172. Mau Apa? (Bagian B)Gaji Lisa saja, bisa berjuta-juta sebulan, belum lagi sertifikasi yang diterimanya. Tentu saja, kalau dari segi ekonomi keluarga Mas Aji tentu tidak membutuhkan uang, apalagi selama ini kehidupan mereka ditanggung oleh Ibu sepenuhnya.“Benar kata Abi, jelas-jelas tadi kamu bilang kalau Bapak ingin mengambil kebun itu, Bapak harus mengambilnya di tempat Karta. Maksud kamu apa? Kamu menjual, atau menggadaikan tanah itu di sana? Ingat Aji, Karta adalah seorang lintah darat, dan dia tidak akan melepaskan orang yang sudah membawa uang miliknya!” kata Bapak dengan nada ketus.“Pak, aku tidak mungkin melakukan hal itu. Aku tadi hanya bercanda, agar Bapak tidak mengambil kebun itu. Hehehe ….” Kata Mas Aji sambil tertawa canggung. “Sudahlah, tidak usah dipedulikan lagi. Lagi pula, Bapak hanya bercanda, ‘kan? Mau mengambil kebun itu dariku, ya sudah! Besok biar aku suruh orang untuk membersihkan kebun sawit ku,” kata Mas Aji lagi.Namun Bapak dan Ibu tetap menatap Mas A
173. Mau Apa? (Bagian C)Memangnya hanya Lisa yang bisa berbuat seperti itu? Hellow! Aku juga bisa, kalau dulu aku memang berprofesi hanya sebagai ibu rumah tangga, tetapi sekarang ini aku sudah menjadi seorang pemilik toko yang terkenal di desa ini.Dan Lisa langsung terdiam sambil menatapku dengan pandangan mematikan, tetapi aku hanya balas menatapnya dengan pandangan cuek. Karena aku tidak peduli dengan dirinya, aku hanya memperdulikan diriku, suamiku, keluargaku, dan juga kehidupanku, yang sangat nyaman ini.Tidak seperti dirinya, yang harus memperdulikan hutang, dan juga banyak sekali masalah yang masuk ke dalam kehidupannya akhir-akhir ini. Wah, aku jadi merasa tidak sabar dengan apa yang akan terjadi kepada Lisa. Apakah dia akan sanggup menghadapi semuanya? Ataukah dia akan menyerah pada akhirnya?Ibu dan Bapak terlihat bingung, saat menatap aku dan juga Lisa yang sudah berdiri. Sedangkan suami kami, masih duduk di sofa dan ikut menatap kami dengan pandangan heran."Loh, kamu m
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)174. Makan Uang Orang! (Bagian A)"Apa?" Aku bahkan sampai tidak percaya, karena Lisa baru saja mengucapkan kata-kata yang sangat mengejutkan."Iya, masmu ingin kasbon dulu, rokok dan juga bensin," kata Lisa mengulangi kata-katanya barusan."Apa?!" tanyaku lagi."Ih, sumpah ya! Kamu itu lama-lama budek, ya, An! Udah nggak bisa mendengar kalau aku itu bilang … kalau masmu itu mau kasbon rokok dan juga minyak!" sahut Lisa dengan nada ketus."Lah iya, aku dengar bagian itu, Mbak. Tapi yang aku sulit mempercayai itu adalah, bagian kasbon. Yakin? Orang seperti kalian mau kasbon di toko kecil kami, yang terlihat sangat buluk ini?" tanyaku menahan tawa."Udah deh, nggak usah terlalu lebay! Pokoknya kami mau kasbon dulu, rokok dan juga minyak bensin. Soalnya kami tidak lagi memegang uang cash, masih ada di ATM semua!" kata Lisa."Iya, Bi. Ambilin dulu rokok sempurnong tiga bungkus, sama isiin dong minyak motorku, full ya!" kata Mas Aji d
175. Makan Uang Orang! (Bagian B)"Nggak seberapa bagaimana? Rokok sempurnong itu mahal loh, Mas, dan Mas itu minta tiga bungkus, belum lagi ngisi minyak motor Mas itu pengennya full tank! Aduh, aduh! Udah deh, kami tidak bisa memberi hutangan segitu banyak!" kataku dengan nada mengejek.Aku bisa melihat Mas Aji dan juga Lisa yang menggertakkan giginya dengan marah, lalu kemudian tanpa banyak berbicara mereka langsung naik ke motor dan tancap gas meninggalkan toko kami.Aku langsung menghela nafas panjang, merasa luar biasa bersyukur karena akhirnya dua pembuat onar itu sudah pergi."Kamu nggak marah kan, Mas? Karena aku nggak ngasih hutangan ke Kakak kamu?" tanyaku kepada Mas Abi.Suamiku itu hanya mengangkat bahu cuek, lalu kembali melakukan kegiatannya yang entah apa. Aku sendiri tidak lagi memperpanjang pembicaraan, karena itu artinya Mas Abi tidak mempermasalahkan sikapku."Kalau kamu mau masuk ke dalam, ya udah masuk aja, Dek. Tidur, atau istirahat sana, biar Mas yang jaga toko
176. Makan Uang Orang! (Bagian C)"Itu 'kan, karena Bibi memang suka melihat orang lain sedang kesusahan!" kataku mencebik sinis."Loh, memangnya kamu tidak senang, melihat Lisa susah seperti itu?" tanya Bi Ramlah lagi."Ye … Bibi jangan membuat seolah-olah aku ini adalah orang yang jahat, ya! Aku tidak pernah merasa senang sama sekali, ketika melihat orang lain susah!" kataku dengan nada ketus.Namun, tidak terasa obrolanku dengan Bi Ramlah membuat kami berdua tidak sadar, kalau saat ini kami sudah sampai ke pasar. Aku segera memarkirkan motorku di tempat parkir, dan setelah mendapatkan kupon parkir aku langsung memasukkannya ke dalam dompet.Bi Ramlah sudah menunggu di ujung sana, dia terlihat sangat antusias. Padahal, katanya tidak mau membeli apapun. Aku langsung menatapnya dengan pandangan tajam."Kamu nggak usah mandang Bibi seperti itulah, An. Seperti Bibi ini punya salah saja, sama kamu!" kata Bi Ramlah sambil menggamit lenganku dengan sangat akrab.Seolah-olah kami ini adalah
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)177. Tabungan Anak Sekolah (Bagian A)“Hah? Gimana? Gimana?” Mbak Rini langsung tanggap.Dia langsung memasang wajah penasaran, aku langsung memutar bola mataku dengan malas. Sifat wanita, suka sekali dengan ghibah dan juga gosip. Tidak munafik, aku juga salah satu yang menyukainya. Walau aku tahu, itu salah, sih! Hahahaha!Tapi, entah kenapa jika itu berhubungan dengan anggota keluarga, maka aku akan berubah menjadi sensitif. Walau aku tidak menyukai Lisa, tapi dia adalah Kakak iparku. Aku tidak nyaman saat ada yang menggosipi dia."Yah, Mbak Rini ketinggalan, nih!" Mbak ruli mencebik sinis.Mbak Rini yang memang belum mengetahui apa-apa, hanya bisa menggaruk pelipisnya yang tertutup jilbab instan berwarna mocca. Dia sepertinya kebingungan, apalagi saat melihat situasi yang terjadi.Mbak Ruli dan Bi Ramlah sudah sibuk bergosip sambil memilah bawang, sedangkan aku menyibukkan diri dengan memilih cabai dan memasukkannya ke dalam k
178. Tabungan Anak Sekolah (Bagian B)Mbak Ruli langsung mengangguk mengerti, dia kemudian menatap Mbak Rini dengan pandangan dalam dan juga lekat.“Eh, Rin! Kamu tahu nggak, kalau ada gosip yang beredar akhir-akhir ini di sekolah?” tanya Mbak Ruli sambil berbisik kecil. “Gosip apa? Ya aku mana tahu, aku kan tidak bekerja di sekolah, Rul. Aku kan bekerja di pasar, ya mana aku tahu gosip yang ada di sekolahan. Memangnya ada apa, sih?” tanya Mbak Rini dengan nada penasaran.“Lah bukannya anak kamu sekolah di sana? Memangnya anak kamu tidak pernah berbicara apa-apa sama kamu?” tanya Mbak Ruli lagi.“Nggak tuh! Memangnya ada apa? Maya tidak pernah berbicara apa-apa kepada diriku, dan ketika aku bertanya bagaimana sekolahnya, dia paling jawab kalau semuanya berjalan lancar. Memangnya ada apa?” tanya Mbak Rini lagi.Bi Ramlah dan juga Mbak Ruli langsung saling berpandangan, mereka sepertinya keheranan karena anak Mbak Rini yang bernama Maya itu, tidak menyampaikan apapun perihal yang ada d
179. Tabungan Anak Sekolah (Bagian C)"Sebenarnya … ini kan, sudah mau semester akhir, semester kedua, loh, dan seharusnya uang tabungan anak murid sudah dibagikan. Tetapi, ketika dipinta oleh mereka, si Lisa selalu mengelak dan mengundur-undur waktu. Jadi banyak yang curiga kalau Lisa menelan uang tabungan anak-anak Sekolah," kata Mbak Ruli dengan semangat."Astaghfirullahaladzim! Eh, ini beneran tidak? Kalau tidak, ini jatuhnya fitnah, lho!" kata Mbak Rini dengan cepat."Beneran! Wong anakku salah satunya!" kata Mbak Ruli dengan nada ketus. "Si Alif itu kan, anak muridnya Lisa. Lah tabungannya itu akeh, buaaaanyak lho, Rin. Sekitar enam ratus ribu, lah kok bisa pas dipinta itu bilangnya tidak ada. Gimana coba? Ya jelas aku meradang!" kata Mbak Ruli dengan cepat.Aku pura-pura tak mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Mbak Ruli dengan memilih kembali sayuran, yang bahkan tidak aku perlukan.Aku hanya berusaha untuk menghindari percakapan ini, dengan menyibukkan diriku sendiri. S