"Mas, jangan lakukan ini, kasihan anak kita," ucap Riani sambil mengguncang lenganku yang tengah menatap bayangnya di cermin tempatku berdiri.
"Apa Mas lupa? Kita menginginkan adanya anak sudah lama, Mas! Ini pertama kalinya aku mengandung dan akan memberimu gelar sebagai seorang ayah!" Kini ia luruh, memegangi kakiku bahkan tendangan halus dari perutnya yang mulai membesar kurasakan. Kuhela napasku, menatap wajah yang payah dan putus asa di cermin. Sudah mati kah nuraniku?Riani bangkit dari kakiku, mengusap air matanya yang membasahi wajah. Ia melangkah ke luar kamar tanpa menoleh kembali ke arahku. Bukan pura-pura tak punya hati. Bukan tak ingin memiliki buah hati. Namun, bagaimana jika memiliki anak tanpa memiliki harta benda? Sedangkan Pak Sujatmiko tengah mencecarku perihal hutang tiga ratus juta yang kupinjam beberapa bulan lalu.Kurebahkan diri di ranjang. Menangis dengan sesak karena tengah terjadinya pergolakan batin. Pernikahan kami sudah 7 tahun dan baru ini pula Riani mengandung. Masih kuingat jelas betapa bahagianya istriku saat memberikan testpack garis dua ketika kami menikmati soto di tikungan jalan."Mas Andri, sarapan kali ini akan lebih nikmat karena aku punya kejutan."Rianiku tersenyum hingga lesung pipinya tercetak jelas di ujung bibirnya. Sudah 7 tahun berlalu, cintaku masih sangat besar untuknya."Kejutan apa, Sayang?"Kuletakkan sendok, mengurungkan niat untuk melahap soto daging yang masih mengepulkan asap. Sebuah kotak berwarna merah hati berukuran kecil ia geser ke meja di depanku. Masih dengan senyumnya, ia mengangguk menyuruhku membukanya."Kamu ... hamil?""Iya, Mas! Akhirnya, lebaran kali ini aku punya jawaban kalau ditanya kapan hamil." Ia tertawa. Kuusap rambutnya yang bergelombang karena istriku ini baru saja mencatoknya tadi pagi. Aku bahagia melihatnya bahagia. Ada anak atau tidak, bagiku tak masalah.Kuusap nyeri di dada ketika masalahku kembali menghampiri kepala. Gara-gara Narendra, aku terlilit hutang bukan hanya pada Pak Sujatmiko, tapi juga di bank. Bisnis yang kugeluti bangkrut karena teman yang kupercayai mengorupsi uang restoran. Pengeluaran dan pemasukan tidak setara. Bahkan kini restoran yang kumiliki telah disita bank akibat bunga yang kian besar. Tersisa hanya rumah ini dan ruko kosong milikku. Meski itu pun sudah terlihat akan berpindah tangan pada Pak Sujatmiko jika tiga ratus juta masih belum bisa kukembalikan.Aku berdiri, mencari Riani di seluruh rumah. Akan kubulatkan tekadku untuk kembali meraih kejayaan diri."Riani! Ri!"Aku berteriak sembari membuka satu per satu ruangan di dalam rumah. Kubuka pintu kamar tamu, tidak ada. Beralih ke kamar mandi lantai atas dan bawah pun tak ada. Di mana istriku?"Riani! Kita bicarakan ini baik-baik, Ri! Ini demi keberlangsungan hidup kita!"Brak!Aku menoleh ke arah kanan di mana Riani membuka pintu dengan keras. Pintu itu mengarah ke balkon kamar. Wajahnya penuh keringat, bahkan poninya pun basah. Seluruh tubuhnya gemetar menatapku."Keberlangsungan hidup apa yang kamu maksud, Mas? Kamu sendiri hendak menumbalkan bayimu hanya demi kepentinganmu!" jerit Riani.Kujambak rambutku sambil berteriak begitu frustasi. Tanganku memukul tembok berulangkali. Kepentinganku? Bahkan aku membuatnya seperti ratu saat aku mengalami kejayaan hidup. Semuanya aku hamburkan hanya untuknya! Sekarang, bisa-bisanya ia bilang demi kepentinganku?"Apa yang aku lakukan semua ini juga demi kamu, Riani! Bukan serta merta untukku! Kamu pun pernah bergelimang harta denganku. Apa kamu nggak mau berkorban sedikit saja untukku?" Kuambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Riani ... jika kita tumbalkan janinmu, kita nggak merasa kehilangan karena kita masih belum bertemu. Tumbal ini hanya untuk anak pertama kita saja. Kita bisa kaya lagi. Kamu tau sendiri, sekarang semua serba mahal. Hutangku pun ada di mana-mana. Tolong pikirkan itu, Riani."Mata istriku menyipit sambil tersenyum sinis. "Kamu kira ... sesimple itu kamu jalanin pesugihan, Mas? Gila kamu. Kamu kira semudah itu hanya memberi tumbal satu janin udah ngebuat kamu kaya? Aku bukan anak kemarin sore yang bisa kamu bohongi."TOK! TOK! TOK!Suara ketukan beruntun membuat kami terdiam lalu menoleh ke arah pintu. Pintu utama bahkan sampai bergetar hebat seolah hendak rusak dari engselnya."ANDRI! KELUAR KAU DARI RUMAHMU, ATAU KUREMUKKAN KACAMU INI!"Bergetar hebat badanku. Suruhan Pak Sujatmiko kini sudah datang sesuai janjinya minggu lalu. Bunga mencekik hingga benar-benar membuatku ingin mencekik diriku sendiri. Langkahku gontai menghampiri ke arah pintu."Andri! Mana kau!" Jerit lelaki berbadan besar di depan pintu yang sesekali mengintip melalui kaca jendela."Bang ... tolong beri saya waktu seminggu ini," ucapku ketika membuka pintu."Ugh!" Perutku ditendang oleh lelaki berbadan besar dengan luka baret di pipi kiri. Kupegangi perut yang terasa sangat sakit ini, sedangkan kerahku dipegangi oleh kawannya yang satu lagi."Bang ... saya janji, seminggu la-"Bug!Darah muncrat melalui mulut karena dadaku yang kini dipukul dengan kerasnya oleh lelaki di hadapanku. Pandangan mulai kabur dan berkunang. Tak tahu lagi. Apa aku akan mati dengan membawa hutang ini? Terhina sekali hidupku jika mati dalam keadaan membawa hutang. Narenda baj1ngan! Aku yang harus menanggung semua derita yang ia sebabkan."Bang ...." Aku merintih.Kini kakiku tak sanggup menopang berat badanku. Aku lunglai di depan kedua lelaki ini. Dadaku sesak karena mengalami pukulan yang bertubi-tubi. Aku sudah berbaring di lantai dengan mata mengabur menatap ke dalam rumah melihat istriku menangis sambil jalan ke arahku."Janji doang, cuih! Udah berapa kali kamu bilang mau bayar seminggu ini, seminggu ke depan tapi tetap nggak ada!""Baron, lebih baik kita jarah saja isi rumahnya! Kita perk0sa istrinya! Bos pun udah ngizinin kita kalau kita nggak dapat setoran dari Andrianto!""Ja--jangan ...," ucapku lirih."BERI SAYA WAKTU 3 HARI! 3 HARI LAGI SAYA AKAN LUNASI HUTANG-HUTANG SUAMI SAYA! PERGI KALIAN DARI SINI DAN BILANG JANJI SAYA PADA SUJATMIKO!"Aku terkejut mendengar suara istriku. Meski mataku mengabur akibat rasa sakit ini, aku masih belum tuli kalau itu suara Riani. Apa maksud Riani? Dari mana uang yang akan aku dapatkan dalam waktu 3 hari? Sedangkan dalam waktu seminggu pun sangat mustahil kudapatkan."Jangan bohong kau, Manis! Kalau kau bohong, habis kau kami nikmati!" ancam salah satu lelaki yang memukuliku."Saya Riani. Riani Kinasih. Saya tidak pernah ingkar pada janji saya! Sekarang ... pergi dari sini dan datang 3 hari lagi! PERGI!"Aku merasa lega karena kedua preman suruhan Pak Sujatmiko pergi. Lenganku diangkat oleh Riani hingga susah payah aku berdiri. Kutatap wajahnya yang ayu dengan rahang mengetat."Kenapa kamu janjiin mereka tiga hari lagi ke mari, Riani? Bahkan untuk makan esok saja aku nggak punya uang sepeser pun.""Mari, Mas. Aku ikhlaskan jabang bayiku ini untuk tumbal pertama agar hutang-hutangmu lunas. Akan tetapi, aku minta syarat.""Apa syaratnya?""Hanya satu keturunanku yang akan menjadi tumbal. Tidak ada yang kedua dan ketiga! Jika itu terjadi, akan kuhabisi nyawamu dengan tanganku sendiri!"Setelah mengatakan itu, Riani membalik badan memunggungiku duduk di sofa. Yang kulihat, ia tengah menangis karena bahunya bergetar dengan kedua tangan sesekali seperti mengusap pipi. Aku tahu, ini keputusan yang sangat tidak mudah baginya."Kamu puas, Mas? Ini mimpiku ingin menjadi seorang ibu. Baru ini aku mengandung hingga membuatku sangat bahagia. Mbak Nuri yang selalu mengataiku mandul pun akan bungkam jika melihatku berbadan dua seperti sekarang. Ternyata, maksudmu agar aku tak sesumbar karena kamu memiliki tujuan keji biar adanya kita melakukan pesugihan ini, keluargamu tak curiga!"Mataku berkaca-kaca dituduh oleh istriku sendiri. Aku pun menginginkan keturunan pada rumah tangga kami. Maksudku agar tak sesumbar karena itu dianggap pamali bagi orang Jawa. Tak baik jika belum mituni atau tujuh bulan, kata ibuku.Kuusap keringat dan dada yang sesak. Akibat pukulan Baron dan Torso, dadaku seolah dihimpit beban berat. Aku memegang tembok untuk bisa bangkit dari lantai teras."Riani,
Riani langsung berbalik badan, menggeret koper yang sudah ia siapkan tadi. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Namun, dari wajahnya sudah terlihat jelas amarah yang terpendam. Rasa bersalah merajai hati. Ingin kupeluk ia, tapi takut jika istriku itu menolak. Akhirnya, aku menyusul Riani setelah lebih dulu mengunci pintu. Mobil kami pun sudah tidak ada di garasi karena sudah dijual. Riani berdiri di samping koper sambil mengusap perutnya yang buncit. Tangisnya sudah reda. "Mau ke mana, Mbak Riani?" Mbak Anis, tetangga yang rumahnya berhadapan dengan kami berdua menyapa. Aku tersenyum sambil mengangguk. Wanita itu kulihat baru saja ke luar rumah."Saya titip rumah ya, Mbak. Mau ada urusan dulu di luar beberapa hari," jawab Riani. Napasku sudah tertahan tadinya, takut Riani akan berkata seiya-iyanya karena tengah menahan amarah. "Hati-hati ya, Mbak Riani," kata Mbak Anis.Taksi online sudah datang ke hadapan kami. Aku angkat koper, lalu memasukkan ke bagasi mobil.
"Ini orang yang saya bilang, Romo."Aku dan istriku saling berpandangan. Sigit nyatanya sudah mengatakan tentang kedatangan kami. Lelaki paruh baya yang dia panggil Romo, rambutnya sudah memutih dan tertutup blangkon. Namun, masih terlihat segar di usia yang tak lagi muda. Satu matanya berwarna lain.Kami semua duduk di kursi kayu panjang. Rumahnya sederhana, akan tetapi terasa lain, terlebih dengan hiasan dinding dari tulang kepala kambing lengkap dengan tanduknya. Matanya seolah hidup."Aku tau waktumu ndak banyak."Terkesiap, aku memandang Romo mengalihkan perhatian dari kepala kambing itu. Aku menunduk dan mengangguk."Nggeh, Romo. Kami sedang terlilit hutang dan harus dibayar sepulangnya kami dari sini. Mohon bantuannya," paparku."Sebelum melakukan ritual, hilangkan dulu keraguanmu, Nduk. Yang diminta hanya anak pertama, dirimu bisa hamil lagi setelah itu."Mataku membulat. Romo berbicara pada Riani. Hebat juga orang ini dapat membaca keraguan istriku."Bukankah memiliki anak ju
Mendengar hal itu, kubalik tubuh istriku dan mengusap perutnya. Benar, perutnya kembali rata seperti sebelum hamil. Telingaku kudekatkan pada perutnya, tak lagi ada tanda-tanda jika anakku masih bersemayam di sana.Segera kulompat ke lantai dan berjongkok untuk mengambil peti yang diberikan oleh Romo. Aku berteriak girang ketika membukanya, di sana secara ajaib berhamburan uang lembaran merah lengkap dengan emas batangan. Mataku sudah pasti berbinar menatap lembaran duniawi yang akan membuat hidupku sejahtera.Aku ambil uang-uang yang berhamburan di bawah ranjang, hingga peti itu tak mampu menampung. Agar lebih cepat, kuambil beberapa emas batangan bersiap menemui Baron dan Torso. Pintu masih di ketuk di bawah sana."Andrianto! Buka pintunya! Ini udah 3 hari dari janji istrimu!"Dagu kuangkat tinggi menyambut kedua wajah preman jelek itu. Dengan senyum meremehkan keduanya, aku memberikan emas-emas itu untuk ia bawa pergi."Bilang pada Sujatmiko, nilai emas ini lebih dari hutang-hutang
Seharian ini aku termenung di balkon sambil mengepulkan asap rokok untuk mengurangi stress. Ucapan Ratu Anyelir masih saja terngiang, bahwa dirinya tengah meminta tumbal dua janin sebelum usia tujuh bulan.Waktu untuk memberikan persembahan masih lumayan lama untukku berusaha. Ah, pasti bisa persyaratan itu kupenuhi. Kucari Riani sambil memanggilnya dengan riang. Tak ingin lagi kubuat istriku itu sedih dan menderita.Baru melangkah dari balkon dan melewati lorong kamar khusus untuk Ratu Anyelir, perhatianku berpusat pada pintu kamar itu yang terbuka sedikit. Riani pasti lupa menutupnya setelah membersihkan kamar itu tadi pagi.Semakin dekat, telingaku mendengar senandung merdu dari kamar itu. Kubuka lebar pintunya lalu menghela napas lega. Ternyata Riani tengah berdiri di depan cermin besar membelakangiku sembari menyisir rambutnya. Karena dari arah pintu langsung berhadapan dengan cermin, dapat kulihat wajah cantik Riani yang kini tersenyum.Kudekati istriku itu. Pagi ini aku merasa
Seharian ini aku termenung di balkon sambil mengepulkan asap rokok untuk mengurangi stress. Ucapan Ratu Anyelir masih saja terngiang, bahwa dirinya tengah meminta tumbal dua janin sebelum usia tujuh bulan.Waktu untuk memberikan persembahan masih lumayan lama untukku berusaha. Ah, pasti bisa persyaratan itu kupenuhi. Kucari Riani sambil memanggilnya dengan riang. Tak ingin lagi kubuat istriku itu sedih dan menderita.Baru melangkah dari balkon dan melewati lorong kamar khusus untuk Ratu Anyelir, perhatianku berpusat pada pintu kamar itu yang terbuka sedikit. Riani pasti lupa menutupnya setelah membersihkan kamar itu tadi pagi.Semakin dekat, telingaku mendengar senandung merdu dari kamar itu. Kubuka lebar pintunya lalu menghela napas lega. Ternyata Riani tengah berdiri di depan cermin besar membelakangiku sembari menyisir rambutnya. Karena dari arah pintu langsung berhadapan dengan cermin, dapat kulihat wajah cantik Riani yang kini tersenyum.Kudekati istriku itu. Pagi ini aku merasa
Mendengar hal itu, kubalik tubuh istriku dan mengusap perutnya. Benar, perutnya kembali rata seperti sebelum hamil. Telingaku kudekatkan pada perutnya, tak lagi ada tanda-tanda jika anakku masih bersemayam di sana.Segera kulompat ke lantai dan berjongkok untuk mengambil peti yang diberikan oleh Romo. Aku berteriak girang ketika membukanya, di sana secara ajaib berhamburan uang lembaran merah lengkap dengan emas batangan. Mataku sudah pasti berbinar menatap lembaran duniawi yang akan membuat hidupku sejahtera.Aku ambil uang-uang yang berhamburan di bawah ranjang, hingga peti itu tak mampu menampung. Agar lebih cepat, kuambil beberapa emas batangan bersiap menemui Baron dan Torso. Pintu masih di ketuk di bawah sana."Andrianto! Buka pintunya! Ini udah 3 hari dari janji istrimu!"Dagu kuangkat tinggi menyambut kedua wajah preman jelek itu. Dengan senyum meremehkan keduanya, aku memberikan emas-emas itu untuk ia bawa pergi."Bilang pada Sujatmiko, nilai emas ini lebih dari hutang-hutang
"Ini orang yang saya bilang, Romo."Aku dan istriku saling berpandangan. Sigit nyatanya sudah mengatakan tentang kedatangan kami. Lelaki paruh baya yang dia panggil Romo, rambutnya sudah memutih dan tertutup blangkon. Namun, masih terlihat segar di usia yang tak lagi muda. Satu matanya berwarna lain.Kami semua duduk di kursi kayu panjang. Rumahnya sederhana, akan tetapi terasa lain, terlebih dengan hiasan dinding dari tulang kepala kambing lengkap dengan tanduknya. Matanya seolah hidup."Aku tau waktumu ndak banyak."Terkesiap, aku memandang Romo mengalihkan perhatian dari kepala kambing itu. Aku menunduk dan mengangguk."Nggeh, Romo. Kami sedang terlilit hutang dan harus dibayar sepulangnya kami dari sini. Mohon bantuannya," paparku."Sebelum melakukan ritual, hilangkan dulu keraguanmu, Nduk. Yang diminta hanya anak pertama, dirimu bisa hamil lagi setelah itu."Mataku membulat. Romo berbicara pada Riani. Hebat juga orang ini dapat membaca keraguan istriku."Bukankah memiliki anak ju
Riani langsung berbalik badan, menggeret koper yang sudah ia siapkan tadi. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Namun, dari wajahnya sudah terlihat jelas amarah yang terpendam. Rasa bersalah merajai hati. Ingin kupeluk ia, tapi takut jika istriku itu menolak. Akhirnya, aku menyusul Riani setelah lebih dulu mengunci pintu. Mobil kami pun sudah tidak ada di garasi karena sudah dijual. Riani berdiri di samping koper sambil mengusap perutnya yang buncit. Tangisnya sudah reda. "Mau ke mana, Mbak Riani?" Mbak Anis, tetangga yang rumahnya berhadapan dengan kami berdua menyapa. Aku tersenyum sambil mengangguk. Wanita itu kulihat baru saja ke luar rumah."Saya titip rumah ya, Mbak. Mau ada urusan dulu di luar beberapa hari," jawab Riani. Napasku sudah tertahan tadinya, takut Riani akan berkata seiya-iyanya karena tengah menahan amarah. "Hati-hati ya, Mbak Riani," kata Mbak Anis.Taksi online sudah datang ke hadapan kami. Aku angkat koper, lalu memasukkan ke bagasi mobil.
Setelah mengatakan itu, Riani membalik badan memunggungiku duduk di sofa. Yang kulihat, ia tengah menangis karena bahunya bergetar dengan kedua tangan sesekali seperti mengusap pipi. Aku tahu, ini keputusan yang sangat tidak mudah baginya."Kamu puas, Mas? Ini mimpiku ingin menjadi seorang ibu. Baru ini aku mengandung hingga membuatku sangat bahagia. Mbak Nuri yang selalu mengataiku mandul pun akan bungkam jika melihatku berbadan dua seperti sekarang. Ternyata, maksudmu agar aku tak sesumbar karena kamu memiliki tujuan keji biar adanya kita melakukan pesugihan ini, keluargamu tak curiga!"Mataku berkaca-kaca dituduh oleh istriku sendiri. Aku pun menginginkan keturunan pada rumah tangga kami. Maksudku agar tak sesumbar karena itu dianggap pamali bagi orang Jawa. Tak baik jika belum mituni atau tujuh bulan, kata ibuku.Kuusap keringat dan dada yang sesak. Akibat pukulan Baron dan Torso, dadaku seolah dihimpit beban berat. Aku memegang tembok untuk bisa bangkit dari lantai teras."Riani,
"Mas, jangan lakukan ini, kasihan anak kita," ucap Riani sambil mengguncang lenganku yang tengah menatap bayangnya di cermin tempatku berdiri."Apa Mas lupa? Kita menginginkan adanya anak sudah lama, Mas! Ini pertama kalinya aku mengandung dan akan memberimu gelar sebagai seorang ayah!" Kini ia luruh, memegangi kakiku bahkan tendangan halus dari perutnya yang mulai membesar kurasakan. Kuhela napasku, menatap wajah yang payah dan putus asa di cermin. Sudah mati kah nuraniku?Riani bangkit dari kakiku, mengusap air matanya yang membasahi wajah. Ia melangkah ke luar kamar tanpa menoleh kembali ke arahku. Bukan pura-pura tak punya hati. Bukan tak ingin memiliki buah hati. Namun, bagaimana jika memiliki anak tanpa memiliki harta benda? Sedangkan Pak Sujatmiko tengah mencecarku perihal hutang tiga ratus juta yang kupinjam beberapa bulan lalu.Kurebahkan diri di ranjang. Menangis dengan sesak karena tengah terjadinya pergolakan batin. Pernikahan kami sudah 7 tahun dan baru ini pula Riani me