196. Amarah Bapak! (Bagian B)Aku hanya bergidik ngeri, kemudian menatap ke arah depan dengan pasti. Namun diam-diam mataku tetap memantau Ibu dan juga pasangan Mas Aji serta Lisa di belakang, menggunakan kaca spion.Aku bisa melihat wajah Ibu yang memerah, terlihat sekali kalau beliau sedang menahan amarah."Ibu tidak mau tahu kalian itu punya janji dengan siapa, mau itu presiden kek, gubernur kek, yang penting kalian harus ke rumah sekarang! Karena Ibu dan Bapak mau berbicara dengan kalian, dengar?!" kata Ibu dengan ketus.Dia lalu naik ke boncengan, namun matanya tetap menoleh ke belakang. "Cepat! Kalian berjalan duluan, dan kami yang di belakang. Karena kalau tidak begitu, Ibu tidak yakin kalau kalian akan mengikuti kami. Bisa saja kalian kabur!" kata Ibu lagi.Aku bisa melihat wajah Mas Aji dan juga Lisa yang terlihat ogah-ogahan, tapi melihat amarah Ibu mereka sepertinya ciut juga. Karena Mas Aji langsung naik ke motor, begitu juga dengan Lisa dan mereka melaju di depan kami den
197. Amarah Bapak! (Bagian C)"Iya, bisa mencapai puluhan juta. Bayangin aja, soalnya si Jessi itu kan sampai lima juta sendiri, si Alif enam ratus ribu, belum lagi yang lain-lainnya. Bisa jadi ada yang satu jutaan, ada yang lima ratus ribuan, ada yang tiga ratus ribuan, kan kita nggak tahu," kata Bi Ramlah sambil mengangkat bahunya."Wah, banyak banget ya, Bi," kataku sambil menggeleng kecil, merasa takjub juga mendengarnya."Ya banyak, cuman kita nggak tahu uangnya itu untuk apa. Nggak kelihatan uangnya, kan? Buktinya motor mereka sampai ditarik loh sama pihak leasing, kan itu artinya mereka tidak mengalokasikan uang tabungan itu untuk membayar motor mereka. Jadi pertanyaannya sekarang adalah, uang tabungan itu ke mana?" tanya Bi Ramlah dengan nada bijak.Aku mengangguk membenarkan, memang pertanyaan ini masih sering bercokol di pikiranku ke mana sebenarnya uang mereka yang banyak itu? Tetapi aku juga tidak punya hak untuk mempertanyakannya, jadi aku hanya menatap Bi Ramlah sambil t
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)198. Lisa dan Aji mati kutu! (Bagian A)"A—apa?" Lisa memekik kecil.Dia langsung menatap Mas Aji dengan pandangan gamang, dia kelihatannya sedang gugup dan juga panik saat ini matanya bergerak liar, ke kiri dan ke kanan. Sedangkan tubuhnya terlihat bereaksi, hal yang sama dengan mimik wajahnya. Dia bergerak gelisah, seolah dia tengah menduduki duri-duri tajam. Padahal yang dia duduki adalah sofa empuk dan mahal milik Ibu."Iya, silahkan sekarang kalian ke bank dan ambil uang itu. Lalu tunjukkan kepada Bapak, jika memang uang tabungan anak muridmu masih utuh!" kata Bapak lagi.Lisa dan juga Mas Aji langsung bertatapan, namun setelahnya aku bisa melihat Lisa yang memberi kode kepada Mas Aji sehingga membuat Kakak sulung suamiku itu menggeleng. Entah apa yang mereka pikirkan, tapi aku yakin mereka saat ini pasti sedang merencanakan sesuatu."Pak, sepertinya ini bukan ide yang bagus kalau sekarang kami ke bank. Karena aku dan juga L
199. Lisa dan Aji mati kutu! (Bagian B)Dan sekarang inilah, aku bisa melihat Ibu dan juga Bapak yang menghela nafas bersamaan. Lalu menyandarkan tubuh mereka di sandaran sofa, sambil menatap Mas Aji dan juga Lisa dengan pandangan lelah."Kamu itu nggak kasihan sama Ibu, Ji? Ibu itu udah capek banget, ngeliatin tingkah laku kalian yang selalu membuat onar, yang selalu membuat ulah. Ibu ini udah tua, Ji. Bapak udah tua! Apa kalian itu nggak bisa membuat kami ini tenang? Jangan ada masalah, gitu loh!" kata Ibu dengan nada putus asa. "Belum masalah motor kalian yang ditarik pihak leasing, belum lagi masalah kalian yang tidak mempunyai uang, eh … sekarang malah kasus memakan uang tabungan anak sekolah. Ibu pusing, Ji! Ibu pusing, Sa! Kalian ini kenapa tidak pernah memberikan ketenangan dan kebahagiaan kepada Ibu? Selalu saja membuat masalah, selalu saja membuat orang menjadi gelisah!" lanjut Ibu lagi.Lisa memutar bola matanya dengan malas, dan di titik ini aku benar-benar merasa geram me
200. Lisa dan Aji mati kutu! (Bagian C)"Apa maksud Bibi? Bibi bermaksud, kalau kami ini berbohong? Iya begitu?" tanya Lisa tidak terima."Loh, aku nggak ada bilang kalian itu berbohong, tapi logikanya saja … kalau memang uang itu ada di tabungan kalian, jelas saja kalian tuh gampang mengambilnya dan membagikannya kepada siswa yang sudah menabung pada Lisa. Tapi nyatanya apa? Sampai satu minggu pembagian raport, kalian itu belum bisa mengembalikan uang tersebut. Aku jadi penasaran, sebenarnya uang itu berada di mana? Apa mungkin uang itu digunakan Lisa untuk suntik broson lagi?" tanya Bi Ramlah sambil menaikkan alisnya."Kromosom, Bi! Kromosom!" kataku membenarkan kata-katanya."Iya, An, Iya! Brosom, kan?" tanya Bi Ramlah dengan percaya dirinya.Aku hanya mengangguk, karena aku tahu semua ini akan sia-sia saja. Bi Ramlah tidak akan bisa mengikuti kata-kata kromosom yang sudah aku katakan dia hanya tahu borosom. Jadi sepertinya, akan sulit jika harus dipaksakan, dan lebih baik aku meng
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)201. Investasi Tambang Batu Bara (Bagian A)POV AUTHOR“Jangan ngebut-ngebut, Bi. Aku belum mau mati!” Lisa berujar ketus.Dia yang saat ini sedang berada di boncengan, menepuk bahu Ramlah beberapa kali. Sedangkan wanita yang masih muda, namun sudah dipanggil Bibi itu hanya mendengus dan melajukan motornya semakin kencang, tidak menghiraukan permohonan yang baru saja Lisa ajukan.Ramlah sepertinya memang ingin menulikan telinganya, dari permohonan-permohonan Lisa yang sedari tadi sudah terdengar, mulai dari mereka keluar dari halaman rumah Sri, Lisa sudah memohon.Yang harus pelan-pelan lah, yang mau kencing lah, yang mau minumlah, dan masih banyak yang lainnya. Ramlah jadi mengambil kesimpulan, kalau Lisa sepertinya ingin mengulur waktu dan memperlambat perjalanan mereka menuju bank.“Bi, dengar nggak, sih? Aku bilang, jangan ngebut-ngebut bawa motornya!” Lisa kembali berujar, sedikit berteriak sebenarnya dan hal itu sanggup mem
Tetapi ternyata pasangan keponakannya ini malah tidak mempunyai pikiran sama sekali. Mereka malah bertindak sesuka hati dan membuat kedua orang tuanya rugi. Ramlah tidak habis pikir, bagaimana bisa anak yang dulu begitu baik hati seperti Ajin menjadi anak yang begitu kurang ajar seperti saat ini."Bibi kok ikut-ikutan, sih? Bibi pikir aku nggak punya uang tabungan? Begitu?!" tanya Lisa tidak terima. "Yang bilang kamu itu nggak punya uang tabungan siapa? Aku sih bilang kalau uang anak-anak itu tidak ada di dalam tabunganmu! Bapak dan juga Ibumu jelas akan murka. Kalau uang tabungan, sih, bisa saja di dalam rekening kamu hanya ada uang seratus ribu. Nah itu uang tabungan juga kan? Tetapi yang dilihat kan nominalnya. Benarkah nominalnya itu ada pada tempatnya, ataukah sudah berkurang jauh?" kata Ramlah lagi. Lisa langsung Diam. Dia sama sekali tidak menanggapi kata-kata Ramlah, karena dia merasa bagaimanapun dia berbicara, tentu saja Ramlah akan tetap menangkis semua ucapannya. "Oh
203. Investasi Tambang Batu Bara (Bagian C)Lisa menghela nafas dengan sangat dalam, dan merasa luar biasa bodoh karena sudah mengira kalau Ramlah akan mengikuti kata-katanya. Dan dia hanya bisa pasrah, saat Ramlah menariknya memasuki bank.Sementara di rumah!"Kamu ini jujur, Ji. Uang itu ada atau tidak?!" tanya Sri dengan nada tegas.Aji diam, dia tidak menyahut. Dari tadi dia hanya bermain ponsel, dan Sri serta yang lainnya sudah sangat bosan melihatnya. Bahkan Abi sekarang ini sudah merebahkan dirinya di ruang keluarga, tepat dia atas karpet yang ada di depan televisi.Lelaki itu tertidur pulas, ditemani kipas angin yang menyala dan berputar, menghembuskan angin ke seluruh ruangan. Sedangkan Ana, Aji, Sri, dan juga Amran masih berada di ruang tamu.Anna sudah kepalang bosan, bermain ponsel dari tadi. Dan akhirnya dia mengambil keputusan untuk ikutan merebahkan diri di samping Abi, dia beranjak dan berjalan ke ruang keluarga.Namun, telinganya masih bisa mendengar dengan sangat jel