199. Lisa dan Aji mati kutu! (Bagian B)Dan sekarang inilah, aku bisa melihat Ibu dan juga Bapak yang menghela nafas bersamaan. Lalu menyandarkan tubuh mereka di sandaran sofa, sambil menatap Mas Aji dan juga Lisa dengan pandangan lelah."Kamu itu nggak kasihan sama Ibu, Ji? Ibu itu udah capek banget, ngeliatin tingkah laku kalian yang selalu membuat onar, yang selalu membuat ulah. Ibu ini udah tua, Ji. Bapak udah tua! Apa kalian itu nggak bisa membuat kami ini tenang? Jangan ada masalah, gitu loh!" kata Ibu dengan nada putus asa. "Belum masalah motor kalian yang ditarik pihak leasing, belum lagi masalah kalian yang tidak mempunyai uang, eh … sekarang malah kasus memakan uang tabungan anak sekolah. Ibu pusing, Ji! Ibu pusing, Sa! Kalian ini kenapa tidak pernah memberikan ketenangan dan kebahagiaan kepada Ibu? Selalu saja membuat masalah, selalu saja membuat orang menjadi gelisah!" lanjut Ibu lagi.Lisa memutar bola matanya dengan malas, dan di titik ini aku benar-benar merasa geram me
200. Lisa dan Aji mati kutu! (Bagian C)"Apa maksud Bibi? Bibi bermaksud, kalau kami ini berbohong? Iya begitu?" tanya Lisa tidak terima."Loh, aku nggak ada bilang kalian itu berbohong, tapi logikanya saja … kalau memang uang itu ada di tabungan kalian, jelas saja kalian tuh gampang mengambilnya dan membagikannya kepada siswa yang sudah menabung pada Lisa. Tapi nyatanya apa? Sampai satu minggu pembagian raport, kalian itu belum bisa mengembalikan uang tersebut. Aku jadi penasaran, sebenarnya uang itu berada di mana? Apa mungkin uang itu digunakan Lisa untuk suntik broson lagi?" tanya Bi Ramlah sambil menaikkan alisnya."Kromosom, Bi! Kromosom!" kataku membenarkan kata-katanya."Iya, An, Iya! Brosom, kan?" tanya Bi Ramlah dengan percaya dirinya.Aku hanya mengangguk, karena aku tahu semua ini akan sia-sia saja. Bi Ramlah tidak akan bisa mengikuti kata-kata kromosom yang sudah aku katakan dia hanya tahu borosom. Jadi sepertinya, akan sulit jika harus dipaksakan, dan lebih baik aku meng
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)201. Investasi Tambang Batu Bara (Bagian A)POV AUTHOR“Jangan ngebut-ngebut, Bi. Aku belum mau mati!” Lisa berujar ketus.Dia yang saat ini sedang berada di boncengan, menepuk bahu Ramlah beberapa kali. Sedangkan wanita yang masih muda, namun sudah dipanggil Bibi itu hanya mendengus dan melajukan motornya semakin kencang, tidak menghiraukan permohonan yang baru saja Lisa ajukan.Ramlah sepertinya memang ingin menulikan telinganya, dari permohonan-permohonan Lisa yang sedari tadi sudah terdengar, mulai dari mereka keluar dari halaman rumah Sri, Lisa sudah memohon.Yang harus pelan-pelan lah, yang mau kencing lah, yang mau minumlah, dan masih banyak yang lainnya. Ramlah jadi mengambil kesimpulan, kalau Lisa sepertinya ingin mengulur waktu dan memperlambat perjalanan mereka menuju bank.“Bi, dengar nggak, sih? Aku bilang, jangan ngebut-ngebut bawa motornya!” Lisa kembali berujar, sedikit berteriak sebenarnya dan hal itu sanggup mem
Tetapi ternyata pasangan keponakannya ini malah tidak mempunyai pikiran sama sekali. Mereka malah bertindak sesuka hati dan membuat kedua orang tuanya rugi. Ramlah tidak habis pikir, bagaimana bisa anak yang dulu begitu baik hati seperti Ajin menjadi anak yang begitu kurang ajar seperti saat ini."Bibi kok ikut-ikutan, sih? Bibi pikir aku nggak punya uang tabungan? Begitu?!" tanya Lisa tidak terima. "Yang bilang kamu itu nggak punya uang tabungan siapa? Aku sih bilang kalau uang anak-anak itu tidak ada di dalam tabunganmu! Bapak dan juga Ibumu jelas akan murka. Kalau uang tabungan, sih, bisa saja di dalam rekening kamu hanya ada uang seratus ribu. Nah itu uang tabungan juga kan? Tetapi yang dilihat kan nominalnya. Benarkah nominalnya itu ada pada tempatnya, ataukah sudah berkurang jauh?" kata Ramlah lagi. Lisa langsung Diam. Dia sama sekali tidak menanggapi kata-kata Ramlah, karena dia merasa bagaimanapun dia berbicara, tentu saja Ramlah akan tetap menangkis semua ucapannya. "Oh
203. Investasi Tambang Batu Bara (Bagian C)Lisa menghela nafas dengan sangat dalam, dan merasa luar biasa bodoh karena sudah mengira kalau Ramlah akan mengikuti kata-katanya. Dan dia hanya bisa pasrah, saat Ramlah menariknya memasuki bank.Sementara di rumah!"Kamu ini jujur, Ji. Uang itu ada atau tidak?!" tanya Sri dengan nada tegas.Aji diam, dia tidak menyahut. Dari tadi dia hanya bermain ponsel, dan Sri serta yang lainnya sudah sangat bosan melihatnya. Bahkan Abi sekarang ini sudah merebahkan dirinya di ruang keluarga, tepat dia atas karpet yang ada di depan televisi.Lelaki itu tertidur pulas, ditemani kipas angin yang menyala dan berputar, menghembuskan angin ke seluruh ruangan. Sedangkan Ana, Aji, Sri, dan juga Amran masih berada di ruang tamu.Anna sudah kepalang bosan, bermain ponsel dari tadi. Dan akhirnya dia mengambil keputusan untuk ikutan merebahkan diri di samping Abi, dia beranjak dan berjalan ke ruang keluarga.Namun, telinganya masih bisa mendengar dengan sangat jel
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)204. Sepuluh juta! (Bagian A)"......""Cuma berapa? Kok, diem kamu, Ji?" Sri semakin gusar.Apalagi melihat Aji yang tiba-tiba terdiam, lelaki itu seolah sedang berpikir dan akhirnya menggeleng pelan. Dia menatap Sri dan juga Amran dengan pandangan lekat, dan juga dalam."Sudahlah, Bu. Yang penting, hasilnya akan sangat banyak!" sahut Aji sekenanya."Ji, Ibu nggak perlu tahu itu! Yang Ibu pertanyakan, berapa uang kamu yang sudah masuk ke sana?" tanya Sri dengan ketus. "Ibu nggak mau yah, sampai kamu ketipu investasi bodong!" lanjut Sri lagi."Bener apa yang dibilang ibumu, kamu ini kok polos banget sih, Ji? Investasi, kok sama manusia yang nggak pernah kamu lihat wujudnya!" Amran juga angkat bicara.Aji menghela nafas dengan panjang dan juga berat, dia merasa kalau orang tuanya ini terlalu berlebihan. Walau tidak tahu wujudnya, tapi Marwan kan, tahu! Adik iparnya itu yang menangani semuanya, dan Aji tinggal beres.Dia malah bers
205. Sepuluh juta! (Bagian B)"Bu, kan udah aku bilang, Marwan itu bukan orang lain. Dia adik iparku, masak aku harus ragu, sih?" jawab Aji dengan cepat.Sri dan Amran hanya bisa mengelus dada mereka, karena balasan yang diberikan oleh Aji benar-benar membuat mereka frustasi dan juga merasa geram luar biasa."Oke, kalau begitu! Kalau memang kamu sangat percaya kepada Marwan karena dia adalah adik iparmu, maka Ibu mau tanya sama kamu. Jika Abi yang menawarkan proyek itu, dan meminta uang enam ratus juta darimu, apakah kamu percaya? Apakah kamu mau memberikan uang itu kepada dia?" tanya Sri dengan tegas.Aji langsung terdiam, dia kelihatannya tidak menyangka kalau Sri memberi pertanyaan seperti itu. Lelaki itu mengunci mulutnya serapat mungkin, namun pandangannya bergerak liar ke kiri dan ke kanan. Seolah-olah tengah bingung bagaimana cara menjawab pertanyaan itu."Kenapa kamu diam? Jawab, dong. Apakah kamu mau memberikan uang sebegitu banyaknya kepada adikmu? Hah?" tanya Sri lagi."Yah
206. Sepuluh juta! (Bagian C)Aji yakin setelah pulang dari sini Lisa pasti akan mencecarnya dengan pertanyaan yang begitu banyak, dan Aji juga tidak yakin kalau istrinya itu akan senang ketika dia tahu kalau Aji baru saja membocorkan salah satu rahasia mereka kepada Sri."Iya, yang penting itu apa?" tanya Lisa lagi."Udah deh, kamu nggak usah kepo, Sa. Ini urusan Ibu dan juga Aji, kamu nggak berhak untuk tahu!" sahut Sri dengan tajam. "Udah! Mana uang yang kamu ambil dari bank? Sini tunjukkan kepada Ibu dan juga Bapak, cepat!" lanjut Sri lagi.Lisa cemberut, apalagi saat Sri berbicara dengan ketus pada dirinya. Dia merasa gondok, dan juga kesal, karena Ibu mertuanya semakin lama, semakin ketus pada dirinya."Sabar dulu lah, Bu. Belum juga minum," kata Lisa dengan santai."Ya sudah, cepat minum. Ngapain malah tanya-tanya hal yang nggak penting pada Ibu," sahut Sri dengan ketus.Lisa menghela nafas dengan panjang, kesal luar biasa. Tapi dia harus menahannya, bisa dirajang oleh Sri dia,