Pengemudi mobil sport itu turun dari mobilnya lalu berjalan mendekati Kaisar dengan tatapan kebenciannya. Dia adalah Bastian keponakan Abraham, anak dari adik pertama Abraham bernama Lionel.
“Kamu pasti kesini karena tau ada pembacaan surat wasiat, kan? Kamu nggak akan dapat sepeserpun, jangan mimpi. Kamu hanya anak pungut dan sudah dibuang oleh pamanku.”
Kaisar hanya diam dan tidak membalas penghinaan itu. Dia tidak ingin mencari keributan disaat suasana duka seperti itu.
“Aku sarankan kau pergi dari sini! Dan jangan pernah kembali lagi! Paman sudah mati dan tidak ada lagi yang bisa menerima kehadiranmu di sini sebelum kau diusir paksa oleh ayahku, paman dan bibiku yang lainnya.”
Bastian lalu meninggalkan Kaisar yang masih tidak membalas satupun perkataannya. Lelaki yang seumuran dengannya itu kembali menaiki mobil sportnya lalu melajukannya dengan kencang memasuki gerbang utama kediaman mendiang sang paman.
Kaisar hanya menatap dingin kepergian Bastian.
Tak lama, sebuah mobil mewah lain berhenti di samping Kaisar. Seorang pria paruh baya turun dari mobil, dan membungkuk dengan hormat kepadanya. Pria yang dikenali Kaisar sebagai pengacara ayah angkatnya.
“Tuan muda…” ujarnya dengan nada rendah penuh penghormatan.
Kaisar mengangguk sekilas, dan memberikan isyarat padanya untuk masuk terlebih dahulu.
Di dalam rumah mewah yang bak istana itu sudah berkumpul semua anggota keluarga Abraham. Tiga adik Abraham, beserta seluruh keponakannya termasuk Bastian juga sudah berada di sana. Elena yang berada di sana sejak tadi diam saja. Dia masih berduka atas kematian ayahnya. Mereka semua tengah menunggu kedatangan Pengacara untuk mengumumkan surat wasiat dari Abraham dengan wajah tegang dan gelisah.
Lionel–adik pertama Abraham, menatap kedua adiknya yang lain, lalu bicara pada mereka. “Elena tidak pantas menjadi pewaris. Meskipun, dia anak Kak Abraham satu-satunya. Tapi dia seorang perempuan.” Dia melanjutkan lagi dengan senyumannya yang licik. “Jika Kak Abraham memintaku untuk mengurus semua harta peninggalannya dan menjadi wali Elena, kalian berdua harus menerimanya. Karena bagaimanapun akulah pengganti Abraham yang paling dituakan sekarang. Dan akulah yang pantas untuk mengurus semua peningalannya dan menjadi wali Elena.”
Mason–adik kedua Abraham panas mendengarnya. “Kakak jangan terlalu percaya diri dulu,” protes Mason. “Yang paling cerdas dan pintar diantara kita bertiga adalah aku. Setiap ada masalah di perusahaan, Kak Abraham sering bertanya padaku dan akulah yang sering memberinya solusi. Jadi sudah pasti aku yang akan ditunjuk untuk menjadi Wali Elena.”
Lili–adik bungsu Abraham, tertawa. “Kak Abraham tidak akan mungkin menunjuk kalian berdua! Aku perempuan dan aku yang pantas menjadi wali Elena. Bukankah selama ini Elena yang paling dekat denganku? Dan aku sudah menjadi pengganti ibunya?”
Elena yang sedari tadi hanya diam dan tidak menanggapi perdebatan mereka sama sekali akhirnya berdiri karena kesal melihat tingkah lalu paman dan bibinya.
“Mau kemana kamu?” tanya Lionel pada Elena. “Kembali duduk. Sebentar lagi pengacara datang untuk mengumumkan surat wasiatnya dan kamu harus mendengarnya.”
Elena akhirnya terpaksa duduk lagi dengan menahan rasa kesalnya.
Tak lama kemudian, seorang pria paruh baya yang diketahui sebagai pengacara dari Abraham masuk. Ia disambut dengan sambutan hangat yang penuh kepura-puraan. Dia melihat ke semua orang yang hadir, kemudian bertanya, “Ada yang belum hadir, ya?”
Semua orang saling menoleh, dan terlihat bingung, karena semua keluarga Abraham sudah ada di ruangan. Namun pengacara Abraham kembali berkata, “Saya akan membacakan surat wasiatnya jika semuanya sudah hadir.”
Lionel menatap pengacara itu lalu bicara padanya. “Seluruh anggota keluarga mendiang kakak saya sudah berada di sini, tidak ada lagi yang perlu ditunggu.”
Belum sempat pengacara Abraham menjawab pertanyaan Lionel, sesosok pria dengan pakaian kasualnya datang, membuat semua orang yang hadir terperangah.
“Anak pungut! Apa yang kau lakukan di sini!” seru Bastian.
Kaisar terdiam lalu menatap pengacara mendiang ayah angkatnya.
“Kalau ingin melayat, jangan ke sini,” tambah Mason. “Pergilah ke makam kakakku!”
“Apa kau mengira kau akan mendapatkan bagian dari warisan Kak Abraham? Jangan berharap. Kau hanya anak pungut di keluarga ini!” tambah Lili.
Kaisar masih tidak mengatakan apapun.
“Dia tercatat menjadi bagian dari keluarga ini,” sergah pengacara Abraham hingga membuat semuanya terdiam.
“Kau jangan mengada-ada!” protes Lionel.
“Biarkan sajalah dia di sini,” ujar Lili sambil mengibaskan tangannya. Supaya pengacara itu segera membacakan surat wasiatnya. “Lagipula, dia tak akan mendapatkan apapun dari Kak Abraham. Sekarang mari kita dengarkan surat wasiatnya.” Lili menoleh pada pengacara itu kemudian bicara padanya. “Silakan, Pak.”
Pengacara Abraham berdehem, lalu berujar, “Baiklah.” Dia mulai membacakan semua isi yang ada dalam surat wasiat Abraham. Termasuk detail rinci mengenai seluruh kekayaan Abraham.
Dan semua orang terperangah ketika pengacara Abraham membacakan bagian kalimat, “Saya, dengan ini mewariskan seluruh harta kekayaan saya, kepada satu-satunya putra kandung saya. Kaisar Putra Abraham.”
Kaisar sedari tadi diam saja. Dia memperhatikan tingkah laku keluarga ayah angkatnya. Dia mencoba mencari petunjuk apakah diantara semua keluarga yang datang itu, kecuali Elena, ada yang paling mencurigakan dan mungkin, adalah penyebab kematian ayah angkatnya. Namun, sejauh ini, Kaisar belum menemukan petunjuk apa pun. Satu hal yang kini disadari oleh Kaisar, bahwa Elena benar-benar terancam bahaya karena berada di lingkungan keluarga yang haus akan harta. Mereka hanya berkedok keluarga saja. Kaisar memperhatikan Elena yang tampak gusar. Kaisar mengerti apa yang dirasakan gadis itu saat ini. Sementara Elena yang mendengar itu sudah tidak terkejut lagi. Sebelum surat wasiat itu dibacakan, dia juga sudah mendapatkan surat wasiat dari ayahnya. Bersamaan dengan yang diterima Kaisar. Surat wasiat yang mengatakan bahwa dia bukan anak kandung Abraham. Itulah yang membuatnya diam sejak tadi. Dia masih tidak percaya akan itu semua, tapi dia percaya dengan ayahnya karena selama ini ayahnya
Elena menatap bibinya Lili seraya mengulas senyum kecil. “Lagipula, kekayaan Kaisar akan menjadi milikku juga setelah kami menikah, bukan?” “Jangan gila kamu, Elena!” teriak Lionel. Salah seorang sepupu perempuannya bernama Rose anak dari bibinya Lili melihat Elena dengan tatapan tidak percaya. “Kamu bersedia untuk menikah dengan dia?” Elena melihat satu persatu anggota keluarganya, dan tersenyum simpul. “Kenapa tidak?” Elena berjalan melewati semua orang, dan menarik lengan Kaisar untuk mengikutinya. Semua orang menatap kepergian keduanya dengan rasa syok. Begitu keluar dari sana, Kaisar membawa Elena ke sebuah ruangan yang tidak asing. Ruang kerja ayah angkatnya. Di dalam sana, ekspresi Elena berubah. Ada kemarahan yang tidak diperlihatkan Elena ketika ia berada di dalam sana. Kemarahan terbesar yang disuarakannya kepada Kaisar adalah mengenai surat yang dikirimkan ayahnya, surat yang membuatnya terguncang. Kematian sang ayah dan fakta yang diungkapkan jika dirinya bukanlah an
Setelah membaca pesan itu, Kaisar melangkah pergi menuju kamarnya. Saat dia melewati ruang tengah, Kaisar terkejut melihat kedua pamannya dan bibinya sudah duduk di sana seperti menunggunya. Paman Lionel, Paman Mason dan Bibi Lili berdiri sembari menatap Kaisar dengan tatapan yang memiliki banyak arti. Tatapan yang menyimpan rasa benci yang begitu besar kepadanya. Kaisar tahu mereka masih berusaha mencari cara agar bisa mendapatkan bagian dari semua harta kekayaan ayah angkatnya dengan bernegosiasi dengannya. “Bisa bicara sebentar,” pinta Lionel. Kaisar mengangguk, dan bergabung dengan mereka. “Ada apa, Paman?” tanya Kaisar. “Mengenai perusahaan Abraham Grup…” “Aku akan mengurusnya setelah pernikahanku dengan Elena selesai digelar,” sela Kaisar. “Kau tidak akan menggantikan posisiku yang kini menjadi CEO di sana, kan? Karena bagaimana pun akulah yang ditunjuk ayahmu untuk mengurus perusahaannya selama ini. Ayahmu hanya mengawasi saja dan akulah yang turut andil memajukan perus
“Kenapa Pak Menteri terlihat buru-buru sekali?” tanya salah satu tamu undangan pada temannya sambil menatap Sang Menteri yang sedang dikawal oleh Pengawalnya untuk keluar dari area resepsi pernikahan itu. Dia heran, padahal Sang Menteri baru saja datang dan harus pergi lagi. “Entahlah,” jawab temannya. “Apa mungkin karena ada hal mendesak yang harus ia lakukan?” “Bagaimana pun dia seorang abdi negara. Tugas negara mungkin lebih penting daripada menghadiri resepsi pernikahan ini.” “Tapi, hebat sekali Elena. Tamu-tamu yang datang berkelas semua.” “Siapa dulu mendiang ayahnya.” “Tapi sayang Elena harus menikah dengan…” Mereka menatap ke arah Kaisar dengan pandangan meremehkan. Yang tidak diketahui oleh siapapun adalah, Menteri Pertahanan terburu-buru meninggalkan lokasi karena Kaisar yang memerintahkannya demikian. Semua orang yang mengenal Kaisar tahu kalau perintahnya seperti sebuah ultimatum. Keras, tegas, dan tidak bisa dibantah. Elena yang sibuk didatangi oleh para tamu und
“Saranku, berhenti bersikap sok tau, Kaisar. Kamu mempermalukan dirimu sendiri.” Kembali, ejekan-ejekan itu dilontarkan untuk Kaisar. Kaisar tidak membalasnya, dan hanya tersenyum tipis. Terlihat tidak terpengaruh dengan apapun yang terjadi. Kaisar pun meninggalkan mereka untuk keluar dari area gedung itu. “Dia pergi karena malu,” ucap Bastian pada teman-temannya. Kedua teman-temannya tertawa. Kaisar kembali tidak menggubris ejekan mereka. Dia ingin memastikan apakah Menteri Pertahanan benar-benar sudah pergi dari sana atau malah dicegat oleh tamu yang lain di luar sana. Elena yang masih menyambut tamu tampak heran melihat Kaisar keluar. Dia menduga Kaisar sedang mencari tamu undangannya. “Mau kemana suamimu?” tanya salah satu tamu yang kini berada di hadapannya. “Mungkin dia ingin menemui tamu udangannya,” jawab Elena. “Perasaan yang datang semuanya tamu darimu,” ucap tamu itu heran. “Aku mengenal semua yang datang dan aku tahu mereka semua berkelas. Tidak mungkin diantara se
Balina menatap Jacob heran. Dia menarik tangannya untuk menjauh dari Elena dan teman-temannya. Dua teman yang ditinggalkan Balina menatap Elena. Salah satunya berkata padanya. “Kau tahu, semua tamu yang datang menghadiri pernikahanmu ini karena menghormati mendiang ayahmu. Mereka hanya menghormati mendiang ayahmu saja, tapi tidak benar-benar mengucapkan selamat berbahagia atasmu. Semuanya kecewa karena kau telah memilih…” “Ayo! Kita susul Balina,” ajak temannya lagi. Dia pun menarik tangan temannya untuk menjauhi Elena dari sana. Elena mengatur napas dan menahan semua hinaan yang datang padanya. Sementara itu, Jacob yang menarik tangan Balina tadi berhenti di sudut ruangan itu. “Kau kenapa?” tanya Balina saat mereka sudah jauh dari Elena dan teman-temannya. “Dari mana kau tahu kalau pengantin pria itu pernah berperang bersama dengan Damian Alarich di daerah perbatasan Utara?” Jacob malah berbalik bertanya kepadanya. “Ada apa memangnya dengan Damian Alarich itu?” Balina bertanya
Kaisar terdiam mendengar suara Damian Alarich di seberang sana. Permohonannya mengingatkannya kembali akan peristiwa di hari itu. Peristiwa saat dia berada di medan perang bersama pasukannya.“Tembaaak!!!” teriak Kaisar memerintahkan pasukannya.Pasukannya langsung menembaki para musuh yang menghadang mereka di hadapan sana tanpa takut. Teriakan Kaisar benar-benar menjadi penyemangat untuk mereka. Kaisar maju paling depan hingga membuat pasukannya ternganga. Dan tidak membutuhkan waktu lama, pasukan musuh di hadapan sana pun bertumbangan.Sementara Damian Alarick dan pasukannya yang berada di sisi lain, berhasil merobohkan pertahanan musuh. Namun ternyata mereka semua terperangkap di dalam jebakan musuh. Mereka dikelilingi musuh di berbagai arah dan tidak dapat berbuat apa-apa lagi selain adu senjata dan pasrah pada nasib, apa akan menang atau kalah.Kaisar yang mengetahui itu di wilayah lain langsung menyelamatkan mereka dengan strategi perang yang dia miliki. Kaisar membawa pasukann
Jacob yang masih penasaran terkejut saat melihat Kaisar mendekatinya. Dia ingin pergi karena takut jika dugaannya benar bahwa Pengantin Pria itu bukan orang sembarangan.“Tunggu!” panggil Kaisar.Jacob berhenti melangkah dan menyembunyikan gemetarnya mendengar itu. Dia menoleh dan dengan refleks memberi hormat padanya. “Maafkan saya! Saya tidak bermaksud mengintip tapi saya tidak sengaja berada di sini.”Kaisar menunjukkan wajah pura-pura heran padanya. “Kenapa kau hormat padaku? Pangkat kita sama.”Jacob terkejut. Dia menurunkan tangannya dengan ragu, namun sikap Pengantin Pria itu membuatnya berubah pikiran. “Ka… Kalau pangkat kita sama, kenapa tadi pasukan persembahan itu hormat padamu?” tanyanya heran.Kaisar sedikit tertawa agar Jacob tidak semakin curiga.“Mereka memberi hormat untuk mendiang Tuan Abraham,” jawab Kaisar. “Dan sebagai ucapan selamat atas pernikahanku dengan anak gadisnya.”Jacob angguk-angguk. Saat dia mulai percaya, seketika dia menyesal sudah hormat padanya tad
Keheningan malam terpecah oleh suara gemuruh di sekitar villa yang terpencil. Tentara-tentara setia menjaga pos mereka dengan teliti, meraba setiap bayangan yang melintas di bawah sinar bulan. Namun, kehadiran yang tak diundang telah menyusup, mengubah ketenangan menjadi kekacauan.Tiba-tiba, suara keras membelah udara. "Ada penyusup!" teriak salah satu tentara yang berjaga, memecah kesunyian malam. Serentak, rekan-rekannya bersiap, senjata teracung, siap menghadapi ancaman yang tak terlihat.Namun, di sisi lain bangunan villa, Jenderal Kaisar merasa jantungnya berdegup kencang. Ia bersembunyi di balik tembok batu, menatap kegelapan dengan mata tajamnya. Pikirannya berputar, mencari cara terbaik untuk melindungi diri terlebih dahulu karena ada sebuah rencana yang akan dia lakukan untuk Jenderal Paul.Sementara itu, Damian merasakan getaran tegang melintas di udara. Bersama pasukannya, ia merapatkan barisan, menunggu tanda untuk bertindak. Mereka telah menunggu saat ini dengan sabar, d
Debi dan Nadi merunduk di balik semak-semak, mata mereka terfokus pada villa yang terletak di tengah hutan. Suara angin sepoi-sepoi berbisik di antara pepohonan, menciptakan atmosfer ketegangan yang mendalam."Tidak lama lagi, Nadi," bisik Debi, matanya tetap terjaga untuk melihat setiap perubahan di sekitar mereka.Nadi mengangguk, tangannya menggenggam erat panah di busurnya. "Kita harus siap. Jenderal Kaisar pasti tidak akan lagi Jenderal Kaisar akan tiba ke sini.”Tiba-tiba, ponsel Debi memecah keheningan. Dia menarik keluar perangkatnya dan melihat panggilan masuk dari Jenderal Kaisar. "Ini dia," gumamnya, menjawab panggilan dengan hati-hati."Debi," suara berat Jenderal Kaisar terdengar di seberang sana, "bagaimana situasinya?"Debi menatap layar ponselnya, mencoba memilih kata-kata dengan hati-hati. "Situasi masih aman, Jenderal. Kami masih di luar villa. Jenderal Paul masih di dalam."Jenderal Kaisar menghela nafas, suaranya penuh dengan ketenangan. "Dia tidak akan bisa bersem
Jenderal Paul keluar dari ruang kerjanya dengan langkah mantap, diikuti oleh dua ajudannya yang selalu setia mendampinginya. Sambil menghubungi pengurus villa melalui ponselnya, dia tersenyum, "Saya akan ke sana, mohon persiapkan segalanya karena saya ingin bersantai di sana."Pengurus villa dengan sigap menjawab, "Baik, Tuan Jenderal. Kami akan menyiapkan semuanya segera."Saat Jenderal Paul dan ajudannya tiba di depan lobby, seorang petugas pengamanan membuka pintu mobil, memberi hormat sambil memberikan salam. Jenderal Paul, yang senantiasa rendah hati, menyapa kembali. Bersama dengan dua ajudannya, mereka naik ke dalam mobil yang telah disiapkan dengan rapi di depan pintu.Mobil bergerak lancar melalui gerbang menuju arah villa. Jenderal Paul melihat sekelilingnya dengan senyuman tenang. Pemandangan pegunungan yang hijau dan langit biru yang cerah memberikan kontras yang memukau.Jenderal Paul memutar kepala ke arah sopir, "Mengantar ke Villa, Pak."Supir mengangguk mengiyakan dan
Dinginnya udara malam menyambut kedatangan Kaisar, Damian, Rudi, Nadi, dan pasukan khususnya di bandara negara Taruma. Mereka menyamar sebagai warga biasa, menyelinap masuk tanpa menimbulkan kecurigaan sekalipun. Langkah mereka seolah-olah tidak meninggalkan jejak, tetapi kenyataannya, perjalanan mereka penuh perhitungan dan ketenangan.Sesaat setelah melewati pintu kedatangan, suasana kembali normal. Para penumpang berhamburan menuju bagian keluar bandara dengan perasaan lega. Kaisar memandang sekeliling dengan tatapan tajam, memastikan bahwa mereka berhasil meloloskan diri tanpa terdeteksi.Namun, ketenangan itu tiba-tiba terguncang saat seorang petugas keamanan memanggil mereka dari kejauhan. "Tunggu!" seru petugas tersebut sambil melambaikan tangan.Kaisar, Damian, Rudi, Nadi, dan pasukan khususnya memandang satu sama lain dengan raut wajah tegang. Mereka bergerak menuju petugas dengan langkah hati-hati. Petugas tersebut tampak serius, sambil memegang sebuah jam tangan.Kaisar yan
Kaisar duduk di kursi belakang mobil mewahnya, tangan kanannya menekan erat-erat ponsel pintarnya sementara supir setia dan ajudan pribadinya mengemudi dengan hati-hati melalui jalanan yang ramai di ibu kota New Taraka. Kaisar berbicara dengan serius, "Yusa, saya dan tim akan segera tiba di negara Taruma. Pastikan semuanya siap dan awasi bandara serta jalanan menuju rumah rahasia. Laporkan segera jika ada kejanggalan."Yusa, seorang agen rahasia yang bertanggung jawab atas keamanan Kaisar, menjawab, "Baik, Jenderal Kaisar. Kami akan memastikan semuanya berjalan lancar dan aman. Semoga perjalanan Anda sampai di sini tanpa hambatan."Dengan tekad bulat, Kaisar menambahkan, "Saya tahu risikonya tinggi, tetapi ini adalah langkah yang harus kita ambil."Yusa mengangguk seraya menyampaikan doanya, "Kami akan berdoa untuk keselamatan Jenderal dan seluruh tim. Semoga misi ini berhasil tanpa ada korban jiwa."Setelah menutup teleponnya, Yusa segera memberitahu tim agennya yang sedang berkumpul
Dalam keheningan kediaman sewaannya di negara Taruma, Yusa merogoh kantongnya untuk mengambil sebuah alat komunikasi. Dengan gerakan cepat, dia menekan beberapa tombol dan menunggu sambungan.Jenderal Kaisar duduk di ruang komandonya yang megah. Ketika teleponnya berdering, dia segera mengangkatnya dengan penuh kehati-hatian."Halo," sapanya tegas, menandakan kesiapan untuk menerima laporan apa pun.Yusa, dengan napasnya yang cepat, memberikan laporan pada Jenderal Kaisar, "Jenderal, kami telah menemukan jejak Jenderal Paul. Kami memetakan tempat-tempat yang sering dia kunjungi."Jenderal Kaisar menahan nafasnya sejenak, matanya berbinar dalam sorot cahaya lampu ruangan yang redup. "Bagus. Bagaimana kondisinya?"Yusa menjawab dengan tegas, "Kami sudah siap untuk melanjutkan rencana berikutnya, Jenderal. Kami hanya menunggu arahan dari Anda."Jenderal Kaisar menarik napas lega, melihat kesempatan untuk mengakhiri ancaman yang disebabkan oleh Jenderal Paul."Segera kirimkan lokasi-lokas
Di ruang istana yang megah, Jenderal Kaisar duduk di seberang meja dari Elena, istrinya. Suasana ruangan itu dipenuhi ketegangan yang mendalam. Kaisar menatap Elena dengan ekspresi serius, dan Elena dapat merasakan ada sesuatu yang sangat penting yang ingin diungkapkan suaminya."Sayang," ucap Kaisar dengan suara yang dalam, "ada sesuatu yang perlu kusampaikan padamu."Elena mengangguk, matanya penuh dengan rasa penasaran dan kekhawatiran. "Apa yang terjadi, Kaisar?"Jenderal Kaisar mengambil nafas dalam-dalam sebelum menjawab, "Para peretas yang telah mengancam keamanan negara kita adalah agen mata-mata dari negara Taruma."Elena merasakan kejutan melintas di wajahnya. "Negara Taruma? Bagaimana bisa?"Kaisar menjelaskan dengan penuh ketegasan, "Kami telah melakukan penyelidikan, dan berdasarkan bukti yang kami temukan, kami berhasil menghabisi beberapa dari mereka. Bahkan, seorang dari mereka sudah kami tangkap."Elena merasa campur aduk antara kelegaan dan kecemasan. "Apakah ancaman
Ruang rawat inap rumah sakit militer itu terasa hening, hanya terdengar suara mesin-mesin alat medis yang terus berdenyut. Kaisar duduk di kursi di sebelah tempat tidur yang ditempati oleh Bara, salah satu agen rahasia dari pihak musuh yang berhasil mereka sandera. Damian berdiri di sampingnya sambil memperhatikan dengan serius.Dokter yang berkemeja putih memeriksa luka tembakan yang melukai Bara. Kaisar dan Damian menyimak setiap kata yang diucapkan dokter dengan ketegangan yang menggelayuti hati mereka."Dia harus istirahat dan pulih selama beberapa minggu. Luka tembaknya cukup serius, tapi kami melakukan yang terbaik untuk memperbaiki kerusakan," ujar dokter dengan suara lembut.Kaisar menundukkan kepalanya sejenak, lalu menatap Bara yang terbaring tak berdaya. "Lakukan apa pun yang diperlukan untuk kesembuhannya, dokter."Damian menarik napas panjang. "Jenderal, apakah Anda yakin kita harus meninggalkannya di sini? Bagaimana jika ada pihak lawan yang mencoba menyusup ke sini dan
Di dalam kamar hotel, Bara dan tim agennya sedang sibuk mengatur strategi mereka. Keheningan di kamar itu terputus ketika salah satu agen mendapat laporan penting."Apa yang terjadi di lobby?" tanya Bara dengan ekspresi serius.Salah satu agen menjawab dengan ketidakpastian, "Ada banyak pasukan tentara di sana, Bara. CCTV menunjukkan gerakan yang mencurigakan."Bara segera memeriksa layar laptop, matanya meneliti setiap sudut ruang hotel yang ditampilkan oleh kamera pengawas. Benar saja, tentara-tentara bersenjata berjaga di sekitar lobby."Sepertinya kita telah diintai," kata Bara dengan suara tegas. "Pihak musuh mungkin sudah mengetahui keberadaan kita di sini."Ketegangan menyelimuti kamar, dan Bara segera memberikan perintah, "Bersiaplah untuk segala kemungkinan. Keluarkan senjata dan siapkan diri untuk perlawanan. Jika mereka benar-benar menyerang, kita harus siap menghadapinya."Semua anggota tim segera bergerak dengan sigap. Senjata-senjata ditarik, dan wajah-wajah mereka mence