang itu digunakan Lisa untuk suntik broson lagi?" tanya Bi Ramlah sambil menaikkan alisnya."Kromosom, Bi! Kromosom!" kataku membenarkan kata-katanya."Iya, An, Iya! Brosom, kan?" tanya Bi Ramlah dengan percaya dirinya.Aku hanya mengangguk, karena aku tahu semua ini akan sia-sia saja. Bi Ramlah tidak akan bisa mengikuti kata-kata kromosom yang sudah aku katakan dia hanya tahu borosom. Jadi sepertinya, akan sulit jika harus dipaksakan, dan lebih baik aku meng