Riani langsung berbalik badan, menggeret koper yang sudah ia siapkan tadi. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Namun, dari wajahnya sudah terlihat jelas amarah yang terpendam. Rasa bersalah merajai hati. Ingin kupeluk ia, tapi takut jika istriku itu menolak.
Akhirnya, aku menyusul Riani setelah lebih dulu mengunci pintu. Mobil kami pun sudah tidak ada di garasi karena sudah dijual. Riani berdiri di samping koper sambil mengusap perutnya yang buncit. Tangisnya sudah reda."Mau ke mana, Mbak Riani?"Mbak Anis, tetangga yang rumahnya berhadapan dengan kami berdua menyapa. Aku tersenyum sambil mengangguk. Wanita itu kulihat baru saja ke luar rumah."Saya titip rumah ya, Mbak. Mau ada urusan dulu di luar beberapa hari," jawab Riani.Napasku sudah tertahan tadinya, takut Riani akan berkata seiya-iyanya karena tengah menahan amarah."Hati-hati ya, Mbak Riani," kata Mbak Anis.Taksi online sudah datang ke hadapan kami. Aku angkat koper, lalu memasukkan ke bagasi mobil."Eh, Mbak Riani. Mau kabur dari hutang, Mbak?"Kepala istriku langsung menoleh ke sumber suara di mana sudah hafal di luar kepala kalau itu Bu Mery. Dia terkenal di komplek ini sebagai CCTV berjalan."Jangan begitu, Bu. Kalau di kemudian hari Bu Mery yang terlilit hutang, gimana?" jawab istriku dengan suara dingin.Aku mengangguk sedikit ke arah Bu Mery karena tak enak sambil tersenyum tipis. Bu Mery mencebik sambil menggerutu ke arah Mbak Anies. Mungkin untuk mencari dukungan."Ayo, masuk, Ri."Alih-alih masuk, Riani justru menatap perutnya sambil mengusap air mata yang lagi-lagi turun. Kulihat helaan napasnya yang berat, kemudian masuk mobil tanpa memandangku yang duduk di sampingnya. Supir mulai melajukan kendaraan. Riani tetap pada posisinya, mengusap perut sambil menatap jalanan yang basah oleh gerimis.Ponselku berdering, tertera nama Sigit di sana. Kuangkat telepon darinya sedikit berbisik."Gimana, Git? Aku lagi perjalanan ke rumahmu.""Aku tunggu kedatangan kalian di istanaku," jawab Sigit di seberang sana. Lalu dimatikan sepihak."Di depan, belok kiri, Bang," ucapku memberi perintah.Tempatku dengan rumah Sigit memang tak begitu jauh. Hanya 20 menit perjalanan, sudah sampai. Jarak 10 meter, terlihat rumah bak istana seperti kata Sigit tadi. Rumah bercat putih dengan dua patung burung elang di depan rumah menambah kesan elit.Sesampainya di sana, setelah tak lupa membayar biaya perjalanan, kugandeng Riani masuk ke rumah Sigit. Tangannya begitu dingin setara dengan wajahnya saat ini. Jujur saja, melihat kemewahan ini membuatku semangat akan tujuanku kali ini. Pasti bisalah aku mengikuti jejak Sigit."Pak Sigitnya sedang berenang, Pak. Nanti saya panggilkan," ujar pembantu Sigit. Aku mengangguk.Ketika kami berdua tengah duduk menunggu datangnya Sigit, ada satu wanita cantik dengan riasan tipis duduk di samping Riani sambil menggenggam tangannya. Apa dia istri Sigit? Wanita itu mengelus perut istriku dengan tatapan iba, sedangkan Riani kembali berkaca-kaca."Nggak pa-pa. Kalau mau punya jabang bayi yang sehat memang harus punya ekonomi yang kuat, Cah Ayu. Berkorban satu anak untuk meraih kejayaan hidup itu sebanding."Glek! Kutelan ludah secara kasar. Agak-agak rupanya wanita ini. Mata Riani yang semula berkaca-kaca dengan raut sedih kini menganga."Jangan dengarkan Lembayung, Mbak. Memiliki anak apa lagi kosong lama sepertimu pasti sangat membahagiakan dibanding janin hilang secara tiba-tiba!" sela wanita yang baru ke luar dari ruangan entah apa itu."Asmarani!"Wanita itu mencebik setelah datangnya Sigit. Lelaki itu ke luar dari pintu kaca sambil memakai kimono mandi. Matanya kulihat menahan amarah menatap wanita yang disebut Asmarani."Benarkan apa yang kubilang, Mas?!"Aku salut pada Asmarani. Ia menyalak di hadapan Sigit seolah tak gentar dengan perawakan suaminya. Mungkin rasa kesal sudah tak dapat dibendung. Menoleh ke arah Riani, ternyata ia tengah menatapku. Kutelan ludah susah payah. Pasti keraguannya semakin merajai hati."Masuk kamarmu!" bentak Sigit. Asmarani terlihat menghentakkan kaki, wajahnya kesal bukan kepalang.Kulihat Riani kini menatap ke lantai, ada air mata yang jatuh ke pipi tapi segera ia usap dengan punggung tangan. Kuusap bahunya agar ia tenang, tapi justru ia duduk menjauh. Kini Sigit membuka pintu kamar yang Asmarani buka, tak lama, ternyata ia hanya berganti pakaian.Kami berdua diminta Sigit untuk bergegas mengikutinya. Ternyata ke arah mobil Toyota Vellfire. Gila! Ini gila! Jika aku berhasil dalam pesugihan ini, mobil seharga satu setengah milyar ini dapat dijangkau dengan mudah! Kutarik tangan Riani yang melambat. Rasa ragu dalam hatiku kini hilang. Melihat wajah Riani yang menunduk sejak tadi membuatku muak."Kamu mau kita kaya apa enggak?! Jangan lelet!"Riani melepaskan genggaman tanganku. "Mas, kamu pikir apa yang kita lakuin ini benar?" Matanya tetap berkaca-kaca sejak pagi."Riani! Kamu lihat mobil Sigit! Bukan nggak mungkin aku bisa belikan mansion yang kamu inginkan! Meski anak kita akan jadi tumbal pun aku tetap cinta sama kamu. Anggap saja, ini sebagai ujian pernikahan kita sebelum kita hidup enak! Percaya saja padaku, Riani!" ujarku menggebu-gebu."Wajar, Ndri, karena istrimu baru mau memulai. Kamu lihat Lembayung? Dia justru menikmati semua kekayaan milik kami ini. Dulu dia pun sama seperti istrimu," sahut Sigit mulai duduk di kursi samping supir.Sepertinya semua pembantu dan supir rekanku ini sudah tahu tentang pesugihan tuannya, hingga mendengar hal-hal begini pun mereka diam saja. Hebatnya kekuatan uang itu. Kutarik Riani untuk masuk ke kursi belakang bersampingan denganku. Mobil mulai melaju. Kuhirup aroma kekayaan yang hendak datang ini dengan senyum semringah.***Entah berapa lama perjalanan, aku tertidur. Ternyata begini rasanya tidur di mobil mewah. Aku memang sempat berkecukupan, namun tak seperti Sigit. Mobil ini membawa kami ke daerah perkampungan di mana kiri kanan banyak sekali pohon bambu yang sangat rindang.Kulihat jam di pergelangan tangan, jam menunjukkan pukul dua pagi. Deburan ombak pun lamat-lamat kudengar nan jauh di sana. Kulihat Riani, ia pun tertidur dengan leher memakai bantal pemberian dari Asmarani saat kami hendak pergi.Mobil berhenti. Aku tak melihat apa pun di depan sana, hanya kegelapan dan suara alam. Kubangunkan istriku, ia berdeham kemudian membuka mata. Begitu turun dari mobil, kami berdiri di antara bebatuan dan bersebelahan dengan jurang. Sigit memanggilku untuk mengikutinya.Sigit berada paling depan, istriku di tengah, sedangkan aku di belakang. Jalanan hanya cukup untuk satu orang. Sepanjang perjalanan, mataku semakin tajam menatap sekitar karena kurasa ada yang mengintai setiap aku melangkah. Pegangan Riani pun mengeras pada tanganku, sepertinya, lelembut di tempat ini menyambut kami."Ini orang yang saya bilang, Romo."Aku dan istriku saling berpandangan. Sigit nyatanya sudah mengatakan tentang kedatangan kami. Lelaki paruh baya yang dia panggil Romo, rambutnya sudah memutih dan tertutup blangkon. Namun, masih terlihat segar di usia yang tak lagi muda. Satu matanya berwarna lain.Kami semua duduk di kursi kayu panjang. Rumahnya sederhana, akan tetapi terasa lain, terlebih dengan hiasan dinding dari tulang kepala kambing lengkap dengan tanduknya. Matanya seolah hidup."Aku tau waktumu ndak banyak."Terkesiap, aku memandang Romo mengalihkan perhatian dari kepala kambing itu. Aku menunduk dan mengangguk."Nggeh, Romo. Kami sedang terlilit hutang dan harus dibayar sepulangnya kami dari sini. Mohon bantuannya," paparku."Sebelum melakukan ritual, hilangkan dulu keraguanmu, Nduk. Yang diminta hanya anak pertama, dirimu bisa hamil lagi setelah itu."Mataku membulat. Romo berbicara pada Riani. Hebat juga orang ini dapat membaca keraguan istriku."Bukankah memiliki anak ju
Mendengar hal itu, kubalik tubuh istriku dan mengusap perutnya. Benar, perutnya kembali rata seperti sebelum hamil. Telingaku kudekatkan pada perutnya, tak lagi ada tanda-tanda jika anakku masih bersemayam di sana.Segera kulompat ke lantai dan berjongkok untuk mengambil peti yang diberikan oleh Romo. Aku berteriak girang ketika membukanya, di sana secara ajaib berhamburan uang lembaran merah lengkap dengan emas batangan. Mataku sudah pasti berbinar menatap lembaran duniawi yang akan membuat hidupku sejahtera.Aku ambil uang-uang yang berhamburan di bawah ranjang, hingga peti itu tak mampu menampung. Agar lebih cepat, kuambil beberapa emas batangan bersiap menemui Baron dan Torso. Pintu masih di ketuk di bawah sana."Andrianto! Buka pintunya! Ini udah 3 hari dari janji istrimu!"Dagu kuangkat tinggi menyambut kedua wajah preman jelek itu. Dengan senyum meremehkan keduanya, aku memberikan emas-emas itu untuk ia bawa pergi."Bilang pada Sujatmiko, nilai emas ini lebih dari hutang-hutang
Seharian ini aku termenung di balkon sambil mengepulkan asap rokok untuk mengurangi stress. Ucapan Ratu Anyelir masih saja terngiang, bahwa dirinya tengah meminta tumbal dua janin sebelum usia tujuh bulan.Waktu untuk memberikan persembahan masih lumayan lama untukku berusaha. Ah, pasti bisa persyaratan itu kupenuhi. Kucari Riani sambil memanggilnya dengan riang. Tak ingin lagi kubuat istriku itu sedih dan menderita.Baru melangkah dari balkon dan melewati lorong kamar khusus untuk Ratu Anyelir, perhatianku berpusat pada pintu kamar itu yang terbuka sedikit. Riani pasti lupa menutupnya setelah membersihkan kamar itu tadi pagi.Semakin dekat, telingaku mendengar senandung merdu dari kamar itu. Kubuka lebar pintunya lalu menghela napas lega. Ternyata Riani tengah berdiri di depan cermin besar membelakangiku sembari menyisir rambutnya. Karena dari arah pintu langsung berhadapan dengan cermin, dapat kulihat wajah cantik Riani yang kini tersenyum.Kudekati istriku itu. Pagi ini aku merasa
"Mas, jangan lakukan ini, kasihan anak kita," ucap Riani sambil mengguncang lenganku yang tengah menatap bayangnya di cermin tempatku berdiri."Apa Mas lupa? Kita menginginkan adanya anak sudah lama, Mas! Ini pertama kalinya aku mengandung dan akan memberimu gelar sebagai seorang ayah!" Kini ia luruh, memegangi kakiku bahkan tendangan halus dari perutnya yang mulai membesar kurasakan. Kuhela napasku, menatap wajah yang payah dan putus asa di cermin. Sudah mati kah nuraniku?Riani bangkit dari kakiku, mengusap air matanya yang membasahi wajah. Ia melangkah ke luar kamar tanpa menoleh kembali ke arahku. Bukan pura-pura tak punya hati. Bukan tak ingin memiliki buah hati. Namun, bagaimana jika memiliki anak tanpa memiliki harta benda? Sedangkan Pak Sujatmiko tengah mencecarku perihal hutang tiga ratus juta yang kupinjam beberapa bulan lalu.Kurebahkan diri di ranjang. Menangis dengan sesak karena tengah terjadinya pergolakan batin. Pernikahan kami sudah 7 tahun dan baru ini pula Riani me
Setelah mengatakan itu, Riani membalik badan memunggungiku duduk di sofa. Yang kulihat, ia tengah menangis karena bahunya bergetar dengan kedua tangan sesekali seperti mengusap pipi. Aku tahu, ini keputusan yang sangat tidak mudah baginya."Kamu puas, Mas? Ini mimpiku ingin menjadi seorang ibu. Baru ini aku mengandung hingga membuatku sangat bahagia. Mbak Nuri yang selalu mengataiku mandul pun akan bungkam jika melihatku berbadan dua seperti sekarang. Ternyata, maksudmu agar aku tak sesumbar karena kamu memiliki tujuan keji biar adanya kita melakukan pesugihan ini, keluargamu tak curiga!"Mataku berkaca-kaca dituduh oleh istriku sendiri. Aku pun menginginkan keturunan pada rumah tangga kami. Maksudku agar tak sesumbar karena itu dianggap pamali bagi orang Jawa. Tak baik jika belum mituni atau tujuh bulan, kata ibuku.Kuusap keringat dan dada yang sesak. Akibat pukulan Baron dan Torso, dadaku seolah dihimpit beban berat. Aku memegang tembok untuk bisa bangkit dari lantai teras."Riani,
Seharian ini aku termenung di balkon sambil mengepulkan asap rokok untuk mengurangi stress. Ucapan Ratu Anyelir masih saja terngiang, bahwa dirinya tengah meminta tumbal dua janin sebelum usia tujuh bulan.Waktu untuk memberikan persembahan masih lumayan lama untukku berusaha. Ah, pasti bisa persyaratan itu kupenuhi. Kucari Riani sambil memanggilnya dengan riang. Tak ingin lagi kubuat istriku itu sedih dan menderita.Baru melangkah dari balkon dan melewati lorong kamar khusus untuk Ratu Anyelir, perhatianku berpusat pada pintu kamar itu yang terbuka sedikit. Riani pasti lupa menutupnya setelah membersihkan kamar itu tadi pagi.Semakin dekat, telingaku mendengar senandung merdu dari kamar itu. Kubuka lebar pintunya lalu menghela napas lega. Ternyata Riani tengah berdiri di depan cermin besar membelakangiku sembari menyisir rambutnya. Karena dari arah pintu langsung berhadapan dengan cermin, dapat kulihat wajah cantik Riani yang kini tersenyum.Kudekati istriku itu. Pagi ini aku merasa
Mendengar hal itu, kubalik tubuh istriku dan mengusap perutnya. Benar, perutnya kembali rata seperti sebelum hamil. Telingaku kudekatkan pada perutnya, tak lagi ada tanda-tanda jika anakku masih bersemayam di sana.Segera kulompat ke lantai dan berjongkok untuk mengambil peti yang diberikan oleh Romo. Aku berteriak girang ketika membukanya, di sana secara ajaib berhamburan uang lembaran merah lengkap dengan emas batangan. Mataku sudah pasti berbinar menatap lembaran duniawi yang akan membuat hidupku sejahtera.Aku ambil uang-uang yang berhamburan di bawah ranjang, hingga peti itu tak mampu menampung. Agar lebih cepat, kuambil beberapa emas batangan bersiap menemui Baron dan Torso. Pintu masih di ketuk di bawah sana."Andrianto! Buka pintunya! Ini udah 3 hari dari janji istrimu!"Dagu kuangkat tinggi menyambut kedua wajah preman jelek itu. Dengan senyum meremehkan keduanya, aku memberikan emas-emas itu untuk ia bawa pergi."Bilang pada Sujatmiko, nilai emas ini lebih dari hutang-hutang
"Ini orang yang saya bilang, Romo."Aku dan istriku saling berpandangan. Sigit nyatanya sudah mengatakan tentang kedatangan kami. Lelaki paruh baya yang dia panggil Romo, rambutnya sudah memutih dan tertutup blangkon. Namun, masih terlihat segar di usia yang tak lagi muda. Satu matanya berwarna lain.Kami semua duduk di kursi kayu panjang. Rumahnya sederhana, akan tetapi terasa lain, terlebih dengan hiasan dinding dari tulang kepala kambing lengkap dengan tanduknya. Matanya seolah hidup."Aku tau waktumu ndak banyak."Terkesiap, aku memandang Romo mengalihkan perhatian dari kepala kambing itu. Aku menunduk dan mengangguk."Nggeh, Romo. Kami sedang terlilit hutang dan harus dibayar sepulangnya kami dari sini. Mohon bantuannya," paparku."Sebelum melakukan ritual, hilangkan dulu keraguanmu, Nduk. Yang diminta hanya anak pertama, dirimu bisa hamil lagi setelah itu."Mataku membulat. Romo berbicara pada Riani. Hebat juga orang ini dapat membaca keraguan istriku."Bukankah memiliki anak ju
Riani langsung berbalik badan, menggeret koper yang sudah ia siapkan tadi. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Namun, dari wajahnya sudah terlihat jelas amarah yang terpendam. Rasa bersalah merajai hati. Ingin kupeluk ia, tapi takut jika istriku itu menolak. Akhirnya, aku menyusul Riani setelah lebih dulu mengunci pintu. Mobil kami pun sudah tidak ada di garasi karena sudah dijual. Riani berdiri di samping koper sambil mengusap perutnya yang buncit. Tangisnya sudah reda. "Mau ke mana, Mbak Riani?" Mbak Anis, tetangga yang rumahnya berhadapan dengan kami berdua menyapa. Aku tersenyum sambil mengangguk. Wanita itu kulihat baru saja ke luar rumah."Saya titip rumah ya, Mbak. Mau ada urusan dulu di luar beberapa hari," jawab Riani. Napasku sudah tertahan tadinya, takut Riani akan berkata seiya-iyanya karena tengah menahan amarah. "Hati-hati ya, Mbak Riani," kata Mbak Anis.Taksi online sudah datang ke hadapan kami. Aku angkat koper, lalu memasukkan ke bagasi mobil.
Setelah mengatakan itu, Riani membalik badan memunggungiku duduk di sofa. Yang kulihat, ia tengah menangis karena bahunya bergetar dengan kedua tangan sesekali seperti mengusap pipi. Aku tahu, ini keputusan yang sangat tidak mudah baginya."Kamu puas, Mas? Ini mimpiku ingin menjadi seorang ibu. Baru ini aku mengandung hingga membuatku sangat bahagia. Mbak Nuri yang selalu mengataiku mandul pun akan bungkam jika melihatku berbadan dua seperti sekarang. Ternyata, maksudmu agar aku tak sesumbar karena kamu memiliki tujuan keji biar adanya kita melakukan pesugihan ini, keluargamu tak curiga!"Mataku berkaca-kaca dituduh oleh istriku sendiri. Aku pun menginginkan keturunan pada rumah tangga kami. Maksudku agar tak sesumbar karena itu dianggap pamali bagi orang Jawa. Tak baik jika belum mituni atau tujuh bulan, kata ibuku.Kuusap keringat dan dada yang sesak. Akibat pukulan Baron dan Torso, dadaku seolah dihimpit beban berat. Aku memegang tembok untuk bisa bangkit dari lantai teras."Riani,
"Mas, jangan lakukan ini, kasihan anak kita," ucap Riani sambil mengguncang lenganku yang tengah menatap bayangnya di cermin tempatku berdiri."Apa Mas lupa? Kita menginginkan adanya anak sudah lama, Mas! Ini pertama kalinya aku mengandung dan akan memberimu gelar sebagai seorang ayah!" Kini ia luruh, memegangi kakiku bahkan tendangan halus dari perutnya yang mulai membesar kurasakan. Kuhela napasku, menatap wajah yang payah dan putus asa di cermin. Sudah mati kah nuraniku?Riani bangkit dari kakiku, mengusap air matanya yang membasahi wajah. Ia melangkah ke luar kamar tanpa menoleh kembali ke arahku. Bukan pura-pura tak punya hati. Bukan tak ingin memiliki buah hati. Namun, bagaimana jika memiliki anak tanpa memiliki harta benda? Sedangkan Pak Sujatmiko tengah mencecarku perihal hutang tiga ratus juta yang kupinjam beberapa bulan lalu.Kurebahkan diri di ranjang. Menangis dengan sesak karena tengah terjadinya pergolakan batin. Pernikahan kami sudah 7 tahun dan baru ini pula Riani me