176. Makan Uang Orang! (Bagian C)"Itu 'kan, karena Bibi memang suka melihat orang lain sedang kesusahan!" kataku mencebik sinis."Loh, memangnya kamu tidak senang, melihat Lisa susah seperti itu?" tanya Bi Ramlah lagi."Ye … Bibi jangan membuat seolah-olah aku ini adalah orang yang jahat, ya! Aku tidak pernah merasa senang sama sekali, ketika melihat orang lain susah!" kataku dengan nada ketus.Namun, tidak terasa obrolanku dengan Bi Ramlah membuat kami berdua tidak sadar, kalau saat ini kami sudah sampai ke pasar. Aku segera memarkirkan motorku di tempat parkir, dan setelah mendapatkan kupon parkir aku langsung memasukkannya ke dalam dompet.Bi Ramlah sudah menunggu di ujung sana, dia terlihat sangat antusias. Padahal, katanya tidak mau membeli apapun. Aku langsung menatapnya dengan pandangan tajam."Kamu nggak usah mandang Bibi seperti itulah, An. Seperti Bibi ini punya salah saja, sama kamu!" kata Bi Ramlah sambil menggamit lenganku dengan sangat akrab.Seolah-olah kami ini adalah
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)177. Tabungan Anak Sekolah (Bagian A)“Hah? Gimana? Gimana?” Mbak Rini langsung tanggap.Dia langsung memasang wajah penasaran, aku langsung memutar bola mataku dengan malas. Sifat wanita, suka sekali dengan ghibah dan juga gosip. Tidak munafik, aku juga salah satu yang menyukainya. Walau aku tahu, itu salah, sih! Hahahaha!Tapi, entah kenapa jika itu berhubungan dengan anggota keluarga, maka aku akan berubah menjadi sensitif. Walau aku tidak menyukai Lisa, tapi dia adalah Kakak iparku. Aku tidak nyaman saat ada yang menggosipi dia."Yah, Mbak Rini ketinggalan, nih!" Mbak ruli mencebik sinis.Mbak Rini yang memang belum mengetahui apa-apa, hanya bisa menggaruk pelipisnya yang tertutup jilbab instan berwarna mocca. Dia sepertinya kebingungan, apalagi saat melihat situasi yang terjadi.Mbak Ruli dan Bi Ramlah sudah sibuk bergosip sambil memilah bawang, sedangkan aku menyibukkan diri dengan memilih cabai dan memasukkannya ke dalam k
178. Tabungan Anak Sekolah (Bagian B)Mbak Ruli langsung mengangguk mengerti, dia kemudian menatap Mbak Rini dengan pandangan dalam dan juga lekat.“Eh, Rin! Kamu tahu nggak, kalau ada gosip yang beredar akhir-akhir ini di sekolah?” tanya Mbak Ruli sambil berbisik kecil. “Gosip apa? Ya aku mana tahu, aku kan tidak bekerja di sekolah, Rul. Aku kan bekerja di pasar, ya mana aku tahu gosip yang ada di sekolahan. Memangnya ada apa, sih?” tanya Mbak Rini dengan nada penasaran.“Lah bukannya anak kamu sekolah di sana? Memangnya anak kamu tidak pernah berbicara apa-apa sama kamu?” tanya Mbak Ruli lagi.“Nggak tuh! Memangnya ada apa? Maya tidak pernah berbicara apa-apa kepada diriku, dan ketika aku bertanya bagaimana sekolahnya, dia paling jawab kalau semuanya berjalan lancar. Memangnya ada apa?” tanya Mbak Rini lagi.Bi Ramlah dan juga Mbak Ruli langsung saling berpandangan, mereka sepertinya keheranan karena anak Mbak Rini yang bernama Maya itu, tidak menyampaikan apapun perihal yang ada d
179. Tabungan Anak Sekolah (Bagian C)"Sebenarnya … ini kan, sudah mau semester akhir, semester kedua, loh, dan seharusnya uang tabungan anak murid sudah dibagikan. Tetapi, ketika dipinta oleh mereka, si Lisa selalu mengelak dan mengundur-undur waktu. Jadi banyak yang curiga kalau Lisa menelan uang tabungan anak-anak Sekolah," kata Mbak Ruli dengan semangat."Astaghfirullahaladzim! Eh, ini beneran tidak? Kalau tidak, ini jatuhnya fitnah, lho!" kata Mbak Rini dengan cepat."Beneran! Wong anakku salah satunya!" kata Mbak Ruli dengan nada ketus. "Si Alif itu kan, anak muridnya Lisa. Lah tabungannya itu akeh, buaaaanyak lho, Rin. Sekitar enam ratus ribu, lah kok bisa pas dipinta itu bilangnya tidak ada. Gimana coba? Ya jelas aku meradang!" kata Mbak Ruli dengan cepat.Aku pura-pura tak mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Mbak Ruli dengan memilih kembali sayuran, yang bahkan tidak aku perlukan.Aku hanya berusaha untuk menghindari percakapan ini, dengan menyibukkan diriku sendiri. S
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)180. Bapak dan Mas Abi (Bagian A)Di sepanjang perjalanan pulang menuju rumah, aku sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Setelah perbincangan kami di pasar tadi, aku dan Bi Ramlah memutuskan untuk pulang. Lebih tepatnya aku yang memaksa Bi Ramlah untuk pulang dengan ancaman, jika dia tidak mau ikut denganku sekarang maka aku akan meninggalkannya di pasar sendirian dan dia harus pulang berjalan kaki atau naik kendaraan umum.Walaupun Bi Ramlah terlihat enggan karena dia masih asyik berbicara dengan Mbak Ruli dan juga Mbak Rini, tetapi dengan ancaman yang seperti itu dia akhirnya ikut pulang denganku.Setelah sebelumnya dia mengambil satu ikat kangkung, dan juga sekilo kentang untuk dimasukkan ke dalam belanjaanku. Katanya, mumpung ada donatur dan juga orang baik. Toh, aku yang memang tidak mempermasalahkan hal itu langsung membayarkan pesananku dan juga Bi Ramlah.Bi Ramlah juga tidak terlalu banyak bicara saat kami ber
181. Bapak dan Mas Abi (Bagian B)“Ya suka, Pak. Masak bapaknya datang ke rumah ndak suka, mana ada anak yang begitu ke orang tuanya,” kataku sambil tertawa kecil.“Ya terus? Kok, tanya-tanya?” tanya Bapak lagi.“Bapak gimana, sih? Ana cuma tanya, kok balasannya begitu?”Ehhhhh?Aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah belakang, dan menemukan Mas Abi yang tengah menatap kami dengan pandangan kesal. Suamiku itu mengernyitkan dahinya, terlihat tidak suka.Sedangkan Bapak langsung diam, dan kembali menghisap rokoknya dengan dalam dan mengepulkan asapnya ke udara. Tidak terlihat terganggu dengan ucapan Mas Abi yang terdengar tak enak di telinga.Tunggu, mereka kenapa, sih? Sejak kapan suamiku ini bisa bersikap begini pada bapaknya sendiri? Mas Abi itu tipe anak yang sangat hormat pada orang tuanya, tidak pernah membantah, dan juga tidak pernah melawan.Ini untuk pertama kalinya, loh!Namun, saat aku menatap Mas ABi dengan pandangan lekat, suamiku itu malah membuang mukanya dan memanda
182. Bapak dan Mas Abi (Bagian C)“Ya mana Mas tahu,” balas Mas Abi cuek. “Lagian Mas nggak peduli juga, wong Mas nggak ngerokok!” kata Mas Abi lagi.Aku mengangguk, yang dikatakan Mas Abi memang suatu kebenaran. Dia tidak merokok, dan artinya aku aman. Tapi, sepertinya mau harga rokok naik ataupun tidak, para laki-laki tidak akan peduli. Toh, mereka tetap membeli tanpa pusing dengan harganya.Saat aku baru saja selesai dengan kegiatan makan malam kami, aku langsung membereskan piring dan juga peralatan makan yang kotor. Dengan sigap aku membawanya ke dalam rumah sedangkan Mas Abi langsung menyapu teras toko. Ketika aku kembali ke depan, aku bisa melihat ada Mas Joko di toko. Bujang lapuk di desa ini, kebanyakan milih, pelit, dan sok merasa paling tampan, mengakibatkan dia yang belum menikah sampai sekarang.“Mau beli apa, Mas Ko?” tanyaku ingin tahu.“Ehhhh, ada Dik Ana … tambah bening aja,” katanya dengan nada merayu.Aku hanya memutar bola mata dengan malas, dia ini seusia Mas Abi
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)183. Suka Keributan! (Bagian A)Aku bisa melihat Mas Joko yang langsung mengerutkan keningnya, dia kemudian berbalik ke arahku setelah aku melepaskan tudung hoodie yang dia pakai. Sedangkan Mas Abi juga langsung mendekati kami, wajahnya juga terlihat terheran-heran dan menatap Mas Joko dengan pandangan bingung."Kamu kok, nggak bayar sih, Ko? Kok, main ambil begitu saja?" kata Mas Abi memprotes tindakan Mas Joko barusan.Sedangkan Mas Joko langsung menepuk keningnya dengan kuat, sepertinya dia lupa membayar, karena setelahnya aku bisa melihat dia yang merogoh kantung hoodienya.Eh? Tapi kenapa dia bukan mengeluarkan dompet miliknya? Saat ini dia malah mengeluarkan ponselnya dan mengotak-atik ponselnya itu sebentar. Kemudian dia memperlihatkan layar ponselnya ke arah kami berdua, aku menyipitkan mataku saat layar ponsel Mas Joko tepat berada di wajahku, dan setelahnya aku langsung mendecih sinis saat melihat tulisan yang ada di sa