169. Kebun Aji (Bagian B)"Mbak jangan ngada-ngada dong, itu fitnah namanya!" Kukatakan dengan nada ketus, yang penuh dengan penekanan."Fitnah gimana? Udah deh, cuman kita berdua loh, yang di sini. Masa kamu nggak mau bagi-bagi ajian, yang udah dikasih sama dukun kamu!" sahut Lisa dengan nada santai. "Apa salahnya sih, bagi-bagi sama aku? Toh, harta Ibu juga tidak akan habis kalau dinikmati oleh kita berdua. Ya, kalau kamu berhasil memakai ajian dari dukun itu, mungkin saja di aku juga akan berhasil, kan?" Lanjut Lisa lagi."Iya, tapi masalahnya aku nggak ke dukun, Mbak! Mungkin Mbak itu yang ke dukun, kalau aku sih menggunakan cara halal saja untuk berdekatan dengan Ibu," balasku sambil mencibir sinis."Enak saja kamu nuduh aku ke dukun, aku ini emang disayangi Ibu karena aku itu cantik, aku glowing, dan aku adalah menantu yang dia idam-idamkan. Karena aku mempunyai pekerjaan sebagai pegawai negeri!" kata Lisa sambil tersenyum remeh. "Kalau kamu sih, apa yang bisa dibanggakan? Sekar
170. Kebun Aji (Bagian C)"Kan kamu sudah sering Ibu belikan, ya sekarang giliran Ana lah. Ganti-gantian!" balas Ibu."Ya, namanya udah di toko emas, Bu. Ya apa salahnya belikan Lisa sekalian?" tanya Mas Aji dengan nada lembut.Begitu mendayu, dan juga begitu menghanyutkan, inilah yang selalu menjadi senjata kakak kandung suamiku itu untuk bisa mengambil hati Ibu dan juga memeras apapun yang Ibu punya dengan mulutnya itu."Bener kata Mas Aji, Bu. Seharusnya Ibu membelikan sesuatu untukku juga," kata Lisa dengan nada manja. "Sudah lama nih, Ibu tidak membelikan apa-apa untukku!" Lanjutnya lagi."Lama bagaimana? Wong lima bulan yang lalu saja, Ibu memberikan uang tiga puluh juta untukmu membeli motor, kok!" jawab Ibu sambil mencibir."Ya ampun, Bu! Jangan diingat-ingat lagi kenapa!" sahut Lisa dengan nada frustasi."Bagaimana Ibu tidak mengingatnya, bahkan jika Ibu ingin melupakannya sekalipun, Ibu tetap tidak bisa. Terus mengingat hal itu, berulang-ulang, saat Ibu dibohongi. Sampai ka
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)171. Mau Apa? (Bagian A)Aku bisa melihat Mas Aji yang langsung menutup mulutnya dengan rapat, dan menatap Bapak serta Ibu dengan pandangan yang takut-takut. Aku sangat yakin, kalau dia saat ini sedang kebingungan bisa dilihat dari raut wajahnya terlihat terkejut.Setali tiga uang dengan wajah Mas Aji, Ibu dan Bapak juga menunjukkan wajah terkejut, dan juga tidak percaya. Mereka menatap Mas Aji dengan pandangan tajam, dan juga pandangan seperti ingin membunuh Kakak sulung suamiku itu.Bahkan Bapak sudah mematikan rokoknya, dan memfokuskan seluruh pandangannya ke arah Mas Aji. Seolah lelaki itu, adalah salah satu hal yang paling menarik di muka bumi ini.“Kamu bilang apa tadi?” tanya Bapak dengan nada geram.“Bilang apa, Pak? Aku nggak ada bilang apa-apa, kok!” sahut Mas Aji dengan cepat.“Apa kamu kira Bapak tuli? Bapak jelas-jelas mendengar, kalau kamu menyuruh Bapak mengambil kebun itu pada Karta. Maksud kamu apa?” tanya Bapak
172. Mau Apa? (Bagian B)Gaji Lisa saja, bisa berjuta-juta sebulan, belum lagi sertifikasi yang diterimanya. Tentu saja, kalau dari segi ekonomi keluarga Mas Aji tentu tidak membutuhkan uang, apalagi selama ini kehidupan mereka ditanggung oleh Ibu sepenuhnya.“Benar kata Abi, jelas-jelas tadi kamu bilang kalau Bapak ingin mengambil kebun itu, Bapak harus mengambilnya di tempat Karta. Maksud kamu apa? Kamu menjual, atau menggadaikan tanah itu di sana? Ingat Aji, Karta adalah seorang lintah darat, dan dia tidak akan melepaskan orang yang sudah membawa uang miliknya!” kata Bapak dengan nada ketus.“Pak, aku tidak mungkin melakukan hal itu. Aku tadi hanya bercanda, agar Bapak tidak mengambil kebun itu. Hehehe ….” Kata Mas Aji sambil tertawa canggung. “Sudahlah, tidak usah dipedulikan lagi. Lagi pula, Bapak hanya bercanda, ‘kan? Mau mengambil kebun itu dariku, ya sudah! Besok biar aku suruh orang untuk membersihkan kebun sawit ku,” kata Mas Aji lagi.Namun Bapak dan Ibu tetap menatap Mas A
173. Mau Apa? (Bagian C)Memangnya hanya Lisa yang bisa berbuat seperti itu? Hellow! Aku juga bisa, kalau dulu aku memang berprofesi hanya sebagai ibu rumah tangga, tetapi sekarang ini aku sudah menjadi seorang pemilik toko yang terkenal di desa ini.Dan Lisa langsung terdiam sambil menatapku dengan pandangan mematikan, tetapi aku hanya balas menatapnya dengan pandangan cuek. Karena aku tidak peduli dengan dirinya, aku hanya memperdulikan diriku, suamiku, keluargaku, dan juga kehidupanku, yang sangat nyaman ini.Tidak seperti dirinya, yang harus memperdulikan hutang, dan juga banyak sekali masalah yang masuk ke dalam kehidupannya akhir-akhir ini. Wah, aku jadi merasa tidak sabar dengan apa yang akan terjadi kepada Lisa. Apakah dia akan sanggup menghadapi semuanya? Ataukah dia akan menyerah pada akhirnya?Ibu dan Bapak terlihat bingung, saat menatap aku dan juga Lisa yang sudah berdiri. Sedangkan suami kami, masih duduk di sofa dan ikut menatap kami dengan pandangan heran."Loh, kamu m
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)174. Makan Uang Orang! (Bagian A)"Apa?" Aku bahkan sampai tidak percaya, karena Lisa baru saja mengucapkan kata-kata yang sangat mengejutkan."Iya, masmu ingin kasbon dulu, rokok dan juga bensin," kata Lisa mengulangi kata-katanya barusan."Apa?!" tanyaku lagi."Ih, sumpah ya! Kamu itu lama-lama budek, ya, An! Udah nggak bisa mendengar kalau aku itu bilang … kalau masmu itu mau kasbon rokok dan juga minyak!" sahut Lisa dengan nada ketus."Lah iya, aku dengar bagian itu, Mbak. Tapi yang aku sulit mempercayai itu adalah, bagian kasbon. Yakin? Orang seperti kalian mau kasbon di toko kecil kami, yang terlihat sangat buluk ini?" tanyaku menahan tawa."Udah deh, nggak usah terlalu lebay! Pokoknya kami mau kasbon dulu, rokok dan juga minyak bensin. Soalnya kami tidak lagi memegang uang cash, masih ada di ATM semua!" kata Lisa."Iya, Bi. Ambilin dulu rokok sempurnong tiga bungkus, sama isiin dong minyak motorku, full ya!" kata Mas Aji d
175. Makan Uang Orang! (Bagian B)"Nggak seberapa bagaimana? Rokok sempurnong itu mahal loh, Mas, dan Mas itu minta tiga bungkus, belum lagi ngisi minyak motor Mas itu pengennya full tank! Aduh, aduh! Udah deh, kami tidak bisa memberi hutangan segitu banyak!" kataku dengan nada mengejek.Aku bisa melihat Mas Aji dan juga Lisa yang menggertakkan giginya dengan marah, lalu kemudian tanpa banyak berbicara mereka langsung naik ke motor dan tancap gas meninggalkan toko kami.Aku langsung menghela nafas panjang, merasa luar biasa bersyukur karena akhirnya dua pembuat onar itu sudah pergi."Kamu nggak marah kan, Mas? Karena aku nggak ngasih hutangan ke Kakak kamu?" tanyaku kepada Mas Abi.Suamiku itu hanya mengangkat bahu cuek, lalu kembali melakukan kegiatannya yang entah apa. Aku sendiri tidak lagi memperpanjang pembicaraan, karena itu artinya Mas Abi tidak mempermasalahkan sikapku."Kalau kamu mau masuk ke dalam, ya udah masuk aja, Dek. Tidur, atau istirahat sana, biar Mas yang jaga toko
176. Makan Uang Orang! (Bagian C)"Itu 'kan, karena Bibi memang suka melihat orang lain sedang kesusahan!" kataku mencebik sinis."Loh, memangnya kamu tidak senang, melihat Lisa susah seperti itu?" tanya Bi Ramlah lagi."Ye … Bibi jangan membuat seolah-olah aku ini adalah orang yang jahat, ya! Aku tidak pernah merasa senang sama sekali, ketika melihat orang lain susah!" kataku dengan nada ketus.Namun, tidak terasa obrolanku dengan Bi Ramlah membuat kami berdua tidak sadar, kalau saat ini kami sudah sampai ke pasar. Aku segera memarkirkan motorku di tempat parkir, dan setelah mendapatkan kupon parkir aku langsung memasukkannya ke dalam dompet.Bi Ramlah sudah menunggu di ujung sana, dia terlihat sangat antusias. Padahal, katanya tidak mau membeli apapun. Aku langsung menatapnya dengan pandangan tajam."Kamu nggak usah mandang Bibi seperti itulah, An. Seperti Bibi ini punya salah saja, sama kamu!" kata Bi Ramlah sambil menggamit lenganku dengan sangat akrab.Seolah-olah kami ini adalah