Mendengar hal itu, kubalik tubuh istriku dan mengusap perutnya. Benar, perutnya kembali rata seperti sebelum hamil. Telingaku kudekatkan pada perutnya, tak lagi ada tanda-tanda jika anakku masih bersemayam di sana.
Segera kulompat ke lantai dan berjongkok untuk mengambil peti yang diberikan oleh Romo. Aku berteriak girang ketika membukanya, di sana secara ajaib berhamburan uang lembaran merah lengkap dengan emas batangan. Mataku sudah pasti berbinar menatap lembaran duniawi yang akan membuat hidupku sejahtera.Aku ambil uang-uang yang berhamburan di bawah ranjang, hingga peti itu tak mampu menampung. Agar lebih cepat, kuambil beberapa emas batangan bersiap menemui Baron dan Torso. Pintu masih di ketuk di bawah sana."Andrianto! Buka pintunya! Ini udah 3 hari dari janji istrimu!"Dagu kuangkat tinggi menyambut kedua wajah preman jelek itu. Dengan senyum meremehkan keduanya, aku memberikan emas-emas itu untuk ia bawa pergi."Bilang pada Sujatmiko, nilai emas ini lebih dari hutang-hutangku!""Habis merampok di mana kau, Ndri? Rupanya dalam tiga hari bisa punya emas batangan begini." Torso tertawa sambil menyambut tas berisi 5 batang emas."Rezeki biniku ini, Tor. Biniku kan lagi hamil muda. Bahagia pasti dia. Si tua bangka Jatmiko akhirnya bayar kita," timpal Baron."Hamil muda?" ujarku dalam hati. Kuraih lima lembar uang ratusan dan kuberikan pada Baron."Nih, uang buat biaya lahiran istrimu. Jangan kembali lagi ke sini!"Baron tersenyum girang hingga goresan luka yang ada di pipinya terangkat. Masih kuingat jelas lelaki itu memukuliku dan mengatakan ingin menggauli Riani. Bersiap saja, bagaimana rasanya saat kehamilan istrinya hilang secara tiba-tiba."Ah, Bos Andrianto ini memang baik. Sering-seringlah sedekah begini."Kusunggingkan senyum sinis, lalu menutup pintu di depan wajahnya. Hari ini aku harus kembali merebut restoran yang sudah di sita oleh bank. Itu adalah restoran pertamaku dan tidak bisa kulepas semudah itu.Aku kembali ke lantai atas, memasuki kamar itu. Ternyata Riani sudah keluar tanpa membereskan uang dan emas yang berada di lantai. Kuambil uang-uang itu, menyusun rapi lalu menaruhnya di brankas.Ketika aku selesai dan ke luar dari kamar, istriku tengah duduk dengan pandangan mata hampa menatap televisi yang tidak dinyalakan. Kuhampiri Riani, lalu menggenggam tangannya yang dingin. Ia tidak menoleh ke arahku. Tak juga melepaskan genggaman tanganku."Jangan bersedih terlalu lama, Riani. Lebih baik kamu siap-siap, kita sarapan di luar."Ia menoleh lalu mengangguk.***Kami berdua sarapan di soto yang ada di dekat tikungan jalan. Kami makan dalam diam. Bukan bermaksud untuk kembali membuat Riani teringat saat 5 bulan lalu ia memberiku hadiah berupa testpack garis dia, hanya saja yang lebih dekat dari rumah adalah soto ini.Sepasang kekasih menggeret kursi di samping meja kami. Wanita itu terlihat mengusap perut yang membuncit. Riani segera menghela napas, lalu mengalihkan pandangannya."Kamu udah selesai, Yang?""Udah, Mas."Kubayar dua mangkuk soto, lalu menghampiri Riani yang sudah berada di depan warung. Kupakaikan helm untuknya, kemudian mengajaknya pulang. Biarlah istriku lebih pendiam sekarang. Wajar saja. Nanti pun pasti akan terbiasa seiring dengan melimpahnya uang.Begitu sampai, Riani tak berbasa-basi sebentar. Ia hanya diam dan menaiki tangga, menuju kamar. Sudahlah. Kuberi waktu dan ruang sendiri untuknya. Sedangkan aku memilih duduk, membaca koran sambil menghisap rokok.Sesekali, koran yang kubaca kulipat karena telinga seperti mendengar jeritan anak bayi. Namun, aku ingat-ingat, di perumahan ini nyaris tak ada orang yang memiliki bayi. Kumatikan saja rokoknya, kuedarkan pandangan lantai bawah ini yang tetap sunyi. Mungkin aku salah dengar."Mas! Maaas!"Pekikan Riani? Tanpa pikir panjang aku ke atas, takut ada hal-hal buruk."Mas! Tangan siapa itu yang ada di langit-langit kamar Mas!"Berupa cap tangan dengan lima jari anak kecil berwarna merah lengkap dengan bekas langkah kaki mungil. Seperti posisi merangkak, tapi di langit-langit kamar."Nanti Mas cat ulang biar hilang," ucapku menenangkan."Mas, kalau tumbal cuma anak pertama, lalu, tumbal selanjutnya itu siapa ...."Suara lirih Riani dibarengi getar dalam suaranya membuatku menoleh dan tersenyum. "Tenang saja. Mas sudah punya tumbal selanjutnya agar kita tetap aman. Istirahatlah."Tak sabar rasanya tanggal 15 nanti saat bulan purnama, aku banjir uang dan emas lagi. Kunanti itu darimu, Baron.***Aku baru saja selesai melunasi semua hutang-hutang ke bank. Tanda sita di restoranku sudah tidak ada. Akan kubuktikan, aku bisa kembali membuat jaya restoranku lebih dari sebelumnya. Bahkan aku akan membangun ulang agar lebih kekinian, di mana sekarang anak muda lebih suka menongkrong dan berfoto ria.Akhirnya sampai juga di rumah. Riani tengah bersama ibu-ibu yang lain mengerubungi tukang sayur yang memang datangnya selalu sore. Ah, aku belum ada waktu untuk mengajak Riani ke supermarket untuk belanja bulanan. Kuparkirkan kendaraan roda duaku, lalu duduk di teras menunggu Riani memilah sayur."Eh, Mas Andri, bukannya kemarin Mbak Riani hamil ya?"Mbak Merry melirik ke arahku sambil menyenggol lengan Mbak Anis di sebelahnya. Riani kulihat tetap diam, memegang timun yang tengah dipilihnya."Doakan saja, Mbak Merry, agar secepatnya isi. Kami baru saja kehilangan anak kami kemarin dan hari ini baru saja pulang kuret," jawabku berusaha menutupi."Ya ampun, kasiannya, padahal nunggu bertahun-tahun. Apa ada yang salah kali sama rahimmu, Mbak," imbuh Mbak Merry lagi.Astaga. Timun yang dipegang Riani bahkan kini hancur hanya dengan satu genggaman tangannya."Keguguran, Mbak, bukan karena rahimku yang bermasalah. Mbak Merry ini pun punya anak gadis belum menikah, jadi jaga mulutnya!"Mbak Merry hanya mencebik mendengar suara dingin istriku. Patutlah ia kesal. Satu-satunya biang gosip di perumahan ini bersumber lebih banyak dari mulutnya."Saya borong semua yang ada di gerobak ini, Mang!"Aku terkejut dengan ucapan Riani. Ia mengeluarkan lembaran ratusan merah di depan semua tetangga yang mengerubungi Mang Asep di sana, kemudian masuk ke rumah dengan wajah memerah."Belagu amat! Bukannya bangkrut tuh kamu sampe mobil pun dijual!" pekik Mbak Merry, kembali membuat Riani keluar dari rumah."Besok akan saya beli mobil yang lebih trendy dari kemarin. Mbak Merry, hati-hati sakit jantung!""Pantas saja keguguran, wong, tempramen begini. Gusti Allah pun pikir-pikir mau nitip keturunan sama kamu!""Heh, sudah-sudah. Riani, masuk aja. Mang, tolong taruh semua yang udah dibayar istriku ke rumah ya." Lalu beralih ke Mbak Merry yang meradang. "Tolong, jangan bikin kegaduhan, Mbak. Istri saya lagi sensitif karena baru saja kehilangan bayinya."Aku menengahi dua wanita beda generasi itu. Takut kalau mereka akan adu jotos dan membuat runyam perumahan. Perasaan Riani sedang sensitif, makanya ia ladeni ucapan Mbak Merry. Padahal biasanya ia tetap diam dan hanya tersenyum.Kuhampiri Riani yang tengah mengganti-ganti chanel di televisi. Air matanya kini berhamburan keluar. Ia memelukku dan menangis.**Seperti ucapan Riani, kami akhirnya membeli mobil yang ia inginkan hari ini. Mungkin nanti sore, mobil itu akan diantar ke rumah. Apapun itu untuk istriku, yang terpenting dia bahagia. Kuajak ia berkeliling juga agar suasana hatinya membaik.Setelah puas mengitari mal, Riani meminta pulang ke rumah. Di jalan, kami nikmati sambil sesekali bercanda dengan sapuan angin menerpa wajah.Aaaak!Ciitttt! Sontak aku terkejut dan menghentikan motor ketika Riani teriak. Ia menutupi wajahnya di punggungku seolah ketakutan. Padahal tidak apa-apa. Hanya jalanan sepi biasa."Ada anak kecil merangkak di jalan terus kamu tabrak, Mas!"Turun dari motor, melihat ban motor yang tetap bersih. Tapi logikanya, mana ada anak bayi merangkak di jalanan? Yang benar saja."Kamu kecapekan itu, Sayang. Kita pulang ke rumah ya.""Bener, Mas! Aku lihat ...."Ucapannya menggantung saat Riani turun dari motor melakukan hal yang sama sepertiku. Mengecek ban motor dan mengedarkan pandang ke jalanan."Apa tadi itu, Mas?"Tiba-tiba saja di atas kami seperti ada sesuatu yang terbang dengan jubah merah melesat begitu cepat. Aku segera mengajak Riani naik motor agar secepatnya pulang ke rumah. Perasaan merinding dan takut menjadi satu.Padahal hari belum malam. Ini masih jam jam dua siang, mana ada hantu siang bolong begini?**Malam harinya, aku dan Riani sudah berada di dalam kamar. Rasa lelah membuat kantuk cepat datang. Tak sadar, namun seperti aku berada di ambang tidur dan tidak.Kulihat Riani yang masih di sampingku, tapi juga melihat diriku yang tengah berbaring. Namun, di kamarku ini tidak seperti semestinya. Mengapa ... ada bayi kecil di tengah kami berlumuran d4rah?Bayi itu menangis, kemudian dari arah jendela kepulan asap abu-abu kian lama menjadi ... Ratu Anyelir? Dia ... dia menarik bayi penuh dar4h itu, menoleh padaku dengan senyum manis, namun tiba-tiba saja terbuka lebar menelan dua kaki bayi itu, tak perduli meski ia merengek kesakitan."Bulan ke enam, aku mau kau persembahkan dua janin yang belum berumur 7 bulan."A-apa ...Seharian ini aku termenung di balkon sambil mengepulkan asap rokok untuk mengurangi stress. Ucapan Ratu Anyelir masih saja terngiang, bahwa dirinya tengah meminta tumbal dua janin sebelum usia tujuh bulan.Waktu untuk memberikan persembahan masih lumayan lama untukku berusaha. Ah, pasti bisa persyaratan itu kupenuhi. Kucari Riani sambil memanggilnya dengan riang. Tak ingin lagi kubuat istriku itu sedih dan menderita.Baru melangkah dari balkon dan melewati lorong kamar khusus untuk Ratu Anyelir, perhatianku berpusat pada pintu kamar itu yang terbuka sedikit. Riani pasti lupa menutupnya setelah membersihkan kamar itu tadi pagi.Semakin dekat, telingaku mendengar senandung merdu dari kamar itu. Kubuka lebar pintunya lalu menghela napas lega. Ternyata Riani tengah berdiri di depan cermin besar membelakangiku sembari menyisir rambutnya. Karena dari arah pintu langsung berhadapan dengan cermin, dapat kulihat wajah cantik Riani yang kini tersenyum.Kudekati istriku itu. Pagi ini aku merasa
"Mas, jangan lakukan ini, kasihan anak kita," ucap Riani sambil mengguncang lenganku yang tengah menatap bayangnya di cermin tempatku berdiri."Apa Mas lupa? Kita menginginkan adanya anak sudah lama, Mas! Ini pertama kalinya aku mengandung dan akan memberimu gelar sebagai seorang ayah!" Kini ia luruh, memegangi kakiku bahkan tendangan halus dari perutnya yang mulai membesar kurasakan. Kuhela napasku, menatap wajah yang payah dan putus asa di cermin. Sudah mati kah nuraniku?Riani bangkit dari kakiku, mengusap air matanya yang membasahi wajah. Ia melangkah ke luar kamar tanpa menoleh kembali ke arahku. Bukan pura-pura tak punya hati. Bukan tak ingin memiliki buah hati. Namun, bagaimana jika memiliki anak tanpa memiliki harta benda? Sedangkan Pak Sujatmiko tengah mencecarku perihal hutang tiga ratus juta yang kupinjam beberapa bulan lalu.Kurebahkan diri di ranjang. Menangis dengan sesak karena tengah terjadinya pergolakan batin. Pernikahan kami sudah 7 tahun dan baru ini pula Riani me
Setelah mengatakan itu, Riani membalik badan memunggungiku duduk di sofa. Yang kulihat, ia tengah menangis karena bahunya bergetar dengan kedua tangan sesekali seperti mengusap pipi. Aku tahu, ini keputusan yang sangat tidak mudah baginya."Kamu puas, Mas? Ini mimpiku ingin menjadi seorang ibu. Baru ini aku mengandung hingga membuatku sangat bahagia. Mbak Nuri yang selalu mengataiku mandul pun akan bungkam jika melihatku berbadan dua seperti sekarang. Ternyata, maksudmu agar aku tak sesumbar karena kamu memiliki tujuan keji biar adanya kita melakukan pesugihan ini, keluargamu tak curiga!"Mataku berkaca-kaca dituduh oleh istriku sendiri. Aku pun menginginkan keturunan pada rumah tangga kami. Maksudku agar tak sesumbar karena itu dianggap pamali bagi orang Jawa. Tak baik jika belum mituni atau tujuh bulan, kata ibuku.Kuusap keringat dan dada yang sesak. Akibat pukulan Baron dan Torso, dadaku seolah dihimpit beban berat. Aku memegang tembok untuk bisa bangkit dari lantai teras."Riani,
Riani langsung berbalik badan, menggeret koper yang sudah ia siapkan tadi. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Namun, dari wajahnya sudah terlihat jelas amarah yang terpendam. Rasa bersalah merajai hati. Ingin kupeluk ia, tapi takut jika istriku itu menolak. Akhirnya, aku menyusul Riani setelah lebih dulu mengunci pintu. Mobil kami pun sudah tidak ada di garasi karena sudah dijual. Riani berdiri di samping koper sambil mengusap perutnya yang buncit. Tangisnya sudah reda. "Mau ke mana, Mbak Riani?" Mbak Anis, tetangga yang rumahnya berhadapan dengan kami berdua menyapa. Aku tersenyum sambil mengangguk. Wanita itu kulihat baru saja ke luar rumah."Saya titip rumah ya, Mbak. Mau ada urusan dulu di luar beberapa hari," jawab Riani. Napasku sudah tertahan tadinya, takut Riani akan berkata seiya-iyanya karena tengah menahan amarah. "Hati-hati ya, Mbak Riani," kata Mbak Anis.Taksi online sudah datang ke hadapan kami. Aku angkat koper, lalu memasukkan ke bagasi mobil.
"Ini orang yang saya bilang, Romo."Aku dan istriku saling berpandangan. Sigit nyatanya sudah mengatakan tentang kedatangan kami. Lelaki paruh baya yang dia panggil Romo, rambutnya sudah memutih dan tertutup blangkon. Namun, masih terlihat segar di usia yang tak lagi muda. Satu matanya berwarna lain.Kami semua duduk di kursi kayu panjang. Rumahnya sederhana, akan tetapi terasa lain, terlebih dengan hiasan dinding dari tulang kepala kambing lengkap dengan tanduknya. Matanya seolah hidup."Aku tau waktumu ndak banyak."Terkesiap, aku memandang Romo mengalihkan perhatian dari kepala kambing itu. Aku menunduk dan mengangguk."Nggeh, Romo. Kami sedang terlilit hutang dan harus dibayar sepulangnya kami dari sini. Mohon bantuannya," paparku."Sebelum melakukan ritual, hilangkan dulu keraguanmu, Nduk. Yang diminta hanya anak pertama, dirimu bisa hamil lagi setelah itu."Mataku membulat. Romo berbicara pada Riani. Hebat juga orang ini dapat membaca keraguan istriku."Bukankah memiliki anak ju
Seharian ini aku termenung di balkon sambil mengepulkan asap rokok untuk mengurangi stress. Ucapan Ratu Anyelir masih saja terngiang, bahwa dirinya tengah meminta tumbal dua janin sebelum usia tujuh bulan.Waktu untuk memberikan persembahan masih lumayan lama untukku berusaha. Ah, pasti bisa persyaratan itu kupenuhi. Kucari Riani sambil memanggilnya dengan riang. Tak ingin lagi kubuat istriku itu sedih dan menderita.Baru melangkah dari balkon dan melewati lorong kamar khusus untuk Ratu Anyelir, perhatianku berpusat pada pintu kamar itu yang terbuka sedikit. Riani pasti lupa menutupnya setelah membersihkan kamar itu tadi pagi.Semakin dekat, telingaku mendengar senandung merdu dari kamar itu. Kubuka lebar pintunya lalu menghela napas lega. Ternyata Riani tengah berdiri di depan cermin besar membelakangiku sembari menyisir rambutnya. Karena dari arah pintu langsung berhadapan dengan cermin, dapat kulihat wajah cantik Riani yang kini tersenyum.Kudekati istriku itu. Pagi ini aku merasa
Mendengar hal itu, kubalik tubuh istriku dan mengusap perutnya. Benar, perutnya kembali rata seperti sebelum hamil. Telingaku kudekatkan pada perutnya, tak lagi ada tanda-tanda jika anakku masih bersemayam di sana.Segera kulompat ke lantai dan berjongkok untuk mengambil peti yang diberikan oleh Romo. Aku berteriak girang ketika membukanya, di sana secara ajaib berhamburan uang lembaran merah lengkap dengan emas batangan. Mataku sudah pasti berbinar menatap lembaran duniawi yang akan membuat hidupku sejahtera.Aku ambil uang-uang yang berhamburan di bawah ranjang, hingga peti itu tak mampu menampung. Agar lebih cepat, kuambil beberapa emas batangan bersiap menemui Baron dan Torso. Pintu masih di ketuk di bawah sana."Andrianto! Buka pintunya! Ini udah 3 hari dari janji istrimu!"Dagu kuangkat tinggi menyambut kedua wajah preman jelek itu. Dengan senyum meremehkan keduanya, aku memberikan emas-emas itu untuk ia bawa pergi."Bilang pada Sujatmiko, nilai emas ini lebih dari hutang-hutang
"Ini orang yang saya bilang, Romo."Aku dan istriku saling berpandangan. Sigit nyatanya sudah mengatakan tentang kedatangan kami. Lelaki paruh baya yang dia panggil Romo, rambutnya sudah memutih dan tertutup blangkon. Namun, masih terlihat segar di usia yang tak lagi muda. Satu matanya berwarna lain.Kami semua duduk di kursi kayu panjang. Rumahnya sederhana, akan tetapi terasa lain, terlebih dengan hiasan dinding dari tulang kepala kambing lengkap dengan tanduknya. Matanya seolah hidup."Aku tau waktumu ndak banyak."Terkesiap, aku memandang Romo mengalihkan perhatian dari kepala kambing itu. Aku menunduk dan mengangguk."Nggeh, Romo. Kami sedang terlilit hutang dan harus dibayar sepulangnya kami dari sini. Mohon bantuannya," paparku."Sebelum melakukan ritual, hilangkan dulu keraguanmu, Nduk. Yang diminta hanya anak pertama, dirimu bisa hamil lagi setelah itu."Mataku membulat. Romo berbicara pada Riani. Hebat juga orang ini dapat membaca keraguan istriku."Bukankah memiliki anak ju
Riani langsung berbalik badan, menggeret koper yang sudah ia siapkan tadi. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Namun, dari wajahnya sudah terlihat jelas amarah yang terpendam. Rasa bersalah merajai hati. Ingin kupeluk ia, tapi takut jika istriku itu menolak. Akhirnya, aku menyusul Riani setelah lebih dulu mengunci pintu. Mobil kami pun sudah tidak ada di garasi karena sudah dijual. Riani berdiri di samping koper sambil mengusap perutnya yang buncit. Tangisnya sudah reda. "Mau ke mana, Mbak Riani?" Mbak Anis, tetangga yang rumahnya berhadapan dengan kami berdua menyapa. Aku tersenyum sambil mengangguk. Wanita itu kulihat baru saja ke luar rumah."Saya titip rumah ya, Mbak. Mau ada urusan dulu di luar beberapa hari," jawab Riani. Napasku sudah tertahan tadinya, takut Riani akan berkata seiya-iyanya karena tengah menahan amarah. "Hati-hati ya, Mbak Riani," kata Mbak Anis.Taksi online sudah datang ke hadapan kami. Aku angkat koper, lalu memasukkan ke bagasi mobil.
Setelah mengatakan itu, Riani membalik badan memunggungiku duduk di sofa. Yang kulihat, ia tengah menangis karena bahunya bergetar dengan kedua tangan sesekali seperti mengusap pipi. Aku tahu, ini keputusan yang sangat tidak mudah baginya."Kamu puas, Mas? Ini mimpiku ingin menjadi seorang ibu. Baru ini aku mengandung hingga membuatku sangat bahagia. Mbak Nuri yang selalu mengataiku mandul pun akan bungkam jika melihatku berbadan dua seperti sekarang. Ternyata, maksudmu agar aku tak sesumbar karena kamu memiliki tujuan keji biar adanya kita melakukan pesugihan ini, keluargamu tak curiga!"Mataku berkaca-kaca dituduh oleh istriku sendiri. Aku pun menginginkan keturunan pada rumah tangga kami. Maksudku agar tak sesumbar karena itu dianggap pamali bagi orang Jawa. Tak baik jika belum mituni atau tujuh bulan, kata ibuku.Kuusap keringat dan dada yang sesak. Akibat pukulan Baron dan Torso, dadaku seolah dihimpit beban berat. Aku memegang tembok untuk bisa bangkit dari lantai teras."Riani,
"Mas, jangan lakukan ini, kasihan anak kita," ucap Riani sambil mengguncang lenganku yang tengah menatap bayangnya di cermin tempatku berdiri."Apa Mas lupa? Kita menginginkan adanya anak sudah lama, Mas! Ini pertama kalinya aku mengandung dan akan memberimu gelar sebagai seorang ayah!" Kini ia luruh, memegangi kakiku bahkan tendangan halus dari perutnya yang mulai membesar kurasakan. Kuhela napasku, menatap wajah yang payah dan putus asa di cermin. Sudah mati kah nuraniku?Riani bangkit dari kakiku, mengusap air matanya yang membasahi wajah. Ia melangkah ke luar kamar tanpa menoleh kembali ke arahku. Bukan pura-pura tak punya hati. Bukan tak ingin memiliki buah hati. Namun, bagaimana jika memiliki anak tanpa memiliki harta benda? Sedangkan Pak Sujatmiko tengah mencecarku perihal hutang tiga ratus juta yang kupinjam beberapa bulan lalu.Kurebahkan diri di ranjang. Menangis dengan sesak karena tengah terjadinya pergolakan batin. Pernikahan kami sudah 7 tahun dan baru ini pula Riani me