Kaisar sedari tadi diam saja. Dia memperhatikan tingkah laku keluarga ayah angkatnya. Dia mencoba mencari petunjuk apakah diantara semua keluarga yang datang itu, kecuali Elena, ada yang paling mencurigakan dan mungkin, adalah penyebab kematian ayah angkatnya.
Namun, sejauh ini, Kaisar belum menemukan petunjuk apa pun.
Satu hal yang kini disadari oleh Kaisar, bahwa Elena benar-benar terancam bahaya karena berada di lingkungan keluarga yang haus akan harta. Mereka hanya berkedok keluarga saja. Kaisar memperhatikan Elena yang tampak gusar. Kaisar mengerti apa yang dirasakan gadis itu saat ini.
Sementara Elena yang mendengar itu sudah tidak terkejut lagi. Sebelum surat wasiat itu dibacakan, dia juga sudah mendapatkan surat wasiat dari ayahnya. Bersamaan dengan yang diterima Kaisar. Surat wasiat yang mengatakan bahwa dia bukan anak kandung Abraham. Itulah yang membuatnya diam sejak tadi. Dia masih tidak percaya akan itu semua, tapi dia percaya dengan ayahnya karena selama ini ayahnya tidak pernah membohonginya. Dia yakin ayahnya tidak berbohong mengenai kenyataan itu.
Sementara Lionel, Mason, Lili dan seluruh keluarganya yang ada di sana masih terdengar riuh hingga membuat Abraham menghentikan sementara membacakan surat wasiatnya.
“Tidak mungkin!” teriak Lionel yang tidak percaya akan isi surat wasiat itu.
“Ini pasti rekayasa!” tambah Mason.
“Kau pasti telah ikut-ikutan menipu kami bersama anak pungut itu!” Lili tak kalah geram pada pengacara mendengar itu.
Kaisar masih diam dan mengawasi mereka satu persatu. Dia tidak peduli akan hinaan dan tuduhan yang dialamatkan kepadanya.
Pengacara menatap adik-adik Abraham yang rakus akan harta itu satu persatu. “Surat wasiat ini sah menurut hukum, dan semua buktinya sudah saya bawakan. Apa semuanya bisa tenang sebentar agar saya bisa melanjutkan pembacaan surat wasiatnya?” sergah Pengacara Abraham. “Saya harus menyelesaikan membacakan surat wasiat Tuan Abraham hingga kalimat terakhir. Setelah itu akan saya tunjukkan bukti-bukti dokumennya.”
Semua akhirnya kembali terdiam. Melihat gelagat mereka yang tampak rakus akan harta, Kaisar kian yakin semuannya terlibat dalam kematian ayahnya. Namun tidak cukup hanya dugaan saja. Kaisar harus mendapatkan buktinya.
“Silakan dilanjutkan, Pak,” ujar Elena pada akhirnya.
Pengacara Pribadi Abraham mengangguk.
“Baik, Nona.”
Pengacara itu akhirnya kembali membacakan surat wasiat itu. “Selain itu, Tuan Abraham juga menginginkan agar Kaisar untuk menikahi Elena. Putri tersayangnya yang sudah ia anggap sebagai anak kandungnya.”
Sekalipun Elena telah mengetahui informasi itu dari surat wasiat yang diterimanya, namun ia tidak bisa menyembunyikan emosinya ketika mendengar informasi itu lagi.
“Menikah dengan Kaisar, ya?” gumam Elena dalam hatinya. Dia mengenal Kaisar sejak kecil, dan ia tahu kalau pria itu adalah seseorang yang baik. Sejak dulu, Elena tidak pernah ikut-ikutan merendahkannya disaat anak pungut itu tinggal di rumahnya. Bahkan dia sempat sedih saat ayahnya mengirim Kaisar ke dunia kemiliteran. Meski sepupu-sepupunya selama ini melarangnya untuk dekat dengannya, tapi Elena hanya menjauh saja, bukan membencinya.
Tapi menikah dengan Kaisar tetaplah sebuah keputusan yang besar. Elena merasa itu bukan sebuah solusi karena dia tidak mencintai lelaki itu, dia hanya menganggap lelaki itu seperti saudara kandungnya sendiri.
"Dengan demikian, selesai sudah pembacaan surat wasiat dari Tuan Abraham."
Seperti yang telah diduga oleh Kaisar, satu baris kalimat terakhir yang diucapkan oleh pengacara ayah angkatnya benar-benar membuat semua orang di sana seperti kebakaran jenggot. Tapi tidak ada satu pun yang menyadari bahwa ada 2 poin penting di dalam sana. Bukan hanya, Warisan untuk Kaisar, namun juga, pernikahan antara Kaisar dan Elena yang akan segera berlangsung.
Satu-satunya yang terlihat bereaksi atas poin kedua hanyalah Elena. Kaisar tahu gadis itu pasti tidak akan bisa menerima permintaan ayahnya itu. Dia sendiri pun sudah menganggap Elena seperti adik kandungnya sendiri. Tidak ada cinta melainkan kasih sayang yang tumbuh layaknya sesama saudara.
Lionel yang paling banyak bicara sejak tadi bahkan sampai menunjuk Kaisar berkali-kali. “Satu-satunya anak dari mendiang kakak saya adalah Elena. Kakak saya tidak pernah memiliki seorang anak laki-laki!”
“Benar! Ini penipuan!” tambah Mason dengan kesalnya.
“Ini harus dibawa ke ranah hukum!” tegas Lili pada Pengacara Pribadi Abraham.
Bukan hanya mereka yang protes, bahkan para ipar Abraham pun ikut protes akan hal itu. Begitu juga dengan para sepupu Elena yang selama ini selalu dingin dan kasar terhadap Kaisar.
Pengacara Abraham meletakkan dokumen yang berisi semua bukti bahwa Kaisar anak kandung dari Abraham ke atas meja. “Silakan kalian periksa semua bukti-buktinya. Jika kalian ingin memperkarakannya, kalian pasti akan kalah karena ini sudah diakui oleh pengadilan. Tugas saya sudah selesai. Terima kasih.” Pengacara Pribadi Abraham pun menyerahkan dokumen lain pada Kaisar untuk dia tanda tangani. “Silakan ditandatangi Tuan Muda. Mulai saat ini, Perusahaan Abraham Grup dan seluruh harta kekayaan Tuan Abraham menjadi milik Tuan.”
Semua tampak menahan amarah mendengar itu. Kaisar langsung mendekati pengacara itu lalu bergegas menandatanganinya.
“Baiklah,” ucap Pengacara itu setelah Kaisar berhasil menandatanginya. “Saya permisi dahulu.” Pengacara pergi dari sana setelah pamit dengan penuh hormat pada Kasiar.
Kaisar menangkap gelagat aneh dari Paman Lionel. Lionel menatap kepergian Pengacara Abraham dengan wajah kesal lalu sedikit menjauh dari sana, dan terlihat menghubungi seseorang. Kaisar menaruh kecurigaan jika Paman Lionel tengah memerintahkan orang melakukan hal buruk pada Pengacara itu.
Dan saat pengacara itu sudah keluar dari rumah bak istana itu, diam-diam Kaisar mengirim pesan pada Perwiranya. “Pengacara pribadi ayah sudah keluar. Kawal dia secara sembunyi-sembunyi.” Kaisar sudah memikirkannya saat tadi dia bertemu dengan pengacara itu di gerbang rumah. Dia khawatir pengacara itu akan terancam setelah membacakan surat wasiatnya nanti. Makanya dia menghubungi Perwiranya untuk diam-diam mengawal pengacara itu agar selamat dari segala kejahatan keluarga di rumah itu.
Tak lama kemudian pesan balasan datang. “Siap, Jenderal.”
Saat Kaisar menyimpan handphone-nya, Bastian menatap Kaisar dengan tatapan geramnya. “Dia pasti penipu! Kau dan Pengacara itu pasti sudah bekerjasama untuk membuat dokumen palsu!”
“Benar!” Tambah Lionel. “Kau pasti sudah merekayasa bukti-bukti itu, kan?”
Kaisar tidak merespon apapun.
“Dasar licik! Bagaimana mungkin anak pungut sepertimu bisa menjadi pewaris!” ucap Jose, keponakan Abraham - anak dari Mason. Tiba-tiba Bastian mendekat lalu berdiri di sebelah Jose, Mereka mencoba untuk mendorong tubuh Kaisar, namun karena bahu Kaisar terasa keras seperti batu, justru tubuh merekalah yang terdorong.
Sementara itu, Lili menghampiri Elena. Dia menggenggam kedua tangan Elena yang sedang duduk diam. “Kau harus membawa ini ke pengadilan, Elena. Anak pungut itu telah menipumu! Kaulah anak kandung kakakku! Meskipun kamu wanita, tapi dibandingkan anak pungut itu, kami lebih rela kalau kamu yang mewarisi segalanya, sayang…”
Pernyataan itu diaminkan oleh semua orang.
“Lagipula, kamu nggak mungkin membiarkan kami tanpa warisan sama sekali kan, nak?” tambah Lionel.
Elena masih terdiam. Semua orang menunggu apa yang akan dikatakan olehnya. Kaisar pun menunggu apa yang akan dikatakan gadis itu. Dia berharap agar Elena tidak termakan perkataan paman dan bibinya.
Dan untuk pertama kalinya, Elena menatap Kaisar yang sedari tadi memilih diam.
Kaisar telah berkelana ke banyak negara, dan telah bertemu dengan banyaknya perempuan cantik, namun tidak ada yang seperti Elena. Setelah bertahun-tahun lamanya, Elena tumbuh menjadi gadis yang paling cantik yang pernah dilihat olehnya.
Tanpa melepaskan pandangan dari Kaisar, Elena berkata, “Dibandingkan harus jatuh ke tangan kalian, lebih baik Kaisar yang mendapatkan segalanya.”
Elena menatap bibinya Lili seraya mengulas senyum kecil. “Lagipula, kekayaan Kaisar akan menjadi milikku juga setelah kami menikah, bukan?” “Jangan gila kamu, Elena!” teriak Lionel. Salah seorang sepupu perempuannya bernama Rose anak dari bibinya Lili melihat Elena dengan tatapan tidak percaya. “Kamu bersedia untuk menikah dengan dia?” Elena melihat satu persatu anggota keluarganya, dan tersenyum simpul. “Kenapa tidak?” Elena berjalan melewati semua orang, dan menarik lengan Kaisar untuk mengikutinya. Semua orang menatap kepergian keduanya dengan rasa syok. Begitu keluar dari sana, Kaisar membawa Elena ke sebuah ruangan yang tidak asing. Ruang kerja ayah angkatnya. Di dalam sana, ekspresi Elena berubah. Ada kemarahan yang tidak diperlihatkan Elena ketika ia berada di dalam sana. Kemarahan terbesar yang disuarakannya kepada Kaisar adalah mengenai surat yang dikirimkan ayahnya, surat yang membuatnya terguncang. Kematian sang ayah dan fakta yang diungkapkan jika dirinya bukanlah an
Setelah membaca pesan itu, Kaisar melangkah pergi menuju kamarnya. Saat dia melewati ruang tengah, Kaisar terkejut melihat kedua pamannya dan bibinya sudah duduk di sana seperti menunggunya. Paman Lionel, Paman Mason dan Bibi Lili berdiri sembari menatap Kaisar dengan tatapan yang memiliki banyak arti. Tatapan yang menyimpan rasa benci yang begitu besar kepadanya. Kaisar tahu mereka masih berusaha mencari cara agar bisa mendapatkan bagian dari semua harta kekayaan ayah angkatnya dengan bernegosiasi dengannya. “Bisa bicara sebentar,” pinta Lionel. Kaisar mengangguk, dan bergabung dengan mereka. “Ada apa, Paman?” tanya Kaisar. “Mengenai perusahaan Abraham Grup…” “Aku akan mengurusnya setelah pernikahanku dengan Elena selesai digelar,” sela Kaisar. “Kau tidak akan menggantikan posisiku yang kini menjadi CEO di sana, kan? Karena bagaimana pun akulah yang ditunjuk ayahmu untuk mengurus perusahaannya selama ini. Ayahmu hanya mengawasi saja dan akulah yang turut andil memajukan perus
“Kenapa Pak Menteri terlihat buru-buru sekali?” tanya salah satu tamu undangan pada temannya sambil menatap Sang Menteri yang sedang dikawal oleh Pengawalnya untuk keluar dari area resepsi pernikahan itu. Dia heran, padahal Sang Menteri baru saja datang dan harus pergi lagi. “Entahlah,” jawab temannya. “Apa mungkin karena ada hal mendesak yang harus ia lakukan?” “Bagaimana pun dia seorang abdi negara. Tugas negara mungkin lebih penting daripada menghadiri resepsi pernikahan ini.” “Tapi, hebat sekali Elena. Tamu-tamu yang datang berkelas semua.” “Siapa dulu mendiang ayahnya.” “Tapi sayang Elena harus menikah dengan…” Mereka menatap ke arah Kaisar dengan pandangan meremehkan. Yang tidak diketahui oleh siapapun adalah, Menteri Pertahanan terburu-buru meninggalkan lokasi karena Kaisar yang memerintahkannya demikian. Semua orang yang mengenal Kaisar tahu kalau perintahnya seperti sebuah ultimatum. Keras, tegas, dan tidak bisa dibantah. Elena yang sibuk didatangi oleh para tamu und
“Saranku, berhenti bersikap sok tau, Kaisar. Kamu mempermalukan dirimu sendiri.” Kembali, ejekan-ejekan itu dilontarkan untuk Kaisar. Kaisar tidak membalasnya, dan hanya tersenyum tipis. Terlihat tidak terpengaruh dengan apapun yang terjadi. Kaisar pun meninggalkan mereka untuk keluar dari area gedung itu. “Dia pergi karena malu,” ucap Bastian pada teman-temannya. Kedua teman-temannya tertawa. Kaisar kembali tidak menggubris ejekan mereka. Dia ingin memastikan apakah Menteri Pertahanan benar-benar sudah pergi dari sana atau malah dicegat oleh tamu yang lain di luar sana. Elena yang masih menyambut tamu tampak heran melihat Kaisar keluar. Dia menduga Kaisar sedang mencari tamu undangannya. “Mau kemana suamimu?” tanya salah satu tamu yang kini berada di hadapannya. “Mungkin dia ingin menemui tamu udangannya,” jawab Elena. “Perasaan yang datang semuanya tamu darimu,” ucap tamu itu heran. “Aku mengenal semua yang datang dan aku tahu mereka semua berkelas. Tidak mungkin diantara se
Balina menatap Jacob heran. Dia menarik tangannya untuk menjauh dari Elena dan teman-temannya. Dua teman yang ditinggalkan Balina menatap Elena. Salah satunya berkata padanya. “Kau tahu, semua tamu yang datang menghadiri pernikahanmu ini karena menghormati mendiang ayahmu. Mereka hanya menghormati mendiang ayahmu saja, tapi tidak benar-benar mengucapkan selamat berbahagia atasmu. Semuanya kecewa karena kau telah memilih…” “Ayo! Kita susul Balina,” ajak temannya lagi. Dia pun menarik tangan temannya untuk menjauhi Elena dari sana. Elena mengatur napas dan menahan semua hinaan yang datang padanya. Sementara itu, Jacob yang menarik tangan Balina tadi berhenti di sudut ruangan itu. “Kau kenapa?” tanya Balina saat mereka sudah jauh dari Elena dan teman-temannya. “Dari mana kau tahu kalau pengantin pria itu pernah berperang bersama dengan Damian Alarich di daerah perbatasan Utara?” Jacob malah berbalik bertanya kepadanya. “Ada apa memangnya dengan Damian Alarich itu?” Balina bertanya
Kaisar terdiam mendengar suara Damian Alarich di seberang sana. Permohonannya mengingatkannya kembali akan peristiwa di hari itu. Peristiwa saat dia berada di medan perang bersama pasukannya.“Tembaaak!!!” teriak Kaisar memerintahkan pasukannya.Pasukannya langsung menembaki para musuh yang menghadang mereka di hadapan sana tanpa takut. Teriakan Kaisar benar-benar menjadi penyemangat untuk mereka. Kaisar maju paling depan hingga membuat pasukannya ternganga. Dan tidak membutuhkan waktu lama, pasukan musuh di hadapan sana pun bertumbangan.Sementara Damian Alarick dan pasukannya yang berada di sisi lain, berhasil merobohkan pertahanan musuh. Namun ternyata mereka semua terperangkap di dalam jebakan musuh. Mereka dikelilingi musuh di berbagai arah dan tidak dapat berbuat apa-apa lagi selain adu senjata dan pasrah pada nasib, apa akan menang atau kalah.Kaisar yang mengetahui itu di wilayah lain langsung menyelamatkan mereka dengan strategi perang yang dia miliki. Kaisar membawa pasukann
Jacob yang masih penasaran terkejut saat melihat Kaisar mendekatinya. Dia ingin pergi karena takut jika dugaannya benar bahwa Pengantin Pria itu bukan orang sembarangan.“Tunggu!” panggil Kaisar.Jacob berhenti melangkah dan menyembunyikan gemetarnya mendengar itu. Dia menoleh dan dengan refleks memberi hormat padanya. “Maafkan saya! Saya tidak bermaksud mengintip tapi saya tidak sengaja berada di sini.”Kaisar menunjukkan wajah pura-pura heran padanya. “Kenapa kau hormat padaku? Pangkat kita sama.”Jacob terkejut. Dia menurunkan tangannya dengan ragu, namun sikap Pengantin Pria itu membuatnya berubah pikiran. “Ka… Kalau pangkat kita sama, kenapa tadi pasukan persembahan itu hormat padamu?” tanyanya heran.Kaisar sedikit tertawa agar Jacob tidak semakin curiga.“Mereka memberi hormat untuk mendiang Tuan Abraham,” jawab Kaisar. “Dan sebagai ucapan selamat atas pernikahanku dengan anak gadisnya.”Jacob angguk-angguk. Saat dia mulai percaya, seketika dia menyesal sudah hormat padanya tad
“Oh ya, saya sudah tahu siapa anda,” ucap Vander pada Kaisar dengan wajah menyimpan ketidaksukaannya.Paman Lionel dan Elena tampak terkejut. Kaisar pun merasa curiga jika pria itu sudah tahu siapa dirinya.“Kau mengenal dia sebelum ini?” tanya Paman Lionel mencoba memastikan.“Aku tahu dia anak pungut Tuan Abraham, bukan?” jawab Vander sedikit tersenyum kecut. Vander pun mendekatkan wajahnya ke telinga Paman Lionel. “Anak pungut yang menyusahkan keluarga kalian.”Paman Lionel tertawa mendengar itu. Sementara Kaisar menyimpan lega meski mencoba menahan emosi karena turut mendengar bisikannya pada Paman Lionel dengan nada menghina. Dia pikir Vander sudah tahu siapa dirinya. Elena tampak sudah tidak nyaman berada di sana. Dia pun tampak kasihan dengan Kaisar yang sejak awal pesta dimulai, penghinaan-penghinaan dihujani kepadanya.Paman Lionel pun menarik tangan Kaisar untuk menjauh sedikit dari Vander dan Elena.“Sebaiknya kau sambut saja tamu-tamu lainnya,” pinta Paman Lionel. “Ini kes
Keheningan malam terpecah oleh suara gemuruh di sekitar villa yang terpencil. Tentara-tentara setia menjaga pos mereka dengan teliti, meraba setiap bayangan yang melintas di bawah sinar bulan. Namun, kehadiran yang tak diundang telah menyusup, mengubah ketenangan menjadi kekacauan.Tiba-tiba, suara keras membelah udara. "Ada penyusup!" teriak salah satu tentara yang berjaga, memecah kesunyian malam. Serentak, rekan-rekannya bersiap, senjata teracung, siap menghadapi ancaman yang tak terlihat.Namun, di sisi lain bangunan villa, Jenderal Kaisar merasa jantungnya berdegup kencang. Ia bersembunyi di balik tembok batu, menatap kegelapan dengan mata tajamnya. Pikirannya berputar, mencari cara terbaik untuk melindungi diri terlebih dahulu karena ada sebuah rencana yang akan dia lakukan untuk Jenderal Paul.Sementara itu, Damian merasakan getaran tegang melintas di udara. Bersama pasukannya, ia merapatkan barisan, menunggu tanda untuk bertindak. Mereka telah menunggu saat ini dengan sabar, d
Debi dan Nadi merunduk di balik semak-semak, mata mereka terfokus pada villa yang terletak di tengah hutan. Suara angin sepoi-sepoi berbisik di antara pepohonan, menciptakan atmosfer ketegangan yang mendalam."Tidak lama lagi, Nadi," bisik Debi, matanya tetap terjaga untuk melihat setiap perubahan di sekitar mereka.Nadi mengangguk, tangannya menggenggam erat panah di busurnya. "Kita harus siap. Jenderal Kaisar pasti tidak akan lagi Jenderal Kaisar akan tiba ke sini.”Tiba-tiba, ponsel Debi memecah keheningan. Dia menarik keluar perangkatnya dan melihat panggilan masuk dari Jenderal Kaisar. "Ini dia," gumamnya, menjawab panggilan dengan hati-hati."Debi," suara berat Jenderal Kaisar terdengar di seberang sana, "bagaimana situasinya?"Debi menatap layar ponselnya, mencoba memilih kata-kata dengan hati-hati. "Situasi masih aman, Jenderal. Kami masih di luar villa. Jenderal Paul masih di dalam."Jenderal Kaisar menghela nafas, suaranya penuh dengan ketenangan. "Dia tidak akan bisa bersem
Jenderal Paul keluar dari ruang kerjanya dengan langkah mantap, diikuti oleh dua ajudannya yang selalu setia mendampinginya. Sambil menghubungi pengurus villa melalui ponselnya, dia tersenyum, "Saya akan ke sana, mohon persiapkan segalanya karena saya ingin bersantai di sana."Pengurus villa dengan sigap menjawab, "Baik, Tuan Jenderal. Kami akan menyiapkan semuanya segera."Saat Jenderal Paul dan ajudannya tiba di depan lobby, seorang petugas pengamanan membuka pintu mobil, memberi hormat sambil memberikan salam. Jenderal Paul, yang senantiasa rendah hati, menyapa kembali. Bersama dengan dua ajudannya, mereka naik ke dalam mobil yang telah disiapkan dengan rapi di depan pintu.Mobil bergerak lancar melalui gerbang menuju arah villa. Jenderal Paul melihat sekelilingnya dengan senyuman tenang. Pemandangan pegunungan yang hijau dan langit biru yang cerah memberikan kontras yang memukau.Jenderal Paul memutar kepala ke arah sopir, "Mengantar ke Villa, Pak."Supir mengangguk mengiyakan dan
Dinginnya udara malam menyambut kedatangan Kaisar, Damian, Rudi, Nadi, dan pasukan khususnya di bandara negara Taruma. Mereka menyamar sebagai warga biasa, menyelinap masuk tanpa menimbulkan kecurigaan sekalipun. Langkah mereka seolah-olah tidak meninggalkan jejak, tetapi kenyataannya, perjalanan mereka penuh perhitungan dan ketenangan.Sesaat setelah melewati pintu kedatangan, suasana kembali normal. Para penumpang berhamburan menuju bagian keluar bandara dengan perasaan lega. Kaisar memandang sekeliling dengan tatapan tajam, memastikan bahwa mereka berhasil meloloskan diri tanpa terdeteksi.Namun, ketenangan itu tiba-tiba terguncang saat seorang petugas keamanan memanggil mereka dari kejauhan. "Tunggu!" seru petugas tersebut sambil melambaikan tangan.Kaisar, Damian, Rudi, Nadi, dan pasukan khususnya memandang satu sama lain dengan raut wajah tegang. Mereka bergerak menuju petugas dengan langkah hati-hati. Petugas tersebut tampak serius, sambil memegang sebuah jam tangan.Kaisar yan
Kaisar duduk di kursi belakang mobil mewahnya, tangan kanannya menekan erat-erat ponsel pintarnya sementara supir setia dan ajudan pribadinya mengemudi dengan hati-hati melalui jalanan yang ramai di ibu kota New Taraka. Kaisar berbicara dengan serius, "Yusa, saya dan tim akan segera tiba di negara Taruma. Pastikan semuanya siap dan awasi bandara serta jalanan menuju rumah rahasia. Laporkan segera jika ada kejanggalan."Yusa, seorang agen rahasia yang bertanggung jawab atas keamanan Kaisar, menjawab, "Baik, Jenderal Kaisar. Kami akan memastikan semuanya berjalan lancar dan aman. Semoga perjalanan Anda sampai di sini tanpa hambatan."Dengan tekad bulat, Kaisar menambahkan, "Saya tahu risikonya tinggi, tetapi ini adalah langkah yang harus kita ambil."Yusa mengangguk seraya menyampaikan doanya, "Kami akan berdoa untuk keselamatan Jenderal dan seluruh tim. Semoga misi ini berhasil tanpa ada korban jiwa."Setelah menutup teleponnya, Yusa segera memberitahu tim agennya yang sedang berkumpul
Dalam keheningan kediaman sewaannya di negara Taruma, Yusa merogoh kantongnya untuk mengambil sebuah alat komunikasi. Dengan gerakan cepat, dia menekan beberapa tombol dan menunggu sambungan.Jenderal Kaisar duduk di ruang komandonya yang megah. Ketika teleponnya berdering, dia segera mengangkatnya dengan penuh kehati-hatian."Halo," sapanya tegas, menandakan kesiapan untuk menerima laporan apa pun.Yusa, dengan napasnya yang cepat, memberikan laporan pada Jenderal Kaisar, "Jenderal, kami telah menemukan jejak Jenderal Paul. Kami memetakan tempat-tempat yang sering dia kunjungi."Jenderal Kaisar menahan nafasnya sejenak, matanya berbinar dalam sorot cahaya lampu ruangan yang redup. "Bagus. Bagaimana kondisinya?"Yusa menjawab dengan tegas, "Kami sudah siap untuk melanjutkan rencana berikutnya, Jenderal. Kami hanya menunggu arahan dari Anda."Jenderal Kaisar menarik napas lega, melihat kesempatan untuk mengakhiri ancaman yang disebabkan oleh Jenderal Paul."Segera kirimkan lokasi-lokas
Di ruang istana yang megah, Jenderal Kaisar duduk di seberang meja dari Elena, istrinya. Suasana ruangan itu dipenuhi ketegangan yang mendalam. Kaisar menatap Elena dengan ekspresi serius, dan Elena dapat merasakan ada sesuatu yang sangat penting yang ingin diungkapkan suaminya."Sayang," ucap Kaisar dengan suara yang dalam, "ada sesuatu yang perlu kusampaikan padamu."Elena mengangguk, matanya penuh dengan rasa penasaran dan kekhawatiran. "Apa yang terjadi, Kaisar?"Jenderal Kaisar mengambil nafas dalam-dalam sebelum menjawab, "Para peretas yang telah mengancam keamanan negara kita adalah agen mata-mata dari negara Taruma."Elena merasakan kejutan melintas di wajahnya. "Negara Taruma? Bagaimana bisa?"Kaisar menjelaskan dengan penuh ketegasan, "Kami telah melakukan penyelidikan, dan berdasarkan bukti yang kami temukan, kami berhasil menghabisi beberapa dari mereka. Bahkan, seorang dari mereka sudah kami tangkap."Elena merasa campur aduk antara kelegaan dan kecemasan. "Apakah ancaman
Ruang rawat inap rumah sakit militer itu terasa hening, hanya terdengar suara mesin-mesin alat medis yang terus berdenyut. Kaisar duduk di kursi di sebelah tempat tidur yang ditempati oleh Bara, salah satu agen rahasia dari pihak musuh yang berhasil mereka sandera. Damian berdiri di sampingnya sambil memperhatikan dengan serius.Dokter yang berkemeja putih memeriksa luka tembakan yang melukai Bara. Kaisar dan Damian menyimak setiap kata yang diucapkan dokter dengan ketegangan yang menggelayuti hati mereka."Dia harus istirahat dan pulih selama beberapa minggu. Luka tembaknya cukup serius, tapi kami melakukan yang terbaik untuk memperbaiki kerusakan," ujar dokter dengan suara lembut.Kaisar menundukkan kepalanya sejenak, lalu menatap Bara yang terbaring tak berdaya. "Lakukan apa pun yang diperlukan untuk kesembuhannya, dokter."Damian menarik napas panjang. "Jenderal, apakah Anda yakin kita harus meninggalkannya di sini? Bagaimana jika ada pihak lawan yang mencoba menyusup ke sini dan
Di dalam kamar hotel, Bara dan tim agennya sedang sibuk mengatur strategi mereka. Keheningan di kamar itu terputus ketika salah satu agen mendapat laporan penting."Apa yang terjadi di lobby?" tanya Bara dengan ekspresi serius.Salah satu agen menjawab dengan ketidakpastian, "Ada banyak pasukan tentara di sana, Bara. CCTV menunjukkan gerakan yang mencurigakan."Bara segera memeriksa layar laptop, matanya meneliti setiap sudut ruang hotel yang ditampilkan oleh kamera pengawas. Benar saja, tentara-tentara bersenjata berjaga di sekitar lobby."Sepertinya kita telah diintai," kata Bara dengan suara tegas. "Pihak musuh mungkin sudah mengetahui keberadaan kita di sini."Ketegangan menyelimuti kamar, dan Bara segera memberikan perintah, "Bersiaplah untuk segala kemungkinan. Keluarkan senjata dan siapkan diri untuk perlawanan. Jika mereka benar-benar menyerang, kita harus siap menghadapinya."Semua anggota tim segera bergerak dengan sigap. Senjata-senjata ditarik, dan wajah-wajah mereka mence